14. Namanya Elzan
Part 14 Namanya Elzan
“Ya, Ma. Akhir minggu saja, ada sesuatu yang harus kukerjakan.” Nada mendorong tubuhnya kembali bersandar di sofa. Melemparkan buku di tangan ke samping tubuhnya. Kisah fiksi yang menarik perhatiannya tetapi suasana hatinya sedang sulit untuk menfokuskan pikiran pada buku itu. Semua dipenuhi tentang Erzan. Apa yang mungkin sedang direncanakan Erzan terhadap Gibran? Dan video itu palsu, kan?
Ya, tentu saja palsu. Keraguan inilah yang diinginkan oleh Erzan. Nada menepis pikiran tersebut dan kembali pada pembicaraan yang sang mama. Yang entah mengatakan apa, tapi ia tahu sang mama tak berhenti mencemaskannya.
‘Jadi di mana dia membawamu?’
“Erzan tak akan mengijinkan mama datang, Ma.” Nada beranjak dari sofa, berjalan ke arah tangga menuju lantai kamar. Tak ada yang menarik di lantai dua. Sepanjang minggu itu sudah cukup untuk berkeliling ke seluruh area di rumah ini. Meski ia tidak terlalu hafal denahnya, ia tahu fasilitas tempat ini yang terlalu banyak dan lengkap. Halaman belakang yang luas itu cukup untuk bermain golf. Dan ternyata memang ada perlengkapannya di gudang penyimpanan.
‘Kenapa mama harus butuh ijin untuk mengunjungi putri mama sendiri?’
“Tidak punya hak, tetapi papa bilang akan jauh lebih baik jika Nada tetap berada di tempat ini tanpa membuat masalah.” Ya, yang dimaksud papanya adalah tentang hubungannya dan Gibran. Dan benar saja, sekarang Erzan sudah mulai membatasi pergerakannya. Apa yang harus dikatakannya pada Gibran sekarang?
‘Untuk mengamankan posisinya.’ Ada kesinisan yang terselip dalam kata-kata Ayudia. ‘Kau tahu hanya itu yang paling penting bagi papamu, Nada.’
Nada tak menyangkal. Ia sudah menentukan pilihannya. Namun lepas dari cengkeraman Erzan sepertinya bukan jalan yang mudah. Ia harus mempertimbangkan dengan matang sebelum …
Pikiran Nada terpecah dengan cepat ketika mendengar langkah seseorang yang baru saja menuruni anak tangga spiral dari lantai empat. Keduanya bertemu di lantai tiga.
“Ada masalah?” Zoe melirik ponsel Nada yang menempel di telinga, dan segera mengakhiri panggilan tersebut.
“Nada akan menghubungi mama lagi,” ucap Nada kemudian.
Zoe tersenyum dingin, melewati Nada dengan langkah anggunnya. Tetapi kemudian wanita itu tiba-tiba berhenti. “Aku lupa memberikan ini.”
Nada mengernyit, kembali memutar tubuh dan melihat Zoe mengeluarkan sesuatu yang membuatnya membeku.
“Erzan memberitahuku tentang hubungan kalian. Tapi tetap saja kami butuh ucapan selamat darimu.”
Nada hanya memandang undangan tersebut, tak menerimanya. Dan kalaupun pada akhirnya Gibran dan Zoe bertunangan, ia tak akan datang. Jadi tak membutuhkan undangan tersebut.
“Meski dia memilih untuk mengabaikan keluarganya. Percayalah, Nada. Kalian hanya akan menemukan jalan buntu dan cepat atau lambat akan kembali. Jadi kenapa kalian harus membuang waktu dan menimpakan kerugian untuk semua pihak.”
“Apa sebenarnya hubunganmu dengan Erzan?”
“Bisnis di sana sini.”
“Apa kau yang membantunya memenangkan proyek besar itu dari Jonathan?”
“Dia lebih mampu menanganinya dibandingkan pemuja rahasiamu yang pengecut itu.”
Nada membelalak. Dalam hati menyumpahi mulut Erzan yang suka bergosip.
Zoe mengambil tangan Nada dan meletakkan undangan tersebut di tangan wanita itu. “Jangan biarkan masalah receh ini menyusahkan rencana besar Erzan, Nada. Apa sulitnya menyenangkan Erzan, dia pria yang menyenangkan dan … seksi, kan?”
Nada menyentakkan pegangan Zoe. Akan tetapi, satu hal yang tak terduga. Wanita itu malah mendorong pundak Nada ke sekat kaca dengan kekuatan yang cukup mengejutkan. Menelan ludah dengan jarak yang semakin menipis. Tatapan Zoe mendadak berubah tajam, sukses menciptakan ketakutan dalam dirinya.
“Seharusnya kau menjadi sedikit sadar diri dan malu, putri manja. Kau dan keluargamu sama sekali tak tahu apa yang kalian hadapi.” Zoe tersenyum, menggunakan ujung jarinya untuk menepuk pundak Nada. “Menjadi tahu diri adalah kuncinya. Agar dia sedikit berbaik hati dan mengasihanimu untuk memaafkan apa yang yang sudah kau perbuat pada hidupnya.”
Tak satu pun arti kata-kata tersebut membuat Nada mengerti.
“Dan percayalah, aku lebih dari mampu untuk menghancurkan keluarga dan hidup seorang Gibran Pradipta.” Zoe bergerak mundur dengan cemooh yang masih melekat di manik coklatnya yang terang.
Nada kembali bernapas setelah Zoa berbalik dan meninggalkannya turun ke lantai dua. Menghilang dari pandangannya. Memaafkan? Erzan yang membunuh kakeknya, kenapa dirinya yang harus mendapatkan maaf dari pria itu, hah?
