Chapter-07: Couple Goals
1
Sore nanti gue harus menyelesaikan banyak urusan untuk penampilan besok. Mulai dari penyelarasan kostum grup gue, sampai rehearsal untuk terakhir kalinya. Beruntung Ayah nggak mempermasalahkan keikutsertaan gue pada klub ini, jadi walaupun gue pulang sampai sore dia bisa memaklumi, toh dia juga agaknya lagi sibuk banget sama kerjaannya.
Yusuf sama Bre meminta supaya gue banyakin tenang saja. Mereka meyakinkan bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Okelah, sebagai orang yang sudah berpengalaman, nasihat mereka memang patut buat gue dengerin. Rencananya juga gue sama mereka bakal pakai kostum yang selaras. Gue sendiri bakal memakai kaos warna navy-blue yang dirangkap sama blazer warna navy-dark. Sementara celana bakal nyamain Yusuf, katanya pilih yang abu-abu. Gue suka kombinasi warna ini, dan seketika kesukaan gue pada warna navy semakin baik saja.
Selepas pulang sekolah gue buru-buru ke auditorium buat memeriksa stage. Ini bukannya gue yang bertanggungjawab ya, maksudnya gue harus seenggaknya bisa beradaptasi sama suasana buat nantinya. Seisi auditorium sudah rapi dengan dekorasi yang bagus. Suasananya seperti di kafe bahkan penataan kursi buat penonton. Kalau dilihat dari jumlah kursi yang disediakan, agaknya jumlah penonton nanti nggak sebanyak yang gue kira. Bagus deh, mending sedikit ketimbang banyak yang nonton malah bikin grogi. Sekalipun acaranya besok malam dan gue tetap harus melakukan yang terbaik apapun hasilnya nanti.
Buat urutan tampil nanti, panitia nggak bikin undian siapa dulu yang maju. Tapi dilihat dari penilaian rehearsal kedua beberapa hari yang lalu. Dan gue mendapat kesempatan buat tampil di urutan terakhir, sebagai closing. Katanya sih (biar pede), dia yang tampil sebagai closing udah dianggap sebagai most awaited dan bisa dikatakan sebagai yang (ter)baik. Mungkin ini juga karena ada Bre di grup gue. Siapa sih di sekolah ini yang nggak kenal Bre? Itu makanya gue sampai saat ini masih bersyukur banget bisa dibarengin sama The Couple. They deserve to this call.
Video promosi grup gue yang diposting via Instagram juga yang paling banyak ditonton, kalau nggak salah udah menyentuh 1.000 views. Apalagi alasannya? Ya jelas karena ada Bre. Dia udah punya penggemar loh. Followernya bejibun dan bayarannya lumayan bagus setiap kali manggung di kafe. Sempet bisik-bisik, katanya kalau Navy And The Couple Goals ini mau diseriusin, bukan nggak mungkin kalau dia bakal mengajukan grup kita ke kafe biar tampil. Uuuuh, gue baru denger ginian aja udah mules perutnya, seneng banget! Cuman, gue nggak bisa melupakan tanggungjawab gue di sini. Otomatis kalau Bre udah ngomong gitu, gue mau nggak mau harus membawa grup ini sebaik mungkin. Kalau bawaan gue jelek, bukan cuma grup, tapi secara langsung gue juga merusak citra Bre di mata orang-orang. Tapi, seenggaknya kalau Bre udah suka sama lirik gue dan dia antusias banget buat menyanyikannya, ditambah lagi ratusan komentar positif mengalir di postingan, semoga itu bisa membuat gue lebih optimis.
Agak kesel sih ketika banyak anak cewek yang berkomentar,
"Gilaaak! Vokalis cowoknya imut banget."
"Navy baby face yak 😄. Dikasih permen loly mau?"
"Vokalisnya dedek2."
"Kak Bre, aku udah cup pilih yang tengah."
"Cute And The Couple Goals"
Giiiiiirls! Ya Tuhan, jangan gitulah. Gue itu bentar lagi mau pecah angka 17. Udah gede! Jangan panggil dedek, plis.
