Chapter - 35: Senja di Sungai Hudson
***
💡Rea💡
***
Aku sama sekali tidak ingin membahas kejadian itu dalam sesiku ini. Yang jelas semua orang pasti akan mengerti apa dan bagaimana yang aku rasakan pada saat itu. Hancur, tak tahu arah, marah, dan bermacam emosi negatif lainnya.
Jullian sosok yang kuanggap sangat sempurna ternyata tidak seperti yang aku anggap selama ini. Aku tidak pernah menaruh curiga apapun padanya. Entah kalau dia kupergoki sedang tidur dengan perempuan aku akan semarah ini atau tidak, tapi ini Brad! Dia tidur dan melakukan hal yang tak bisa aku bayangkan dengan sesama jenis!
Jullian menyerah padaku di saat yang sama. Dia tidak bisa mengatasi amarahku ketika itu. Bahkan ketika aku membawa semua barang-barangku untuk menginap di rumah Katty pun dia tak bergeming hanya membiarkan saja. Tapi dia masih menaruh sesalnya padaku dengan tak segan untuk mengantar beberapa barangku yang tertinggal keesokan harinya.
Tanpa dia memohon, aku tetap tidak akan membocorkan masalah ini pada siapapun. Itu adalah kesalahan yang harus Jullian renungi sendiri dan tidak sampai hati kalau aku terpaksa membukanya ke publik atau siapapun. Dia aktor besar, meski fenomena sesama jenis ini begitu biasa di negara ini, bahkan legal, tapi tetap saja ini adalah skandal bagiku dan bagi karir Jullian.
Nyaris saja aku pulang ke Liverpool dan membatalkan semua kontrak peranku. Tapi akan semakin kacau kalau aku melakukannya. Ini menyangkut rezeki banyak orang. Aku memegang peran yang penting di judul ini. Dan kalau sampai aku menghancurkannya, runtuh pula semua jalan karir orang lain. Aku tahu ini sangat sulit, tapi tak ada artinya kalau kukunyah terlalu lama dan hanya ingin lekas menelannya saja semua persoalan ini.
Aku bertahan sampai acara itu digelar. Sukses berlangsung selama lima hari di gedung teater Broadway. Tiket habis setiap harinya. Banyak orang besar hadir di sana silih berganti. Politisi, aktor, orang-orang Hollywood, kritikus, penulis, dan masih banyak lagi. Beruntungnya kami mendapat ulasan memukau dari tiap kritikus. Namun ada satu kritikus yang sangat jeli mengamati wajah Jullian pada hari terakhir aksi peran kami berlangsung. Di sana tertulis ada yang salah dengan aktor itu.
Bagaimana tidak? Jullian sangat sendu sepanjang hari itu. Dia mungkin memerankan tugasnya dengan baik. Tapi semua orang pasti bisa membaca dari apa yang ditunjukkan oleh matanya. Tatapan tak bisa berbohong.
Puluhan kali Jullian mencoba menghubungiku lewat pesan dan telepon. Tapi tidak ada satu pun yang aku respon. Sampai ketika kami berada di ruang ganti dan nyaris pulang ke tempat tinggal masing-masing, Jullian datang menghampiriku. Dan pada saat yang sama tidak ada sebetik perasaan apapun di hatiku padanya lagi.
"Kau akan pulang?" dia berkata dengan tatapan yang begitu sendu. Tak berdaya.
Aku mengabaikannya.
"Aku mohon. Kita bicara sebentar."
Tetap tidak kujawab karena aku sedang sibuk memasukkan perlengkapanku ke dalam ransel.
"Katty bilang kau akan kembali ke Liverpool setelah tur ini selesai. Aku tidak akan mencegah. Setidaknya aku butuh belas kasihanmu untuk menjelaskan apa yang salah."
Aku masih diam.
"Rea, please."
Lalu aku terdiam dan menoleh padanya. Tampangnya benar-benar menyedihkan. Beberapa hari menenangkan diri sudah cukup untukku tidak mengamuk padanya jika bertemu sedekat ini.
"Aku tidak bisa berlama-lama," jawabku. Dan itu membuat Jullian menghela napas lega. Lekas ia mengangguk.
"Aku janji ini tidak akan lama."
Dia mengambil ranselku dan membawanya ke mobil. Aku mengikutinya enggan.
Mobil keluar mulus dari lot parkir teater yang masih ramai. Berderap pelan di jalanan aspal Devries Ave. Melewati segala kemegahan metropolitan kota ini. Melaju tanpa ada percakapan di dalamnya bahkan ketika melalui taman kota yang biasa kita habiskan untuk jalan berdua setiap senja seperti sekarang.
