2. Tak Berkutik
Part 2 Tak Berkutik
“Kau pikir mama dan papaku merawat adikku untuk dibuat sengsara dengan pria sepertimu? Ck, kami tahu apa yang kauinginkan menggunakan nama sebagai suaminya, Erzan. Kesombonganmu melebihi isi kepalamu.” Tatapan Kavian turun ke arah sepasang sepatu Erzan yang tampak lusuh. Yakin itu sepatu yang dipakai Erzan saat polisi menyeretnya keluar dari rumah besar mereka. “Aku sedang berbaik hati, dan aku cukup sadar diri untuk tidak menagih acara penyambutanmu.”
Erzan terkekeh.Tatapannya tak lepas dari sang papa mertua. “Papa yang akan membayarnya untukku.”
Bibir Abimana menipis, gurat di wajahnya tampak menegang. Pun begitu taka da satu patah kata pun yang keluar sebagai bentuk bantahan. Pria itu bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan ruang keluarga yang masih dipenuhi anggota keluarga. Sementara para tamu sudah meninggalkan acara setelah mobil Kavian dibakar. Dan tentu saja keberadaan Erzan mengusik rasa penasaran para anggota yang lain setelah pria itu dibebaskan dari penjara karena kecelakaan yang menewaskan Syamil Arkatama.
Kavian mendengus. Ejekannya dalam tatapannya semakin pekat. Papanya jelas tak ingin mencari masalah dengan kesepakatan di antara pernikahan Nada dan Erzan yang mengikat banyak hal. Setidaknya sampai sang papa menjadi menduduki jabatan sebagai Arkatama Group secara resmi.
“Ini terakhir kali aku akan mendengar omong kosongmu. Kavian.” Kepala Erzan berputar pada sang kakak ipar. “Mobilmu meledak karena aku tak suka melihat warnanya. Jangan sampai kau membuat telingaku berdenging karena bualanmu.”
Kavian menggeram. Kedua tangannya terkepal, tetapi begitu kakinya bergerak hendak menerjang Erzan, pegangan tangan Ayudia menahan niatnya.
“Sudah cukup keributan malam ini.” Suara Ayudia diselimuti ketenangan. “Kalian kembali ke kamar masing-masing. Kamar tamu ada di sayap barat, sudah disiapkan untuk siapa pun.”
Abby, Jonathan, Kavian dan yang lain tak langsung beranjak. Sampai kemudian Erzan melanjutkan kalimat mama mertuanya.
“Aku tak tertarik bermalam di rumah ini.”
“Tak ada yang tertarik kau akan di sini atau di mana pun, Erzan.” Jonathan Ward, suami Abby menyeringai puas. Membungkuk tepat di samping sofa Erzan. Menyejajarkan pandangannya dengan pria itu dengan tatapan meremehkan seperti biasa. “Di rumah ini, tidak ada siapa pun yang bahkan mengingat kau sebagai bagian dari keluarga ini, Erzan yang malang.”
Senyum di ujung bibir Erzan tak berkurang sedikit pun. Ujung dagunya terangkat, yang menyulut kejengkelan Jonathan. “Aku meragukannya, Sweet little Jo.”
Wajah Jonathan mengeras. Tangannya terangkat, mencengkeram kerah leher kemeja Erzan. Tetepi cengkeraman itu hanya bertahan satu detik, ketika detik berikutnya tubuh Jonathan meluncur ke meja kaca. Membuat semua orang terperangah dan kesiap kaget serempak terdengar memenuhi seluruh ruangan.
“Beraninya kau menyentuhnya, Erzan!” jerit Abby yang bergegas mendekati sang suami dan membantunya bangun berdiri.
Erzan hanya mengedikkan bahu, tanpa sedikit pun penyesalan. Jonathan mengumpat, menyumpahi dirinya saat sang istri membantu bangkit berdiri, mengeluarkan sumpah yang tak kalah kasar saat menemukan luka lecet di siku dan telapak tangan pria manja itu.
Kavian menggeram, memutari sofa panjang dan sebelum berhasil mengulurkan tangan untuk menangkap leher Erzan, suara dari arah tangga menarik perhatian semua orang.
“Cukup, Kavian!” Rayanka Arkatama berjalan mendekat dengan kemeja putih yang seluruh kancingnya sudah terbuka. Sementara di belakangnya seorang wanita bergaun merah muda memperbaiki tatanan rambut dengan wajah tertunduk. Begitu sampai di ujung tangga, wanita itu segera menghilang dari ruang keluarga tersebut.