Gimana ya? Masalahnya si Ayah itu udah lihat postingannya! Dia follow akun sekolah, jadi otomatis dia berhak kepo sama aktifitas anaknya dengan jalan apapun. Bahkan sampai Bunda tahu! Ya dari siapa lagi kalau bukan Tuan itu. Jadi, Father is true stalker, and mother is creepy detective, so true!
Makanya demi apapun gue nggak akan ngajak Ayah buat hadir di acara besok malam. Di rumah! Di rumah nih, si Ayah udah ngeledek gue dengan bahasa alis yang ngeselin banget. Karena gue yakin sekali kalau dia juga baca semua komentar-komentar fans gue yang menggila itu!
Tunggu...
Apa tadi gue bilang 'fans'?
Oopssy... 🙊
Bukan fans, mereka cuma ingin asik-asik aja.
Gue memfoto stage dan gue kirim ke grup WA yang isinya gue sama The Couple.
Bre berkomentar, "Our war zone. Semangat!"
"Gue belum siap terkenal," ketik gue sambil cekikikan.
"Mangat Dedek!" itu Yusuf
"Suf!"
"Gue setuju soal Cute And The Couple."
"Gue keluar nih."
"LMAO!"
Gue tertawa dalam hati. Selama sebulan ini gue sama mereka udah beneran akrab banget. Malah nanti ada dua lagu yang mau kami tampilkan. Lagu pertama adalah cover, ini tujuannya buat menguji gue ketika sedang mengiringi lagu, bukan jadi central. Malah, di lagu pertama nanti yang nyanyi khusus Bre sama Yusuf, ditemani sama petikan gitar doang oleh gue. Dan lagu keduanya ya milik gue sendiri, Konstelasi Rindu. Kali ini barulah gue sama Bre yang menjadi pusat perhatian.
Gue sama mereka udah latihan serius, semoga esok tidak jadi momen yang memalukan. Dan semua yang kami harapkan bisa terwujud dengan baik. Sekalipun ini cuma acara ekskul, tapi dengan sebegitu seriusnya acara ini dihelat membuat semua orang yang terlibat nggak ada yang main-main.
"Oyy!!!" kejut seseorang sambil menepuk pundak gue dari belakang.
Gue langsung menoleh, "Jangan bikin kaget dong, Rea," kata gue dengan kerjapan. Beneran kaget banget.
"Persiapannya udah beres?" tanya dia sambil mengulurkan gue sebuah permen loli.
Gue menyipitkan mata, "Permen loli? Jangan bercanda," kata gue sambil menyentuhkan telunjuk ke jidatnya pelan.
"Anggap aja ini perwakilan dari semua comenters." Dia tertawa lebar. Lalu menyesap permen loli miliknya.
Gue mengambil permen itu dari Rea dan langsung membuka bungkusnya. Seumur hidup sebenernya gue belum pernah mencicipi permen kayak ginian.
Saat gue menggigit bagian pinggir permen itu, karena nggak mungkin juga gue menjilati seperti anak kecil, tiba-tiba Rea mengambil foto gue dengan kameranya.
"Re! Ya Allah ini anak."
"Nanti kalau ini diposting, kamu makin dikenal loh." Dia meledek banget. Seolah bahagia sambil cekikian.
"Gue nggak suka difoto, Re."
"Iya! Tapi di video promosi itu kamu pede banget. Jadi, anggap saja kamu lagi bohong."
"Apanya yang bohong?"
Dia menggeleng sambil senyum-senyum. Geez...
Lalu gue sama Rea berdiri bersebelahan menghadap ke arah panggung dalam ruangan ini. Sambil sibuk berurusan sama kenikmatan permen loli. Ya Tuhan, permen loli! Ini gue udah gede kenapa makan beginian? Ah, Rea.
"Seketika tempat ini jadi seperti panggung konser beneran, ya," ucap gue.
"Kan emang mau konser beneran. Persiapan udah matang, ada panggung, kursi penonton ada banyak, pencahayaan, nuansa twilight, pengharum ruangan aroma kopi, itu konser yang sempurna."
Gue mengangguk-angguk, beranjak duduk di salah satu kursi. Lalu Rea mengikuti gue.
