BAB 3

Jane tahu jika terus meringkuk di sana, ia tak akan bisa bertahan hidup. Satu-satunya cara untuk hidup hanyalah keluar dari kota itu, bagaimanapun caranya. Makanan di toko pastinya akan habis kalau Jane memilih menetap di sana. Namun, ingatan saat perempuan pirang dilahap membuat keberaniannya menciut. Ia tak memiliki apa pun untuk bertahan hidup di luar sana, atau pergi mencari jalan keluar dari kota. Kemampuan bela diri saja ia tidak punya, atau minimal memiliki satu senjata untuk melawan makhluk apa pun yang berkeliaran di kota berbau daging panggang.

Seketika, ia teringat pada sebuah toko yang isinya penuh dengan senjata. Ia menyadarinya bahwa ia tidak dibawa ke surga, tetapi ke sebuah dunia berbahaya. Jane juga sadar kalau dirinya belum mati. Kereta tidak membunuhnya, tetapi makhluk seram yang entah kapan pasti akan membunuhnya.

Setelah mencoba menenangkan diri, kepalanya bergerak melihat jendela di samping. Manik berbentuk almond mengintip dari balik tirai, memastikan bahwa makhluk seram telah pergi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sosok seram, lantas perlahan-lahan tubuhnya bangkit untuk melihat ke jalanan sekitar. Hasilnya sama seperti saat pertama kali datang ke sana. Sepi dan mencekam. Di trotoar tak ada jasad si perempuan pirang selain sebuah sepatu tinggi berwarna biru cerah. Makhluk seram tadi pasti memakannya sampai habis dalam sekali lahap.

Jane bersandar, kembali memikirkan apa yang harus ia lakukan. Manik cokelat tuanya menatap sekeliling ruangan, dan sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Apa ada benda yang bisa berguna untuknya, setidaknya sampai ia bisa menemukan toko senjata?

Lama ia mengumpulkan kekuatan untuk berjalan, Jane akhirnya mencoba menggeledah satu per satu laci yang ada. Ketika tangan kurusnya membuka laci bawah rak buku, netranya membelalak. Benda berwarna hitam tergeletak di sana, begitu mengkilap dan terasa berat saat Jane mengangkatnya. Ia seperti terselamatkan menemukan pistol tersembunyi.

Suara seseorang menapaki tangga tertangkap indera pendengarannya, membuat si perempuan langsung bersikap waspada. Ia takut makhluk seram tadi berhasil masuk ke dalam toko. Secara spontan, pistol itu diangkat, mengarahkan moncongnya ke pintu yang terbuka. Jane mengumpat karena tak menutup pintu itu, dan ia rasa akan sangat terlambat karena jarak pintu dengan posisinya cukup jauh. Dengan perlahan ia bangkit, mundur seperti mengendap-endap, juga memastikan agar suara napasnya tak terdengar. Namun, yang muncul di sana bukanlah seperti bayangannya.

"Di sini kau rupanya," ucap si gadis bermantel merah dengan senyum merekah di pipi. "Saat acara pembukaan kau—"

"Jangan bergerak!" potong Jane cepat. Tatapannya berubah nyalang sekaligus marah. Gadis pucat bermantel merahlah yang telah membawanya ke dunia berbahaya.

"Kau tidak akan menembakku," kata si gadis masih dengan senyum merekah, tetapi matanya seolah memberikan peringatan.

"Aku akan menembakmu kalau aku mau." Ada nada frustasi di setiap katanya. "Kenapa kau membawaku ke sini, brengsek?!"

Gadis itu terlihat tenang saat melangkah pelan, sedangkan Jane terus mundur sampai punggungnya menabrak jendela. Lagi, si gadis bermantel merah tersenyum sebelum berujar, "Bukankah kau benci hidupmu, Jane?"

Netra Jane membesar, muncul kecurigaan pada gadis di hadapannya. Entah bagaimana gadis bermantel merah seolah mengetahui tentang dirinya. Namun, ia mengesampingkan dulu rasa penasaran itu, kali ini yang ia ingin ketahui adalah di mana ia dan caranya keluar dari sana.

