5. Breakfast

Chapter 5

Hembusan angin malam menerpa wajah perempuan berwajah pucat pasi dan alis tebal itu melalui jendela yang mengarah langsung ke balkon kamar. Tubuhnya hanya berbaluti baju tidur selagi ia duduk bersandar dengan kaki yang berselanjar di atas sofa yang terletak di tengah kamarnya dengan segelas whiskey menemani di genggamannya.

Pandangannya nampak kosong menerawang ke depan.

"Apa aku harus pergi ke sana sendiri?" Ia bergumam pelan.

Perempuan itu—Rose, langsung tersentak begitu pemikirannya diinterupsi kala macbook yang berada di pangkuannya berdering nyaring menandakan ada sebuah pesan masuk pada emailnya.

Tanpa berbasa-basi dan menunggu lebih lama, ia langsung meletakkan gelasnya ke atas meja dan menggerakkan jemarinya untuk membuka email yang masuk dan membacanya.

From: Christy Anderson ([email protected])
To: Rosalié Adrianna Walton ([email protected])
Lampiran Pendukung SM Projek 911
10 January 2019

Attachment: 2
Tap to Download: Potongan Berita Koran California 1991.pdf – 256 KB
Tap to Download: Daftar Korban SM Projek 911.pdf – 12 MB

Mata Rose tebuka lebar, ia menggigit bibir bawahnya keras-keras kala perlahan jemarinya bergerak menggerakkan cursor mouse-nya untuk membuka file yang dikirimkan oleh Christy barusan.

Akhirnya, setelah tujuh tahun penantian dan pencarian, Rose mendapatkan apa yang ia inginkan. Biarpun begitu, entah kenapa benaknya merasa ragu dan terdapat sedikit rasa takut menyelimuti. Sebuah perasaan yang tak seharusnya ia rasakan pada saat-saat seperti ini.

Matanya bergerak menelusuri gambar yang menunjukkan beberapa potongan lembar koran pada tahun 1991.

Bom bunuh diri terjadi pada 25 Januari pukul 5 sore hari dan menjadi penyebab bangunan tiga puluh dua lantai di Santa Monica hancur berkeping-keping. Hingga berita ini diterbitkan, 149 orang dinyatakan tewas, 31 orang luka berat, 28 orang luka ringan, dan 11 orang dinyatakan hilang atau belum ditemukan keberadaannya di antara puing-puing bangunan.

Rahang Rose mengeras. Matanya memerah dan tangan kirinya yang terbebas mengepal erat. Namun ia tetap melanjutkan untuk membaca potongan berita lainnya.

Suicide Bom in Santa Monica
February 3rd, 1991

Pagi ini, sumber menyebutkan total kerugian akibat bom bunuh diri di Santa Monica mencapai 11 juta dollar Amerika dengan total korban tewas 162 orang, luka berat 25 orang, luka ringan 30 orang, sementara 2 lainnya masih dinyatakan hilang hingga berita ini ditulis.

Rasa pening tiba-tiba saja menjalar di kepala Rose. Napasnya memburu kala sekelibat pikiran terlintas di benaknya.

"Di mana berita tentang pelakunya?" gumam Rose, seperti orang gila, jarinya bergerak menelusuri potongan-potongan berita itu, namun tak kunjung menemukan apa yang dicarinya.

Dadanya naik turun tak karuan dan tangannya bergetar hebat.

Sebelum perempuan yang tahun ini akan segera menginjak usianya yang ke 30 itu melempar macbooknya yang tak bersalah karena tak menemukan apa yang ia cari, seseorang mengetuk pintu dengan keras berkali-kali.

Atau dapat dikatakan sebagai menggedor karena jelas sekali pintu kamar Rose seperti dihantam keras-keras hingga suara berdebumnya menggema di seluruh penjuru ruangan berkali-kali tanpa jeda.

Rose mendongak dan menatap sinis ke arah pintu kamarnya.

Namun biarpun begitu, ia tetap menutup layar macbooknya dan bangkit berdiri menuju pintu dan segera membukanya.

"Ada apa?" tanya Rose, dengan nada tidak senang begitu melihat asisten rumah tangganya berdiri di depan pintu dengan raut wajah panik.

"Tuan Sebastian—Mr. Walton.."

Belum sempat asisten rumah tangganya itu menyelesaikan ucapannya, Rose segera berlari kembali ke dalam kamarnya untuk meraih cardigan serta ponselnya dan pergi keluar rumah.

Rose tiba di rumah sakit dengan mobil vannya, diantar oleh supir yang selalu berada di rumahnya selama dua puluh empat jam penuh dan masuk ke gasal VVIP tanpa repot bertanya kepada resepsionis di mana letak ruangan tempat Sebastian Walton dirawat.

Pria berusia lima puluh delapan tahun itu sudah menghabiskan delapan tahun hidupnya di rumah sakit. Tanpa pernah membuka matanya sekalipun.