Belum tahu pasti apa penyebabnya, Rea semakin dekat sama gue. Mungkin bisa dilihat dari cara dia yang sekarang berada di dekat gue ini, padahal seharusnya dia udah pulang. Dia seperti tahu kalau seorang cowok yang lagi punya sibuk itu butuh ditemani. Jujur gue nggak bisa menolak keberadaannya. Merasa asik aja. Keakraban yang terjalin pun rasanya cukup mudah untuk diciptakan. Malah gue udah dua kali menemani dia ke sanggar. Yang kedua ini sudah janji, karena waktu akhirnya gue sama dia gagal nongkrong di Mango Factory, gue yang bilang kapan-kapan kita main lagi. Dan dia mengiyakan dengan mudah.
"Menurutmu bakal asik nggak acaranya?" gue bertanya iseng.
"Asik, gue sekarang seperti sudah bisa mendengar denting piano, petikan gitar, gesekan biola, dan suara-suara kalem anak-anak akustik."
"Gue bakal lolos nggak?"
"Gue belum nemu alasan kenapa kamu harus gagal."
Well, dia mudah bikin gue tenang. Bibir yang tersenyum ini agaknya memang udah nemu alasan kenapa harus melakukannya.
Suara-suara riuh terdengar memasuki auditorium. Yang pertama kali muncul adalah Alex. Dia melambai tangan ke gue santai. Gue akhirnya membalas juga. Lalu diikuti seseorang bernama Lotus, dan yang paling belakang ada Lou berjalan pelan membawa tas biola. Tanpa alasan apapun, mungkin, tapi saat itu tatapan gue sama Lou bertemu dan seketika dia menunduk sambil terus berjalan. Apa karena ada Rea di ruangan ini? Tapi belakangan dia memang sedikit aneh sikapnya. Tetap mau jawab kalau gue bertanya, cuman lebih banyak menghindar dari pada berusaha meladeni.
Sesekali ketika gue memikirkan ini kadang heran. Kenapa sesuatu yang susah sekali ditemui alasannya bisa hadir tanpa pertanda. Tiba-tiba saja ada di dada. Sesuatu yang rasanya pilu kalau melihat seseorang berjalan dengan orang lain. Secara teknis memang gue nggak memiliki siapa-siapa, tapi ada masanya seperti ini, seolah berhak pada seseorang yang belum pantas diakui sebagai milik.
Pada intinya, jomblo itu golongan sosial yang paling membutuhkan jomblo lainnya. Atau setidaknya menginginkan seseorang agar tetap jomblo biar bisa diajak bareng-bareng bikin lembar baru berdua.
Gue tidak ingin mengakui sesuatu. Cukup kalian artikan sendiri saja kenapa gue melantur seperti ini tentang Lou.
Untuk sesaat, gue sama Rea juga berada pada situasi tanpa bahasa. Aksara-aksara kami tertelan oleh simfoni yang sedang dimainkan di sudut depan sana. Penampilan mereka tidak ada vokalis, agaknya Lou memilih untuk menyuguhkan resital saja.
2
"Kenapa Ayah kamu nggak boleh datang?" tanya Rea. Kita sedang duduk di halte nunggu bus. Gue nggak setiap hari dijemput oleh Ayah. Intinya dia selalu menyempatkan ketika ada waktu luang buat memperhatikan gue. Karena kebetulan gue sama Rea pulangnya searah, cuman gue lebih jauh, makanya gue sama dia jadi lumayan sering pulang bareng gini.
"Nggak apa-apa. Acara seperti ini tidak cocok untuk usianya."
"Kenapa?"
"Mmm, atau gue belum siap aja kalau dia nonton."
"Ya nggak apa-apa sih kalau Ayah kamu nonton. Kan kamu boleh ajak orang spesial buat hadir di acara besok. Lagian kalau kenyataannya kamu masih butuh pengakuan dari beliau, bagus dong misal kamu ajak dia buat hadir."
"Gue nggak yakin bakal ada orang tua di acara itu."
Rea tertawa, "Betul juga."
"Jadi, apa di klub dance juga ada pertunjukan kayak gini?"
"Ada sih, tapi biasanya buat penutupan tahun ajaran."
