12. Pilihan

Part 12 Pilihan

Dua jam kemudian, Nada dan Erzan keluar dari kamar tersebut dan turun ke lobi. Erzan memutuskan akhir minggu tersebut untuk menghabiskan waktu di rumah sebagai pasangan suami istri. Seperti kebanyakan pasangan pada normalnya.

Pasangan normal apa? Nada hanya mampu mengumpat dalam hati. Ponselnya ada di tas kecil dan tampaknya kehabisan daya. Pun begitu ia tak berniat mengisinya.

“Harus kuakui, tadi malam wajahmu terlihat menawan untuk ukuran seorang suami yang tak berguna.” Cemooh itu dibuat oleh suara Abby yang bersandar di meja resepsionis. Di sampingnya Jonathan sedang bicara dengan salah satu resepsionis.

“Urus saja urusanmu, Abby.” Nada menatap sinis. Yang tak ada hubungannya dengan pujian setengah mengejek sang sepupu pada Erzan.

Abby tertawa, menarik lengan Jonathan dan menempelkan telapak tangannya di dada sang suami dengan mesra. “Kalian terlihat serasi.”

“Kau pun.” Nada mengeluarkan kartu yang diberikan sang paman pada resepsionis terdekat. 

“Tenanglah, Nada.” Abby mengamati rambut Erzan dan Nada yang tampak masih lembab. “Aku tak berminat merebut suami tersayangmu. Tampaknya hubungan ranjang kalian sangat baik.”

Wajah Nada memerah, lalu menoleh pada Abby dan beralih lebih lama pada Jonathan. “Ah, aku jadi tergoda untuk merayu suamimu.”

Senyum kepuasan Abby seketika membeku, wanita itu maju dan hendak melayangkan pukulan ke arah Nada. Tetapi Erzan menangkapnya lebih dulu. “Beraninya kau menyentuhku?”

Erzan melepaskan dengan satu dorongan kecil ke arah Jonathan. Dan sang suami memang sama bodohnya dengan si istri. Maju dengan keberanian yang dipaksakan. “Jangan membuang tenaga kecilmu, Jon Jon.”

Jonathan menggeram tetapi tubuhnya tetap tak bergerak lebih dekat. Tubuhnya tidak lebih tinggi dan besar dibandingkan Erzan. Ketika pria itu menjatuhkannya di tengah keluarga Arkatama, tubuhnya sudah cukup mencicipi tenaga bedebah sialan ini.

“Kau butuh mengumpulkan banyak tenaga untuk apa yang akan terjadi pada dirimu.”

Jonathan mengernyit akan kata-kata yang mendadak penuh arti tersebut.

“Dengan menjilat tuan Garth, kau pikir itu cukup untuk memenangkan proyekmu?”

Kernyitan di kening Jonathan dan Abby bertambah, pasangan suami istri itu saling pandang. “Tahu apa kau tentang proyek besar yang kami rencanakan, hah?”

“Aku tak perlu tahu untuk yang satu itu.” Erzan menarik pinggang Nada mendekat. “Meski kau berhasil memenangkannya, dengan ketololanmu ini, aku tahu kau tak akan berhasil menangani proyek besar yang bukan levelmu, Jon Jon.”

Jonathan menggeram. Tetapi gelengan Nada segera menghentikan niatnya untuk membuat keributan di depan umum. Membiarkan Erzan dan Nada berjalan menuju pintu putar.

“Kau masih saja lemah menghadapinya?!” Abby memukulkan tangannya ke dada Jonathan.

“Tidak.” Jonathan menatap ke sekeliling mereka. “Kita tak akan mempermalukan diri di depan umum.”

Abby mendengus, berjalan meninggalkan sang suami dengan jengkel. Bercampur iri dengkinya terhadap sepupu sialannya. Kenapa dirinya tak pernah merasa lebih baik dari Nada?!

*** 

Nada langsung menemukan Gibran di sudut ruangan begitu masuk ke dalam café tersebut. Berjalan mendekat dan menyambut pelukan pria itu sebelum keduanya duduk. “Maaf, aku terlambat.”

“Kau datang, hanya itu yang kubutuhkan.” Gibran mengambil tangan Nada dan menciumnya. Tak ada cincin apa pun yang menghiasi jari manis wanita itu. Ya, tentu saja. “Aku mencemaskanmu sepanjang minggu ini. Kau pingsan setelah kau minum minumannya, aku tak bisa melakukan apa pun karena entah bagaiman semua petugas keamanan itu tahu dia suamimu.”

Nada mengernyit tak mengerti dengan penjelasan tersebut. 

“Jadi, jelaskan padaku kenapa kau tidak bisa menceraikannya? Kau tak pernah mengatakan padaku sebelumnya, selain bahwa pernikahan itu demi kakekmu dan kupikir tak ada masalah setelah kakekmu meninggal.”

Nada kembali fokus pada permasalahan utama. Terkadang, ia merasa ada banyak tangan tak kasat mata yang membantu Erzan. Tetapi ketika memikirkan Erzan yang mengenal Zoe, tampaknya pengaruh wanita itu cukup banyak membantu pria itu.

“Aku dan Erzan menandatangi kesepakatan yang dibuat kakek. Dan aku tak tahu kalau semua itu mengikat pernikahan kami dengan wasiat kakek untuk semua keluargaku.”

Gibran butuh waktu untuk mencerna. “Kau sudah bicara dengan pengacara keluargamu?”

