Chapter-09: Komitmen
"Biarkanlah saja dulu kita jalan berdua. Mereka pun pernah muda. Saatnya kau dan aku sekarang."
(Bunga Citra Lestari - Pernah Muda)
*Maafkan kalau ada typo. Belum sempat edit
1
Bahkan sepanjang perjalanan ke sekolah pikiran gue nggak bisa fokus, banyak pertayaan konyol yang melintas di dalam kepala.
"Lagi ada ulangan?" tanya Ayah tadi. Mungkin dia curiga kenapa gue terlihat gugup.
"Tidak ada."
Ayah tidak bertanya lagi. Juga misal dia mengajukan satu atau dua pertanyaan lagi kayaknya gue nggak akan jawab.
Bagaimana nanti kalau gue ketemu Rea di kelas? Kita bakal duduk sebangku dan seperti pacaran tiap hari. Kalau dipikir-pikir memang aneh. Kita baru kenal sebulan dan udah jadi pacar. Lalu kenapa kejadiannya harus pas sama momennya Lou dan Alex? Apa itu wajar? Apa ini bukan perasaan yang mengada-ada? Tapi gue suka Rea. Gue merasakaannya.
Ketika sampai di koridor dekat ruang guru, gue ketemu Rea lagi berdiri di sana dengan penampilan yang tak biasa. Napas gue berhenti, begitu juga detik masa. Oh. Gue melihat ada pelangi yang melengkung di atas kepala Rea, oh, burung merpati yang terbang dari belakang punggungnya, oh, ada bling-bling banyak waktu dia berkedip, oh, dan ketika dia mulai tersenyum muncullah cupid dengan senjata panahnya yang langsung dilesatkan ke dada gue, ohhhh, gue harus ingat untuk berkedip. Mungkinkah dia lagi menunggu gue? Tuhan, gue deg-degan banget. Apa memang seperti ini rasanya pacaran? Maksudnya panas dingin. Apa rasanya harus mules juga? Gue udah punya pacar. Dia si nomor satu. Satu catatan pertama ketika baru pacaran, umm, mungkin gue harus menjaga kelangsungan paket data internet gue. Karena sejak pagi tadi, tiap pesan masuk dari Rea itu baik buat kesehatan jantung.
"Pagi," katanya dengan senyum tertahan. Padahal dia udah ngucapin selamat pagi lewat WA tadi. Oh, jadi kalau pacaran harus diulang bilang pagi-nya.
Gue nggak boleh mimisan, "Pagi."
"Ke kelas sekarang?"
"Kelas? Iya."
Gue sama Rea berjalan beriringan kemudian. Kita jalannya jadi lambat banget. Nggak tahu kenapa. Rea ngobrol dong. Jangan bikin pacarmu gugup dengan kelengangan ini.
Lalu tiba-tiba dia menyenggol pundak gue, saat itu juga gue sadar tadi lagi bengong sambil jalan.
"Ya?" kata gue bego.
"Kamu kenapa sih?" Rea setengah tertawa.
"Umm, nggak. Kamu cantik." H-ha? Apa? Gue bilang apa tadi?
Rea tersipu sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Kamu juga keren."
"Ha?"
"Iya, bukan cantik kan?"
"Wow, itu super sekali."
Kita beneran jalan lambat banget sampai kesalip banyak orang lewat.
"Pacar?" tanya Rea menahan tawa.
Sekarang giliran gue yang menyenggol pundak Rea. "Jangan bilang ke orang-orang."
"Nggak, aku juga belum sesiap itu."
Jadi sekarang dia sudah pakai aku bukan gue. Manis sekali. "Pacar," kata gue sekali lagi.
Setelah itu gue sama Rea bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Semua orang tidak akan begitu curiga karena kami hanya teman sebangku. Rea juga seolah langsung paham kenapa kita harus saling menyembunyikan dari orang lain. Intinya, gue sama Rea baru sebulan kenal. Kemustahilan pasti bakal muncul di pikiran banyak orang kalau tahu gue sama dia jadian. Biarlah, gue juga ingin banyak belajar bagaimana baiknya jadi pacar sebelum banyak yang tahu.
Misalnya seperti Alex yang pagi ini mengantar Louisa sampai ke kelas. Itu bikin anak kelas pada riuh meledek mereka. apa jadinya kalau mereka juga tahu bahwa gue sama Rea jadian. Hm, yang ada kelas ini akan jadi panggung romansa bintang kelas yang dipenuhi sorakan.
