Chapter-02: Semua Bertemu Karena dan Untuk Sebuah Alasan

Kalau tak siap, tahan saja rasamu. Mengungkapkan tak semudah merasa. Dan lebih dari itu, pembuktian tak semudah mengungkapkan.

***

Mobil itu kembali melaju setelah menurunkan gue. Posisinya nggak jauh dari gerbang sekolah yang ukurannya lebar dan membentang. Jelas gue nggak akan nemu gerbang sekolah yang kayak gini kalau di desa. Tenang saja, gue tetap mencium tangannya tadi sebelum gue keluar dari mobil. Sekalipun gue langsung menarik diri waktu dia mencoba mengelus kepala gue dengan tangannya yang lain. Bukan karena gue takut tatanan rambut gue akan rusak, toh rambut gue juga nggak ada gaya apa-apa, tapi karena, anggap saja gue nggak ingin diperlakukan seperti itu olehnya.

Lupakan.

Ini hari pertama gue mau mencicip rasanya belajar di 'kota'. Seperti apa sistemnya gue penasaran.

Sebelum memutuskan masuk ke area sekolah yang luasnya pake banget, gue berdiri agak jauh dari gerbang. Cuma pengin mengamati dan menggeleng sesaat untuk berheran pada keputusan Ayah bahwa gue ke Jakarta cuma mau lanjut di sekolah sebesar dan semewah ini. Entah apa yang membuat ribuan peserta ikut seleksi masuk. Dan kenyataannya gue pun ikutan daftar juga.

Tapi serius, ada satu hal yang bikin gue sedikit bisa toleran, yaitu alasan kenapa sekarang di punggung gue ada gitar akustik. Ternyata di sekolah ini ada klub khusus penikmat musik akustik. Ya gue seneng lah karena itu favorit gue banget, makanya waktu itu gue langsung daftar dan semangat bawa si doi, gitar gue, ke sekolah buat jadi rekan seleksi. Harusnya sih gue nggak perlu heran ya karena ini kan 'kota'. Which is sesuatu yang semacam ini udah pasti ada. Gue udah ngisi formulir pandaftaran, dan kebetulan hari ini juga pertemuan pertama klub minat tersebut.

SMA gue ini selalu ramai. Iya, gue sudah melihat sendiri keadaannya waktu MOPD yang sampai menjelang maghrib acaranya. Bukan acara penindasan yang terdengar seperti kasus sadis pada umumnya. Kayaknya sekolah gue ini agak lesu untuk mengadakan acara MOPD yang kayak gitu. Nggak ada senioritas atau penindasan saat MOPD di sini. Melainkan, yang tercium justru adalah aroma kasta. Ada semacam pembeda antara siapa yang memiliki, sebut saja, kekayaan yang paling besar. Dan itu bukan dari pihak sekolah, tapi siswanya. Itu dia, satu hal yang gue benci dari sekolah elit. Gue memang nggak pernah setuju masuk sekolah ini. Makanya kalau ditanya sama teman gue yang pernah SMP bareng, gue jawabnya, 'aah, SMA gue nggak lebih baik dari SMA kalian di sana,' dan ketika mereka menjawab, 'masa siswa yang masuk sepuluh besar nilai UN terbaik se-Jateng sekolah di SMA yang biasa-biasa saja,' well, pada akhirnya gue harus mikir kebohongan sekali lagi. Jadi memang benar, tidak ada kebohongan yang berdiri sendiri.

Setelah puas memandang gedung megah itu, gue mulai berjalan melewati gerbang kemudian. Satu dua orang terlihat ada yang bawa alat musik juga, mungkin salah satu dari mereka akan jadi teman gue nanti.

Kelas gue ada di gedung C lantai dua. Itu artinya gue harus berjalan cukup jauh. Tapi nggak apa-apa, yang penting gue bisa lebih tahu seluk beluk lingkungan sekolah kalau ambil rute yang berjarak. Gue usaha sekali supaya tampil biasa-biasa saja ketika masuk nanti. Dua minggu ini gue juga sudah berusaha keras supaya nggak terdengar medok waktu bicara, agaknya berhasil. Jadi semoga hari pertama ini berjalan dengan baik.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, gue hampir nggak melihat sampah yang tergeletak. Semua sudut nampak bersih dan rapi. Tapi nggak terlihat ada siswa yang lagi bersih-bersih, yang melakukannya itu petugas. Seakan di sekolah ini siswa cuma difokuskan untuk belajar saja. Itu anggapan gue aja sih, karena gue juga belum tahu pasti gimana kedepannya.

