Chapter - 30 A : Bicara Serius

***

Baca Dulu:

⚠ chapter ini belum lolos edit, mohon dimaklum dengan typo ⚠

Maaf sebelumnya karena waktu unggah tertunda terus. Chapter 30 sebenernya panjang, makanya saya bagi dua. Mulai Chapter 30 sudah tidak ada lagi kisah yang remaja. Tapi sisanya bakal terus diselipin kisah2 yang terpotong di chapter dewasa. Karena ada bagian yang masih terpotong. Mohon maaf untuk typo yang belum diedit karena saya tidak punya banyak waktu untuk melakukannya. Chapter 30 B, akan diunggah setelah sudah menyentuh 320 votes. Saya sangat menyempatkan unggah chapter di tengah-tengah kesibukan. Jadi, mohon untuk menghargai usaha saya. Terimakasih.

***

10 tahun kemudian

🎹Alex Dewasa🎹

Kamu tidak akan bisa mengenali siapa pasanganmu dengan sejelas-jelasnya sampai akhirnya kalian hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Dan itu mungkin yang akhirnya Lou alami setelah kami menikah. Saya memang enggan banget sama bau kentut. Pencernaan saya langsung kacau kalau mencium bau semacam itu. Indra penciuman saya memang lumayan sensitif dan kurang toleran dengan aroma yang menjijikan.

Tapi bagi saya sendiri menemukan hal baru dari pasangan setelah menikah itu menyenangkan, atau kata yang lebih tepatnya mengejutkan.

Mempertahankan hubungan selama itu hingga sampai pada keputusan menikah tidaklah mudah. Banyak banget yang sudah saya lalui bahkan untuk bisa memiliki Louisa. Kami sudah melewati banyak sekali tanjakan cemburu, lipatan rindu yang begitu kusut, dan mengacungkan perlawanan versi kami pada siapa saja yang berusaha memisahkan. Setia bukanlah isapan jempol belaka. Saya sendiri sudah menyaksikan kisah-kisah kesetiaan sepanjang saya hidup. Kesetian Ayah pada Ibu yang susah dikaruniai keturunan sampai akhirnya datang kehamilan di tengah-tengah mereka. Kesetiaan Mama mertua ke suaminya yang dulu sempat terguncang kuat. Iya, saat itu, saat sebenarnya saya sendiri kurang mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi kesetiaan yang berusaha saya sendiri perjuangkan.

Menjadi bagian mengagumkan dari hidup seseorang sangatlah berkesan. Saya sempat berpikir bahwa masa lalu akan memiliki efek belenggu yang mengekang hingga selamanya. Tetapi, ternyata itu bergantung pada bagaimana saya menindakinya. Kehadiran Mas Alif saat itu nyaris membuat saya kehilangan Louisa. Itu tidak mudah. Itu bukan urusan yang sederhana. Dan itu bukan hal yang patut diabaikan oleh laki-laki seperti saya yang ingin memiliki Louisa. Saya tergila-gila ingin dia. Saya mencintai dia dengan candu yang nyaman. Intinya, siapa saja yang ingin mengambil dia dari saya, tolong ingatkan, di sini ada saya, orang yang tak patah arang melakukan apa saja untuk memperjuangkannya.

"Kita jadi datang ke undangan keluarganya Om Zaryn?" pagi itu saya bertanya ke Louisa. Dia sedang menyiapkan panekuk di piring, menyiramkan sirup maple di atasnya, dan memotongnya kecil-kecil sebelum menyuguhkan hidangan itu pada saya, dengan sebuah ciuman kecil tentu. Lalu dia berjalan ke belakang kursi dan membetulkan kerah saya.

"Mama pastinya berangkat sih, Yang. Ya nggak enak juga kan kita udah diundang."

"Jadi?"

"Ya harus datang. Lagian terakhir kita ke sana kan udah lama banget, lima tahunan deh kayaknya. Eh, bener nggak sih?"

"Oh yang waktu itu," saya mengunyah satu potong panekuk. "Nafisnya bakal pulang juga nggak ya?"

