Chapter - 31: Semua Tak Sama
***
Kalau kamu mencintai seseorang tapi sama sekali tak takut untuk kehilangannya. Bahkan merelakan dia dengan orang lain dan terus memalsukan kebahagiaanmu. Mungkin kamu belum mencintai seseorang sebagaimana yang aku lakukan. Tak ada baik-baik saja untuk sebuah kehilangan, Bung. Perjuangkan atau lupakan.
-Sahlil Ge-
***
Jangan sungkan untuk berkomentar.
***
💡Rea Dewasa💡
Manhattan City
"Aku tidak perlu menceritakan bagaimana pemerintahan walikota Ed Koch waktu itu atau kalian berdua anak muda akan tak selera makan. Dia memang tidak terlalu buruk, tapi mengingat eranya membuatku mual. Bahkan aku tidak peduli dengan resesi pada saat itu. Aku ingat saat Joana, kakaknya Jullian masih remaja. Disko mulai sepi kala itu, tapi Punk mulai memasuki kota. Joana kami kurung di rumah setelah aku mendapati dia memakai tindik di hidungnya. Tapi beruntung sekarang dia berpendidikan."
Aku dengan sabar mendengarkan Ayahnya Jullian berbicara. Ya, orang tua selalu senang seperti itu. Ini makan malam yang biasa saja meski Jullian bermaksud lain. Mungkin ini budaya orang sini, kadang obrolannya terlalu melebar dan dalam untuk sekadar perkenalan.
"Dad, kita bisa fokus sebentar?" kata Jullian berusaha sopan. "kita berkumpul di sini untuk membicarakan tentang hubunganku dengan Milly. Dan ini mulai membosankan kalau Dad terlalu mendominasi dengan obrolan masa lalu."
Good boy.
Ayahnya Jullian tergelak, "Maafkan aku, Milly. Aku terlalu bersemangat melihatmu malam ini. Berharap sebentar lagi kau akan menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, bagaimana?"
Aku kenal Jullian tepatnya ketika sudah lulus dari Julliard. Yup, dia memiliki nama yang nyaris sama dengan kampusku. Mungkin karena secara alamiah dia dibekali kemampuan seni hiburan yang sesuai.
Pertemuan dengannya cukup berkesan, sih. Baru lulus dari kampus waktu itu ada audisi untuk pemain opera yang bakal ditampilkan di Broadway. OMG! Terkabul bisa berdiri di opera sebesar itu adalah satu hal yang istimewa banget.
Aku lolos dan bergabung dengan pasukan penari angsa. Tapi aku juga mendapat dua baris dialog dengan pemeran utama waktu itu. Dan sebuah keanehan terjadi seperti dongeng 'Swan Lake', Sang Pangeran jatuh cinta dengan angsa.
Entah, tapi pergerakan dari Jullian tak terasa berhasil menyusup ke dalam diriku. Dia aktor yang baik. Berbakat. Manis. Dan setidaknya memiliki apa yang dibutuhkan seorang perempuan, tak menyerah.
Aku tahu mungkin penjelasan itu sedikit aneh. Mengingat aku pernah menyerah untuk seseorang, dan kami sama-sama saling melepaskan. Dan kalian tahu apa? Perempuan pada dasarnya akan terus jatuh cinta pada orang yang 'sama'. Maksudku, ini bukan tentang orang secara spesifik. Tetapi kriteria yang sama. Ya, itu karena perempuan cukup setia dengan kriteria yang mereka pegang. Seperti itu sih yang aku rasa.
Pertemuan dengan orang tuanya Jullian menjadi awal niat kami untuk ke jenjang yang lebih serius. Padahal aku dan Jullian baru resmi berpacaran dua bulan yang lalu. Dia memperjuangkanku selama bertahun-tahun. Yakin bahwa aku bisa mempercayakan perasaanku padanya bukanlah hal mudah. Aku pernah bertekad untuk tidak jatuh cinta lagi. Dan dia berhasil mendobrak tekad itu. Aku luluh. Yakin untuk mencoba memulai kembali. Kuberi dia kesempatan untuk membuktikannya.