Jullian menghentikan mobilnya di taman itu. Dia melepaskan jaket dan ia sampirkan di lengan. Kami berjalan kaki di sana. Melewati taman yang sedang dikunjungi beberapa orang saja. Tidak terlalu ramai. Lalu menyeberangi rel kereta terusan dari stasiun Philipse Manor dan mengambil duduk di sebuah kursi yang menghadap pesisir sungai Hudson.
Angin sore berderu pelan. Seolah ingin menerbangkan distorsi jingga yang dijatuhkan matahari itu. Bola besar itu menjatuhkan cahayanya tak teratur di permukaan sungai Hudson. Terlihat satu dua kapal kecil melintas di sana. Dan tak lama deru kereta menghentak rel dengan berisik di belakang kami.
Aku tidak tahu percakapan ini akan dimulai dengan cara seperti apa. Sampai akhirnya Jullian mulai berbicara dengan suaranya yang ... memang selalu terdengar enak.
"Beberapa tahun yang lalu, terusan sungai ini menjadi saksi tindakan heroik seorang pilot bernama Sully. Kau pasti tahu soal itu. Dia harus menghadapi mesin mati pada saat lima belas menit pertama lepas landas setelah menabrak sekawanan burung di udara. Konon Sully nyaris pasrah sampai akhirnya dia memunculkan harapan lagi. Dan ia berkonsetrasi hingga membuat keputusan untuk mendaratkan pesawatnya di atas permukaan sungai Hudson. 155 penumpang selamat beserta kru pesawatnya," dia menoleh padaku. Terlihat cahaya matahari sore memapar wajahnya yang tampan. "Aku seperti pilot itu sekarang. Dihadapkan pada sebuah gap yang tak bisa aku tahu arah jalan keluarnya di mana."
"Mungkin dengan menceburkan diri seperti yang dilakukan Sully," jawabku ketus.
"Kau ingin aku melakukannya?"
Aku diam.
"Akan kulakukan kalau kau ingin. Tapi itu sesuatu yang bodoh."
Senyap terjadi sesaat kemudian.
"Aku tidak sama seperti Brad," here we go. "Aku sulit menjelaskan ini tapi aku bukan homoseksual."
"Kau tak perlu menyangkal dengan cara apapun lagi, Jullian. Setelah apa yang sudah kulihat."
"Iya tapi itu tidak benar."
"Dia menciummu dan kau terlihat tidak keberatan sama sekali! Kau tahu betapa menjijikannya itu di mataku?"
"Demi Tuhan, aku tidak," katanya gemetar. Lalu mengeluarkan kalung salib dari lehernya dan mencium bandulannya, "Aku bersumpah, Rea."
"Kau tahu, Jullian? Apa pun yang akan kau jelaskan entah itu fakta atau bukan, aku tidak akan memercayainya lagi. Mataku sudah begitu jelas menyaksikannya. Pakaianmu yang tercecer di lantai, semua wine itu, dan caramu berbohong tentang hotel, itu omong kosong!"
"Tapi semua tid-."
"Semua ini terlalu berat untuk aku terima," aku memberinya tatapan nelangsaku. "Sudah tidak ada jalan lagi."
Dia mengangguk pasrah, "Aku juga tahu siapa yang kau temui di Chicago. Kutelepon Mandy dan dia bercerita."
Apa dia sedang berusaha membalik keadaan?
"Kau sudah menceritakan tentang laki-laki Indonesia itu dulu. Tapi apa maksudmu dengan menemuinya?"
"Aku sudah selesai dengannya dan kalau kau ingin membalikkan kesalahan saat ini, itu tidak akan pernah bisa! Apa yang aku lakukan tidak bisa dibandingkan dengan apa yang kau perbuat! Dan asal kau tahu, aku membiarkan dia pergi dengan kau sebagai alasannya, tapi lihat apa yang kau lakukan! Aku membiarkan diriku hancur di sana, menangis seperti orang gila, untukmu!" aku berteriak dengan airmata berurai.
"Entah disadari atau tidak kau baru saja mengakui bahwa selama ini hanya orang itu yang kau simpan di hati."
"YAAA! AKU MENCINTAINYA! KAU DENGAR?" aku berteriak sekali lagi, "Dan kau sudah kuperingatkan sejak dulu, Jullian!"
"Kalau begitu apa bedanya aku dengan dirimu!"
"Kau menjijikan dan aku pecundang!"