2
Selama di kelas, kita berhasil bersikap biasa saja. Berusaha menyamarkan canggung dan kedekatan yang aneh. Lagi pula gue belum seberani itu buat dekat-dekat banget ke Rea. Meski begitu perasaan gue semakin jelas saja. Awalnya perasaan itu ke Rea masih samar, tapi detik demi detik, seiring lazuardi di langit semakin biru, perasaan yang gue yakini sebagai cinta pun hadir. Jarak dekat ini membuat gue semakin ingin terlihat lebih baik bagi Rea. Semacam rasa agar dia ataupun gue tidak perlu menyesali telah mengambil keputusan itu.
Seperti biasa, jam istirahat pertama gue habiskan di perpustakaan. Urusan perut biar nanti dibereskan pas istirahat kedua. Saat seperti ini memang biasanya juga gue sama Rea bareng ke perpusnya. Jadi aman dari gangguan Pian. Karena dia paling ngajak guenya kalau istirahat kedua.
Semoga dengan jarak dekat ini orang-orang tetap tidak menaruh curiga.
"Informasi yang aku dapat sih, biasanya olimpiade siswa nasional akan diadakan pada semester depan. Tapi nggak salah kan misal kamu daftarnya sekarang?" kata Rea yang lagi berjalan di lorong rak entah lagi nyari buku apa. Sementara gue berjalan mengikutinya dari belakang.
Rea dari kemarin-kemarin udah kasih saran supaya gue ikut klub mata pelajaran. Apa saja yang penting gue harus ikut. Jadi sebenernya dia udah mulai perhatian sejak tempo hari. Cuman gue nggak tahu kalau muara dari perhatan itu adalah ini. Pacaran.
"Apa keuntungannya buat aku?" tanya gue.
"Kamu masih nanya keuntungan dari ikut ini?"
"Ya, aku butuh alasan. Maksudnya selain biar bisa ada waktu lebih bareng kamu."
Rea berdehem seperti mau keselek.
"Y-ya, kamu bisa punya waktu belajar dengan konsentrasi mata pelajaran tertentu. Kamu sukanya apa?"
"Nggak tahu."
Rea sedang berusaha menjangkau buku di rak atas tapi tidak sampai. Lalu gue yang mengambilkan karena bersyukur gue sedkit lebih tinggi. Gue memberikan padanya kemudian. Bagus, semua berjalan secara natural. Lalu dia berjalan ke karel. Perpustakaan di sekolah gue memang ada karelnya, yaitu ruangan di perpustakaan yang letaknya dekat koleksi rujukan, disediakan khusus untuk studi perorangan atau kelompok, dapat dipakai untuk menyimpan buku dan catatan yang sewaktu-waktu dapat dikunci di saat ruangan tersebut tidak digunakan. Ada satu komputer layar datar di sana. So, this is our room, I mean, me and Rea. Ruangan ini bebas dipakai siapa saja dan berapapun jumlahnya. Boleh sendirian, boleh juga rame-rame. Tapi anehnya nggak ada yang berani masuk ke karel kami saat ini. Mereka lebih memilih memakai ruang karel yang lainnnya.
"Kalau ada sih yang berbau luar angkasa, seperti astronomi," kata gue setelah kita duduk berdua. Rea sedang menyalakan komputer, agaknya dia mau mengetik sesuatu dari buku rujukannya. Dia juga terlihat membawa flashdisk.
"Hei, ada Astronomi dan Astrofisika. Malah kalau nggak salah sepi loh peminatnya." Rea tak memalingkan wajahnya dari komputer, mungkin dia masih canggung kalau harus berhadapan dengan gue secara tatap muka lebih dalam. Gue juga deng.
"Mmm."
"Lagian, Fis. Masa iya kamu cuma mau gabung di akustik saja."
"Itu hobiku."
"Hobi, dan kamu juga perlu mikirin soal akademik. Masa iya, kamu mau gitu aja misal semester nanti kehilangan predikat cowok terpandai seangkatan."
"Wow, itu predikat yang sebenernya nggak layak buat aku. Actually, aku lebih suka di urutan kedua atau ketiga."
"Kenapa?"
"Karena aku lebih suka mengejar dari pada mempertahankan."
Rea terdiam. Seperti ada yang aneh dari raut wajahnya.
"Maksudku itu khusus untuk bidang akademik."
"Iya, aku tahu."
