Chapter-14: Kisah Dalam Kisah
🎻Louisa🎻
***
Paginya aku semangat sekali ke sekolah. Semalam ngobrol sama Papa lama banget sampai ngantuk. Alhamdulillah kabar Papa baik-baik saja, ternyata ponselnya rusak dan dia baru sempat membelinya lagi. Aku menyimpan nomor WhatsApp nya sehingga bahkan pagi ini aku sempat pamit mau ke sekolah. Oh iya, semalam kami bukan cuma via suara, tapi sempat panggilan video beberapa menit saja. Mama juga sepertinya tidak bisa menyembunyikan rasa rindunya, bahkan Papa bilang kemarin siang mereka melakukan panggilan video.
Saat berangkat itu, Alex memberi selebaran yang isinya daftar mentor dan mentee untuk persiapan penampilan di akhir bulan nanti. Klub akustik punya agenda rutinan seperti itu tiap ada gelombang perekrutan anggota. Dan tidak heran kalau aku berakhir jadi mentee-nya Alex dan seseorang bernama Lotus.
Alex juga menitipkan satu selebaran lagi buat Nafis. Dia juga tahu kalau Nafis satu kelas denganku. Tentu langsung kuserahkan pagi itu juga ke orangnya, dengan berharap Rea akan menyapaku, tapi sepertinya masih beku.
Kita nggak akan seperti ini terus kan, Re?
Siangnya, kami sedang berada di kantin. Nafis makan di satu meja denganku, padahal awalnya dia dengan Rea juga, tapi untuk alasan yang bisa kupahami Rea tidak ikut bergabung.
Nafis anaknya baik, cuman agak sedikit banyak tanya. Mungkin karena kami baru kenal. Dari cara ngomongnya tidak ada kesan menggebu. Untuk urusan musik kami benar-benar berbeda. Sepertinya dia belum sepenuhnya mendapat persetujuan dari ayahnya untuk ini, sedangkan Mama mengizinkanku sepenuhnya.
Kalian tahu? Ayahnya Nafis penyuka musik country! Keren kan? Aku juga suka genre musik itu. Beberapa lagu memenuhi playlist di ponselku juga. Tapi anehnya dia seperti enggan membahas atau menyinggung lebih jauh soal ayahnya.
...
Selepas mentoring, kali ini aku pulang dengan Alex. Dia cuma ingin mengantar. Karena dia harus kembali lagi ke sekolah untuk rapat persiapan acara nanti. Meski dibilang berapa kali juga, dia tetap bersikukuh mau mengantarku.
"Aku langsung ke sekolah lagi."
"Lain kali jangan kayak gini, aku bisa pulang naik bus, Alex."
Dia cuma mengedipkan sebelah matanya sambil meringis sebelum pergi.
Di pelataran rumah ada sebuah mobil yang terparkir. Warung masih tetap buka tanpa penjagaan. Sepertinya ada tamu, dan aku harus menggantikan Mama menjaga warung sementara.
Siapa yang bertamu? Aku harap bukan pihak bank atau yang bersangkutan dengan itu. Karena kurasa urusan kami sudah selesai.
Aku melepas sepatu di kursi teras. Sementara obrolan di ruang tamu terdengar jelas.
"Tapi kamu belum bilang ke mereka kan?" tanya Mama.
Lalu dijawab oleh seorang laki-laki, "Sudah bertahun-tahun. Masih ragu?"
"Ya barang kali kamu ngasih tahu ke Zaryn dan yang lainnya."
"Saya sering ketemu mereka, tapi ya nggak mungkin ngasih tahu. Janji tetap janji, akan coba saya pegang meski rasanya sudah mau keluar dari ujung lidah."
Terdengar sedikit suara samar juga dari perempuan muda, dan ada suara decitan sepatu anak kecil. Siapa mereka?
Aku masuk dan berbalas salam dengan mereka.
"Ini anak aku," kata Mama memperkenalkan. "Sini sayang, kenalan nih sama pengkisah buku yang ada Mama-nya itu."