Dia menatap tajam padaku. Meski kulihat ada genangan di matanya tapi ia tidak bergeming.
Dia terdiam menyaksikanku yang menangis meraung-raung di sampingnya.
"Aku melepaskannya untukmu, Jullian!" pekikku seperti orang gila. Menangis hingga terbungkuk-bungkuk. Dadaku sangat sakit. Aku menumpahkan segala kepayahanku di sana. Penuh emoisi yang tak terbendung. Kurasakan dia berusaha memegangku tapi dengan cepat aku menyingkirkan tangannya. "Selama ini dia masih mencari konstelasinya untuk pergi padaku, dan aku mengabaikannya untukmu, Jullian!" tangisanku semakin menjadi. "Aku sudah memperingatkanmu!"
Entah untuk alasan apa aku luluh dan jatuh di pelukannya. Dia memelukku. Tubuhnya panas sekali. Gemetar lengannya. Tidak banyak bicara. Karena yang kudengar selanjutnya adalah dia menangis.
Aku tahu pada titik ini aku juga terlalu jahat padanya. Tapi kurasa itu sangat setimpal. Jullian meminta maaf kemudian. Masih terus berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidak memiliki kecenderungan yang menyimpang.
Sore itu aku begitu lemas. Aku membiarkan diriku setidakberdaya itu di depan Jullian. Kami menangis bersama. Hancur bersama. Nelangsa bersama.
Dia lalu membuat panggilan video dengan beberapa rekan perempuannya. Bahkan saudaranya juga. Ini konyol memang, tapi mereka tertawa dan sangat memastikan kalau Jullian adalah laki-laki sejati. Tulen.
"Aku bersumpah ini hanya Brad. Dan itu adalah yang pertama. Maksudku dia mempengaruhiku dengan minuman itu. Tak pernah aku melakukannya yang lebih jauh dari itu. Aku bersumpah. Aku bersumpah atas nama Tuhanku dan Tuhanmu."
Entah harus percaya atau tidak. Tapi semua ini tetap tidak bisa diteruskan. Aku menceritakan ketidaksetujuan keluargaku. Dan Jullian yang sudah terlanjur tahu bahwa perasaanku masih terbagi sejak lama.
"Jadi semua ini tidak mungkin kembali lagi?" dia bertanya lemah. Langit sudah menjadi gelap. Dan lampu-lampu di pesisir mulai dinyalakan.
Aku menggeleng masih menahan sisa-sisa sendu.
"Baiklah," ucapnya masih merangkulku. "Kau tahu, aku tidak marah."
Aku hanya diam mendempis di dadanya.
"Aku tidak bisa marah dengan keputusanmu, pengakuanmu, atau amarahmu sendiri. Semua ini memang salah. Dan entah kenapa kau harus melihatnya pada saat aku terjebak perangkap Brad. Aku sudah memecatnya dan kau pasti lihat sendiri dia tidak ada di sekitar kita selama acara berlangsung."
Terserah.
"Bagaiaman dengan dia? Kau masih tertarik dengan ... Nafis? Apa dia masih semenawan yang kau ceritakan dulu? Apa aku masih belum ada apa-apanya jika dibanding dengannya? ... apa ... dia masih sendiri? Aku akan membencimu seumur hidup jika setelah aku merelakanmu pergi tapi kau tidak berhasil dengannya," dia menjeda. Lalu kurasakan tangannya mengelap aliran di pipinya. Jullian mengecup keningku berkali-kali dan aku tak bergeming. "Aku mohon jangan selain dia kalau kau ingin berbahagia tidak denganku. Harus dia."
Kali ini tangisannya kian jelas.
"Aku tidak pernah memperlakukanmu sebagai wanita selama ini, itu karena aku bukan laki-laki yang mendewakan hubungan fisik. Aku tahu persis siapa kau dan apa yang harus kau hindari. Melewati batasmu sejauh itu demi aku pun sudah sangat membuatku sanggup menjaga martabatmu selama ini."
Aku kembali terisak mendengar kalimatnya.
"Aku ingin bertanya. Untuk apa kau pulang ke Liverpool?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak punya arah lagi untuk pergi menjalani hidup."
"Please, don't say that."
"Aku tidak tahu."
"Jangan ke Liverpool. Kau tidak akan punya banyak kesempatan kalau kembali ke kota itu."
"Harus ke mana?" suaraku nyaris hilang.
"Jakarta."
Aku menggeleng enggan.
