6. Welcome Party

Chapter 6

"Kenapa kau ingin tahu?"

Setelah terdiam selama beberapa saat, akhirnya mulut Rose kembali angkat bicara.

Nicklaus nampak menimang-nimang selama beberapa saat.

"Itu masalah perusahaan, sudah sewajarnya aku ingin tahu, bukan?"

Rose berdecih. "Sejak kapan kau peduli pada perusahaan?" hardiknya.

"Sebenarnya bukan itu inti dari pertanyaannya," kata Nicklaus. "Tapi terserah. Kalau-kalau kau lupa, aku kan Chief Executive Officer in training. Sebut saja penerus perusahaan setelah Kakek turun sebagai Chief Executive Officer nantinya."

Rahang Rose mengeras. "Apa kau bilang barusan?"

Nicklaus menoleh sebentar, lalu ia menyeruput lagi kopinya sebentar.

"Kau mendengarnya dengan jelas. Penerus perusahaan. Lagi pula, kau tidak mau saat kuberikan jabatan itu secara cuma-cuma kan. Jadi, aku bisa apa selain mengemban tugas berat itu?"

Rasanya ingin sekali Rose menghantam Nicklaus keras-keras seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Hanya saja, keinginan untuk sekedar memukul hidung Nicklaus terdengar kurang menarik baginya. Ia benar-benar ingin menghantam Nicklaus secara beruntun hingga babak belur.

Tapi, sesuatu dalam benaknya menahan Rose.

Rose mencoba menarik napas untuk menahan gejolak dalam dirinya sebisa mungkin.

"Aku ingin membangun pasar di Santa Monica," kata Rose yang tiba-tiba saja memulai penjelasan.

Alis kanan Nicklaus terangkat.

Apa sih yang Rose pikirkan? Orang tolol semacam Nicklaus pasti tidak mengerti dengan penjelasan ringkas sedemikian rupa.

"Aku penasaran kenapa pembangunan market di Santa Monica dihentikan. SM Projek 911. Dan aku menemukan ternyata proyek tersebut dibatalkan karena bom bunuh diri yang pernah terjadi yang menyebabkan kawasan itu masih disegel hingga kini," papar Rose.

"Lalu, kau yang ingin membenarkan dan mengerjakannya?" tanya Nicklaus, dengan kerutan di wajahnya.

Rose mengangguk mantap. "Seharusnya di sanalah pusat perbelanjaan terbesar di Santa Monica terletak. Aku masih tidak mengerti kenapa kita menghentikannya hanya karena asal-usul bangunannya."

"Kalau begitu kau saja yang mengerjakan," titah Nicklaus, membuat Rose mengerjapkan matanya selama beberapa kali.

"Apa kau baru saja menyuruhku?" Terdapat nada tidak terima yang terselip di sana.

"Iya, aku kan penerus perusahaan. Dan kalau tidak salah mengurutkan, meskipun pangkatmu Direktur—kau itu bawahanku, Cousin," kata Nicklaus enteng.

Sepertinya laki-laki ini memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, ya?

Susah payah Rose menggigit bibir bawahnya agar tidak memaki, tapi perkataan Nicklaus selanjutnya benar-benar memutus tali kesabarannya.

"Karena aku atasanmu, kurasa kau tidak memiliki pilihan selain harus menurutinya. Coba kau urus dan benarkan proyek di Santa Monica dan aku akan pantau bagaimana kinerja seorang Rose Walton yang melegenda itu."

"Apa kau sudah gila?!" pekik Rose, kehilangan kendalinya.

Dan yang paling kurang ajar adalah saat Nicklaus lagi-lagi mengulum seulas senyum di bibirnya.

Nicklaus bangkit dari posisinya dan mengacak rambut Rose yang memang sudah tak beraturan sejak tadi.

"Itu baru cocok denganmu," kata Nicklaus, menyeringai.

"Kenapa kau menyentuh rambutku?!" Rose memekik sekali lagi, matanya berapi-api menatap Nicklaus.

Tangan Nicklaus terangkat di udara dan ia mundur selangkah. "Ups, apa kau belum keramas?"

"Nicklaus!"

Tawa Nicklaus meledak.