Seolah tahu apa yang dipikirkan Jane, si gadis bermantel kembali berbicara. "Selamat datang di Crimson Game. Di sini yang perlu kau lakukan hanya bertahan hidup dan temukan karakter rahasia untuk kembali ke duniamu."

Ucapan gadis bermantel terdengar seperti kabar paling buruk seumur hidupnya. Rasanya ia seperti tak memiliki harapan selain menyerah. Muncul rasa sesak di dada, dan mata yang terasa panas. Hanya dalam beberapa detik, matanya mulai berkaca-kaca. Pikiran-pikiran negatif bermunculan di benak mengenai bagaimana ia akan mati, dan bagaimana ia bertahan hidup.

"Sialan, kau!" umpatnya dengan nada seperti tertahan. "Aku ingin pulang! Pokoknya kembalikan aku!" Kali ini saking frustasinya, Jane berteriak histeris. Ia bahkan berani melangkah sembari menodongkan pistol ke kepala si gadis, hingga moncong itu menyentuh kulit pucatnya. Dari jarak sangat dekat, si gadis memang terlihat seperti mayat hidup.

"Ayo bermain." Senyum itu menghilang, tergantikan oleh wajah datar yang dingin.

"Kau ... psikopat."

"Aku Game Maker, bukan psikopat."

"Terserah siapa pun dirimu, tapi gara-gara kau—"

"Ayo bermain."

"Kau membuat hidupku dalam bahaya."

"Ayo bermain."

"Sekarang aku harus bagaimana—"

"Ayo bermain."

"Diam!"

"Ayo berma—"

Tak sengaja telunjuknya menekan pelatuk, pistol itu berhasil melubangi kening si gadis bermantel merah. Dalam sekejap, tubuh kurus bak mayat terjengkang. Darah membasahi karpet di bawah jasad Game Maker. Bukan suara tembakan yang mengejutkan Jane, tetapi melihat kondisi mengenaskan gadis itu.

Mulut Jane terbuka lebar, matanya membesar, dan jantungnya berpacu kencang. Ia terduduk di samping si gadis. Ini pertama kalinya ia membunuh seseorang, secara tak sengaja. Ia tahu tidak ada orang yang akan memenjarakannya di sana, tetapi rasa bersalah mulai menggelayuti. Matanya kembali berkaca-kaca, kali ini suara isakan lolos dari bibir tipis nan mungil miliknya. Satu-satunya petunjuk telah Jane lenyapkan, dan ia pikir suara tembakan bisa memicu makhluk-makhluk seram berdatangan ke sana.

"Bodoh." Kalimat itu berhasil menghentikan isakan Jane. "Tak ada yang bisa membunuhku di permainan yang kuciptakan."

Si gadis kembali bergerak, dan berdiri perlahan. Jemari kurus miliknya bergerak ke luka tembak, mengusap-usap pelan. Secara ajaib, daging dan kulitnya kembali tumbuh. Jane sontak saja berdiri, menjauhi gadis bermantel merah. Napasnya kembali terengah-engah, warna mukanya kini sudah pucat.

"Selamat bermain," pungkas si gadis bermantel seraya berjalan keluar dari ruangan.

Butuh beberapa detik untuk Jane menyusulnya. Masih banyak yang ingin dia tanyakan, meskipun masih ada rasa takut ketika melihat gadis itu. Akan tetapi, Jane tak bisa menemukannya di mana pun. Si gadis menghilang begitu cepat, sampai Jane mengira yang dihadapi bukanlah manusia. Ia mendengkus keras, dan berniat kembali ke lantai atas. Namun, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Lagi-lagi matanya membesar dengan mulut terbuka sedikit. Bukan takut yang menghinggap, melainkan bahagia. Seorang manusia, laki-laki dewasa dengan persenjataan lengkap masuk ke dalam toko.

Kesempatan kali ini tak boleh kusia-siakan, pikir Jane dengan senyum tipis di wajah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top