15. Pergi

Part 15 Pergi

“Yang berbaju biru.”

Nada melirik ke bawah, pada pigura yang kacanya sudah pecah.

“Kakekmu memang tidak salah pilih, dia orang yang tulus dan menurutku terlalu positif. Terlalu punya hati dan terlalu baik.”

“Apa maksudnya ini semua?”

Erzan mulai berjalan menyeberangi ruangan tersebut. Mengamati tubuh ketegangan di tubuh Nada. Butuh waktu terlalu lama bagi wanita itu untuk memahami arti semua kalimatnya.

“Sudah kubilang, seharusnya kau tidak tersesat ke tempat ini.”

Mata Nada mengerjap, beruntung ada meja besar yang memisahkan keduanya. “Siapa kau sebenarnya? Kau menipu kami?”

“Ah, apakah aku belum mengatakan kalau kakakku terlalu penakut menghadapi keluargamu?” Pandangan Erzan bergerak ke meja, mengernyit dengan berkas yang seharusnya ada di dalam laci. “Apalagi padamu.”

Dahi Nada berkerut tak mengerti. Tetapi ia lebih terpaku pada kata … “K-kakak?”

Erzan mengedikkan bahu dengan santai, kemudian berjalan ke samping. Dan ujung bibirnya menyeringai ketika Nada juga melakukan gerakan yang sama. Dengan gemetar yang mulai menyerang tubuh wanita itu. Nada tak mampu menyembunyikan kegugupannya. Juga ketakutan yang mulai merebak di kedua mata wanita itu. Perlahan wanita itu pun mulai memahami betapa seriusnya masalah ini, dan seharusnya memang seperti itu.

“Jadi dia menipu kakekku? Memberikan semua informasi itu padamu?”

Erzan terkekeh. “Setelah kau memenjarakanku, tentu saja aku membutuhkannya, kan? Kupikir permintaannya akan menjadi hal yang singkat dan mudah kulakukan. Bagaimana pun, dia satu-satunya keluarga yang kumiliki, dan dia mengatakan tolong. Satu kata yang tak pernah bisa kutolak.”

Nada berpegangan pada pinggiran meja. Posisi mereka sudah bergantian. Erzan memungut pigura di lantai dan memandangnya sekilas sebelum kemudian meletakkannya di meja. Menata posisi di tempat seharusnya.

“Seharusnya kau tak melukai perasaannya.”

Kernyitan di dahi Nada bertambah. 

“Orang baik memang selalu menderita, kan?”

“Lalu apa yang kau inginkan dari semua ini? Apa dia tahu kau membunuh kakekku?”

Erzan tak menjawab.

Dan untuk sekilas, Nada merasa telah salah lihat. Ada kesedihan yang melintasi kedua mta Erzan. Sangat cepat, secepat pria itu menyingkirkannya. Jika pria di depannya ini bukan orang yang seharusnya ia nikahi, lalu di mana pria itu? Pria yang seharusnya kakek percayakan untuk menikah dengan dirinya. Kenapa pria itu melakukan ini padanya?

“Dan kalian berdua menipu kakekku.”

Dering ponsel memecah keheningan di antara mereka. Ponsel Nada tergeletak di atas meja. “Kavian.”

Nada menelan ludah. Mempertimbangkan untuk merebut ponselnya atau melarikan diri saja. Jadi semua ini mulai masuk akal. Pria ini tak seharusnya menjadi suaminya, papanya harus …

“Kau harus mendengarnya, ada berita besar yang harus kau dengar.” Erzan menekan tombol hijau dan mengaktifkan speaker.

‘Nada,’ panggil Kavian kemudian. ‘Paman, aku tak menyangka dia akan melakukan penipuasn ini.’

Mata Nada membelalak. Tak bisa menahan lidahnya untuk membalas. “Apa maksudmu?”

‘Erz Group menarik kerjasamanya karena paman terbukti menggelapkan dana. Semua orang mencarinya, apa dia menghubungimu?’

Wajah Nada yang membeku tak bisa lebih pucat lagi. “Tidak.”

‘Kabari kami jika dia mencoba menghubungimu.’

Erzan memutus panggilan tersebut sebelum sempat menjawab ya. Dan Nada lalu menyadari senyum penuh arti dalam tatapan pria itu padanya.

“Ck, dia pikir bisa menipuku dengan semua proposal yang diberikan padaku?”

“Apa ini perbuatanmu?”

Erzan memberengut tak suka dengan tuduhan tersebut. Duduk di kursinya dan menggerak-gerakkan ke samping kanan dan kiri sambil bersenandung rendah. “Kupikir kau benar-benar mengenal keluargamu, sayang. Tapi sepertinya tidak, ya?”

Nada mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Ia harus memberitahu papanya. Kakinya berjalan mundur, kemudia berbalik dan berlari secepat kedua kakinya mampu untuk sampai di ujung ruangan. Hanya untuk menemukan pintu kaca yang sudah tertutup dan dikunci. Ia bahkan tak menyadari pintu itu ada saat masuk ke dalam. 

“Buka pintunya!” teriaknya mulai panik, mendorong dengan sia-sia. “Bukan pintunya!”

Erzan beranjak, melepaskan jasnya dan melemparkan ke salah satu set sofa dalam perjalanannya mendekati.

