Chapter-12: Memulai Segala Tentang Mereka

🎻Louisa🎻

***

Tak bisa aku lupa bagaimana semalam nada itu melengking di dalam kepalaku. Aih, Alex. Bagaimana bisa kamu menggubah nada sesederhana itu menjadi kesan tersendiri ketika diterjemahkan dalam instrumen. Terkhusus, dia seperti sengaja membuat nada itu agar terdengar lebih pantas dengan violin.

Baiklah, ini hari pertama. Aku harap bisa menemukan alasan yang baik agar bisa mengiyakan ajakannya untuk ikut klub yang digawanginya itu. Sebenarnya aku sudah punya ketertarikan untuk itu, hanya saja aku malu untuk mengatakan, sementara sebelum-sebelumnya aku yang menolaknya untuk bergabung. Setelah semalam aku memikirkannya, umm, ya, kurasa Alex layak mendapat sedikit perhatianku.

Umm, gini, bukan berarti aku mematok harga tinggi atau ingin diupayakan oleh seorang cowok lebih keras lagi, tapi aku hanya ingin tahu kesiapanku sendiri untuk menyambutnya. Aku merenungkan baik-baik apakah aku siap apabila?

Mama terlihat membaik pagi ini. Dia terbangun dengan wajah segar dan semangat yang tak bergeser sedikit saja untuk menghidangkan menu. Aku? Hei, memalukan bukan kalau anak gadis tidak pandai membantu mamanya? Terlebih jika soal masak. Itu kecil buatku. Mama yang latar belakangnya lulusan ekonomi dan pernah bekerja di perbankan justru bisa pandai sekali memasak. Aku tak mau kalah. Mama bisa, aku harus bisa juga.

Aku sudah memasang senyum terbaikku saat suara sepeda motor memasuki pelataran rumah. Aku tahu itu dia. Tak lama kemudian Mama masuk ke kamarku. Tidak langsung berbicara, karena seperti biasa Mama akan menatapku dulu yang sedang mematut diri di depan cermin. Aku pikir, Mama sedang mengamati betapa putri kecilnya kini sudah beranjak menjadi seorang gadis. Lalu dia akan berkata, "Lou sudah cantik," dan, ya, itu Mamaku. Dia sudah mengatakannya dua kali pagi ini.

"Calon menantu Mama sudah datang, tuh."

Aku cepat-cepat menoleh, "Ma? Apa-apaan sih?" dia pasti puas karena pipiku matang dibuatnya.

"Coba Papa kamu dulu waktu muda seromantis Alex. Pasti Mama bakal punya sejarah masa muda yang manis."

"Papa sudah sempurna tanpa Lou harus tahu bagaimana masa mudanya," jawabku sambil menyematkan satu jepitan berbentuk kawat pada juntaian dekat telinga.

"Tapi tetap nggak semanis Alex."

Aku memutar bola mata, "Ma, kami cuma mau ke sekolah, nggak ke mana-mana. Lagian ini cuma ... semacam berangkat bareng."

Apakah semua Ibu akan seperti Mamaku ketika anak gadisnya beranjak dewasa?

Tapi, Mama tidak seperti ini kepada selain Alex.

"Mm, iya, iya. Dan semalam Mama tahu siapa yang antar kamu beliin obat. Kamu kira Mama sudah pulas?"

Tidak kusangka, "Mas-mas ojek."

"Ojek macam apa jam segitu mau terima penumpang? Ojek ... cin-?"

"Please, Ma."

Dia tertawa lebar sambil mengayunkan cukil nasi, "Sudah, sana berangkat. Udah pukul setengah tujuh ini."

"Mama nggak apa-apa ditinggal Lou?"

"Harusnya yang khawatir itu Mama karena ini pertama kalinya kamu masuk sekolah yang bikin kantong Mama jebol. Pokoknya, jangan takut kalau ketemu sama anak-anak gedongan yang belagu dan sombong, yes? anak Mama yang cantik?"