Mobil Jullian berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Itu miliknya. Jadi selama beberapa minggu ini aku menginap di sana. Karena semua persiapan untuk judul terbaru kami berlangsung di Manhattan.
Dia membukakan pintu mobil di sebelahku. Dan menggamit tanganku keluar dari sana.
"Kau kedinginan?" dia bertanya dengan senyum kebanggaannya. Ah, aku selalu merasa istimewa jika dia sedang berusaha memperlakukanku.
Aku mengangkat bahu, "Keramahan orang tuamu sudah menghangatkanku."
"Sudah kubilang, kan?"
Dia membawaku ke apartemennya. Ya, ini kusebut pulang. Aku merasa aman dengan Jullian. Setidaknya dia tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang jangan.
Aku membelesak di sofa. Dia mengikuti. Lalu memegangi tanganku.
"Istirahatlah. Kau harus berlatih untuk besok," kataku memandanginya. Masih bersandar nyaman di sofa.
"Hei."
"Hmm?"
"Bagaiama kalau pernikahannya pertengahan musim gugur?"
"Menurutmu begitu?"
"Ya. Aku sudah membayangkan dekorasinya."
"Akan seperti apa?"
"Istimewa tentunya."
Aku memegangi jemarinya. Merasakan urat-urat nadi yang muncul. Membuat tangannya yang putih itu terasa indah.
"Apa kau begitu ingin menikahiku?" aku bertanya.
"Kau sungguh ingin tahu jawabannya?"
"Yeah, dan kuharap jawabannya tidak."
Dia tersenyum lebih lebar, "Kenapa?"
"Karena jawaban iya sudah terlalu mudah untuk ditebak."
Dia balik mengelus tanganku. Memandangiku sesaat, lalu, "Hei," suaranya pelan. Menyibak kelelahannya yang bisa kupahami sekali. Dia sudah bekerja keras untuk perannya kali ini.
"Hm?"
"Terimakasih."
"Untuk apa?"
"Kau sudah sangat baik mau menemui orang tuaku. Aku sangat mengapresiasi."
Aku mengangguk dengan sedikit kerjapan, "Itu yang kau inginkan bukan?"
"Dan mereka sangat menyukaimu."
"Mungkin itu karena kau selalu meninggikanku di depan mereka. Atau kau membuat mereka over dosis mendengar cerita tentangku darimu."
"Tidak, tidak." Dia menggeleng, "mereka menilai dari apa yang mereka lihat."
"Menurutmu begitu?"
"Yeah," dia mengangguk yakin. "mereka juga tidak sabar untuk segera berdiskusi dengan keluargamu."
Aku menyimaknya.
"Mereka sudah tahu tentangku, kan?" dia bertanya.
"Ya, aku pernah bercerita tentangmu, beberapa kali."
Wajahnya terlihat bahagia. "Dan mereka sudah tahu selama ini kau tinggal di sini? Untuk beberapa minggu ini maksudku. Ya, setidaknya kau harus memberitahu."
"Ya. Tentu. Ini hal yang sangat perlu mereka tahu."
Jullian menarik tanganku dan meletakkan bibirnya di punggung jemariku. "Tidurlah. Kita berangkat pagi sekali besok." Dia berdiri dan hendak beranjak ke kamarnya.
"Jullian," panggilku. Dia menoleh sigap. "Sebenarnya besok aku harus ke Chicago."
Dia menyudutkan alis, "Besok? Untuk apa?"
"Tadi Mandy menelepon, dia bilang sudah ada tumpukan surat di pintu kamarku. Kau tahu, tagihan, majalah, buletin, dan mungkin beberapa kartu pos. Dan ada baju-bajuku yang perlu kuambil. Dan kostum itu, yang kubicarakan denganmu tempo hari. Aku memerlukannya untuk tampil nanti."
"Ouh."
"Jadi-."
"Akan kuantar."
"Tidak," aku menggeleng, "maksudku, lebih baik kau ikuti latihannya. Itu jauh lebih penting. Lagi pula sesi latihanku sudah beres. Um, masih ada beberapa. Tapi mereka menundanya."
"Kau serius bisa pulang sendiri?"