Menyangkut kejadian malam itu, jujur gue masih kepikiran takut Rea masih meragukan soal kemauan gue ngajak pacaran. Tapi semoga dia paham. Gue yakin dia akan paham.
"Rea aku ingin ngomong sesuatu," kata gue kemudian. "Kamu bisa kan fokus ke aku sebentar? Maksudnya jangan dulu pegang komputer."
Rea mengerti dan langsung menghadap gue. Karena kursi kami berdekatan, jadi sepertinya gue nggak perlu bisik-bisik kali ini.
"Apa?" tanya Rea. Gue bisa melihat dengan jelas rona di pipinya.
Gue menarik napas sebelum bicara. "Kalau boleh tahu, itu sejak kapan?"
"Sejak kapan?"
"Iya, kapan kamu mulai... ada rasa sama aku. Maksudnya, umm, kan sekarang kita pacaran dan kita tahu prosesnya begitu. Apa kamu tidak ragu sama sekali?"
Dia berdehem. "Umm, aku tidak tahu pastinya. Tapi, jujur kamu itu cowok yang paling meyakinkan dari semuanya."
"Semuanya?"
"Semua cowok yang pernah aku ajak bicara. Bahkan bukan Pian atau... Robin."
"Aku belum ngerti."
"Susah Fis misal ditanya alasan."
Gue mencoba mengerti di sini.
"Lalu kamu sendiri?"
Gue terkekeh sederhan. "Aku nggak tahu. Yang aku tahu cuma, pacaran sama kamu sepertinya ide yang bagus. Ini buka karena aku terpaksa, Re. Aku suka Rea. Dan nyatanya ucapan selamat pagi dari Rea juga bikin aku deg-degan. Tapi... okelah, kita berhenti saling menanyakan alasan. Biar itu disimpan masing-masing oleh kita. Toh dibicarakan panjang lebar juga alasan mencintai memang selalu bertemu jawaban buntu, tidak tahu."
"Oke."
"Rea tahu kan kalau kita masih remaja?"
"Iya."
"Jadi? Apa Rea bisa menyimpulkan sesuatu?"
"Apa?"
"Hei, jangan singkat-singkat begitu dong jawabannya," kali ini, gue berani banget menyentuh janggut Rea. Aih, nackal.
"Ya abisnya."
"Kenapa?"
"Kesimpulannya ego dan emosi."
"Lalu?"
"Ego kita masih besar. Emosi kita masih sangat labil. Keputusan yang akan kita ambil pasti akan kurang matang. Dan selebihnya, aku cuma berharap kita bisa mengerti situasi ini masing-masing."
"Nggak heran pacarku ini bisa jadi peringkat pertama."
"Issh."
Gue terkekeh ke Rea.
"Terus kenapa kamu mau nanya itu?" tanya Rea.
"Nggak. Aku lagi nyari aman aja barangkali... Umm, seperinya Rea perlu tahu sesuatu."
"Apa?"
"Yang paling sulit dari punya pacar teman sekelas, adalah kita harus benar-benar mempertahankannya sekalipun rasanya udah nggak betah. Kita pasti nggak akan pernah siap misal nanti harus berhadapan dengan tekanan sesak misal jeleknya kita putus, sementara pertemuan masih tetap terjadwal tiap hari. Aku sih nggak akan sampai mutusin Rea, beneran. Aku orangnya selalu ingin menghargai segala bentuk perasaan positif dari orang lain. Makanya ketika Rea bilang suka, aku dengan mudah membalasnya. Jadi..."
"Ya?"
"Seberat apapun masalah yang nanti akan dihadapi, barangkali. Aku tetap nggak akan bilang putus sama Rea. Keculai Rea sendiri yang mau mutusin."
"Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Ini aku lagi bikin komit sama kamu."
Dia mengangguk mengerti.
"Jadi terserah kamu alur kita nanti akan dijalani seperti apa. Aku belum punya pengalaman soal ini. Berharap Rea percaya dan tidak meragukan. Memang, kalimat yang aku katakan ini belum kuat, makanya ayo kita buktikan bareng-bareng."
Demi apa, Rea wajahnya sudah memerah sekali.
"Ya kalau kamu udah bilang gitu, aku bisa apa?"
"Maksudnya?"
"Ya selain percaya."
Gue tersenyum. "Aku tadi kedengeran bokis banget nggak sih?"
Rea tertawa, "Seratus persen."
"Wah. Jadi kedengeran gomba banget ya?"