Apalagi logo sekolah yang tertempel di seragam gue berkesan elit dan future oriented banget desainnya. Seolah yang lulus dari sekolah ini bakal dapat jaminan masa depan yang cerah. Gue sengaja mangambil jalan yang bisa melewati ruang klub akustik, karena kalau gue harus terpaksa betah di Jakarta, kayaknya ruangan ini bakal jadi rumah kedua gue.

"Anak baru?" suara cowok mengagetkan gue yang lagi berdiri di depan papan informasi ruang klub. Gue menoleh seketika. Di belakang gue sudah berdiri cowok yang tingginya hampir sama seperti gue, tapi agaknya dia itu senior, karena dia memakai blazer elegan warna donker yang merangkap seragamnya. Satu bulan pertama anak kelas sepuluh memang belum mendapat blazer itu.

Dia tersenyum, agaknya bersahabat. "Iya," jawab gue berusaha santai.

Lalu dia berjalan mendekati pintu ruangan, merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah bandulan yang menggantung beberapa kunci. "Ikut klub akustik juga?" tanya dia sambil berusaha memutar kunci yang tepat.

"Ya," gue nggak gugup ngomong sama senior, tapi memang harus jawab pake ya kan?

Terdengar suara klik di lubang kunci. Sebelum dia membuka knopnya tiba-tiba tangannya mengulur ke gue. "Alex Antara."

"Ya?" sial, gue telat koneknya. "Oh, Nafis," gue langsung menyambar tangan Alex.

"Lo harus tampil beda kalau bawa gitar. Di sini udah ada tiga orang yang nggak bisa diremehin permainannya."

"Bisa dicoba nanti gue mainnya gimana."

"Kayaknya keren." Dia tersenyum lebar sambil melepas jabatan tangan, lalu kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Dari penampilan dan gelagatnya sih, agaknya dia populer di sini.

"Gue percayakan penampilan nanti sama doi," kata gue sambil menunjuk gitar di punggung. Nanti ada uji penampilan buat anggota baru. Yang punya bakat bakal bener-bener masuk jadi anggota, dan yang kurang oke juga nggak tanggung-tanggung bakal kicked out.

"Gue tunggu penampilan lo," kata Alex.

"Siap. Oh iya, itu di poster bakal ada special perform dari angota baru?"

Dia mengangguk tegas. "Ya. Nanti kalian bakal dites layak apa nggak. Kita kasih kesempatan ke kalian selama sebulan buat mempersiapkan diri, supaya bisa masuk."

"Nampilin kemampuan kita?"

"Lebih tepatnya karya kalian."

"Maksudnya?"

"Nanti lo nggak boleh cover lagu orang lain pas tampil. Harus nampilin karya sendiri. Entah itu lagu, instrumental, perkusi, atau kombinasi. Karena klub ini nggak main-main, lo bisa dapat job manggung di kafe-kafe kalau beneran serius dan penampilannya bisa dinikmati."

"Keren juga."

"Nanti lo juga tahu lebih detil pas kumpul." Alex lalu masuk ke dalam ruang klub tanpa meninggalkan semacam senyum. Oke, agaknya dia senior yang baik.

Gue melihat papan informasi sekali lagi. Sebelum pergi gue sempat memfoto poster itu cuma buat mengingat.

2

Waktu mau menaiki tangga, gue lagi-lagi dibikin terkejut oleh seseorang. Tapi kali ini cewek, agaknya murid baru juga sama kayak gue. Dia salah satu dari sekian banyak siswi yang memakai rok pendek. Dia entah siapa namanya itu berjalan cepat mendahului sampai menyenggol gitar gue sedikit.

"Sorry," katanya sambil terus mempercepat langkah. Rambutnya diikat kebelakang membuatnya berayun-ayun mengikuti langkah dan salah satu tangannya membawa tas yang gue yakin banget itu isinya biola.

Oke, nggak masalah, dia bilang sorry tadi. Dan gue juga nggak apa-apa. Ini bukan adegan tabrakan klise yang bertebaran di mana-mana, yang paling parah endingnya bakal benci-bencian lalu jadian. Begitulah kejadian di manga shoujo yang sering gue baca. Ini kehidupan nyata, nggak mungkin banget ada kejadian kayak gitu, emm, kemungkinan kecil.

