7. Batasan
Part 7 Batasan
Nada mengabaikan rasa perih yang mengiris ujung bibirnya. Membiarkan air dingin itu mengguyur tubuhnya, membiarkan rasa dingin itu merasuk ke dalam tulang-tulangnya. Juga rasa kotor yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Memeluknya kuat-kuat dan tak memberinya kesempatan untuk bernapas.
Tubuhnya meringkuk di bawah shower, seperti bola kedinginan yang disapu air dingin. Menenggelamkan suara isak tangis yang semakin menjerit dalam kepedihan. Mengoyak-ngoyak perasaannya dengan kejam.
Wanita itu tak tahu berapa lama mendekam di bilik shower tersebut. Ketika menyadari bahwa tak akan ada yang berubah dengan keadaannya. Tak akan ada yang berkurang dengan penderitaannya dengan semua isak tangis tersebut. Nada berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang kesemutan. Menunggu rasa kebas itu hilang dan mulai membersihkan tubuhnya dengan sabun.
Matanya tampak membengkak dengan warna merah ketika menatap pantulan di wajahnya. Namun ia tak berencana menyamarkan penampilan itu dengan cara atau apa pun. Berjalan keluar dengan mengenakan jubah handuk dan rambut panjangnya yang masih meneteskan air, sekarang Nada menyesal tak mengemas beberapa pakaian ganti saat papanya menyuruhnya untuk kembali.
Dan mengingat tak mungkin dirinya akan mengenakan jubah mandi untuk tidur, Nada berjalan mendekati lemari besar yang disekat dinding kaca. Membentuk ruangan tersendiri yang dipenuhi barang-barang mewah. Jas, kemeja, dan celana. Semua ditata rapi sesuai modelnya. Tak hanya itu. Dasi, sapu tangan, dan sabuk. Juga manset, jam tangan, sepatu. Semuanya ditata di masing-masing laci dan lemari. Nada tak tahu apakah semua barang-barang ini milik Erzan, tetapi ia tahu pasti semua barang yang ada di tempat ini tidaklah murah.
Ia bersumpah pernah mendengar Kavian kesal sepanjang hari karena tak mendapatkan salah satu jam tangan yang dipajang di laci itu. Bagaimana Erzan bisa memiliki semua kemewahan ini. Bahkan Kavian akan memekik takjub jika berada di tempat ini.
"Kau butuh sesuatu?"
Nada tersentak, menutup laci berisi edisi jam tangan terbatas di depannya dan menoleh ke arah pintu. Erzan berjalan masuk dan berhenti di seberang etalase kayu yang bagian tengahnya dipasang kaca.
"Aku tak punya waktu untuk mempersiapkan kepindahanmu." Erzan mengedarkan pandangan ke seluruh ruang gantinya. "Kau ingat, aku dipenjara tepat di malam pernikahan kita dan baru dibebaskan dua hari yang lalu. Jadi ... dapatkan apa pun yang bisa kau kenakan atau ... telanjang saja. Toh aku juga akan melepaskannya saat bergabung denganmu di tempat tidur."
Nada sudah berada di ujung kesabarannya. Menggigit bibir bagian dalamnya untuk memperlebar kesabarannya dan menekan kuat-kuat amarahnya. Ia sedang tidak berada di posisi yang bagus untuk melawan pria itu. Tanpa mengatakan apa pun, wanita itu mendekati lemari besar yang berada di dekatnya. Mendapatkan kaos polos dan celana karet lalu membawanya masuk ke dalam kamar mandi.
***
Nada sangat yakin Erzan sedang tidak memiliki kesibukan lain selain memikirkan rencana balas dendam pada dirinya dan keluarganya. Namun, pagi itu pria itu sudah siap dengan setelan tiga pasang berwarna navy gelap. Sedang memasang jam tangan di samping nakas saat Nada bangun pagi itu.
"Kau sudah bangun?" Erzan melirik Nada yang menarik selimut hingga leher dan bersandar di kepala ranjang. Pertama dan kedua kali caranya meniduri wanita itu membuat ketiga kalinya berjalan dengan cukup menyenangkan. Meski masih saja pasif, tetap saja ia akan banyak mengajari wanita itu cara menyenangkan dirinya jika istrinya itu masih saja menolak untuk bersenang-senang bersama.
"Aku ada pertemuan pagi dan mungkin akan pulang terlambat. Tapi kau bisa melakukan apa pun yang kau sukai, termasuk mengambil beberapa barang-barangmu. Zoe akan mengurus beberapa tempat untukmu di lantai ini."
Nada masih bergeming. Satu-satunya kabar gembiranya untuk hari ini sudah pasti. Pria itu tidak akan ada di rumah ini seharian penuh. Tetapi ia harus menahan diri untuk tidak terlihat senang dengan hal itu.
Erzan memutari tempat tidur dan berhenti tepat di depan Nada. Menyadari ketegangan di tubuh mungil tersebut saat tangannya terulur dan menangkap ujung dagu Nada. Ibu jarinya mengusap dagu yang meruncing seperti bentuk hati. Yang semakin menyempurnakan kecantikan wanita itu.
"Aku tak akan membatasi kebebasanmu, tetapi seharusnya kau tahu batasanmu sebagai istriku." Kepala Erzan perlahan tertunduk, menyapukan ciuman di bibir Nada dan bertanya, "Apa kau mengerti?"