"Memangnya kenapa? Kalau mau ketemu tinggal main saja ke kafenya. Kamu sama dia kan sama-sama sibuk di bidang yang nyaris sama. Dia waktu main ke sini juga bilang gitu kan? Yang pas ngajak kamu proyek gabungan itu."

"Iya, udah seminggu ini nggak ketemu dia. Nanti malam minggu mampirlah ke sana."

"Main aja. Ini akhir bulan jatahnya dia manggung, pasti ada."

"Mau ikut nggak?"

"Pengennn, tapi kan Mama mau ke sini lusa. Masa iya mau diajak ke kafe juga."

"Biarin, nanti biar ada kisah Mama mertua ajojing sama mantu."

Louisa tertawa.

"Suraya ikut juga?" saya bertanya.
Ketika Suraya datang bersama Om Iyus dulu, memang itu sangat mengguncang keluarga kami. Ya bagaimana tidak? Pulang dari Brunei Om Iyus membawa anak kecil yang cantik, manis, menggemaskan dan tak tahu apa-apa. Hampir saja keberadaan Raya membuat orang tua Lou bercerai. Saya tahu itu juga tidak mudah buat Lou. Saya dulu udah kayak apa pontang-panting merjuangin supaya Lou tidak terluka terlalu parah. Dia sangat kacau saat-saat itu. Jika ada di antara kalian yang tahu rasanya ketika melihat kedua orang tuanya bertengkar, hampir bercerai, atau bahkan bercerai, hei, Lou juga paham bagaimana rasanya itu. Sulit. Saya sendiri yang selalu berusaha mendampinginya.

Suraya yang dibawa pulang dari Brunei bukanlah anak Om Iyus, dan di sinilah letak kesalahpahaman besarnya. Bahkan keluarga sah Raya dari Tegal sempat hendak membawanya, tetapi tidak diperbolehkan oleh Om Iyus sebab sudah menyanggupi untuk membesarkannya.

(*tentang Suraya akan ada sesi khusus yang menjelaskannya nanti)

...

Malam itu tiba, dari kantor saya bertandang ke Meraki. Tetapi rupanya Nafis belum juga datang ke kafenya itu. Akhirnya saya menunggu di di tempat nongkrong yang letaknya berseberangan dengan Meraki. Saat saya melihat mobil Nafis masuk ke lot parkir, saya baru pergi menyusul, tetapi tidak menyapa, sebab dia terlihat sangat buru-buru sekali malam itu.

Tanpa menunggu terlalu lama, saya yang duduk di pojokan sudah melihat Nafis membuat sambutan di depan sana. Namun, saya sedikit terkejut waktu Nafis seperti kehilangan arah fokusnya pada seseorang yang baru masuk kafe tak jauh dari pintu. Seorang perempuan berpakaian tertutup ditemani laki-laki muda. Ia berdiri menatap Nafis, dan sebaliknya Nafis pun sama melakukannya.

"Terimakasih sudah mampir," kurang lebih itu kalimat yang saya ingat dari mulut Nafis.

Lagu demi lagu dimainkan dengan pas. Saya senang ketika Nafis bilang mau ngajak anak akustik di SMA untuk tampil di Meraki. Sebagai seseorang yang pernah jadi ketua angkatan ekskul saya merasa wajib mendukung mereka dengan menghadiri acara ini.

Entah lagu ke berapa saat saya melihat Nafis berjalan ke kursi di mana perempuan yang tak saya kenali itu duduk. Mereka mengobrol. Suaranya tak terdengar dari jangkauan saya. Nafis menunduk, enggan, entah seperti canggung, tapi sebaliknya perempuan anggun itu berbicara cukup tenang dan seperti sudah sangat kenal sejak lama.

Saya berusaha untuk tidak penasaran pada mereka. Meski sempat saya kirim foto ke istri siapa tahu dia kenal, tapi, sudahlah. Siapa tahu dia teman masa kuliahnya, atau siapapun itu.