Aku menoleh ke mereka. Seorang laki-laki yang tebakanku benar dari usianya sekitar tiga puluhan, dia tersenyum ramah sambil mencoba memegangi anak kecil yang sepertinya baru belajar berjalan. Lalu di sebelahnya seorang perempuan cantik yang kukira itu istrinya, pakaiannya manis, sangat tertutup dan rapi.
"Jadi ini Louisa?" kata laki-laki itu.
"Iya, Om."
"Jangan panggil Om dong, Kakak saja, anggap saja kami ini kakak kamu."
Lah? "Iya, Kak."
"Sekolah di mana, cantik?" tanya istrinya.
Begitu kusebut nama sekolahnya mereka berdua saling tatap. "Satu sekolah sama dia dong," yang laki-laki seperti berbisik.
"Siapa?" tanyaku.
"Nggak, bukan siapa-siapa."
"Namanya Kak Ge, Lou. Dia yang nulis cerita kami," kata Mama.
"Yang Mama ceritakan itu?"
"Iya, ini istrinya."
Aku menyalami mereka berdua.
"Kami cuma kebetulan lagi lewat sekitar sini, Lou. Sehabis persiapan launching buku. Jadi karena sudah lama nggak silaturahmi ya sekalian saja mampir," kata Kak Ge. "Itu bukunya," dia menunjuk sebuah buku bersampul oranye di atas meja berjudul 'Underneath The Shycamore Tree' buku ke-3.
"Kalau Lou mau, bisa disimpan."
"Tuh, nggak perlu beli. Dikasih langsung sama yang bikin," kata Mama.
"Pasti dibaca, Ka. Kebetulan suka baca juga."
Oh iya! Aku sempat lihat nama penulis itu di sebuah media massa. Kalau nggak salah dia termasuk penulis produktif. Tapi aku baru tahu ini orangnya, lumayan. Meski aku suka baca, tapi tidak cukup up to date dengan penulis-penulisnya. Cukup pergi ke toko buku, dan membeli yang menurutku menarik. Lagi pula, aku tidak punya cukup banyak koleksi buku. Tapi, kira-kira mana ya buku yang ada Mamanya. Apa tidak diproduksi secara masal? Dan kalau disuruh memilih antara buku atau musik, aku akan memilih musik.
"Baguslah kalau suka baca. Lou, punya akun Wattpad pasti ya?"
"Ada, Kak Ge ada di sana juga?"
"Sudah tidak di wattpad lagi, saya tutup akun semenjak menikah. Jadi ya sekarang nulis offline saja. Tapi lumayanlah, sebagai sampingan."
Mama juga ngobrol ringan dengan istrinya Kak Ge. Sementara anaknya sedang mau jalan-jalan, banyak gerak.
"Kenapa, sayang?" kata Kak Ge ke anaknya itu, "Ayo, kita cari jajan, ya?"
"Lou ganti baju dulu, nanti temenin Kak Ge nyari jajan. Tuh ada agar-agar banyak di warung. Adek kasih aja, turutin apa yang dia mau. Anak kecil yang lagi belajar jalan emang sukanya pengin ke mana-mana."
"Bikin capek Papahnya ini," Kak Ge menyahut.
"Mamahnya istirahat dulu ya, hehe. Adek sama Papah dulu," kata istri Kak Ge.
Aku hanya terkekeh dibuatnya. Melihat mereka sejenak, aku seperti bisa merasakan sebuah ikatan yang cukup kuat. Terutama antara Mama dan Kak Ge. Jika benar ada kisah yang sudah diabadikan, seperti apa kisah itu?
Setelah ganti baju, aku menyusul Kak Ge yang sudah pergi ke warung duluan. Tidak jauh, karena masih satu bangunan dengan rumahku.
Aku melayani seorang pelanggan terlebih dahulu yang hendak membeli sotong balado.
"Dulu Lou masih baru lahir waktu Kakak pertama lihat. Beberapa kali pernah main ke sini, tapi Lou lagi sekolah," Kak Ge berkata setelah aku selesai melayani.
Dia gampang akrab, dan aku tidak merasakan sebuah ancaman. Sepertinya dia sangat sayang sama anaknya itu, digendongnya, diciumnya, membuatku jadi ingat Papa di kejauhan sana.