“Kau sengaja membiarkanmu masuk ke tempat ini, kan?”

“Dan seharusnya kau tidak tergoda.”

Nada menjauh, satu-satunya jalan hanya pintu balkon yang terbuka lebar di sampingnya. Wanita itu tak berpikir dua kali untuk melangkah keluar, mendekati pagar putih setinggi pinggangnya. “Jangan mendekat!”

Peringatan tersebut sama sekali tak menghentikan langkah Erzan. “Kau tak setolol itu, sayang. Ini lantai empat.”

“Kau pikir aku tak berani?” Nada nekat menarik kursi di dekatnya dan menggunakannya sebagai pijakan. Memanjat berdiri di atas pagar sebelum kewarasannya kembali.

“Kau ingin mati konyol?”

Nada rupanya tak punya keberanian untuk mengangguk. Tubuhnya mulai kesulitan menahan gemetar yang menyerang dan ia bahkan tak berani menengok ke bawah.  “Aku harus pergi.”

“Kau tak akan ke mana pun. Dan tak akan mengatakan apa pun pada mereka. Belum waktunya.” Erzan bersandar pada pinggiran pintu kaca. Mengucapkannya dengan santai. 

“Apa yang akan kau lakukan pada pamanku?”

“Aku tak ada hubungannya dengan kekotoran Rayanka. Kecuali … ikut campur untuk menghentikan keserakahannya.” Erzan tersenyum. “Aku akui.”

Nada kembali menelan ludahnya, angin kencang yang menerpanya akan dengan mudah membuatnya kehilangan keseimbangan, tetapi ia masih bertahan. Entah jatuh ke belakang atau ke depan, Nada tak akan mendekati Erzan. Atau Elzan. Mendadak ia bingung siapa sebenarnya pria yang ada di depannya ini.

Erzan menegakkan punggungnya. “Turunlah. Aku tak suka meniduri wanita yang kakinya patah.”

Semburat merah merebak di wajah Nada dengan cepat. Menyulut kenekatan di dalam dadanya, dan tanpa berpikir dua kali. Tubuhnya melayang ke belakang untuk sepersekian detik. Punggungnya menerpa air kolam dengan keras. Seluruh tubuhnya tenggelam ke dalam kolam.

Nada sudah menggerakkan kedua lengan dan kakinya untuk mencapai permukaan. Tetapi napasnya yang tersengal membuatnya kesulitan beradaptasi di dalam air dan menelan air terlalu banyak. Napasnya terasa sesak, dan ia tak bisa bernapas. Gerakan tubuhnya mulai melambat dan mulai kehilangan kesadaran.

“Bodoh!” umpat Erzan melihat tubuh Nada yang mulai tak bergerak dan diam dari tepi pagar. Dan merasa ketololannya tak jauh berbeda dengan Nada ketika ikut terjun dari lantai empat ke kolam renang di kamar mereka. Dengan cepat merengkuh tubuh wanita itu dan membawanya ke tepian kolam.

Wanita itu tidak boleh mati sekarang, geramnya marah. Melepaskan pakaian Nada dan memberikan pertolongan pertama dengan cepat. Dan kelegaan mengaliri seluruh tubuhnya ketika wanita itu terbatuk dan mengeluarkan air kolam dari mulut. Meski kesadaran Nada belum kembali.

*** 

Nada merasakan lembab di rambut ketika mulai bangun. Ingatan terakhirnya sebelum pingsan menyadarkannya dengan cepa tapa yang terjadi padanya. Dan ia pikir sudah mati konyol di kolam renang Erzan. Tetapi … ia masih hidup, kan?

Pandangannya beredar ke ruang tidur. Ada pakaiannya yang masih basah tergeletak di tepian kolam, juga jejak basah yang masih tersisa dari kolam ke tempat tidur. Saat itulah ia menyadari tubuhnya yang tak mengenakan pakaian apa pun selain selimut yang ditahannya di dada.

Tak ada tanda-tanda keberadaan Erzan, dan sebelum pria itu menyadari dirinya sudah bangun. Sebaiknya ia tak melewatkan kesempatan ini dan …

“Melarikan diri, huh?”

Langkah Nada membeku, menemukan Erzan yang baru saja melangkah masuk dari area balkon di samping kolam.

“Setidaknya kau perlu berpakaian dulu.”

Nada menyambar kain handuk di ujung ranjang, melilitkannya di dada menggantikan selimut yang tebal. “Apa kau akan mengurungku di tempat ini?”

“Tentu saja tidak.” Erzan tersenyum. “Kau sendiri yang akan kembali.”

Nada mengernyit. Di tengah keheranannya, ia mempertimbangkan untuk berlari ke arah tangga di balik sekat kaca. 

“Kau perlu berpakaian sebelum pergi, kan?” Erzan berjalan ke sofa dan duduk dengan santai. Seolah tak ada apa pun yang terjadi. “Juga menutup mulut dengan bijak,” tambahnya kemudian.

Nada menyumpah dalam hati. Ya, ia tak mungkin hanya mengenakan handuk untuk kembali ke rumahnya dan tak memedulikan nasihat yang kedua. Berjalan ke ruang ganti, menyambar dres yang terlihat di depan matanya dan langsung mengenakannya dengan cepat.  Meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top