"Jullian, aku bukan anak-anak."
"Ya tetap saja aku perlu memastikan keamananmu."
"Aku sudah pernah melakukannya, oke?"
Dia diam sedang menimbang-nimbang. "Bagaimana kalau kau meneleponku tiap satu jam sekali?"
"Tidak masalah."
Dia masih terlihat mempertimbangkannya meski aku berusaha membuatnya yakin.
"Baiklah. Kalau kau tidak meneleponku, aku yang akan meneleponmu."
Aku mendekat sampai memeluknya, "Aku akan baik-baik saja."
***
Jullian adalah orang yang paling perfeksionis yang pernah aku temui. Dia memiliki obsesi dengan detil dan hebatnya lagi dia juga punya akurasi yang bagus. Aku tidak tahu ada orang yang bisa seperti itu sebelum betemu dengannya. Mungkin di luar banyak, aku hanya baru menemukannya saja.
Dia selalu memastikan semuanya jelas. Simetris. Makanya tak heran rumah ini sangat rapi. Tak ada buku yang ditata acak. Semua ditata sesuai dengan warna yang sama. Dia tak akan membiarkan sebuah gelas bekas minumnya kotor lebih dari ... entahlah, dia selalu membersihkan apa saja setelah digunakan dan mengembalikannya ke tempatnya lagi. Itu membuatku kadang jadi mengikuti kebiasaannya. Bagus, bukan?
Dia juga bukan tukang protes. Dia tidak akan mengomel meski aku membuat remah-remah makanan jatuh di sofanya. Melainkan dia akan memunguti remah itu saat aku makan sekalipun. Dia mengumpulkan remah-remah itu di tangannya sendiri dengan wajah yang tak akan membuatmu tersinggung.
Keputusan melupakan tak semudah itu. Karena masalahku adalah tentang apa yang harus aku sesali cukup lama. Ini sudah bertahun-tahun sejak saat itu. Jullian lebih layak mendapat kesempatan atas perhatianku dari pada aku yang harus terus menerus menyalahkan diri sendiri.
Aku tiba di Chicago nyaris tepat pukul tujuh malam. Setelah membayar taksi, aku merogoh kunci di tas dan membuka pintu apartemen. Mandy tidak tahu aku akan datang. Makanya dia sangat terkejut saat melihatku masuk. Dia adalah perempuan tua yang sangat gemar merajut. Bahkan kali ini, kulihat dia sedang sibuk dengan benang-benang seperti biasanya.
"Astaga! Kau bahkan tak mengabariku akan pulang, Rea!"
Aku bercericip seperti anak burung. Berjalan mendekat sampai suara sepatuku terdengar mengetuk di lantai parketnya. "Kau terlihat lebih muda dan cantik, Mandy!" seruku meledek. Ya, sebenarnya dia berusia enam puluh tahun. Aku memeluknya erar-erat. Mencium kedua pipinya yang keriput. "Dan sangat seksi."
"Ya, aku tahu semakin tua tubuhku semakin menawan. Seperti yang pemuda itu katakan padaku. Oh, dia sangat tampan."
"Jangan bilang sekarang kau punya pacar laki-laki muda!" aku meledeknya lagi.
"Apa? Aku tidak. Kukira itu malah selingkuhanmu. Dia mondar-mandir ke sini menanyakanmu. Tiap hari."
"Pasti dia yang membuat kotak surat di pintu kamarku penuh?"
"Huh, itu orang yang berbeda."
Mandy meletakkan pekerjaannya di meja. "Aku akan ke dapur mengambil piring, sendok, dan pisau. Hidungku berkata kau membawa pai apel untukku."
"Oh, Mandy!" dia benar. Aku membeli pai apel di kedai bakeri paling terkenal di kota ini. Itu kesukaan Mandy dan aku.
Alasan aku ingin pulang salah satunya adalah Mandy. Dia sudah seperti nenekku sendiri sejak aku tinggal di sini. Apartemen ini miliknya. Empat kamarnya di sewa oleh orang-orang sibuk yang mempunyai lebih banyak waktu di ruang kerjanya. Termasuk aku. Membuat apartemen ini terkadang hanya dihuni oleh Mandy seorang.