Sampai pada koridor kelas, gue mengernyitkan dahi saat melihat cewek yang tadi berbelok masuk ke kelas gue. Well, dia teman sekelas rupanya.

Jadi tiap kelas di sekolah gue itu nggak kurang dan nggak lebih ada 32 orang. Delapan kali delapan posisi kursinya. Tempat duduknya bebas, maksudnya kamu boleh duduk satu bangku cewek-cowok. Tapi kayaknya karena di antara kita belum banyak yang saling kenal, makanya pada setel aman duduk dengan gender yang sama. Nggak tahu nanti kalau udah mulai akrab bakal kayak apa formasinya.

Di kelas gue cowoknya cuma ada 11, sisanya cewek. Kebayang kan gimana rasanya bagi kami para cowok yang tinggal di kelas yang didominasi oleh cewek. Risih seneng gimana gitu. Dan nasib buruk dari jumlah ganjil itu, pasti harus ada yang duduk berpasangan cewek-cowok.

Tahu nggak?

Ck.

Pas gue masuk kelas, sepuluh anak cowok selain gue itu udah pada duduk berpasangan semua. Di sana otomatis gue agak bingung mau duduk di mana. Ini entah gue yang berangkatnya agak kesiangan atau mereka yang udah niat buat nyari aman duduk bareng sesama cowok. Gue cuma bisa midar-mider sambil menggigit bibir bawah dikit. Ini kayaknya gara-gara kelamaan debat sama Ayah soal 'diantar atau tidak'.

Akhirnya gue dengan TERPAKSAnya duduk di kursi pada deret ketiga, baris ke tiga. Bangku persis di depan gue diisi oleh cewek tadi yang bawa biola entah dia mau duduk sama siapa, di depannya lagi udah diisi dua cewek, sementara di belakang gue persis ada dua cowok yang sepertinya mulai mengakrabkan diri. Dan gue nggak tahu bakal duduk sama siapa. Semoga, semoga saja, gue bener-bener berharap siapa saja yang mungkin bakal dapet tempat duduk di sebelah gue itu nggak pernah masuk sampai kapanpun, nggak apa-apa kalau jatuhnya gue duduk sendirian. Gue cuma bisa menghela napas. Berusaha untuk nggak peduli sama cowok-cowok asem yang udah pada dapet teman duduk cowoknya.

Gue berdiri untuk beranjak ke deretan loker yang ada di sisi paling belakang kelas. Lalu mengambil kunci di saku yang sudah bernomor angka 1 di bandulnya. Itu nomor absen gue kayaknya, memang dari SD gue selalu dapat nomor absen pertama ─nasib punya nama berawalan Abdu.

Saat loker terbuka, isinya masih kosong, tapi nggak muat juga misal ada gitar di sana. Akhirnya gue menaruh si doi di atas loker.

Tak lama kemudian ada seruan dari pengeras suara yang letaknya tepat di atas loker bagian gue. Seruan apalagi kalau bukan perintah buat upacara bendera.

Lalu seisi kelas pada berduyun keluar. Gue menyiapkan topi sama ngerapiin dasi biar nggak kena masalah, mungkin saja.

Saat kebanyakan anak kelas udah keluar, gue masih ribet benerin dasi. Ada satu cowok di seberang gue yang masih nyari sesuatu di tasnya. Gue menoleh ke dia sesaat. Lalu ketika gue berjalan sampai ambang pintu, gue berhenti dan berbalik.

"Mau ditungguin?" tanya gue.

Dia mengangguk sambil melepas senyum santai.

"Tadi udah dimasukin kok," dia bergumam.

"Nyari apa?"

"Topi," jawabnya, "Ah, ini dia." Lanjutnya langsung memakai topi itu. Lalu dia sedikit berlari menyusul gue.

Di koridor depan kelas udah ramai anak-anak yang mau ke lapangan. Gue berjalan beriringan sama dia.

"Nama lo siapa?" tanya gue.

Dia tersenyum lalu merangkul gue akrab banget sambil nyodorin tangan. "Panggil aja Pian."

"Pian." Gue mengangguk-angguk sambil meringis. "Gue Nafis."

"Bukan orang sini ya?"

"Gue dari negeri seberang."

"Jawa Barat?"

"Bukan."

"Berarti Banten ya?"

"Kalau gue bilang dari Medan percaya?"

"Kagak lah! Lo nggak ada logat Bataknya, Fis!"

Gue ketawa di sana. Ini kenapa Pian orangnya langsung akrab gini ya? Padahal waktu MOPD gue nggak ngelihat yang wajahnya kayak dia. "Gue dari Jateng."