Gue terdiam sesaat. Lalu muncul rasa ingin mengutarakan sesuatu, "Sebenernya, gue pilih musik karena ingin mengusik sepi aja. Kebetulan jadi suka, ya sudah dijalani aja. Tidak ada niat bakal sejauh ini sih sebenernya."
"Berapa persen niatnya?"
"Dibawah 70. Tapi itu persentase niatan gue buat ikut serta kayak ginian. Bukan soal kesukaan gue pada musik. Gue memang belum mencapai taraf addict, tapi seenggaknya udah cukup nyaman sama musik."
Rea mengangguk paham. "Terus apa dong, impian kamu kedepannya?"
"Mmm, apa ya?" kita berdua tertawa di sini. "Gue nggak terlalu jauh sih."
"Sejauh mana?" dia masih tertawa kecil.
Lalu sebuah bus terlihat melaju dari kejauhan. Ketika bus itu berhenti di halte. Terjadi sesuatu yang aneh.
"Kalau kamu mau pulang duluan, silahkan," kata gue.
"Kamu nggak?"
"Mm, masih ingin duduk di sini."
"Ya udah, kalau gitu gue juga nanti."
"Kenapa?"
"Masih ingin duduk di sini."
Gue menarik sebuah senyum untuk jawabannya itu.
"Nggak naik, Pak!" seru gue ke sopir. Tak lama bus itu melaju tanpa menaikkan satu penumpang pun dari halte ini. Iya, karena cuma ada gue sama Rea.
Beberapa saat kita diam canggung. Kok gini ya jadinya.
"Terus?" kata Rea sedikit malu-malu.
"Apanya?"
"Ya lanjutin ngobrolnya."
"Oiya." Gue mengangguk, lalu menghela napas sebelum memulai bicara. "Gue ingin punya-. Eh, kamu udah nonton dvd yang gue beliin waktu itu?"
"La La Land?"
"Yaa apa lagi?"
Dia terdiam beberapa saat. "Mm..."
"Udah?"
"Mm, ikut gue yuk bentar," kata Rea sambil tersenyum jahil seperti menyembunyikan sesuatu.
"Ke mana ya?" gue menyudutkan alis.
Rea mengerjap dan langsung memegang tangan gue. Dia menariknya sampai membuat gue mengikuti dia berlari.
Rea larinya cepat. Nggak heran kalau kakinya udah lincah sekali buat bergerak. Dia kan penari kontemporer.
Kami terus berlari melewati gerbang. Dia membawa gue kembali masuk ke area sekolah yang udah sepi. Terus berlari terus. Sampai akhirnya berhenti di tengah-tengah lapangan basket.
Gue ataupun dia sama-sama terengah, memegangi lutut masing-masing.
"Kamu gila ya! Ini mau ngapain coba bawa gue lari jauh-jauh dari halte, masuk lagi ke sekolah sampai di lapangan ini."
Rea tergelak, "Ya karena kamu nanya, apakah gue udah nonton filmnya atau belum?"
"Apa hubungannya?"
"Jelas ada."
"Re?"
Kemudian dia menjauh, mulutnya masih tersenyum. Dikeluarkannya ponsel dari saku lalu dia memutar sebuah lagu. Otomatis, gue langsung paham itu lagu apa.
Rea meletakkan tasnya di paving, lalu menaruh ponsel itu di atasnya.
"Re, serius."
Dia mulai menari dengan koreografi yang sama persis seperti di film. Adegan di detik ketika Seb dan Mia baru pertama dekat setelah melalui sebuah pesta konyol. Di jalanan aspal mereka menari, tengah malam, dan hanya ditemani lampu jalan dan pemandangan lama kota Los Angeles tempo dulu. Dan harusnya, ada lirik-lirik yang mesti dilantunkan sebelum dia menari, tapi Re mencegat sampai di bagian menari.
Lalu gue? Mau ngapain? Gue nggak bisa menari ataupun buat gerakan kecil.
Dia bergerak mengitari gue yang cuma bisa berdiri heran melihat dia. Ketukan kakinya rapi dan terlatih. Tangan gue berkacak sambil senyum-senyum.
Ya Tuhan, cewek ini.
"Ayo dong, kamu ikutan. Olahraga."