"Sopanlah sedikit, aku ini bosmu."

Rose bangkit dari posisinya dan melotot. "Sejak kapan kau jadi bosku? Apa hakmu menyuruhku?!"

Nicklaus pura-pura berpikir. "Sepertinya mulai nanti sore. Apa kau sudah dapat undangannya?"

Alis tebal milik Rose bertautan. "Undangan apa?"

"Undangan pesta penyambutanku sebagai penerus perusahaan yang baru. Kau pasti melewatkannya karena kau langsung datang ke sini."

"A-apa?"

"Kau bisa mengajukan banding kalau tidak terima."

Nicklaus terus berjalan mundur hingga ke depan pintu. Ia menoleh sebentar ke arah Sebastian yang masih berbaring dengan tenang di sana.

"Seharusnya dia yang berkuasa. Kenapa dia malah tidur-tiduran di sini?" gumam Nicklaus pelan.

Lalu, pandangan Nicklaus kembali pada Rose yang masih tak berkutik memandangnya.

"Kenapa diam saja?" tanya Nicklaus. "Kau harus datang sore ini ke pesta penyambutanku. Kau bisa minta detail pestanya pada sekretarismu."

Kemudian ia membuka kenop pintu dan hendak keluar dari kamar rawat Sebastian, saat di benaknya terlintas pemikiran jahil lainnya.

"Satu lagi, jangan lupa kenakan anting yang kuberikan padamu tempo hari. Kau pasti akan jadi pusat perhatian di sana," ujar Nicklaus seraya mengedipkan matanya.

Dan di saat otak Rose baru selesai menelaah perkataan Nicklaus barusan dan hendak memaki laki-laki itu, Nicklaus sudah terlebih dahulu keluar dan menutup kembali pintu kamarnya.

Di sepanjang perjalanan, yang Rose pikirkan hanyalah satu: bagaimana bisa Nicklaus mengetahui bahwa ia mencaritahu tentang SM Projek 911?

Apa saat ia datang ke ruangannya tempo hari?

Tapi tidak mungkin dalam jangka waktu secepat itu Nicklaus dapat langsung mengetahuinya.

Butuh waktu beberapa tahun bagi Rose untuk menemukan proyek tersembunyi itu dan mengetahui perinciannya. Mana mungkin ia bisa dengan begitu saja membiarkan Nicklaus menelusup masuk dan mengubrak-abrik ambisinya?

"Nicklaus, you jerk." Rose mengumpat pelan dengan tangan yang mengepal.

Tak lama kemudian, Rose tiba di lokasi yang diiming-imingkan sebagai tempat pesta penyambutan Nicklaus.

Ia tiba di hotel bintang lima yang terletak di kawasan Manhattan dan langsung diarahkan menuju rooftop hotel tersebut. Begitu keluar lift, ia langsung disuguhkan dengan meja dan kursi bergaya vintage di tengah taman lengkap dengan dekorasi yang senada.

Rose berdecak. Sudah jelas sekali kalau Nicklaus yang menyusun ini semua.

Hanya meja makan yang tidak terlalu megah ukurannya, namun di setiap kursi berisi para petinggi perusahaan termasuk Kakeknya yang duduk di tengah layaknya pemimpin seperti biasa dan Nicklaus di sudut kanan tempat duduknya.

Rose yang kebetulan mengenakan gaun sewarna dengan kayu melangkahkan kakinya untuk mendekat dan duduk di kurai sebelah kiri sang Kakek yang sudah jelas disisakan untuknya.

"Mohon maaf, aku terlambat," ungkap Rose, sedikit menunduk. Rambutnya yang disampirkan ke belakang telinga menelisik keluar dan terurai.

Damian tersenyum menatap cucu perempuannya dan menepuk pelan pundak Rose.

"Tidak apa-apa," ujar Damian. "Kau pasti sibuk mengurus Ayahmu di rumah sakit, belum lagi masalah yang disebabkan oleh si Biang Onar ini."

Nicklaus tertohok, telebih saat Damian jelas-jelas meliriknya.

Alih-alih kesal dan protes seperti yang selalu ia lakukan, Nicklaus malah tersenyum menyebalkan dan berucap, "Aku akan banyak belajar dari Rose."