Pengunjung Meraki semakin banyak, kehangatan mulai terasa, dan riuh pendatangnya malah terasa hangat dan terkendali. Jujur, Nafis berhasil menyulap kafe yang kadang bercap buruk menjadi sebuah tempat yang sangat nyaman bahkan untuk orang yang tipikal seperti saya. Rumah yang tepat untuk akustik dan penganut musiknya.

Mungkin sekitar satu jam mereka berbicara. Karena setelah itu saya lihat Nafis berdiri dan mengantar dua orang itu ke arah pintu. Dia sempat melihat ke arah saya sementara saya pura-pura tidak melihatnya.

"Bro," suara berat Nafis menghampiri saya. Dia terlihat eksekutif dan tinggi. Berbadan bagus. Tampak sehat. Semakin teduh dan sendu. Saya tahu, bahwa tentang seseorang yang sangat dia cintai belum juga usai di persidangan hatinya. Memang sering ngajak saya ke gym tapi sayanya yang malas. Malah Louisa juga senang mendebat kalau saya nggak mau diajak Nafis. Tapi Nafis orangnya tak begitu memaksa. Dan saya lebih memilih renang dari padi melipir ke gym. Tapi dua atau tiga kali pernah lah saya sama Nafis pergi bareng ke sana. Itu pun kalau mood saya sedang bagus.

"Hei," jawab saya. Kita salaman sebelum Nafis menarik kursi.

"Udah lama di sini? Kamu nggak mesen sesuatu?"

"Belum. Lebih keren kalau pemilik kafenya yang masuk ke dalem, dan bawain menu yang paling istimewa."

Dia hanya tersenyum kecut. Lalu memanggil pekerjanya dan menunjuk sesuatu di buku menu.

"Itu tadi siapa?" saya bertanya.

"Orang."

"Iya, aku juga tahu itu orang."

Dia berdehem, kemudian secara mengejutkan dia mengambil sebatang rokok dari saku celananya, dan menyalakan. Beberapa detik kemudian asap putih mengepul dari bibir tipisnya itu, yang menurut saya aneh dan nggak pantas sama sekali. Dia mirip sekali dengan ayahnya, bahkan dari segi postur dan cara tubuhnya berbahasa.

"Asli?"

"Apaan?"

"Sejak kapan kamu ngebul gini?"

"Tadi."

"Kenapa?"

"Pengin aja. Katanya bisa nenangin stres." Tak berselang lama setelah mengatakan itu, dia terbatuk-batuk bahkan sampai matanya memerah. Oke, saya menyimpulkan mentalnya seperti sedang kurang waras, wajahnya layu, seperti kurang tidur, banyak pikiran, dan memaksakan untuk terlihat baik-baik saja.

Dengan segera dia melempar batang rokok yang masih menyala itu ke lantai. Dia menginjak bara apinya. Emosi. Dia sedang tidak baik. Saya tahu Nafis tidak merokok.

"Ada apa?"

Dia menggeleng.

"Aku main ke sini biar punya temen ngobrol santai," kata saya. "tapi kalau kamu kayak gini ya mending aku balik aja."

"Sori."

"Lagi nggak asik?"

Saya membiarkan dia merenung beberapa saat. "Jangan balik dulu, Lex."

Gue mengangguk berkali-kali. Seseorang datang membawa dua cangkir moka.

"Lo pernah mikir nggak, kalau orang yang lo kira udah ngilang ditelan waktu tiba-tiba balik lagi?" ujarnya. Sedikit memaksakan senyum meskit getir. Cara dia mengubah pronoun yang tiba-tiba menandakan obrolan ini akan berlangsung lebih lama dan cukup serius.

"Secara bahasa orang yang sering diulang-ulang, ya pasti ada. Tapi kan gue bukan termasuk orang yang punya banyak kenalan nama di masa lalu. Sebut saja, satu-satunya orang yang dari masa lalu yang terseret-seret sampai sekarang, dan mungkin nanti hingga ajal, ya istri gue, Louisa."

"Tapi intinya lo yakin misal hal yang gue sampaikan tadi terjadi?"