Itu Mamaku yang sebenarnya. Entah kenapa meski dia kadang bersikap sangat lugas, aku malah khawatir kalau diam-diam dia menyembunyikan luka yang tidak kentara. Seperti apa katanya tadi, dia menyekolahkanku di SMA mahal dengan kualitas sepadan, makanya aku mati-matian memperjuangkan beasiswa di sana. Tentu doa yang terbaik selalu aku terbangkan untuknya dan Papa.

"Menantu, udah sarapan belum?" seloroh Mama begitu kami sudah di ruang tangah. Tuh, tuh, tuh! Ma!

"Belum," jawab Alex yang terdengar mengikuti peran. Dia menurunkan seleting jaketnya sebelum kemudian menyalami Mama. Mereka memang kompak sekali bersikap seperti itu.

"Kenapa belum?" nada khawatirnya melebihi yang dia berikan padaku. I'm okay. "Tuh sarapan dulu. Ambil menu apa aja terserah."

"Buru-buru, Tante. Hari ini ada pembukaan tahun ajaran baru jadi semua siswa harus tepat waktu datangnya."

"Ooooou. Ya sudah. Kalau dibungkusin mau tak? Pakai kertas nasi. Nanti kalian bisa makan siang bareng. Bagus kan? Uang jajannya bisa kalian tabung."

"Pakai kertas nasi?" aku ingin tertawa membayangkan aku dan Alex makan berdua dengan kertas nasi di sekolah seelit itu. "Dibungkus boleh, tapi pakai tempat bekal aja Ma, masa kertas nasi. Kasihan Alex nya."

Alex menatapku. "Nggak usah, Tante. Saya makan di kantin aja nanti. Saya bakal ajak Lou keliling sekolah biar nggak nyasar."

"Aku nggak bakalan nyasar."

"Siapa tahu?"

Aku hanya mengangkat bahu.

Sedikit obrolan seperti ini cukup untuk memulai pagi. Mama dan Alex. Kalau bisa, harusnya juga ada Papa. Aku harap hari ini ada kabar baik.

Setelah itu Alex mengkode dengan gerakan kepala agar kami berangkat sekarang.

Kami berpamitan sama Mama kemudian. Dan setelah memastikan segala keperluannya sudah aku bawa termasuk tas biola, kami berangkat. Aku bisa melihat tatapan optimis Alex saat dia menyoroti benda itu.

"Aku harap kamu sudah memutuskan," katanya saat memakaikan helm di kepalaku. Jangan berlebihan Alex, meski aku sangat menyukai perlakuan ini.

"Memutuskan untuk lain kali harus pesan Gojek lebih pagi supaya kamu nggak perlu jauh-jauh mampir ke sini."

"Apa?" dia mengetuk helm di kepalaku seperti pintu. "Hello, Miss Louisa? Tanpa mampir pun aku pasti lewat rumah kamu. Orang sejalur juga. Mumpung kelewat kan sekalian. Lagian, memulai hari dengan sesuatu yang manis itu baik buat jantungku."

"Sesuatu yang manis?"

Dia mengerjap, lalu menowel hidungku.

"Ih!"

Dia meringis sambil memasang helmnya sendiri. "Kamunya udah sarapan belum?"

"Lagi nggak selera."

Dia menghentikan gerakannya. "Semalam bilang kamu belum makan. Dan sekarang belum sarapan? Gila."

"Udah deh, berangkat aja ayo."

"Lou, upacara pembukaan tahun ajaran baru itu bakal lama. Panas juga."

"Kamunya juga belum sarapan."

"Tapi aku makan malam. Ada bekal di perut. Lambung cowok itu lebih kecil dan cepet penuh, beda sama cewek, makanya kadang doyan makan tapi ajeg saja berat badannya. Dan aneh aja kalau kamu nggak semangat makan. Nggak mungkin kan kamu lagi diet?"

"Nanti sarapan di sekolah."

"Sama aku ya."

"Iya, iya."

"Tapi tunggu," katanya. Kemudian Alex berlari ke warung Mama dan kembali dengan sebatang lontong dan dua iris bakwan. "Sambil jalan makan ini."

Bukan main.

"Alex?"

"Udah," dia memaksaku untuk mengambilnya. "Ayo."