Nada membungkuk, memungut undangan berwarna biru tua dengan tinta emas yang mengukir nama Zoe dan Gibran di sana. Hatinya kembali terbelah. Apakah ini artinya waktu yang diberikan Gibran padanya sudah habis?
Panggilannya masuk, tetapi tak ada satu pun yang dijawab oleh pria itu. Apakah Gibran marah? Apakah ini ujung kesabaran Gibran untuknya? Air mata kembali menggenang dan retakan di dadanya semakin nyata. Menyerah. Nada berhenti mencoba. Menurunkan ponselnya dari telinga ketika melihat tangga spiral di sampingnya.
Kakinya bergerak menaiki satu persatu anak tangga tersebut. Sampai di lantai empat yang sunyi dan lengang. Minggu lalu, ketika Erzan membawanya ke tempat ini, tak banyak yang ia inga tapa aja yang ada di sini. Begitu pria itu selesai menuntaskan hasrat padanya. Erzan membawanya turun dan melanjutkan nafsu liar pria itu di kamar mandi.
Semilir angin menerjang dari sisi kirinya. Nada menoleh dan baru menyadari pintu balkon yang terbuka lebar. Sejenak ia menjulurkan kepalanya, melihat kolam renang di kamar mereka tepat di bawahnya. Dan juga kolam di lantai satu yang lebih lebar.
Nada menengok ke bawah, tak ada tanda-tanda keberadaan orang di mana pun, membawa langkahnya bergerak lebih ke dalam ruangan tersebut. Melewati dua set sofa, bar dengan botol-botol wiski yang berjajar rapi, juga anggur. Lebih mendekat ke arah meja besar, dengan dua rak yang dipenuhi buku-buku.
Memutari meja, Nada berusaha mengamati semua barang-barang yang ada di atas meja kerja Erzan. Dua gelas dari bahan marmer yang digunakan untuk wadah pen dan peralatan menulis lainnya. Hiasan berupa bola-bola hitam yang digantung dirangka berbentuk segitiga dikedua sisi, beberapa tumpukan berkas tepat di depan kursi dan layar monitor. Barang-barang yang normal untuk sebuah meja kerja. Kecuali mungkin pigura yang biasanya dijadikan penyemangat kerja. Seperti fotonya dan sang kakek di meja kerja kakeknya. Foto mamanya di meja kerja papanya. Foto Kavian sendiri di meja kerja kakaknya dan foto pamannya yang paling sering gonta-ganti wanita.
Erzan memang tak memiliki keluarga. Kedua orang tua pria itu meninggal sejak masih kecil, hanya itu yang diketahuinya dari sang kakek.
Tetapi semua barang-barang itu yang terlihat, kan. Nada menengok ke bawah meja. Pada laci-laci di kedua sisi. Mencoba membukanya. Laci pertama dikunci, kedua dikunci, begitu pun laci yang paling bawah. Akan tetapi entah kenapa rasa penasarannya yang menyerah. Ia mencoba di sisi lain, dan laci pertama terbuka.
Napas Nada sempat tertahan, tangannya merogoh dan mengais-ngais yang tersimpan di sana. Hanya tumpukan berkas seperti yang ada di meja. Tetapi … kemudian ia tertarik pada ujung lembaran yang mengintip dari salah satu map tersebut dan menariknya. Membelalak menemukan foto Kavian yang sedang berdiri dengan latar belakang gedung perusahaan keluarga mereka.
Nada segera membuka berkas paling atas. Biografi dirinya berada di paling depan. Dengan jantung yang berdegup kencang, wanita itu mengeluarkan semua map tersebut. Setiap map berisi semua biografi keluarganya. Setiap anggota keluarganya. Satu orang satu map. Dirinya, kedua orang tuanya, Kavian, Rayanka dan bahkan kedua sepupu serta paman dan bibinya.
Tubuh Nada terjatuh di kursi, pada map paling bawah. Map yang cukup tebal tersebut adalah milik Gibran. Dan yang lebih mengejutkan adalah foto-foto dirinya dan Gibran yang diambil secara diam-diam.
Nada membekap pekikan yang lolos. Semakin ia melihat, semua lembaran tersebut membuatnya semakin terperangah. Tak hanya bergandengan tangan, berpelukan. Ada lebih banyak fotonya dan Gibran yang sedang berciuman.
Lama, Nada tertegun di tempatnya dengan tumpukan map tersebut. Dengan pikiran yang semakin tak karuan.
Asalkan jangan sampai tersesat ke lantai empat.
Nada segera tersadar mengingat peringatan Erzan tentang lantai 4. Ia segera menumpuk kembali semua berkas tersebut dan hendak mengembalikannya ke dalam laci ketika melihat satu-satunya benda yang ada di sana, yang baru disadarinya. Pigura? Rupanya Erzan memiliki seseorang yang penting. Juga. Zoe? Mungkin orang tua pria itu.
Tangan Nada terulur mengambil pigura berwarna hitam tersebut. Seluruh tubuhnya menegang. Matanya berkedip dengan kaku. Dua orang pria berdiri di bibir pantai. Dua orang pemuda. Jantung Nada berhenti berdetak ketika mengenali wajah itu adalah Erzan. Tetapi kenapa wajah satunya juga sama. Keduanya tengah tersenyum ke arah kamera. Yang mana Erzan? Siapa pemuda yang lainnya?
“Namanya Elzan.”
Pigura tersebut meluncur jatuh dari tangan Nada, menemukan Erzan yang bersandar di pintu balkon di seberang ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top