Kalau tidak ingat ada banyak orang di sini, sudah pasti Rose akan menghantam wajah tersenyum milik Nicklaus itu. Menyebalkan sekali nada bicaranya itu.

"Kami akan menunggu kinerjamu ke depannya di perusahaan, Nicklaus," ucap Harris Brown, Direktur Pemasaran yang berusia kisaran 55 tahun yang duduk di samping Nicklaus.

Lagi-lagi Nicklaus melayangkan senyuman.

"Dengan bantuan Rose yang memang sudah sejak lama memegang jabatan sebagai Dewan Direktur, aku yakin Nicklaus bisa membawa Walton Company untuk terus maju." Elliot Lau, Chief Operating Officer yang duduk di sebelah Rose ikut angkat bicara.

Enggan membiarkan Nicklaus menang, Rose menoleh dan berusaha melayangkan senyuman andalan miliknya.

"Kau terlalu memujiku, Mr. Lau."

Elliot tersenyum senang saat ucapannya barusan ditanggapi.

"Sudah dua puluh tahun aku bekerja di Walton Company, tapi hanya kau perempuan yang benar-benar memiliki ambisi untuk membawa Walton ke jalan yang lebih besar."

Nicklaus berdecih pelan sekali, tapi Damian yang duduk di hadapannya dapat mendengar decihan cucunya itu dengan jelas. Jadi, ia menendang kaki Nicklaus di bawah dan membuatnya meringkih pelan.

"Kakek!" dumal Nicklaus, tanpa suara.

Namun Damian tak mengindahkannya.

"Memang begitulah Rose. Mewakili ambisiku dan memiliki semangat juang yang tinggi. Benar-benar seorang Walton sejati," kata Damian.

Cukup sudah membanggakan Rose. Ini pesta penyambutan untuk Nicklaus yang baru saja naik pangkat, tapi kenapa malah jadi Rose yang jadi topik utama pembicaraannya?

"Lalu, bagaimana dengan Nicklaus?" tanya seseorang yang duduk di penghujung kursi. Edward Anderson, Chief Technical Officer.

Jabatannya lumayan tinggi, tapi Nicklaus bingung kenapa laki-laki yang baru saja menginjakkan usianya yang ke 50 itu duduk di sana. Mungkin karena orang-orang pemilik saham enggan mengalah dan bergeser pada pegawai perusahaan.

Mencoba mengabaikan hal tersebut, Nicklaus mengangguk paham dengan pertanyaan yang diajukan oleh Edward dan bangkit dari posisinya. Tak lupa ia memberi kesan dramatis dengan membenarkan setelan jasnya dan menatap sang Kakek.

"Aku dan Rose sudah memiliki rencana sebagai pembukaan karirku dan untuk membuktikan kinerjaku sebagai CEO perusahaan," kata Nicklaus mantap.

Kedua tangan Damian terpaut di atas meja, mendadak tertarik.

"Dan bisa kau katakan kepada kami semua, apa langkah awalmu itu?" pancing Damian.

"Kami akan melanjutkan projek yang sempat tertunda di Santa Monica beberapa puluh tahun yang lalu. SM Projek 911."

Dan seketika suasana berubah menjadi hening.

Raut wajah Rose merah padam, menahan gejolak amarah dalam dirinya. Apa Nicklaus sudah gila? Sepertinya laki-laki itu harus dimusnahkan dari muka bumi secepatnya.

Awalnya, Rose ingin bangkit dan memprotes ucapan Nicklaus barusan. Tapi, reaksi yang diberikan oleh orang-orang yang datang di sini membuat perempuan yang kini menggenggam tas silvernya erat-erat mengurungkan niatnya.

Apa-apaan dengan reaksi ini?

Mata Nicklaus memincing. Ia menatap kobaran api di mata Rose dan secara bergantian menatap tingkah aneh dari para petinggi perusahaan di sini.

Ada sesuatu yang tidak beres di sini.

[ n o t e s ! ! ! ]

Terimakasih udah mau baca.
Follow Instagram gue ya @melanieyjs

Love, Melanie.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top