"Ya."

Dia mengangguk.

"Cewek yang tadi itu."

"Ya?"

"Orang yang pernah gue taksir dulu. Sang pemikil 'Konstelasi Rindu'."

"Siapa? Ya gue nggak tahu lo pernah naksir siapa aja."

"Dulu waktu SMP gue pernah naksir cewek. Tapi cewek itu abai. Gue ditinggal pergi pas lagi naksir-naksrinya. Masih bocah juga, jadinya nggak begitu berarti buat gue."

"Terus?"

"Ya itu orangnya."

"Mau ngapain dia datang kemari?"

Tatapannya mendadak tajam dan dingin, sebelah bibirnya tersungging, "Tebak."

"Meminta supaya lo ngawinin dia?"

"Gila aja!"

"Kan gue nggak ngerti, dan ini hanya tebakan."

"Dia cuma mau mampir."

"Dan? Ceritanya yang panjang sekalian. Nggak perlu irit-irit. Lo kayak lagi ngobrol sama siapa aja."

"Cowok yang sama dia itu tunangannya."

"Bentar, bentar. Cewek itu namanya siapa?"

"Maya. Cowoknya itu Davis, dia pernah sekelas sama gue dulu waktu kelas sebelas."

Ini membingungkan, "Maksudnya gimana? Cewek itu lo taksir pas masih SMP, yang artinya dia ada di Jateng, kan? Terus mau tunangan sama ...."

"Davis."

"Davis yang pernah satu SMA sama lo di sini."

"Ya, siapa yang mengira? Kalau sudah jodoh pasti bakal diketemukan entah dengan alasan apa saja. Jarak dan waktu tidak akan jadi penghalang bagi Tuhan untuk melancarkan rencananya. Mereka ketemu di tempat kerja."

"Cuma mau mampir saja?"

"Iya."

"Terus apa yang membuat lo jadi 'kayak gini'?"

"Entah. Gue cuma tiba-tiba kesel ketika melihat orang yang berhasil dengan percintaannya."

Saya nggak ingin menghakimi ini, karena kalau saya bilang bahwa Nafis nggak perlu mikirin soal ini, itu malah nggak bener. Kenapa? Karena memang dia udah pantas sekali untuk memikirkannya. Dia tak perlu pusing-pusing memikirkan karir lagi. Dia sudah menyentuh puncak. Letihnya sudah sampai pada titik jenuh. Dan memang hanya urusan percintaan yang belum dia dapatkan.
Ketika saya tak berkomentar apapun, ponsel Nafis berdering. Dia tersenyum menatap layarnya.

"Halo, bentar lagi ya? ... iya, ini lagi sama Alex."

Singkat saja dia kembali memasukkan ponselnya.

"Adik lo?"

Dia mengangguk.

"Dia lagi manja baget." Anehnya, ekspresi dia menjadi baikan ketika sudah ditelepon adiknya. "Mungkin kayak gue dulu kali, ya, waktu pertama pindah ke Jakarta buat sekolah. Adik gue maunya sama gue terus. Manja parah."

Saya tertawa sedikit, sebenarnya karena saya merasa lucu dengan cara orang ini menghadapi emosinya. Mudah tersulut, mudah pula meredup.

"Yang kemarin sakit itu kenapa?"

"Iya, dia punya maag, tapi ngeyel minta buah macem-macem. Marah kan gue. Tapi ya dia malah makin manja kalau gue kerasin. Kudu dilemesin tapi takut nggak bisa mandiri dianya."

"Ajak main gih ke rumah. Biar dia ngobrol sama Lou. Lagian di rumah lo cuma ada pembantu doang, kan?"

"Kapan-kapan deh gue mampir ke sana."

"Nasywa udah mulai masuk SMA?"

"Udah seminggu dia."

"Gimana?"

"Parah."

"Maksud lo?"

"Intinya gue sekarang tahu seperti apa ayah dulu ngadepin kekhawatirannya ke gue."

"Gue masih tetep belum ngerti."