“Aku membaca kembali kesepakatan pernikahan itu dan masih belum menemukan jalan keluar untuk semua itu. Papaku, Kavian, dan pamanku. Aku sudah meminta bantuan mereka. Mereka semua memberikan solusi yang sama. Bertahan sampai pernikahan kami menginjak 5 tahun. Dan bahkan seharusnya kita tidak bertemu. Jika Erzan tertarik untuk menuntutku, keluargaku yang akan hancur.”

Ponsel di meja bergetar. Nada sudah cukup was-was kalau itu dari Erzan, tetapi rupanya dari Jonathan? Untuk apa pria itu menghubunginya? Nada membalik ponselnya dan kembali menatap Gibran. “Hal-hal semacam itu yang aku tak perlu menjelaskannya secara detail, Gibran. Kau lebih tahu, seperti apa yang terjadi padamu sekarang, kan?”

“Aku sudah mengatakan pada orang tuaku untuk menolak perjodohan itu. Seharusnya aku ada kencan dengannya satu jam yang lalu.”

Mata Nada berkaca, dipenuhi haru sekaligus rasa bersalah yang mengembang memenuhi dadanya. “Maafkan aku, Gibran.” Tetapi rupanya kata maaf yang tulus itu tak melunakkan tatapan dingin Gibran padanya. “A-aku … aku mencintaimu.”

Gibran masih bergeming. Tetapi getaran di ponsel Nada kembali terdengar.

“Apa yang kau ingin aku lakukan?”

“Aku memilihmu dibandingkan keluargaku.”

Nada tercekat. Kedua pilihan itu terpampang jelas. Gibran memberikan kedua pilihan itu. “Gibran …”

Gibran membalik ponsel Nada. “Sepertinya panggilan darurat.”

“Aku tak peduli. Hanya Jonathan.” Tangannya hendak menggeser tombol merah tetapi Gibran malah menggeser tombol hijau. 

‘Apa kau sengaja melakukan ini, Nada?!’ Suara Jonathan terdengar marah. Membuat Nada kebingungan harus bicara dengan Jonathan atau Gibran yang juga menatapnya tajam. 

“Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Jonathan. Aku sedang sibuk. Bisakah kau …”

‘Kau bersama Gibran?’

“Itu bukan urusanmu!”

‘Apa papamu tahu kau masih menjalin hubungan dengannya?’

Wajah Nada yang membeku semakin memucat. Menatap Gibran dan juga menatapnya.

‘Kau membantu suami tak bergunamu itu untuk memenangkan proyek itu, kan?’

“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan, Jonathan.” Nada mulai cemas dengan kecurigaan yang muncul dalam tatapan Gibran. “Untuk apa aku membantu Erzan?” kesalnya.

‘Erzan tak mungkin melakukannya sendiri.’

“Kau benar. Aku tak membantunya dan Erzan tak mungkin memenangkannya. Jadi jangan salahkan siapa pun untuk kegagalanmu.” Nada menekan tombol merah sebelum Jonathan membalas.

“Itu benar. Erzan yang memenangkannya.”

Mata Nada membelalak. “Tak mungkin, Gibran,” balasnya dengan suara yang kemudian meragu. Zoe, lagi-lagi wanita itu mungkin melakukannya untuk Erzan. Tetapi …

“Keluargamu berada di baliknya.”

“Itu tidak mungkin. Keluargaku lebih menyukai Jonathan dibandingkan Erzan.”

“Kalau begitu, istrinya.”

Nada menggeleng dengan keras. “Percaya padaku, Gibran.”

“Perasaanku tak berubah meski aku tahu apa yang dilakukannya untuk memisahkan kita, Nada. Kau menjalani semua ini dengan keterpaksaan. Dia berusaha menggunakan kesalah pahaman itu untuk menguji kepercayaan kita. Tetapi pernikahan itu demi urusan bisnis keluarga, sama dengan perjodohanku. Masalah kita sama. Tak akan ada jalan keluar jika kita tak punya pilihan yang sama. Tak ada kita tanpa kita saling memilih satu sama lain.”

Nada semakin membeku. Ia tidak akan berpikir dua kali untuk memilih Gibran dibandingkan keluarganya. Tetapi hidupnya tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Keluarganya …

“Dan selalu ada yang dikorbankan,” tambah Gibran tegas. “Jadi … apakah pilihan kita sama, Nada?”

“Gibran, berikan aku …” Napas Nada kembali direnggut dengan tiba-tiba ketika Gibran beranjak sambil menyambar kunci mobil.

“Aku akan memberikannya.”

“Tunggu, Gibran.”

Gibran tak mengurangi kecepatannya menuju pintu. Langkah lebarnya membuat Nada kewalahan menyusul, yang semakin mempelebar jarak di antara mereka. Ia berhasil naik ke dalam mobil saat Nada sampai di tempat parkir. Meninggalkan wanita di tengah jalan dengan air mata yang mulai tumpah.

“Pertunjukan yang bagus, istriku.”

Nada menoleh cepat dengan wajah penuh air mata. Menemukan Erzan yang duduk di balik kemudi, menatapnya dari balik kaca jendela mobil yang terbuka sempurna.

“Kupikir kau ada di rumah sakit untuk melakukan kontrasepsi.” Erzan mengangkat pergelangan tangannya. “Percayalah, sayang. Aku membutuhkan tubuhmu. Tetapi tidak untuk mengandung anakku.”

Nada masih membeku di tempatnya. Tak peduli wajahnya sudah sepucat apa. Gibran benar, hanya ada satu pilihan dan satu untuk dikorbankan.

‘Tak ada kita tanpa kita saling memilih satu sama lain.’

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top