BAB 37: Titik Alfa
Bab ini memang singkat. Namun mewakili satu fase ketika kita sedang merasakan kehancuran yang kita tidak bisa pahami di mana letak intinya, atau dengan siapa kita bermasalah sebenarnya. Terutama tentang marah. Menurut saya sesakit-sakitnya marah adalah saat kita marah pada diri sendiri, sebab kadang sulit untuk diakui atau bahkan tidak bisa diraba sama sekali.
Selamat berlibur.
Selamat membaca.
***
🎸Nafis🎸
...
Sebelum Pian mengabari soal Nasywa gue malah sudah habis dimarahi Ayah lewat telepon. Makanya ketika tiba di bandara gue buru-buru nyetop taksi untuk segera pergi ke RSCM. Namun gue tidak berhenti di dekat RS itu, agak jauh karena Pian bilang sedang menunggu di sana supaya kita barengan masuknya. Pikiran gue sudah putek, melintas sana-sini tidak jelas, hati gue sedang patah, kendali emosi gue tidak sedang dalam keadaan seimbang. Sangat kacau. Mungkin itu yang menjadi penyebab gue kehilangan konsentrasi ketika sedang menyeberang. Bahkan gue nggak tahu kendaraan seperti apa yang menggilas dan membuat lutut gue hancur, kehabisan banyak darah, dan daging di lengan kiri gue sobek. Sampai kapan pun gue tidak ingin membicarakan ini.
Gue perlu dioperasi beberapa kali. Tersiksa. Rasa malu hilang karena tahan nggak tahan gue sampai nangis karena sakitnya. Benar-benar baru pertama kali gue merasakan sakit fisik separah itu. Sendi yang pecah itu rasanya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Gue pikir masih lebih mending luka daging yang sobek dari pada tulang yang hancur.
Ayah nyaris menyetujui amputasi, tetapi Bunda tidak bisa menerimanya. Dan mungkin gue sama tidak akan menerima jika satu kaki harus hilang. Lebih baik membayar mahal untuk pemasangan alat bantu yang ditanamkan di dalam.
Tubuh gue kesulitan beradaptasi dengan alat bantu itu. Dan semalam efek yang lebih menyiksa setelah pemasangan alat itu terasa. Karena ketika efek anestasi itu perlahan hilang, gue sampai mengerang nahan sakit membuat Ayah sama Bunda cukup kewalahan menenangkan. Sampai gue memaksa Bunda untuk meminta dokter supaya menyuntikkan sesuatu yang bisa membuat gue hilang sadar saja. Bunda menolak keras-keras karena katanya gue sudah terlalu banyak diberi anestasi dalam kurun yang berdekatan. Namun apa daya, Bunda lebih tidak tahan melihat gue yang tersiksa, sampai akhirnya rengekan gue yang seperti anak bayi di pagi buta itu dikabulkan.
Tidur seperti mati. Rasanya seakan lebih baik sisa hidup gue setelah ini dihabiskan dalam keadaan tidak sadar saja. Dari pada harus menyadari bahwa banyak hal-hal yang akan hilang dari kehidupan gue. Ini bukan tentang Rea SIALAN. Tapi tentang ... demi Tuhan yang sedang memberi cobaan ini, gue masih ingin menikmati dunia dengan kedua kaki gue ini. Gue tidak ingin hidup gue berakhir seperti sosok William Treynor. Gue masih ingin meminta maaf pada adek gue dan menebusnya dengan mengajak dia jalan-jalan ke mana saja dia mau.
Perlahan gue mendengar suara samar di dalam ruangan. Sebuah obrolan. Suara Bunda. Ada Ayah. Dan ... siapa?
Kubuka mata perlahan sampai seolah nyawaku rasuk kembali ke dalam raga.
Bunda mendekat dengan segera. Mencium kening. Menyisir rambut gue dengan jari-jarinya. Sampai detik ini gue masih nggak berani menatap mata Bunda atau Ayah. Seolah ... gue sudah benar-benar mengakui bahwa ini karma. Sebuah hukuman instan dari Tuhan karena apa yang telah gue lakukan. Terutama setelah gue cuma bisa bilang iya, Yah ketika Ayah memarahi.
Dan pada saat gue menyadari ada dia di ruangan ini, gue berpikir bahwa ini mungkin efek delusi dari kebanyakan anestasi (?). Tapi tidak, karena Ayah seperti bisa berbicara dengannya. Sadar itu memang dia, suasana hati gue seolah semakin mendung. Untuk apa dia ada di sini? Untak apa dia bertolak dari sana? Apa datang cuma ingin mengasihani mantannya yang sekarang cacat? Hah?! Gue ingin berteriak. Namun gue cuma bisa membisu. Bersikap seolah manusia yang hilang ingatan hanya pada satu orang saja.
"Ambil air anget sama handuknya, Yah," pinta Bunda.
Ayah bergegas mengambil sebaskom air hangat dan dua lembar handuk bersih.