"Dulu gue nggak suka dikekang sama Ayah. tapi sekarang rasanya sudah paham alasan kenapa ayah dulu gitu. Gue agak garis keras malah kalau soal Nasywa."

"Dia ambil ekskul apa?"

Nafis mendesah.

"Arahin ke akustik saja."

"Dia ambil ekskul jurnalistik."

"Tantangan buat bulan pertamanya apa?"

"Dia disuruh bikin sinematografi."

"Berarti masih seperti dulu. Oh iya, gue sama Lou ada rencana mau datang di undangan keluarga kamu. Peresmian pesantren putri kan ya?"

"Iya. Hadir saja. Gue juga ada rencana buat datang."

"Nasywa ikut juga dong?"

"Kurang tahu, takutnya dia nggak mau balik ke Jakarta misal diajak ke sana."

"Terus lo nggak dateng?"

"Ya dateng, cuman perlu bikin siasat. Besok-besok deh, gue ajak dia ke rumah lo ya. Kasih tahu Lou buat ngasih wejangan atau apa saja ke dia."

"Nasywa cuma perlu kakak cewek. Karena cewek akan lebih ngerti kalau ngobrolnya sama cewek. Ibu kamu nggak mungkin ke sini kan? Segimana lo ngusahain buat mengerti Nasywa, lo itu tetep laki-laki, emosinya nggak akan sebegitu sabarnya buat dia. Cewek itu rumit."

"Mau bagaimana lagi? Gue kan cowok."

"Masa lo nggak ngerti maksud gue."

"Hum?"

"Cari kenalan deh. Atau mau gue kenalin seseorang?"

Dia menatap saya dengan tatapan ingin mengacuhkan. "Kenapa lo harus sangat peduli dengan urusan gue yang ini?"

"Lo menyedihkan," saya terus terang.

"Semenyedihkan apa?"

Saya berdecap, menyesap kopi, lalu sedikit mencondongkan badan ke meja, "Menurut lo?"

***

🎸Nafis Dewasa🎸

Menurut lo?

Kalimat itu menjadi pertanyaan yang berputar di dalam kepala. Bahkan sampai gue membuka pintu rumah dan memeriksa apakah Nasywa udah tidur atau belum, gue masih berusaha untuk seolah tidak terganggu. Tapi bagaimana pun jika gue menyangkal, kenyataannya gue memang sedih. Gue merasa ada lubang besar di dada, kosong, tanpa ada yang mengisi.

Saat berdiri di ambang pintu kamar Nasywa, gue melihat dirinya yang tengah terlelap. Alex bener, yang dibutuhkan Nasywa adalah figur cewek yang bisa diajak ngobrol, barangkali. Sesayang apa gue sama dia, tetep kadang emosi gue nggak bisa seimbang untuk mengatasinya.
Gue nggak tahu apa masalahnya, tapi adik gue seperti punya sesuatu yang nggak berani dia ceritakan ke gue. Dia lesu untuk bersosialisasi di sekolah. Cuman, suatu ketika gue mergokin status WA dia yang bertuliskan 'I hates boys!'. Itu yang membuat super perhatian gue lantas meningkat. Gue takut Nasywa kenapa-kenapa. Apa dia korban perundungan? Apa dia punya masalah dengan orang lain? Kenapa dia harus membenci cowok-cowok?
Paginya seperti biasa sarapan sudah tersedia di meja makan.

"Sayang, makan dulu, yuk." gue senang kali ini dia berwajah ceria. "Nanti pulangnya Mas jemput seperti biasa. Mau beli kamera, kan? Mas tahu tempat yang paling keren buat beli macem-macem alat jurnalistik."

"Pokoknya nggak mau tahu, aku ingin beli yang lengkap," dia menantang dompet gue. Senyum cerdasnya yang mewarisi Bunda sungguh manis.

Gue tersenyum tertantang. Dia belum tahu abangnya, "Siap!"