"Kau tidak mengajak pacarmu? Aku melihatnya di iklan mesin pembuat kopi tadi siang. Dia terlihat tampan di televisi," katanya saat aku kembali dari mengganti baju. Mandy sedang memanaskan dua botol susu segar di panci. Punggungnya sedikit bongkok.
"Kau melihatnya?" tanyaku sambil menyiapkan pai.
"Pasti bayarannya tinggi."
"Aku tidak tahu."
"Kau harus tahu penghasilannya kalau dia ingin menikahimu."
"Haruskah?"
"Itu nomor satu. Kedua, kau harus bisa memastikan kalau dia bisa memberimu anak. Anak yang banyak."
"Mandy!" pipiku memanas
"Jangan sepertiku. Hanya berhasil melahirkan Harry. Thomas bermasalah serius dengan prostatnya di saat aku ingin memberi adik untuk Harry. Imbasnya dia jadi infertil." Dia jeda menghela napas. "Dan sampai akhirnya Thomas meninggal, kami tidak bisa memberi adik untuk Harry. Menyedihkan tapi lucu."
"Kau bilang itu lucu?"
"Ya. Aku hanya teringat bagaimana kami bekerja keras untuk memberi Harry seorang adik. Apa saja kami coba. Siang dan malam."
Aku menutup kedua telinga dengan tangan.
Mandy tertawa, "Kau gadis yang manis kalau sedang begitu. Coba saja Harry belum menikah. Kau pasti sudah jadi menantuku."
Aku memutar bola mata. Dia nenek-nenek yang banyak bicara. Tapi aku menyukainya.
"Aku hanya sehari dua hari di sini," kataku saat sesi makan pai sudah dimulai. Ini pai apel terbaik yang pernah ada!
"Ya, sekalian saja kau pindah di sana."
"Aku tidak mungkin pindah ke sana."
"Memang seperti apa apartemennya? Sampai membuatmu betah sekali di sana."
"Mandy, ini bukan karena rumahnya atau Jullian. Hanya saja aku tidak mungkin harus menyewa tempat tinggal lagi selama latihan proyek terbaru kami di Manhattan. Berhubung Jullian menawarkan, dan aku tidak punya pilihan lain, kenapa tidak?"
"Bagus kalau begitu."
"Dan kalau kau ingin tahu seperti apa tempat tinggalnya, lihat saja tempat syuting iklan mesin pembuat kopi itu."
Mandy jeda mengunyah, "No Way!" tercengang. "Itu rumah pacarmu?"
Aku mengangkat bahu, "Dan tiap pagi aku menyesap kopi dari mesin yang diiklankan olehnya."
"Kau tidak memamerkan tubuhmu hingga membuatnya berlutut, kan?"
"Ya ampun, itu tidak mungkin. Jullian pria yang baik. Dan kalau dia menciumku apa itu artinya aku sudah memamerkan tubuhku? Uh, kau terlalu jauh."
Mandy tertawa, "Sudah kubilang kau itu gadis yang manis. Dengar, aku sudah bosan dengan laki-laki saat seusiamu. Bahkan saat tahun pertama SMA, aku sudah berhasil membuat anak laki-laki sophomore memanjat rumah untuk menggapai jendela agar bisa menyelinap ke dalam kamarku."
"Uh," aku memutar bola mata. "Budaya di negara kita berbeda, Mandy."
"Aku bahkan tidak yakin kau punya pacar saat SMA."
"Hei! Tentu aku punya."
Seketika rasanya getir. Seperti terhisap kembali pada gerbong masa lalu saat wajahnya terlintas sejenak untuk sekian lama menghilang bahkan dari dalam memori terdalamku.
"Kau baik-baik saja? Kenapa melamun?"
"Eh?" sadarku. "Um, ya, aku baik-baik saja. Hanya saja, aku sudah kenyang dan sangat lelah."
"Oh, sayang. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud."
"Kau tak perlu minta maaf, Mandy. Tak ada yang salah. Aku hanya, benar-benar lelah."