Ya, pria koma itu adalah ayah Rose.

Dan berita yang baru saja Rose dapatkan adalah, keadaan Sebastian yang menurun drastis dan jantungnya yang dinyatakan kehilangan detaknya selama beberapa detik.

Tapi beruntung, keadaannya tidak dapat berubah lebih parah lagi sejak itu. Denyut nadinya kembali normal.

Namun tetap saja, kedua matanya masih tertutup.

Sudah dua belas jam sejak kali kedatangannya ke sini, dan sejak saat itu juga lah Rose belum beristirahat.

Ia bersandar di sofa dan matanya menatap tubuh Ayahnya yang berbaring di atas ranjang lekat-lekat.

"Apa saja rahasia yang masih kau sembunyikan?" gumam Rose. Pikirannya berkelana ke mana-mana.

Cklek.

Tiba-tiba saja suara kenop pintu yang dibuka terdengar, mengalihkan pandangan Rose kepada sang empunya yang baru saja membuka pintu tanpa permisi.

Sosok Nicklaus nan gagah dengan setelan jasnya muncul dari balik pintu. Dan seperti biasa, disertai senyum tipisnya yang jahil.

Sebentar, apa Rose baru saja berkata kalau Nicklaus itu gagah?

Aku pasti sudah gila.

"Hai, Cousin," sapa Nicklaus, berjalan masuk dengan sekotak makanan di tangan kanannya.

Rose menatapnya enggan. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Kenapa selalu pertanyaan itu yang keluar tiap kali melihatku?" Nicklaus malah balik bertanya.

Malas mendengar ocehan Nicklaus pagi-pagi buta, Rose mengalihkan pandangannya dan hendak bangkit dari posisinya. Tapi, cepat-cepat Nicklaus menahan pergelangan perempuan itu dan menariknya untuk duduk kembali di sofa, hanya saja kali ini bersebelahan dengannya.

"Kau—"

"Sssshh," potong Nicklaus.

Mata Rose melotot besar, tapi Nicklaus sudah terlalu terbiasa dengan tatapan itu, jadi ia hanya mengacuhkannya dan membuka kotak yang ia bawa di atas meja lalu menjajarkan dua gelas kopi beserta dua potong baguette beserta limpa di atasnya.

"Makan," titah Nicklaus. "Sejak semalam kau pasti belum makan."

Baru saja Rose hendak membantah  perkataan Nicklaus barusan, tapi... perutnya berkata lain.

Rasanya ingin sekali Nicklaus tertawa terbahak-bahak mendengar suara perut perempuan yang rasa gengsinya mencapai puncak langit itu mengaung-ngaung minta diisi, tapi ia bersusah payah menahannya dan menampilkan wajah berlaga cool andalannya.

"Perutmu saja sudah meronta-ronta, lebih baik kau makan dari pada mati kelaparan."

Kali ini Rose sudah kalah, jadi ia menyerah dan meraih potongan roti limpa dan menggigitnya perlahan. Dan yang Nicklaus lakukan hanyalah memerhatikan Rose selagi makan.

Rose berdecak dan menyeruput kopinya. "Bisakah kau alihkan pandanganmu?"

Bibir kanan Nicklaus terangkat menahan senyum. "Kenapa?"

Mata perempuan itu lagi-lagi membesar. "Ya kenapa juga kau menatapku seperti itu di saat aku sedang makan?!"

"Memangnya kenapa tidak boleh?"

"Aku tidak suka!" bentak Rose.

Nicklaus angkat tangan. "Baiklah-baiklah, Tuan Putri. Aku tidak akan menatap kau lagi. Sekarang, silakan lanjutkan makanmu."

"Aku kehilangan nafsu makanku," papar Rose, meletakkan kembali potongan rotinya ke atas meja dan menyeruput kopinya.

"Hmm." Nicklaus bergumam pelan, lalu ia meraih gelas lain berisi kopi di atas meja dan ikut meminumnya bersamaan dengan Rose.

Suasana pun berubah hening selama beberapa saat. Baik Rose yang sudah lelah menanggapi guyonan Nicklaus, maupun Nicklaus yang nampak tengah berpikir untuk menyusun kata-katanya.

"Sebenarnya, aku datang ke sini untuk bertanya," ungkap Nicklaus, berhasil mendapatkan perhatian Rose.

Rose menoleh. "Bertanya apa?"

"Kenapa kau mencari tahu seluk beluk tentang projek Santa Monica pada tahun 1991?"

Sekujur tubuh Rose terasa membeku seketika.

Apakah ini akhirnya?

[ n o t e s ! ! ! ]

Hell to the looooo! Hello!
Balik lagi sama gue Melanie di sini!

Dan, jangan lupa buat follow Instagram gue ya buat update cerita-cerita terbaru gue yang lainnya sama wara-wiri.

Instagram: @melanieyjs

Salam!
Melanie cantiq.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top