Nada mengangguk. Memberikan Erzan kepuasaan akan ketidak berdayaannya. Hingga pria itu berjalan melewati sekat kaca yang menyamarkan seluruh ruangan ini dengan gelembung air dan cahaya warna-warni di dalamnya.
Wanita itu masih tak beranjak dari tempatnya hingga memastikan sepuluh menit telah berlalu lewat jam di samping nakas. Di sampingnya digeletakkan pistol hadiah yang diberikan pria itu kemarin malam. Sayangnya tidak ada pelurunya di sana sehingga ia bisa menembak kepala Erzan. Tetapi menyadari nyalinya yang tidak sebesar itu, ketiadaan peluru hanyalah alasan.
Lantai tiga ini sepertinya memang didesain khusus untuk ruang tidur Erzan. Dengan kolam pribadi yang ada di balkon. Sejauh ini, hanya itu yang diketahuinya dan Nada tak berniat mencari tahu lebih banyak lagi. Rencananya hari ini adalah pulang ke rumah untuk mengemas beberapa pakaiannya, jika punya keberanian lebih besar lagi, ia akan bicara dengan Gibran lewat ponselnya.
***
"Undangan?" Erzan menutup berkas di depannya saat menatap undangan berwarna emas di tangan Zoe.
"Kau sudah menandatangi proyeknya, kan? Dan tentu saja Rayanka akan mengadakan pesta besar untuk merayakan keberhasilan ini."
Erzan tak tertarik untuk datang, tetapi tak mungkin ia tidak ikut merayakan keberhasilan sang paman, kan? Keluarga istrinya selalu punya cara untuk membuat perayaan. "Aku akan datang, tetapi sepertinya kau juga harus datang untuk menggantikanku, kan? Urusanku dengan keluarga itu baru saja dimulai."
Zoe mengangguk. "Putri manja itu?"
"Meski dia saingan untuk mendapatkan warisan Syamil, istriku adalah keponakan kesayangan Rayanka. Tak mungkin tidak datang, jadi aku akan menemuinya di sana."
"Ada lagi yang kau butuhkan?"
Erzan membuka undangan tersebut untuk memastikan lokasinya. "Itu gedung milikku, aku tak butuh undangan lainnya."
Zoe mengambil undangan tersebut.
"Apa saja yang dilakukannya hari ini?"
"Barron sudah mengirim informasinya ke ponselmu. Tapi sepertinya kau sibuk jadi aku mengeceknya. Dia baru saja keluar dari kantor hukum keluarganya untuk mengambil salinan kesepakatan pernikahan kalian."
Salah satu alis Erzan terangkat dengan senyum yang melengkung. "Benarkah?"
"Sekarang dalam perjalanan ke kediaman Arkatama."
"Mereka tahu aku bisa menggunakan perselingkuhan itu untuk membatalkan semua warisan yang ditinggalkan Syamil."
"Lalu kenapa kau tidak mengakhirinya dengan cepat?"
"Tanpa menghukum mereka?"
"Menghancurkan perusahaan itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi hukuman terbesar bagi keluarga arogan itu, Erzan. Kau bisa menjatuhkan mereka hingga di titik terendah seperti mereka menghancurkan Rajhendra Contruction."
"Tapi tidak cukup untuk membayar nyawa yang hilang karena keserakahan mereka."
Zoe terdiam.
"Aku harus menemukan pembunuh sebenarnya dan memastikannya membayar tindakan liciknya sama buruknya seperti yang kudapatkan. Bahkan lebih."
"Kita perlu menemukan bukti baru untuk membuka kasur ini kembali."
"Aku akan mendapatkannya. Cepat atau lambat."
Zoe mengangguk.
"Kau sudah mendapatkan daftar detektif yang kubutuhkan?"
"Hanya beberapa, tapi aku sudah menyalin berkas tentang pembunuhan malam itu dan akan mengirimnya ke rumahmu."
"Aku ingin memeriksanya malam ini. Juga daftar detektif itu."
"Baiklah. Ada lagi?"
Erzan menggeleng. "Setelah Rayanka, kita akan melanjutkannya dengan Jonathan. Ck, si bodoh itu tak berhenti melirik istriku," decaknya sambil bersandar di kursi kebesarannya. Menatap deskname marmer di ujung mejanya.
Erzan Rajhendra | President Director of Erz Group
Untuk terakhir kali, Zoe mengangguk patuh dan menyeberangi ruangan luas tersebut menuju pintu ganda dari kaca.
Tangan Erzan menarik laci teratas, mengangkat pigura kecil. Syamil Arkatama dan pria muda yang mirip dengannya berdiri sebuah taman. Rambut pria muda itu dipotong pendek dan disisir dengan rapi. Mengenakan kemeja fanel berwarna biru, mengingatkannya pada mobil Kavian yang dibakatnya. Penampilan yang sama sekali bukan dirinya. Begitu pun dengan sifatnya yang lemah. Selain wajah mereka yang sama, kepribadian saudara kembarnya itu 180˚ berbeda dengannya. Tentu saja, ia tidak pernah selemah dan selembut kakaknya yang terlalu baik hati itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top