“Sangat bijak jika kau tidak menyentuhnya, Kavian. Setidaknya untuk dua tahun ke depan.” Rayanka duduk menggantikan posisi sang kakak. Menatap Erzan di seberang meja yang sudah hancur. “Kau kembali?”
Erzan hanya mengangkat alisnya sambil lalu. “Paman. Apa tunanganmu tahu?”
Raut Rayanka membeku.
“Atau dia mulai terbiasa dengan hobimu?”
“Bisnis adalah bisnis.”
“Bisnis seringkali tak berjalan professional jika dihubungkan dengan wanita, Paman.”
Rayanka mendesah kasar. Mengangkat tangan pada salah satu pelayan yang dengan segera membawakan botol wiski yang masih penuh. “Apa pun masalahku, tak lebih sulit dibandingkan masalahmu. Rajhendra Contruction sudah bangkrut. Kau butuh waktu setidaknya lima, atau sepuluh tahun dengan reputasimu dengan sudah cacat ini? Semua asetmu sudah dibekukan.”
“Aku bisa menanganinya, Paman. Jangan cemas.” Balasan tersebut serempak mendapat dengusan mengejek dari para pria Arkatama.
“Ya, kau punya waktu dua tahun untuk bernapas. Setelah keluarga kami mengklaim hak waris dari almarhum papa yang merepotkan itu, kami …” Rayanka mengembuskan napas panjang dengan kepedulian yang dibuat-buat. “Rasanya kami sudah sangat baik hati sepanjang tiga tahun ini. Tak ada siapa pun yang tahu kau bagian dari keluarga ini. Demi reputasi keluarga kami.”
Erzan hanya tersenyum tipis. Tatapannya tak lepas dari sang paman yang meneguk cairan emas tersebut langsung dari botolnya. “Kudengar paman butuh dukungan dari Charles untuk mendapatkan kontrak dengan Erz Group.”
“Apa kau bahkan tahu tentang Erz Group?” celetuk Kavian.
“Kau pikir aku tak tahu? Namanya terdengar familiar.” Erzan mengedikkan bahunya dengan senyum semenjengkelkan mungkin.
“Alasan kakek menjadikanmu menantu keluarga ini adalah untuk membalas budi. Tetapi lihatlah, orang rendahan tetaplah rendahan. Kau menggigit kakinya. Seekor anjing bahkan tak menggigit orang yang memberinya makan.” Kavian membungkuk dengan kedua tangan mencengkeram lengan sofa.
Erzan tertawa, pandangannya beralih pada Rayanka. “Ya, pembunuh Syamil yang baik hati lebih rendah dari anjing.”
“Keluar dari penjara membuat otakmu sedikit bergeser ke samping, ya?”
Tawa Erzan kali ini lebih keras. “Mungkin.” Pandangannya bergerak turun, pada cengkeraman tangan Erzan yang lebih kuat hingga buku-buku jari pria itu memutih.
“Cukup, Kavian!” Abimana kembali muncul. Kali ini bersama pria paruh baya lainnya. Argana Bimantara, kolega yang menikahi adik perempuannya. “Dapatkan apa yang kauinginkan dan keluar dari rumah ini,” ucapnya kemudian pada sang menantu.
Erzan menyeringai, mengangkat kedua tangannya saat beranjak dari duduknya.
“Papa?!” Nada dan Ayudia menoleh dengan cepat. Kedua matanya melotot tak percaya. “Aku tidak ingin pergi dengannya!”
Ayudia melompat berdiri dan segera menghampiri sang suami. “Apa yang kaupikirkan, sayang? Di mana mereka akan bermalam? Ini sudah …”
“Jika aku mendengarnya melapor karena anakku kelaparan, kupastikan kau tak akan pernah melihat istrimu. Ini kesempatan terakhirmu.”
“Papa, aku tidak akan pergi …” Kedua mata Nada mulai digenangi air mata. Bisa merasakan penolakannya tak akan didengar sang papa. Seperti yang sudah-sudah.
Tangan Abimana terangkat, tatapan tegas yang terpancar dari pria yang paling dituakan di keluarga besar tersebut sukses membuat semua orang terdiam. Mematuhi perintah tanpa satu bantahan pun.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top