Kulihat sekarang sudah lewat pukul sepuluh pagi di jam tangan Bunda saat dia sedang berusaha membuka kancing baju pasien gue. Gue tak bergeming hanya bisa mengikuti permintaan tangannya saja. Tidak peduli ada siapa yang sedang menonton dengan wajahnya yang memerah dan menangis itu. Gue tidak peduli. Sama sekali tidak peduli. Sama sekali tidak ingin memberi kesempatan pada mata ini untuk beradu tatap dengannya. Tidak-akan. Terimakasih sudah kasihan. Gue harap dia masih ingat pintu keluar letaknya masih sama seperti ketika dia masuk.
Ayah membantu gue duduk dengan menopang badan gue seperti memeluk untuk melepaskan baju. Baik Bunda maupun Ayah sepertinya tahu kenapa gue berekspresi sangat suram begini. Mereka tahu alasannya apa, atau siapa. Wajah suram lengkap dengan luka goresan yang masih basah di beberapa titik di wajah.
Lalu Bunda mulai mengelapi badan gue dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat. Dada, perut, ketiak, tengkuk, leher, punggung, dan sedikit bagian wajah hati-hati.
Serius, dia sambil pamer nangis juga gue nggak peduli. Gue harap dia masih ingat perkataan gue, apabila dia sudah yakin dengan keputusan untuk melepas gue, dan yakin akan mengejar bahagia dengan caranya sendiri bersama orang lain. Gue beneran akan pergi tanpa menoleh padanya lagi satu kali pun.
Ayah membasahi mencelupkan tangannya ke dalam baskom air, lalu membasuhnya seperti memakaikan wax ke seluruh kepala gue. Terus berulang kali sampai rambut gue basah. Lalu Bunda mengeringkannya dengan handuk lain yang kering. Ayah malah sempat sedikit bercanda menyemprotkan Axe deo di badan gue.
Herannya, dia tiba-tiba beraksi seperti volunter mengambil satu handuk lain dan hendak mengelap lengan kanan gue. Namun refleks gue menarik lengan gue dan memasukkannya ke balik selimut. Membuatnya bingung mau bagaimana lagi karena mendapat satu penolakan tegas dari gue.
Ayah dan Bunda tidak mengatakan apa-apa. Hanya menunjukkan wajah tidak enaknya pada cewek itu atas sikap gue yang terang-terangan enggan. Dan, kembali dia menangis. Terang-terangan, juga.
Ayah lalu memakaikan kembali pakaian yang baru.
Kenapa gue harus sampai diperlakukan seperti bayi begini? Lengan kiri gue masih ada bekas jahitan yang panjang dan ada luka memar yang masih jelas. Sementara itu tulang punggung gue lumayan terganggu. Gue nggak bisa bergerak sebagaimana sebelumnya.
Lalu tiba-tiba dia berdiri dan berjalan cepat keluar dari pintu. Sambil menangis. Sudah pasti. Sambil menangis. Apa sih yang bisa dia lakukan selain menangis dan menenggelamkan perasaan gue?
Bunda berdecap seperti memaklumi. Lalu pergi menyusulnya. Sementara itu Ayah menepuk pipi gue seperti menempeleng tapi dengan pelan. Tidak sakit sama sekali. "Jangan kasar seperti itu sama perempuan," kata Ayah.
Gue tidak menjawab. Hanya saja perasaan ini seperti semakin berdarah-darah saja.
***
***
💡Rea💡
...
Sakit, banget.
Aku mungkin sudah menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya Nafis. Aku sudah meminta maaf. Aku sudah merendah dan mengakui semuanya. Meski mereka sangat tidak marah padaku, tapi tetap saja, semuanya tergantung pada Nafis. Dan melihat responnya itu. caranya yang sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk menatapnya satu kali pun. Itu sudah meluruhkan perasaanku. Membuatku benar-benar hancur dan tenggelam dalam kesalahanku yang tidak bisa dimaafkan lagi.
Aku nangis keluar dari kamar rawat Nafis. Aku layak, Fis, diperlakuin seperti ini oleh kamu. Aku terima. Aku sadar posisiku di mana.
Aku nggak marah, Fis. Aku cuma bener-bener nggak bisa menghadapi yang kayak gini, sendirian.
Lalu seseorang memegangi lenganku dari belakang. Aku berhenti. Berbalik dan mendapati Tante Andin menahanku di koridor. Dia menarikku ke pelukannya dengan cepat. Dan aku tanpa bisa menolaknya ambruk di pelukannya dengan perasaan lemas.
"Maaf, Tante," pekikku.
Dia mengusap-usap punggungku. "Ssh, dia cuma perlu waktu."
"Maaf sudah mengacaukan semuanya," aku nangis tanpa daya. Sesenggukan. Seperti luka di dada semakin lebar. Seperti ada taburan garam di sana.
Aku lemas saat dia membimbingku duduk di kursi tunggu.
Datanglah Louisa, Alex dan Pian. Mungkin mereka mendengar suaraku yang seperti apa menangis di koridor. Mereka cuma bisa menatapku mengerti. Louisa duduk dan memberi usapan lain.