"Aku tidak ingin kau menjadi pecundang, sayang. Aku tahu keseluruhan ceritanya. Aku sudah tahu siapa saja yang ada di masa lalumu," getaran suaranya patah-patah.
Aku masih menggeleng enggan.
"Aku punya seseorang yang bisa mengurus keberangkatanmu sesegera mungkin. Aku akan mengganti honormu dengan uangku karena aku tahu besarannya berapa. Dan kau bisa kembali kapanpun kau ingin. Kota ini, apartemenku, ... bahkan hatiku akan selalu terbuka lebar menyambut kalau kau ingin kembali lagi, kapan saja kamu mau."
Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Jullian. Deru suara Yacht terdengar di tengah sungai. Dan geretak kereta yang melaju cepat di belakang kami. Malam telah menyelimutiku. Dan angin semakin menggigilkan hati Jullian. Meski kali ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi, tapi maafku masih terbuka untuk Jullian dan berusaha percaya kalau dia tidak sama seperti Brad. Ini hanya pergerakan takdir yang sedang berusaha menjungkirbalikkan apa yang telah hati manusia rencanakan.
Aku mendongak pada Jullian. Mengusap deraian air mata di pipinya. Lalu memberi sebuah kecupan lembut di ujung bibirnya. Dan dia menangis.
***
Malam keesokan harinya Jullian mengantarku ke bandara. Dari Manhattan ke Queen hanya memakan waktu belasan menit sebenarnya. Tapi Jullian membuatnya lebih lama dengan memperlambat laju mobil yang ia kendarai.
Meski rasanya begitu teriris melihat Jullian memperjuangkan segalanya, tapi ini memang tak pernah menemui jalan terbaik kalau aku dan dia diteruskan.
Kami tiba di bandara dan Jullianlah yang membantu menyurung koper beratku. Dia juga yang melakukan check in untukku dan mengurus koper-koperku.
Setelah itu dia kembali menghampiriku di kursi tunggu calon penumpang. Ternyata waktu kami bersama tidak lama lagi. Interkom di bandara sudah memanggil calon penumpang untuk bergegas memasuki pesawat.
Kami berjalan ke arah sana. Dan sebelum aku benar-benar pergi Jullian membuat kami berhadapan serta memegangi kedua pundakku.
"Dengar, semua ini untukmu, oke?" dia mengatakan itu dengan berusaha menghindari kontak mata denganku. Aku tahu matanya sudah sangat merah menahan semuanya. "Aku tidak marah padamu. Karena bagaimana bisa seseorang yang tulus mencintai akan marah semudah itu." Lalu dia menatapku dan jatuhlah bilur bening itu di pipinya. Jullian masih menyangkal itu dengan sedikit terkekeh palsu. "Aku tidak apa-apa."
Dan seketika aku menyergapnya dengan kedua lenganku. Kami berpelukan. Aku tidak bisa berbicara apa-apa. "Hati-hati," ucapnya parau "Jaga barang bawaanmu. Hati-hati ketika transit. Pastikan semuanya aman. Dan kabari aku jika terjadi sesuatu. Aku perlu tahu apapun tentangmu. Ingat, aku bukan gay. Oke? Aku bersumpah demi apa saja."
Aku mengangguk di pelukannya. Menangis lagi dan lagi.
"Sudah," dia menepuk pundakku. Mengurai pelukan kami cepat-cepat. "Um," gumamnya masih parau. "Kembali kapan saja kau mau. Atau ... ya, aku harap semua sesuai dengan kemauanmu."
Aku memeluknya sekali lagi sebelum pergi. Benar-benar tak sanggup mengucapkan satu kata pun untuk saat ini.
"Aku mencintaimu. Dan masih mencintaimu setelah semua ini," kalimat terakhirnya sebelum dia melambaikan tangan, membalik badan, berjalan pergi sambil kerepotan mengelap pipinya.
Beberapa detik sempat terbesit untuk mengejarnya. Tapi aku tidak ingin semua menjadi sia-sia.
Aku menegarkan diri masuk ke pesawat. Menyempatkan diri untuk mengganti nano sim di ponsel sebelum diinstruksikan mengganti mode pesawat.
Aku:
"Aku pulang."
Pian:
"Pulang ke mana?"
Aku:
"Jakarta. Kamu nggak lagi di Jogja kan? Nanti jemput di Soetta,"
Pian:
"Lagi di RS. Cipto, nih. Kemarin pulang dadakan."
Aku:
"Siapa yang sakit?"
Pian:
"Lah, kamu belum tahu?"
***
Silakan berkomentar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top