Nasywa itu beda sama gue dari segala sisi. Kadang gue malah sampai mikir kenapa kita bisa sebegitu berbeda, padahal masih 'seperindukan'. Bahkan, entah kenapa dia punya bakat kalau dewasa nanti bakal seperti Najwa Shihab, karakternya. Sama, Nasywa juga termasuk anak cewek yang kritis banget. Jujur ya, gue bakal mikir dua kali kalau mau berdebat sama dia. Dalam hal apapun. Dia seperti tahu banyak hal. Meski akalnya setajam itu, tapi dia tetep cewek banget, maksudnya, Nasywa punya perasaan yang lembut. Entah, kadang mengeras ketika dia memperjuangkan apa yang menurutnya benar, tapi dia punya kasih sayang yang nyaris seperti Bunda.

Sebenarnya Nasywa tidak begitu memberontak ketika diminta sekolah di almamater gue. Dia mengiyakan. Hanya saja, dengan jelasnya gue bisa melihat ada yang dia sembunyikan, terutama semenjak selesai MOPD.

Kalian tahu apa yang membuat cewek terlihat sangat superior di mata cowok? Yaitu ketika dia rapat menutupi auratnya. Lagi? Dia yang berakal tajam. Lagi? Dia yang tahu bagaimana mengatakan sesuatu. Lagi? Dia yang mudah memahami sehingga tidak sensi dalam berbagai hal. Lagi? Dia yang tak merepotkan. Lagi? Tak ada yang lebih indah selain cewek yang tidak gampang ngambek. Tahu nggak? Nasywa punya semua itu. Dia memang nggak gampang ngambek, tapi caranya menyembunyikan masalah supaya terlihat baik-baik saja membuat gue sebagai kakak laki-lakinya memijit alis. Gue mengkhawatirkannya hampir setiap menit.

Bagaimana gue bisa tahu kalau dia punya masalah? Tepat hari terakhir MOPD gue menjemputnya. Nasywa sedang berdiri di sisi gerbang, sendirian, jilbab panjangnya yang menjuntai sampai ke perutnya sedikit berkibar.

Gue menyalakan klakson. Dia mendekat ke arah mobil begitu tahu. Tapi cara dia menutup pintu mobil lah yang membuat gue seketika berfirasat lain. Serius, ada satu hal yang kalau dilakukan cewek ketika terluka itu selalu berhasil membuat cowok tertegun membisu, yaitu caranya menutup pintu. Bukan cuma pintu mobil, malah sepanjang jalan pulang dia tidur, dan membanting pintu kamarnya di depan gue.

Duh, rasanya melihat pintu ditutup sebegitu keras itu paling ngena di hati gue. Gue mungkin bisa mengatasi segala macam cara ngambek versi cewek, tapi tidak ketika dia membanting pintu. Itu seperti dia menutup seluruh dunia untuk tidak mendekatinya. Bahkan gue yang punya hak atasnya seolah terputus kesempatannya.

Cara cewek membanting pintu, itu paling ampuh membuat cowok kebingungan mau ngapain. Coba saja.

Waktu itu gue berdiri di depan pintu kamar Nasywa. Ragu-ragu hendak mengetuk. Tapi gue batalkan. Gue hanya meguping sebentar khawatir kalau dia lagi nangis atau ngapain. Tapi tak lama setelahnya yang terdengar malah suara murrotal Wirda Mansyur dari laptopnya. Dan sepertinya gue terlalu cepat menyimpulkan kalau Nasywa sedang baik-baik saja.

Setelah mengantar Nasywa, seperti biasa gue lanjut kerja. Dan menjelang asar Nasywa sudah sampai di kantor gue. Ngapain? Dia nggak mau dijemput, langsung nyusul ke kantor. Ya kadang-kadang aja gue jemputnya.

"Dek, mau sekarang aja belinya?" tanya gue.

Dia mengangguk. "Tapi nanti makan di luar ya?"

"Boleh aja," dia santai saja sambil menatap ke ponselnya.

"Okeh."

"Bawain jaket Mas, dong. Ini mau ke OB dulu."

Dia sigap nurutin permintaan gue dan segera turun. Sebenernya gue cuma mau ngontak Pian saja. Dia sedang di Jakarta, mumpung lagi ada libur katanya, jadi gue pengen ketemu.