Meski aku tahu ini sudah semenyakitkan ini. Tapi masih ada secercah cahaya yang seolah memberiku kesempatan untuk berusaha memperbaiki ini. Aku nggak jauh-jauh datang untuk tidak mendapatkan hasil. Aku nggak mau Jullian harus kecewa karena perasaannya hancur sementara aku di sini tidak mendapatkan apa-apa. Dan aku bukan cuma berkeras untuk meminta maaf saja pada Nafis. Tapi bener-bener ... apa, ya ... Tuhan ... aku pengin bisa balik lagi sama Nafis. Aku nerima apa pun keadaannya.
Aku cuma ingin Nafis memberiku satu kesempatan saja untuk dia tenang dan mau berbicara lagi. Karena harapanku sudah terlanjur tinggi ketika Tante Andin bilang kalau Nafis menolak perempuan yang akan dikenalkan padanya. Padahal Nafis bilang akan mempertimbangkan, dan ternyata pertimbangannya nihil.
Aku tahu, Fis. Aku tahu dari caramu marah tadi. Aku tahu aku masih ada di sana. Aku tahu kamu nggak mau menatap aku karena kamu takut, takut ketahuan aku masih bisa melihat perasaan itu di matamu, kan? Iya, kan? Aku mohon jangan bilang tidak.
Memang di sini kita berdua sama-sama pernah salah, Fis. Tapi kali ini aku yang sedang mendapat balasan atas sikapku selama ini. Aku pernah berhasil berpaling sementara kamu tidak.
Aku nggak bisa kalau kayak gini.
Aku nggak bisa harus kehilangan lagi.
Nggak apa-apa kalau sekarang aku harus dikasih pelajaran seperti ini olehmu, Fis. Tapi tolong jangan lama-lama. Aku pengin kita baik lagi. Aku janji akan jadi apa saja asal bisa menggenapi apa saja yang kurang di kamu. Mungkin segalanya banyak yang akan berubah. Tapi perasaanmu tidak. Dan perasaanku juga sama.
Aku mohon, jangan berada di titik alfa terlalu dalam. Aku tahu kita sama-sama tidak bisa menghadapi ini. Aku pengin kamu berbagi susahnya sama aku. Aku pengin kamu memasukkan aku ke dalam kehidupanmu lagi.
...
Di kursi kafetaria rumah sakit aku bersandar pada pundak Louisa. Sementara Alex dan Pian masih bengong di kursinya masing-masing.
"Dia nggak mau natap aku sama sekali," kataku. "Bahkan aku tidak dikasih kesempatan buat ngelap tangannya," aku nyaris menangis lagi. Tapi hanya suaraku saja yang bergetar parau.
"Dia cuma sesaat marah gitunya, Re," tenang Louisa, "kamu kayak yang nggak kenal Nafis aja. Yakin saja sama omongan Tante Andin."
Ingusku meler lagi.
"Tapi sampai kapan?"
"Sampai dia benar-benar tenang," Alex menyahut. Wajahnya mengisyaratkan khawatir karena aku sudah cukup lama menyender pada istrinya yang sedang mengandung. "Bukan cuma ke kamu, ke kita aja masih dingin banget. Belum mau ngobrolin apa-apa. Ya, siapa sih yang akan lekas tenang kalau ... kakinya ... intinya kamu yang sabar dulu."
Aku menegakkan punggung dan tidak menyender Louisa lagi.
"Titik jenuh dalam sebuah ikatan itu bisa sampai menyentuh batas alfa yang terdalam. Tapi itu penting bagi sebuah pasangan utamanya," kata Louisa. Sementara itu Pian belum ngasih pendapat apa-apa. Mungkin karena semalam dia sudah kenyang merecokiku. "Aku sama Alex berantem hebat. Sampai kacau sana-sini. Tapi setelah dilewati ya ... kita jadi malah yakin kalau nanti ketemu masalah yang lebih hebat akan bisa melaluinya bersama, dengan beberapa kompromi yang sudah kita pahami sendiri-sendiri. Masalah itu mendewasakan. Justru pasangan tanpa konflik itu kurang sehat, dan patut dipertanyakan."
"Aku nggak peduli mau seperti apa Nafis berusaha membuat jarak sama aku," kataku, "Karena itu semua memang dia harus melakukannya untuk menghukumku. Dia tidak pernah semarah ini padaku sejak terakhir kami bertengkar. Maksud aku, oke, biarkan dia marah seperti yang kalian bilang dia butuh waktu. Tapi kalian mikir nggak sih, semua emosi dia itu semakin mengkhawatirkan sejak keadaannya yang separah itu? Aku ... dia nggak perlu takut kehilangan aku, karena aku nggak akan ninggalin dia lagi dalam keadaan apa pun, tapi aku takut dia yang akan kehilangan dirinya sendiri. Marah di wajahnya itu beda, lho. Bukan marah yang ada kaitannya dengan aku atau hubungan kita. Yang kulihat lebih sepert dia takut dengan masa depannya sendiri setelah semuanya."
Mereka bertiga menatapku. Ragu, namun seperti menyetujui.
"Aku setuju sama Rea," kata Pian. "Aku lebih takut Nafis kehilangan dirinya sendiri."
***
***
Singkat tapi semoga intinya bisa ditangkap.
Sampai jumpa di versi Buku.
#micdrop
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top