Mandy meneliti wajahku dengan tatapannya yang dalam. "Kau tidak baik-baik saja. Seperti kalimatku tadi baru saja membangkitkan kembali sesuatu yang sudah mati."
"Percaya padaku."
Untuk beberapa saat kami hening. Sampai akhirnya suara beep-beep truk pengangkut sampah terdengar di luar.
"Aku harus mengeluarkan kantong sampah itu." Mandy berdiri.
"Tunggu. Kau duduk saja. Biar aku yang mengeluarkannya."
"Kau sedang capek."
"Tidak untuk membiarkan seorang perempuan tua kerepotan."
Dia meringis, "Terserah kau saja," ujarnya sebelum kembali duduk dan lanjut memakan pai.
Aku lantas berjalan ke bagian belakang rumah. Dan ternyata ada dua trash bag besar yang penuh dengan sampah! Aku mendengus melihatnya. Baiklah, akan aku lakukan.
Aku berhasil membawa satu kantong pertama ke luar. Namun sayangnya mobil itu sudah melewati rumah apartemen kami dan sedang menguras tong sampah di rumah ketiga dari sebelah apartemen kami. Rr!
"Heii! Kau melewatkan ini!" aku berteriak pada petugas sambil melambai-lambai. Entah karena headphone yang sedang dipakai petugas itu memutar musik keras atau suaraku yang kurang kencang. Petugas itu hanya menoleh dan membalas lambaianku dengan senyum. Mengesalkan. Aku lalu mencobanya sekali lagi, dan itu berhasil. Mereka mau menungguku mengambil satu kantong lagi.
Saat berhasil mengeluarkan yang satunya keringatku sudah bercucuran. Napasku luar biasa cepat. Ini seperti olah raga angkat beban di malam hari. Aku mulai putus asa melihat dua kantong besar itu. Mendesah. Tapi kalau tidak aku lakukan dua kantong sampah ini harus menunggu lima hari berikutnya. Mereka pasti akan membusuk dan menimbulkan protes dari tetangga.
Baik!
Aku mengangkat kantong yang pertama. Tergopoh-gopoh. Rasanya lebih berat dari sebelumnya. Mungkin karena tenagaku sedang terkuras dan aku harus membawanya lebih jauh lagi karena kurang ajarnya , petugas itu sudah berada di rumah kelima.
"Heeii!" teriakku.
Petugas itu melihat dan malah mengacungkan jempol. Memberi isyarat kalau mereka akan menunggu. Apa susahnya buat mereka memundurkan mobil besar itu?
Saat akhirnya sampai di sana. Aku benar-benar kesal. "Excuse me, Sir. Apa kau terlalu susah untuk memundurkan mobilmu kembali? Atau setidaknya membantu seorang perempuan membawa benda berat ini? Kau bahkan tidak menungguku di rumah itu. Kurasa kami sama-sama taat membayar pajak."
"Aku sudah menunggu lima menit dan kau belum mengeluarkan kantong-kantong itu."
"Apa kau pikir perempuan punya tenaga yang cukup banyak untuk mengangkut dua kantong besar yang berisi sampah?"
Dia mendesah.
"Akan kupastikan atasanmu mengajarimu lagi tentang bagaimana melayani masyarakat. Kami punya nomor telepon orang-orang itu." Aku marah.
Lalu terdengar benda berat dijatuhkan di belakangku, "Ini kantong yang satunya lagi," aku menoleh pada sumber suara, dan terkesiap. "Lain kali kami akan melaporkanmu."
Aku segera membalik badan ke arah petugas. Yang acuh tak acuh menaikkan kedua kantong sampah itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ya, petugas itu sempat meminta maaf dengan tanpa ikhlas. Itu pun karena diminta oleh sosok pria yang tadi membantu mengangkat kantong sampah yang satunya lagi. Dia ... dia membuat napasku semakin sesak. Rasanya seperti baru saja ditambah berlari mengelilingi Chicago satu putaran penuh.
Aku tak berdaya jika harus berbalik melihat sosoknya lagi. Lalu aku berjalan cepat melewatinya untuk pulang.
Tapi ...