"Ooh."

Sebenernya pundak gue berat sih dirangkul gini. Tapi nggak enak bilangnya.

Saat gue sama Pian menuruni tangga, kita papasan sama seorang cewek yang penampilannya, jujur, menurut gue cantik. Dia jalan tergesa-gesa.

"Re?" kata Pian. Dia kenal cewek ini?

"Eh, Yan. Gue telat nih," kata cewek yang dipanggil oleh Pian dengan Re itu. "Kebagian tempat duduk nggak ya?"

Pian melihat ke gue sebentar. "Kebagian lah."

Gue nggak ngapa-ngapain sih, cuma diem aja.

"Lo duduk sama siapa, Yan?"

"Gue udah sama Dion."

"Dion siapa?"

"Ya anak baru juga."

"Ih," cewek itu seperti menyesali. "Kenapa lo nggak duduk sama gue?"

"Ya nggak apa-apa. Tadi sih udah duduk sendirian, tapi Dion main duduk aja, ya masa gue usir."

Cewek itu berdecak lalu buru-buru pergi.

"Buruan ke lapangan!" seru Pian.

Gue sama Pian pun lanjut jalan.

"Lo kenal dia?" tanya gue. Lega karena Pian berhenti merangkul.

"Kenal banget malah. Dia sepupu gue. Anjir nggak ngira gue bakal sekelas juga sama dia. Kita beda SMP loh dulu. Tahu aja pas kita mau tes di sini."

"Oh gitu."

"Sebenernya nggak mau SMA di sini dia. Pengennya sih ke Liverpool nyusul bokapnya."

"Hah?" gue terkejut beneran. "Jauh-jauh amat ke Liverpool?"

"Dia keturunan bule. Bokapnya orang sana. Lo nggak lihat tadi dia matanya biru?"

"Lah gue kira pake itu ... apa namanya-."

"Lensa kontak? Nggak, itu asli."

Gue mengangguk-angguk.

"Barangkali penasaran, namanya Milly Reason."

"Milly siapa?"

"Reason?"

"Reason ... alasan?" gue mengeja pakai bahasa Inggris. Nggak heran sih kalau di sini bakal banyak ketemu nama-nama yang aneh. Karena gue juga sempat lihat daftar nama siswa yang lolos masuk sekolah ini. Jarang banget gue nemu nama yang sejenis Anwar, Budi, Agus atau ya yang umum banget. Bahkan kayaknya nama gue itu termasuk yang standar banget kalau dibilang keren, tapi itu nggak penting, iya nggak sih?

"Bokapnya namanya Edward Reason. Om gue."

"Makanya lo panggil dia Re?"

"Rea."

"Padahal bagus kalau dipanggil Milly," kata gue. Tiba-tiba Pian menyenggol pundak gue dengan pundaknya sambil menyeringai. "Kenapa?"

"Nggak. Dia nggak suka yang imut-imut."

"Imut? Memangnya nama Milly itu imut? Wajar aja buat cewek."

Pian tergelak, dan merangkul gue lagi. Ah ini anak.

"Tadi kursi yang kosong cuma di samping lo. Jangan nakal ya lo, kalau dia duduk di situ."

"He! Gimana sih. Kan tadi dia pengin duduk sama lo, Pian. Kita tukeran aja, gue duduk sama yang namanya Dion itu."

"Pliis, gue nggak akan mau. Dia itu orangnya cerdas banget Fis. Gue nggak enak lah kalau nanti nyontek sementara gue sebelahan sama Rea. Diketawain sampai tujuh turunan bisa-bisa."

Nyontek? Itu perbuatan jahiliyah yang nggak keren banget.

"Lo boleh ambil posisi gue, Yan."

"Nggak akan pernah," katanya sambil tertawa.

Dan sekuat apapun gue memaksa dia supaya mau duduk di kursi gue, agaknya sulit meyakinkannya.

Wah.

Ini bakal jadi hari-hari yang berat kalau gue duduk sebangku sama cewek. Pengalaman pertama kayaknya. Tapi semoga ada keajaiban.

Di lapangan, siswa yang jumlahnya hampir seribu itu ─sekitar 800an─sudah berbaris teratur. Karena masing-masing pimpinan peleton sudah berkoar-koar menyiapkan barisan. Gue sama Pian berlari-lari ke peleton kelas gue sendiri.