Ketika dia sudah naik di atas motor. Aku masih tak habis pikir kenapa dia harus melakukan semua ini. Meski, ya, mungkin aku tahu alasannya. Hanya saja, apakah semua cowok akan bertindak semanis ini pada orang yang dicintainya? Jika iya, berarti Alex berhasil. Jika tidak, aku beruntung mendapatkannya dari Alex.

Beri aku sedikit waktu lebih lama, Lex. Aku mulai merasakannya.

***

Yang Alex ambilkan itu hanya kugigit sedikit. Rasanya kurang nyaman kalau makan di dekatnya. Aku tak tahu kenapa. Mungkin karena sepanjang perjalanan aku terlalu menikmati ocehannya tentang apa saja. Dia tidak benar-benar berkata senang bisa bersamaku, tapi dari caranya bertingkah dan begitu santainya ngomongin hal-hal yang asik selama itu, well, dia sedang sangat bahagia.

Aku harap jika suatu saat ... benar-benar jika suatu saat ... dia berhasil memilikiku. Mm. Aku tak ingin yang seperti ini meredup. Aku tak ingin lentera yang dulu padam dan kini menyala terang, lalu meredup lagi. Aku tahu kisah hidup Alex. Hampir semuanya. Dan menurutku, dia pantas mendapatkan bahagia dengan banyak jalan.

Alex tak ubahnya seperti sebuah luka yang dibungkus rapat dalam balutan kasih sayang dan diikat seutas pita bernama senyum. Dia tegar. Dia tidak memiliki segalanya. Dia tahu bagaimana mengecap rasa pahit agar terasa nyaman dinikmati. Dia tahu bagaimana air mata itu bermacam rasa, ya bermacam rasa. Dan yang pasti, dia tahu sekali bagaimana rasanya kehilangan yang berujung pada sepi yang mendera. Omku memang tak salah memilih Alex untuk bergabung dalam kehidupannya. Dan berangkat dari sanalah, Alex yang hatam dalam berperang melawan sepi akhirnya tahu bagaimana harus menghiburku, yang terkapar di ceruk sepi. Alex.

"Intinya kalau ada apa-apa yang bikin kamu nggak nyaman di sekolah, langsung chat aku. Aku udah tahu kelas kamu jadi gampang aja buat langsung meluncur ke sono."

"Kayak body guard aja siap meluncur kapanpun."

"Indeed! I wanna say it if you mean to."

Aku tertawa kecil. Helm kami berbenturan sesekali. "Yang ada nanti cewek-cewekmu pada cemburu lagi." Ehm, ya, ini seperti yang kalian pikirkan. Aku ... juga suka mengkode.

"Iya nih. Bagaimana dong?"

"Apanya?! Jadi kamu punya banyak cewek?"

"Selusin." Dia tertawa lebar.

"Nggak lucu."

"Ya lagian kamu aneh. 'cewek-cewekmu' itu berkesan aku ini seseorang yang penting di sekolah sampai-sampai punya banyak gandengan."

"Ketua klub akustik, memangnya itu bukan orang penting?"

"Hanya bagi segelintir orang."

"Oh."

"Tapi serius. Aku nggak punya gebetan satu atau dua selain kamu. Ya itu juga kalau kamu nganggepnya aku ini gebetanmu. Tapi kalau nggak dianggap pun, it's okay, yang penting aku nganggap."

"Aku takut deh nanti anak-anak baru pada mikir aku ini cewek apaan misal lihat aku bisa langsung akrab sama kamu."

"Bilang aja kita pacaran, beres."

"Nggak! Itu belum beres. Justru makin parah."

Dia terkekeh, "Jadi aku harus benar-benar memperlakukan kamu seperti anak baru?"

"Ya."

"Deal. Itu mudah saja, asal kamu jangan cuek."

"Bisa dicoba."

"Dan makasih sudah bawa biola."

"Ini bukan berarti aku akan otomatis ikut klub."

"Kamu akan berubah pikiran begitu lihat ruang klub kami."

"Sungguh?"

"One million percent!"