"Rea, gue nggak akan mau kalau disuruh joged."
"Joged sama menari, itu beda persepsinya."
"Nah, apalagi kalau menari."
"Ayo!"
"Nggak akan. Udah lah, oke oke, sekarang gue tahu kamu udah nonton."
Lalu dia berhenti dan ketawa.
3
Bagi kebanyakan orang playlist lagu di ponsel menjadi suatu hal yang paling privasi. Bahkan gue sendiri juga pasang kata sandi paling kuat buat melindungi file musik gue dari tangan siapapun. Karena tidak bisa dipungkiri terkadang seseorang menyimpan sebuah lagu yang tidak ingin ada satu orang pun yang tahu, sebab kemungkinan besar lagu itu mendeskripsikan diri dan perasaannya sendiri dengan sangat baik. Jadi kalau ada orang yang berani menunjukkan playlist di ponsel miliknya kepada orang lain, itu keren, gue boleh bilang itu sama saja seperti menunjukkan bagaimana kepribadianmu sendiri.
Di auditorium ini sudah penuh sama anak-anak sekolah yang akan jadi penonton acara seleksi. Mereka bisa dianggap sebagai sekelompok orang yang memiliki playlist sama khusus malam ini. Sementara kami yang akan tampil adalah track yang sedang ditunggu oleh mereka.
Acara dimulai kemudian, dibuka oleh MC yang pembawaannya asik banget. Semua penampil menunggu di balik stage. Berbeda dengan Yusuf dan Bre, gue merasakan kegugupan yang teramat. Ini pertama kalinya gue manggung secara terbuka kayak gini. Meskipun udah latihan berkali-kali, tapi yang namanya live perform, memang selalu berhasil membuat perut mules. Wajar dong.
"Kalem aja. Kita tampil yang paling akhir. Jadi, sembari menunggu giliran mending kita awasi penampilan yang lain biar bisa membandingkan, supaya pede," kata Yusuf.
"Ini pengalamam pertama gue, Suf."
"Semua orang tahu."
Setengah jam pertama diisi oleh penampilan hiburan anak-anak senior. Dan kualitas mereka memang udah nggak bisa diragukan lagi. Bagus-bagus banget. Bahkan mereka melakukan aransemen kreatif yang boleh gue akui, cara mereka mengcover lebih bagus dari lagu aslinya.
Tibalah pada penampilan peserta. Tiga urutan pertama diisi oleh para vokalis. Maksudnya mereka yang memiliki talenta tarik suara. Baru setelahnya diikuti oleh pemain perkusi dan alat musik melodi.
Sampai akhirnya, urutan kesembilan diundang maju ke depan. Suasana sudah semakin malam (pukul 21.00), tapi tetap dalam pengawasan guru pembimbing klub, Pak Mathias dan beberapa guru lainnya yang ikut menikmati suguhan musik dari murid-muridnya yang kreatif ini.
Nomor urut kesembilan adalah grupnya Louisa. Gue bisa menebak, tentu adanya Alex sebagai ketua klub menjadi alasan kenapa mereka mendapat urutan ke sembilan. Tapi, gue sendiri sangat menunggu penampilan dari Louisa. Apa jadinya kombinasi antara piano dan biola versi mereka nanti.
Dari belakang panggung gue rela berpindah ke depan. Karena Rea sama Pian cs duduk di depan juga, maka gue memilih bergabung di antara mereka, lebih tepatnya di sebelah Rea. Gue nggak merhartiin bagaimana ekspresinya kali ini, maksudnya soal adanya Lou.
Pada kesempatan itu jantung gue berdegup kencang melihat Lou yang berdiri di sana. Dia memakai pakaian bagus dan sangat cantik. Alex memakai pakaian formal layaknya pianis, sementara Lotus menyamai pakaian Lou. Dalam hati gue berbisik bahwa mereka sudah bisa dipastikan bakal lolos. Tapi coba aja bagaimana penampilannya nanti.
Yasss!
Intro dibuka oleh gesekan biola dari Louisa yang durasinya sekitar satu menit. Dari itu pun tepuk tangan riuh sudah menggema di seluruh ruangan. Gue lihat Rea juga bertepuk tangan dalam tenang wajahnya.