Di sana ada kesempatan buat sedikit mengakrabkan sama anak cowok yang sekelas. Ya sekadar kasih keluhan karena cuma gue yang (kemungkinan) bakal dapat tempat duduk bareng cewek. Aselik! Ini nggak lucu sama sekali ketika mereka malah ketawa, ya walaupun gue ikutan ketawa juga. Cuman beda lagi ceritanya ketika mereka pada tahu kalau yang bakal duduk sama gue adalah Rea. Pian yang ngasih tahu.

Cewek itu berjalan agak tergesa bergabung ke peleton kelas. Rambutnya yang hitam legam nan panjang terlihat bergelombang. Kayaknya dia rajin nyalon. Kayaknya. Gue asal menebak. Gue nggak ikut-ikutan anak cowok lain yang pada terpana ke arah Rea. Ya berasa kikuk aja kalau gue ikutan gitu sementara nanti bakal sebangku, misal bener. Aduh, bakal kayak apa?

Tak lama kemudian upacara dimulai. Prosesi demi prosesi dilakukan dengan sangat mulus teratur. Jujur gue salut banget sama kerapian yang ada di sekolah ini. Segala sesuatunya hampir seperti nggak ada yang main-main. Bahkan petugas upacaranya pun memakai seragam khusus mirip Paskibra yang suka ada kalau menjelang peringatan hari kemerdekaan.

Ketika tiba pada amanat pembina upacara, ternyata di saat itu juga sekolah ingin memberi pengumuman daftar siswa berprestasi yang akan mendapat kartu eksklusif. Gue juga baru dengar yang begituan di sini! Sumpah! Padahal kalau di sekolah gue dulu, siswa yang berprestasi cuma dapat keringanan uang bulanan aja. Lah ini, kartu?

"Fungsi dari kartu ini, kalian akan mendapat fasilitas bebas biaya makan di kantin dan peminjaman buku di perpustakaan tanpa batas jumlah dan hari, sekolah yang akan menanggung. " kata Pak Kepala Sekolah menjelaskan.

Whoa! Serius? Ini keren banget. Dari jumlah siswa yang sebanyak itu, ada sekitar 50 orang saja yang medapat kartu itu. Tapi kenapa reward-nya nggak berbentuk uang pendidikan..

"Di sekolah kita ada banyak beasiswa yang bisa kalian kejar. Masing-masing dari kalian, Bapak pastikan akan menyicipi salah satu beasiswa itu meskipun hanya satu kali selama kalian sekolah di sini. Lalu kartu eksklusif yang sebagai hadiah teruntuk mereka yang berprestasi, itu adalah wujud penyemangat dan fasilitas khusus bagi mereka yang telah berjuang meraihnya.

Bebas makan di kantin, karena kami benar-benar ingin memberi hadiah melalui akomodasi bagian ini dengan baik. Sedangkan bebas pinjam buku di perpustakaan, itu dukungan, motivasi serta kepercayaan dari sekolah agar mereka yang berprestasi bisa terus meningkatkan.

Kartu itu hanya berlaku selama satu semester. Jadi untuk yang belum dapat, masih bisa mendapat kesempatan di semester-semester berikutnya kalau kalian berusaha.'

Semua siswa bertepuk tangan ramai dan terdengar semarak sekali. Pidato Pak Kepsek sudah menjawab pertanyaan gue.

Siswa berprestasi dari kelas sebelas dan dua belas sudah diumumkan. Di antara mereka bukan cuma dapat prestasi ranking kelas aja, tapi juga ada yang juara lomba bahkan setingkat olimpiade. Salut!

Pas giliran kelas sepuluh, seluruh angkatan gue pada riuh karena ternyata akan diumumkan sepuluh besar peraih skor seleksi masuk tertinggi. Dan yang semakin bikin krik-krik adalah, peringkat 10 sampai 5 itu nggak ada yang dari kelas gue!

"Gila bener. Di kelas kita nggak ada yang berprestasi?" kata salah seorang yang baris di belakang gue.

Semuanya pada bisik-bisik. Gue mendadak ikut gelisah juga.

"Peraih skor tertinggi keempat, diraih oleh ananda Abdu Nafis Syuhada, asal sekolah ___ dengan skor perolehan 3,87 dalam skala 4.0. dari kelas X.2"

Semua orang bertepuk tangan begitu pun anak kelas gue. Cuman pada bingung mereka.

"Itu dari kelas kita kan? Di sini siapa yang namanya Abdu Nafis?"