Nafis yang berlangkah jenjang dengan cepat menyelaraskan langkahku.
"Pelan-pelan," katanya.
Aku tak menghiraukan. Terus berjalan.
"Pelan-pelan atau napasmu akan semakin susah," cegatnya meraih tanganku sampai menahan.
Aku menghentak pegangannya dan berani menghadap. Dadaku tak terkendali. Napasku sengal dengan tempo yang tak beraturan. Aku melihat wajahnya. Dia. Kenapa dia ada di sini? Apa benar orang ini adalah dia?
Dengan tanpa sopan, tangan kirinya merangkul pundakku seperti seorang 'bro'. "Kalau capek, nggak bagus semisal buru-buru. Kardionya bisa bermasalah," dia berkata seraya berjalan sambil merangkulku.
Aku tak bisa bicara. Aku bahkan nyaris tersandung saat tak bisa konsentrasi berjalan. Tubuhku kaku. Tanpa sopan lagi dia memegangi pundakku hingga seimbang. "Lihat? Kalau kamu buru-buru, bahkan jalan yang rata seperti ini pun bisa bikin kesandung. Konsentrasi."
Dia mempermainkanku.
Aku masih tidak bisa bicara saat sampai di trotoar depan tangga kecil apartemen. Dia berdiri di depanku membelakangi pohon mapel yang hendak menguning. Kami benar-benar berhadapan. Kurang ajarnya dia berekspresi sangat santai. Seperti tidak ingin tahu kalau aku sangat kacau detik itu. Kesal. Marah. Dan tidak tahu sensasi apalagi yang aku rasakan.
"Masuk ke dalam. Di luar dingin banget. Aku menyewa kamar di apartemen itu. Tepat berhadapan dengan rumah besar ini." dia menunjuk apartemen Mandy. "Tadinya mau nyewa di sini juga. Tapi sudah penuh."
Lalu tanpa berbasa-basi lagi dia menepuk pundak kiriku seperti seorang 'bro'. "Aku balik dulu. Deket cuma nyeberang jalan ini aja. Nggak jauh-jauh," katanya seperti idiot.
Dia berbalik menuju tepi jalan raya. Tapi anehnya tetiba saja dia berbalik dan berjalan ke arahku seolah ada sesuatu yang kelupaan. Lalu tanpa sopan dan terlalu mengejutkan, dia mendaratkan sebuah kecupan lembut di pipiku, sampai sebuah bulu halus didagunya menyentuh kulit pipiku. Aku nyaris hilang sadar. Aku tidak menghitungnya, tapi dia bertahan di pipiku selama kurang lebih lima detik.
Ya Tuhan! Orang ini benar-benar tidak sopan!
Ya Tuhan! Kenapa aku masih tidak bisa bicara!
"Selamat malam," dia mengangguk. Menepuk pundakku lagi. Lalu enyah menyeberangi jalan raya yang tidak terlalu ramai mobil melintas hingga dia memasuki rumah besar di seberang, tanpa menoleh sekalipun.
Saat pintunya tertutup aku seperti baru tersadar. Seolah baru saja diterbangkan ke sebuah alam yang melampaui kesadaran. Aku menengok kanan kiri. Tidak ada seorang pun selain dua orang pribumi yang sedang tertawa di luar pub. Lunglai, lutut gemetar, aku menyeret langkah menaiki tangga kecil hingga ke pintu. Menoleh ke belakang sekali lagi dan tidak menemukan apa pun.
Apa itu tadi?
Apakah sebuah delusi?
Aku memastikannya dengan menyentuh pipiku. Tidak ada bekas apapun. Tapi terasa sekali. Dan kulitnya masih menyimpan memori beberapa saat yang lalu. Ini sungguhan?
Aku buru-buru menutup pintu. Menguncinya. Bersandar sebentar di pintu karena masih bingung cara melarikan diri dari kejadian tadi itu bagaimana. Memegangi kedua pipiku yang panas. Telingaku juga. Dan sebelum benar-benar kemungkinan pingsan, aku lari terbirit-birit ke kamar. Tidak menghiraukan Mandy yang memanggil-manggil.
Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur. Terdiam. Merangkai entah apa itu di dalam kepala. Ponselku berdering sampai membuatku terkejut. Jullian menelepon.
"Sayang?" dia membuka.
"Hah-hah-hal-hallo?" bodoh.
"Wait. Honey, are you okay?"
"Um, yeah. Um, I'm okay."
"Kau tidak terdengar baik-baik saja. Apa terjadi sesuatu yang buruk."
Mulutku terbuka lebar, "Oh, tidak, aku baik-baik saja. Aku hanya habis mengangkut dua kantong sampah keluar. Ya. Jadi napasku lumayan sengal. Kau ... huh ... tidak perlu khawatir."
"Kau yakin?"
"Ya, sangat. Semuanya dalam kendali."
Aku mondar-mandir menyisir rambut dengan jemari. Lalu menggigit kukunya gugup.
Hening sesaat. Aku takut Jullian akan semakin khawatir.
"Okey," ucapnya kemudian.
"Bagaimana latihanmu hari ini?"
***
Aku terbangun pukul delapan pagi. Kesiangan dan belum sempat mandi, padahal semalam aku berencana berendam dengan air hangat sampai tertidur.
Aku menjauh dari tempat tidur menuju cermin. Perempuan yang terlihat lebih cantik saat bangun tidur itu hanya mitos, atau lebih tepatnya hanya bualan dari laki-laki saja. Lihat, rambutku acak-acakan seperti gelandangan.
Saat aku sedang menyisir, terdengar suara tawa di lantai bawah. Suara tawa khasnya Edmund yang kata Mandy pulang kemarin juga, tapi ia langsung tidur. Tapi aku yakin Edmund hanya sedang menelepon istrinya saja yang di Berlin.
Aroma masakan dari dapur Mandy menggodaku untuk turun. Mungkin bergabung dengannya akan membuatku lebih baik. Saat di tangga, kulihat Edmund sedang melakukan panggilan Skype dengan istrinya. Dia puas sekali berbaring di sofa sambil memangku sebuah laptop.
"Pagi, Ed," sapaku.
Kepalanya menoleh, "Hei, Rea. Kau sudah pulang?"
"Yeah."
"Bagaimana dengan penerbangannya?"
"Tubuhku masih utuh sampai sini."
Dia tertawa keras. Lalu kembali dengan laptopnya dan tanpa ditanya mulai menjelaskan karena tadi istrinya seperti bertanya Edmund berbicara dengan siapa.
Aku lantas lurus ke dapur. Terdengar Mandy tertawa sambil memasak. Aku yakin dia pasti sambil menonton serial di tv. Hanya saja dugaanku kali ini salah besar. Ada seseorang yang sedang menemaninya masak.
Aku segera bersembunyi di balik tembok saat menyadari begitu cepat bahwa itu sosok semalam. Nafis?
"Coba kulihat fotonya lagi," terdengar Mandy berbicara.
"Usap saja layarnya kalau kau ingin melihat yang lainnya."
"Ooh, Ya Tuhan. Dia benar-benar gadis yang manis. Kalian punya foto berdua?"
"Usap saja, nanti akan kau temui."
... "Oouh, kenapa kalian manis sekali!"
Pria itu tertawa sederhana, seperti bangga, "Itu ketika kami masih SMA."
"Ya, ya, itu seragam kalian."
"Omong-omong, apa dia belum bangun?"
Jantungku mendadak kacau.
"Biasanya dia bangun lebih awal. Mungkin masih kelelahan."
"Boleh aku membangunkannya."
"Tentu. Cari saja kamarnya. Dia menaruh ukiran papan nama di pintunya. Aku akan menyelesaikan omelet ini."
Mandy!
Dan jantungku seperti tak terkendali lagi saat telapak kakiku merasakan ada yang sedang berjalan mendekat.
---o0o---
Bagaimana perasaanmu jika di posisi Rea?
Silakan berkomentar.
Chapter 32 bakal seru banget. Tapi nggak akan diunggah sebelum chapter ini mencapai 350 votes.
Selamat patungan.
Saya tunggu yang mau ikutan Giveaway.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top