Menit berikutnya duet menakjubkan antara Lou dengan Lotus. Disambung oleh dentingan manis jemari Alex di atas tuts piano.
Untuk ukuran anak SMA, penampilan mereka sudah di atas rata-rata. Hebat dan seolah tanpa cela. Mereka tampil sekitar sepuluh menit, ditutup aransemen sebuah lagu milik Anji.
Namun, ketika gue yakin banget kalau jatah waktu tampil mereka sudah habis. Tiba-tiba Alex memulai dentingan piano dengan nada yang romantis. Bahkan gue bisa melihat Lou dan Lotus kebingungan apakah mereka harus mengiringi atau tidak. Semua orang menjadi fokus ke dia. Bahkan gue pun dibuat heran juga.
Lalu secara mendadak lagi dia menghentikan permainannya.
Senyap.
Semuanya tertegun fokus menghadap ke depan.
Berikutnya Alex berdiri dan mengeluarkan sebuah mic yang ternyata sudah dia kantongi dari tadi.
"Semuanya, gue mohon perhatiannya sebentar," kata Alex dengan suara yang tenang.
Gue secara pribadi juga kebingungan di sini. Dia lagi apa-apaan?
"Mm, mungkin ini sedikit jadul," Alex mendekati Louisa.
Di sebelah gue Rea terkesiap sambil menutup mulutnya, "Oh my God!" ucapnya lirik.
"Kadang kegilaan bisa muncul secara tiba-tiba ketika kita bertemu dengan orang baru yang bikin nyaman. Gue di sini bukan mau bokis atau apa. Bukan juga mau menjatuhkan arti privasi itu sendiri."
Alex bilang begitu, kebanyakan penonton langsung berseru dan tepuk tangan.
Apa sih yang spesial dari kata-katanya?
"Kepada Louisa," ucap Alex.
Entah kesimpulan apa yang terlahir di dalam kepala gue. Seketika mata gue melebar dan napas menjadi sesak.
"Gue cuma ingin menegaskan. Ini tegad gue dengan obrolan kita malam lalu. Tentang perasaan gue ke kamu, Lou."
Jeritan anak cewek melesat kencang memekakan telinga. Riuh. Ramai. Tapi gue lihat Louisa merasa nggak nyaman di situasi ini. Dia juga seperti sudah mengerti maksud dari ini semua.
"Fis?" itu suara Rea. Gue mendengarnya tapi tak ingin menoleh.
"Jadi, gue nggak main-main sama omongan gue, Lou. Ini pertama kalinya gue melakukan ini kepada cewek. Gue ingin bilang lagi di depan banyak orang, bahwa gue, Alex Antara, sudah jatuh cinta kepada seorang Louisa Triyuswana."
Seperti ada tinju keras di dada. Rasa sakit itu menyergap bersama histeris para penonton.
Gue kesakitan.
Gue merasakan pedih itu kali ini, bersama rasa-rasa yang sebelumnya masih tabu dan sulit dijelaskan.
"Mau nggak, kalau kita bikin komit bareng-bareng? Untuk pertama kalinya, dan coba kita jaga sampai lama."
Gue memejamkam mata, menunduk dan sudah tidak peduli dengan kata-kata gombal cowok itu lagi.
"Terima..
Terima..
Terima.."
Teriakan semua orang bikin gue sengit.
"Gimana, Lou?"
Hening cukup lama, lalu gue langsung hengkang ke balik panggung setelah mendengar Louisa menjawab 'Iya' pakai mic juga.
Di dalam dada mendadak terjadi cuaca buruk yang tak terprediksi sebelumnya. Ini baru satu bulan dan mereka sudah menginjak jenjang yang tidak disangka. Lalu apa hak gue di sini untuk merasa sakit? Sebenernya apa yang sudah gue lewatkan?
"Lo nggak apa-apa? Jangan gugup gitu. Kita pasti bakal tampil dengan baik," kata Bre sambil dia memegang pundak gue.
Ketika mereka turun dari panggung, giliran grup gue yang maju.
"... Navy and The Couple Goals."
Ya Tuhan, ini kenapa buyar sekali kepala.