Gue diam. Masih terkejut bukan main. Gue berani jujur kalau jantung gue berdegup kencang banget. Darah juga terasa berdesir cepat. Di sebelah gue, Pian bertepuk tangan pelan sambil melongo nengok ke gue.

"Kepada ananda Nafis, dipersilahkan untuk maju ke depan bergabung bersama rekan lainnya."

Gue celingukan sesaat. Waduh. Lalu tanpa pikir panjang gue memasang topi lebih dalam supaya wajah gue agak ketutup, dan melangkah ke depan.

"Anjir! Itu anak dari kelas gue! Nafiiiiiiis."

Begitulah kiranya teman sekelas gue pada bersorak.

Kalian tahu nggak rasanya di posisi ini gimana? Sensasinya luar biasa ketika kamu mendapat tepuk tangan dari ratusan orang karena sebuah keberhasilan. Unpredictable. Unbelieveable.

Gue sudah berbaris di depan bersama peringkat sepuluh sampai lima. Gue nggak berani mendongakkan kepala, beruntung bagian depan topi menutupi sebagian wajah gue.

"Peraih skor tertinggi ketiga, diraih oleh ananda Isla Benjamin, asal sekolah ___ dengan skor perolehan 3,89 dalam skala 4.0. dari kelas X.9"

Tepuk tangan kembali riuh, dan semakin riuh lagi saat pemilik nama Isla maju ke depan. Super sekali, cewek itu memiliki tubuh yang subur, gue berani nggak sopan menebak kalau rok yang dia pakai itu ukuran XLLLL. Nggak tahu deh. Dia gemuk, tapi wajahnya periang dan nggak ada aura suram. Ketika dia berdiri di sebelah gue rasanya seperti ada angin besar yang menerjang.

"Haiiiii" dia ceria banget menyapa, gue cuma menoleh sebentar dan dia sedang tepuk tangan buat dirinya sendiri. Ya Tuhan.

"Peraih skor tertinggi kedua, diraih oleh ananda ... Louisa Triyuswana, asal sekolah ___ dengan skor perolehan 3,93 dalam skala 4.0. dari kelas X.2."

Serius? Dari kelas gue lagi?

Di sana kelas gue udah heboh banget bukan main.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata yang namanya Louisa adalah cewek pembawa biola yang duduk tepat di depan bangku gue.

Dia berjalan keluar dari barisan peleton dengan senyum tersungging manis. Kali ini wajahnya terlihat jelas. Smart looking, kalem, dan rambut ekor kudanya yang bergerak-gerak ketika diajak berjalan, hanya saja wajah dia terlihat sedikit pias. Dia bukan saingan gue, cuma teman sekelas. Dan nggak keren banget kalau gue merasa bersaing sama cewek.

Tiba saatnya pengumuman yang terakhir.

"Peraih skor tertinggi dari jumlah peserta seleksi yang lebih dari tiga ribu calon siswa, diraih oleh ananda ... Milly Reason asal sekolah ___ dengan skor perolehan 3,94 dalam skala 4.0. dari kelas X.2."

Apa? Nggak salah?

Gue mengusap wajah satu kali. Sebagai pengalihan buat lihat keadaan anak kelas yang gila abis.

Yang terjadi ketika seorang Milly Reason maju ke lapangan adalah, suara siulan terdengar melengking dari bibir para cowok senior.

Absolutely.

Gue nggak heran kalau reaksi itu yang terjadi ketika Milly Reason maju, mungkin kehebohannya dua kali lipat dari seorang Louisa Triyuswana.

Setelah hadiah dibagikan berupa piagam serta sebuah kartu berwarna emas dengan desain elegan, dan sesi berfoto usai, semua kembali ke peleton masing-masing.

"Selamat ya!"

Kata Pian sambil geleng-geleng heran, tangannya enteng banget merangkul gue.

Louisa yang baris tepat di depan gue juga mendapat ucapan selamat dari cewek-cewek. Nggak berbeda dengan yang didapat oleh Rea.

Suasana upacara yang riuh kembali dikondisikan. Berikutnya dilanjutkan dengan doa.

Tapi, seketika itu peleton kelas gue dibuat panik, terutama gue sendiri saat dengan tiba-tiba Louisa yang berdiri tepat di depan gue pingsan dan tubuhnya roboh menabrak dada gue. seketika gue yang tanpa tahu apa-apa langsung kerepotan menyangga tubuhnya dibantu sama Pian juga.

Kenapa anak ini?

---o0o---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top