"Pak Pengacara, ketemuan yok, ah," sapa gue sambil menuju lantai dasar dengan lift. Di seberang sana Pian tertawa. "Lo beneran udah pulang dari Jogja, kan?"

"Iya, sudah, gue balik ke UGM-nya lagi minggu depan."

"Kapan sidang tesisnya?"

"Bulan-bulan ini. Lo harus hadir pas gue sidang nanti, oke? kan waktu itu gue juga hadir pas lo sidang."

"Iya, kalem aja, boi. Asal lo siap ngasih bonus trip aja."

"Bisa diatur. Sekarang lo udah berangkat?"

"Ini sama adek gue mau berangkat. Lo langsung ke plaza aja deh, ya?"

"Nggak lagi buru-buru, kan?"

"Nggak, ini mau nganter adek gue beli alat jurnalistik dan lain-lain."

"Mau beliin yang lengkap banget?"

"Nggak tahu. Lengkap sekalian juga boleh, gimana anaknya aja nanti. Dia yang tahu. Sekalian hadiah buat dia yang ulang tahun minggu lalu."

"Gilak. Ultah minggu lalu baru dikasih kado hari ini?"

"Tambahan."

"Jangan terlalu dimanja. Nanti dia jadi banyak tuntutan ke suaminya. Hahaha."

"Adek gue justru nggak banyak meminta. Ini wujud dukungan dari gue aja."

"Oh, yaudahlah. Kabarin aja nanti. Oke?"

Nasywa sudah di dalam mobil saat gue selesai teleponan sama Pian.

Di supermarket gue cuma nurutin dia mau milih kamera yang kayak gimana. Tadinya dia mau beli satu barang saja. Tapi gue bilang supaya cari lagi barang-barang yang mendukung. Dan ... berangkat dari gue yang bilang begitu, akhirnya terbeli lima jenis barang. Fine! Ada kamera dengan resolusi terkece, tripod yang gede, polaroid sekaligus isinya, satu set pena, buku jurnal sampul kulit, dan semacam rompi.

"Yang salah siapa?" katanya ke gue ketika gue menggeleng ke barang-barang yang dia pilih.

"Ya silakan aja, kan Mas udah bilang mau beliin yang kamu perlu."

"Sebenarnya aku belum terlalu perlu semua ini."

"Tapi suatu saat akan perlu."

"Iyah."

"Yaudah sekalian aja."

Setelah dibayar gue ajak Nasywa ikut ketemu sama Pian sebelum pulang.
Pian ada di sana dengan sebuah laptop yang sedang dia operasikan. Tersenyum ke arah gue, namun saat itu fokusnya beralih ke arah Nasywa yang lagi berjalan di sebelah gue.

Dari sanalah, ada sebuah kisah baru bermula. Gue nggak tahu kenapa bisa terjadi, tapi itu urusan mereka, gue nggak ingin mempermasalahkan untuk saat ini. Entah penilaian gue bener apa nggak, tapi hal semacam zink itu hanya terjadi pada Pian. Sebab seperti yang terlihat, Nasywa tidak peduli dengan cowok-cowok.
Gue mencoba mengalihkan Pian dari fokusnya yang baru. Beberapa saat digunakan untuk saling menyapa. Gue juga berbasa-basi setelah cukup lama nggak ketemu. Nasywa sama Pian juga kenalan, tapi, ya, seperti itu.

Intinya gue tahu sekali, mana tatapan biasa saja dan mana yang tersirat rasa. Pian sekarang sendirian, maksudnya, sudah bertahun yang lalu sejak dia dan Hanum selesai.

***

Chapter 30 B akan diunggah setelah yang A menembus 320 votes.

See you ☺

Eh, ngomong2 pembaca IMD-TSK mau pada bikin jaket parka seragam loh. Hehehe. Yang udah keluar grup boleh masuk lagi.

Follow my instagram for more update any information.
Thanks.

[at]sahlil_ge

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top