Tepuk tangan ramai sekali. Dan sepertinya ini jadi yang paling meriah dibanding sebelum-sebelumnya. Anak kelas gue pada maju ke baris depan sambil menyodorkan kamera ponsel masing-masing.
Tadi gue belum fokus, tapi sekarang Rea juga masih di posisinya memangku sebuket bunga dan semangat sekali bertepuk tangan.
Dan sialnya!!!
Ya Tuhaaan...
Itu kenapa Ayah gue ada di belakang barisan?
Ah, mengacaukan suasana banget sih.
"Jangan pakai lama. Bawa santai aja," kata Yusuf yang udah duduk di atas cajon. Sementara Bre juga duduk di atas kursi tanpa sandaran, begitu pun gue. Masing-masing dari kami sudah menghadap pada standing mic.
"Selamat malam buat semuanya yang hadir. Umm, thanks buat kalian yang udah menunggu penampilan kami sampai urutan terakhir ini," gue berusaha sekali untuk bisa mengabaikan Ayah di antara penonton. "Umm, di sini udah pada tahu kan nama grup kami ini apa?"
"Tahuuu..."
Selentingan gue mendengar ada yang bilang "Cute And ..."
"Okey, nama grup kami ..." itu kenapa Ayah malah merekam pakai ponselnya! "Navy And The Couple Goals. Mungkin buat yang penasaran sama filosofi namanya bisa ditanyakan langsung aja ke pasangan ini. Tapi, setelah kita perform. Dan malam ini, ada dua lagu yang akan kami bawakan. Pertama sebuah cover lagu romantis yang akan dinyanyikan khusus oleh pasangan paling hits di sini... dan lagu kedua adalah Konstelasi Rindu yang sempat kalian lihat proses latihannya di Instagram tempo hari. Jadi, tak perlu menunda waktu, here we are!"
"A beautiful song by Winda Viska, Sempurnalah Hidupku," kata Bre yang langsung disambut tepuk tangan dan sorakan riuh.
Bismillah..
Di sini gue berusaha tenang, fokus pada apa yang harus gue lakukan pada penampilan terbuka pertama gue ini. Gue menyingkirkan rasa-rasa negatif yang muncul sedari tadi. Musik akan menjadi lebih baik kalau yang memainkannya sudah dalam kendali tenang.
Oke, gue memulai dentingan pertama. Disusul tepuk tangan, lalu sisanya gue serahkan ke Yusuf dan Bre.
Navy//Intro:
🎸🎸🎸🎸🎸
🎸🎸🎸🎸🎸
🎸🎸🎸🎸🎸
Bre: 🎤
Hari ini aku telah menemukan tempatku berlabuh,
Ya kamulah kasih,
Kamu seorang yang selalu ku impikan.
Genggamlah tanganku kini aku milikmu ...
Kubahagia bersamamu,
Sempurnalah hidupku kini ada dirimu,
Kan kujaga cinta ini,
Sampai akhir nanti kita berhenti bernafas.
Yusuf: 🎤
Kau tak pernah letih,
Pahami aku, mengerti rasaku
Kau buatku yakin kau terakhir untukku.
Kubahagia bersamamu,
Sempurnalah hidupku kini ada dirimu,
Kan kujaga cinta ini,
Sampai akhir nanti kita berhenti bernafas.
Navy//Melodi:
🎸🎸🎸🎸🎸
🎸🎸🎸🎸🎸
🎸🎸🎸🎸🎸
Bre//Yusuf: 🎤
Kubahagia bersamamu,
Sempurnalah hidupku kini ada dirimu,
Kan ku jaga cinta ini,
Sampai akhir nanti kita berhenti bernafas,
Kau sempurnakan hidupku.
(Original Song)
Lagunya enak 👍
Ketika sampai pada bait terakhir, gue memejamkan mata dengan ladu hati yang bergemuruh. Pasti, pasangan baru itu sangat menikmati lagu yang sedang kami mainkan ini.
"Navy!" Yusuf membangunkan gue dari lamunan. "Fokus! Sekarang giliran lagu lo."
"Eh? Iya."
---o0o---
Silahkan berkomentar dan kasih bintang. 😕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top