Dan aku ingin menanyakan sesuatu, "Kenapa Kak Ge nggak ajak teman Mama yang lain? Katanya Mama ada banyak teman."
Dia sedikit terperanjat, "Umm, ini hanya kebetulan mampir. Jadi memang nggak direncanakan."
"Boleh tanya sesuatu?"
"Apa?" dia duduk di sebuah kursi sambil mengelap bibir anaknya dengan tisu.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka?"
"Van Oranje."
Dia tidak cepat menjawab. "Bagaimana kamu tahu soal itu?"
"Mama yang ngasih tahu."
"Ooh."
"Kenapa?"
"Tidak ada apa-apa. Mereka masih baik-baik saja."
"Lalu kenapa Mama harus menghilang dan menjauh dari mereka?"
"Mamamu pernah menceritakan sesuatu tentang ini?"
"Ya."
"Apa katanya?"
"Mama tidak ingin merepotkan mereka."
"Itu sudah terjawab."
"Tapi masa iya, hanya karena itu sebuah persahabatan jadi terberai."
"Persisnya saya nggak tahu. Karena itu yang Mamamu ceritakan dan saya cuma bisa berusaha percaya. Menghargai urusan orang lain. Lebih baik kamu percaya saja."
Aku mengangguk, "Tapi kadang aku merasa Mama membutuhkan mereka. Dia sering sakit, kesepian. Kalau Mama memutuskan menjauh dari mereka, kenapa Kak Ge masih bisa datang ke sini?"
Dia bersikap seperti bisa memahamiku, "Karena saya bukan bagian dari mereka. Saya hanya sahabat searah dengan Mamamu. Kan saya bukan Van Oranje."
"Maksudnya?"
"Sahabat interpersonal, bukan grup."
"Ooh," aku berusaha memahami. Anaknya gemas sekali! Sembari mengisi kesenjangan obrolan aku mengulurkan satu cup jelly lagi, "Adeknya lucu banget sih. Ini Kak Lou kasih satu lagi."
"Udah bisa bikin Papahnya capek ini anak."
Aku terkekeh melihat ekspresi Kak Ge. Kesal tapi jelas menyayangi anaknya. Sepertinya semua ayah begitu.
"Namanya juga anak kecil, Kak."
"Iya, yah. He," orangnya sangat bersahabat, "Tadi Mamamu bilang, kamu baru dapat nilai terbaik?"
"Ah, itu cuma tak seberapa. Alhamdulillah hasil dari kerja keras."
Dia mengangguk, "Kamu, kenal yang namanya Nafis?"
"Nafis?"
"Ya, dia anak temennya Kak Ge. Katanya juga sekolah di sana."
"Ada yang namanya Nafis. Nafis ... Nafis... Syuhada?"
"Iya. Tahu?"
"Oh dia, satu kelas malah."
Alisnya mendadak mengerut. Terlihat sekali wajahnya terperanjat. "Satu kelas?"
"Kenapa?"
"Udah kenalan?"
"Ya kenal aja. Ada apaan sih?"
Dia mengalihkan pandangan ke anaknya, lalu, "Nggak apa-apa."
"Oh," sedikit membingungkan.
"Belajar yang rajin. Jangan kebanyakan main."
Kalimatnya itu terasa hangat, persis bagaimana ayah selalu mengatakan selagi kami masih sering berkomunikasi. Nasihat yang sangat aku terima.
"Iya, Kak," kuberikan senyum padanya. "Oh iya, ceritain dong buku yang ada Mamanya."
"Ha?"
Dia tertawa lebar.
Setelah itu kami banyak ngobrol. Meski aku belum berhasil mendapatkan informasi yang jelas tentang buku itu, tapi aku mulai merasakan ada sesuatu yang sedang orang-orang dewasa ini sembunyikan. Apapun itu, jika ada kaitannya dengan diriku. Aku berhak tahu.
***
Uru uru uru! Hehe.
Dilarang menghujat, dosa. Cukup ikuti alurnya saja. Karena pada kenyataannya saya adalah bagian dari kisah mereka yang tersamarkan.
Vote sama komentarnya lebih baik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top