Dan, oh! Dia benar. Itu adalah ruangan klub yang kereeeeeeen banget. Alex mengajakku ke ruang klub itu setibanya di sekolah. Rupanya dia akan menyimpan sesuatu di loker. Aku hampir meyakini kalau ruang itu adalah toko alat musik atau sebuah kelas musik eksklusif yang pengajarnya adalah Antonio Vivaldi (RIP).

Jujur, seketika aku berpikir 'HARUS MASUK KLUB INI!'.

"Bagaimana?" katanya dengan tampang menangnya.

"Nggak buruk." Serius itu keren!

"Setelah pulang sekolah datang saja ke auditorium."

"Kalau aku setuju." Aku setuju! "Sekarang bisa tunjukan aku di mana toilet yang terdekat?"

Alex mengangkat sebelah alis. "Di ujung koridor deretan ruang klub ini. Jangan salah masuk, tanda toilet cewek jelas sekali di sana."

"Makasih."

Lalu aku menyusuri koridor yang isinya deretan ruang klub itu. Hampir semuanya terlihat ramai, kecuali klub akustik. Aku tidak tahu kenapa.

Ketika akan kembali lagi ke Alex, aku tidak berani mendekat. Di depan ruang klub Alex sedang berbicara dengan seorang cowok yang dipunggungnya tercantel tas gitar. Sepertinya dia juga siswa baru yang akan ikut klub juga. Aku sudah membuat janji, tidak akan terlihat akrab dengan Alex di depan banyak orang.

Setelah cowok itu pergi, aku lantas mendekati Alex untuk meminta petunjuk arah ke kelas. Jujur aku tidak begitu mengamati letak kelasku ketika masa orientasi. Terlalu banyak ruang yang harus diingat.

"Nggak salah masuk toilet?" katanya.

Aku memutar bola mata, "Tidak akan."

"Anak itu juga mau masuk klub akustik. Gitaris dia. Dari lagaknya sih kayaknya dia jago. Ramah."

"Itu karena dia anak baru dan ingin menghormati Kakak Seniornya."

"Jadi, kamu harus hormat sama aku juga."

Mataku menyipit.

"Alex kelasku di sebelah mana?"

Dia malah tertawa. Tatapannya jahil seperti sengaja ingin membuatku kesasar.

Tapi akhirnya dia menunjukkannya juga.

Menuju kelas aku berjalan terburu-buru. Tadi kulihat di lapangan sudah ada anak osis yang sedang menyiapkan segala sesuatunya untuk upacara. Dan sepertinya tak lama lagi akan ada pemberitahuan untuk baris di lapangan. Sepertinya.

Ketika hendak menaiki tangga, tanpa sengaja aku menyenggol pundak cowok yang tadi ngobrol sama Alex. Cukup dengan permintaan maaf sederhana, karena kurasa itu tidak sampai membuatnya cedera. Pun sepertinya bukan sesuatu yang pantas diperpanjang. Bukan bermaksud sombong, aku hanya sedang buru-buru demi mendapat tempat duduk yang nyaman dan strategis.

Tapi jika harus banget membicarakan soal senggol-menyenggol tadi, mungkin bisa nanti. Karena cowok itu ternyata masuk di kelasku dan tepatnya duduk di belakangku.

Selang beberapa menit dugaanku benar. Pemberitahuan soal upacara sudah bersuara di seluru interkom kelas.

Oh iya. Perkenalkan teman sebangkuku, namanya Hanum. Dia sepertinya akan jadi orang favorit keduaku di sekolah ini. Anaknya periang dan nyambung kalau diajak ngomong. Klik. Terfavorit pertama, untuk Alex. Kami bahkan keluar kelas bersama menuju lapangan.

Dan saat di belokan menuju lapangan itulah, aku berpapasan dengannya. Sosok yang sama sekali tak pernah kuduga akan bertemu di sini. Milly Reason.

Good morning, Rea.

Harusnya itu yang kami tukar pagi ini jika sama-sama satu alumni SMP. Tapi, ya, begitulah. Sepertinya dia masih marah dan belum bisa memulai lagi.

Kita masih teman, Re. Kamu tak boleh lupa itu.

***

Waw 😏

Bab 13 Akan saya unggah kalau Bab ini sudah sampai 80 votes.

Tangkyu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top