"Hehe, nggak kok. Aku bisa mengerti."
"Oke, sekarang tinggal berapa menit lagi sampai bel masuk?"
Rea melirik sudut kanan bawah layar komputer. "Harusnya semenit lagi," tiba-tiba bel masuk berbunyi. "Nah, itu."
"Hah. Terkutuklah kau bel masuk."
"Kenapa memangnya?" Rea lalu membereskan bukunya dan memberi penanda. Sepertinya dia akan kembali lagi ke karel di jam istirahat kedua nanti.
"Masih pengin ngobrol yang kayak gini lagi."
"Ponselku aktif 24 jam dalam seminggu."
"Jangan. Anak sekolah nggak boleh pacaran lewat pukul sepuluh malam."
"Hah?"
"Belajar."
"Geez..."
Gue terkekeh melihat ekspresi wajahnya. "Udah, sekarang kamu pergi ke kelas duluan."
"Dimengerti."
Menunggu sekitar lima menit, barulah gue sendiri yang keluar dari karel. Namun, ketika suasana mulai sepi, gue justru terkejut ketika melihat Louisa yang juga baru keluar dari karel yang letaknya persis di sebelah karel gue tadi.
Apa dia mendengar semua percakapan gue sama Rea? Gue mulai curiga kalau akhirnya ada yang tahu hubungan gue sama Rea. Semoga tidak.
Tanpa bicara sepatah kata, gue memakai sepatu bersamaan dengan Louisa karena kita menyimpan di rak yang sama. Dan pada akhirnya gue malah balik ke kelasnya bareng Louisa, tapi dengan posisi jalan gue di depan sementara dia di belakang gue. Tidak, Louisa sepertinya tidak memiliki tipikal yang gampang membocorkan rahasia jika dia tahu. Juga, dengan timing yang pas gue sama Lou masuk kelas bareng, semoga juga tidak menghadirkan sebuah curiga atau praduga salah dari Rea. Sepertinya tidak, karena Rea tersenyum.
3
Setelah isya biasanya gue sama Ayah makan malam bareng. Tetapi, gue yang sudah lapar malah harus sabar menunggu Ayah yang belum juga keluar dari kamarnya.
Gue memutuskan untuk menghampirinya sebagai sopan santun. Dia sudah mulai berani menegur soal kelakuan gue, itu yang gue harapkan, ditegur ayah.
Namun ketika gue sampai di ambang pintu kamarnya, kaki gue terhenti ketika mendengar sebuah obrolan.
"Permainannya hebat, dia seperti sudah lihai memegang dan terbiasa melakukannya..."
Apa itu?
"Cantik kok. Kamu pasti suka. Aku juga sampai kepikiran gara-gara lihat permainannya malam itu. Nagih."
Tunggu, ini Ayah lagi telepon sama siapa? Kenapa seperti membahas perempuan? Siapa dia?
"Iya, udah lama nggak main sama dia. Kangen juga. Kalau tahu sih udah aku temui sejak dulu-dulu. Cuman kontaknya bener-bener nggak ada. Media sosialnya nggak ada yang aktif. Emailnya mati. Dan kayaknya udah pindah rumah. Nggak mungkinlah dia balik ke sana. Setidaknya kasih kabarlah kalau mau balik, biar nggak khawatir gini."
Tiba-tiba kekhawatiran gue selama ini semakin kuat. Pikiran bodoh bahwa jangan-jangan selama ini Ayah Zaryn punya selingkuhan! Makanya dia betah banget kerja di Jakarta dan cuma pulang sebulan sekali bahkan bisa lebih lama. Lalu Bunda yang orangnya lemah lembut cuma bisa percaya pada omongan Ayah saja.
Siapa perempuan itu? Kenapa gaya bicara Ayah di telepon terdengar hidung belang sekali?
Jadi, apa Bunda tahu soal ini? Pasti dia akan sakit hati ketika tahu. Tidak, mungkin itu bukan selingkuhan.
Tapi kenapa gue lebih yakin itu adalah selingkuhannya?
Ahh, sialan.
Beberapa saat kemudian pintu kamarnya terbuka. Dia terkejut sekali melihat gue yang sudah ada di depan pintu kamarnya.
"Eh, Fis. Kenapa kamu di sini?"
"Makan malam," jawab gue ketus.
---o0o---
Terimakasih sudah membaca ☺
Jangan lupa kasih bintang dan komentar sesuka kamu. ☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top