11.Tak Gentar

Part 11 Tak Gentar

                                       

“Tidak akan merubah segalanya?” Alis Erzan terangkat, lalu menahan tawa pada keduanya tetapi kemudian menghela napas 

“Sejak kapan kau di sana?” Ketakutan itu merebak di dada Nada dengan keras. Mendorong kedua tangannya untuk menjauh dan maju satu langkah di depan Gibran.

“Sejak kau mengatakan akan ke toilet?” Bahu Erzan bergerak sedikit. “Aku hanya menduga kalian akan saling bertemu diam-diam, dan biasanya dugaanku bagus jadi aku … di sini. Seperti yang kalian lihat.”

“Apa yang kau inginkan, Erzan? Kami …” Nada merasa marah akan keangkuhan Erzan, tetapi entah kenapa perasaan takut lebih mendominasinya terhadap pria itu. Meskipun semua orang selalu merendahkan Erzan, tetap saja kegilaan yang terpancar dari mata pria itu membuat dirinya tak berkutik. “Beri kami waktu untuk bicara.”

“Kau selalu bisa melakukannya, sayang.”

Tapi dirinya harus tahu batasan, lanjut Nada hanya dalam hati saat menelan ludahnya yang terasa pekat.

“Cobalah untuk terlihat menyesal, istriku. Mungkin itu akan sedikit meluruhkan …”

“Bedebah sialan,” umpat Gibran yang sudah tak tahan berada di balik punggung Nada. Tangannya sejak tadi sudah mengepal kuat, siap menghambur ke arah Erzan, tetapi pegangan Nada menahan lengannya.

“Aku akan pergi denganmu.” Nada bergerak lebih maju lagi. Berusaha menghalangi Gibran di antara dirinya dan mendorongnya bergerak mendekat pada Erzan.

“Tidak, Nada. Tak ada yang perlu kau takutkan dengannya.”

“Ya, tidak memiliki apa pun membuat dirimu tak akan takut kehilangan apa pun. Masalahnya, kau punya terlalu banyak.” Erzan menelengkan kepalanya meski tak butuh melakukan itu untuk berpandangan secara langsung dengan Gibran. “Kalian punya cinta, juga … apa keluargamu sanggup kehilangan dukungan yang diberikan Zoe?”

Wajah Gibran merah padam, tentu saja lebih kuat dari Nada yang mempertahankan situasi tetap terkendali. Tapi mulut lancang itu tentu saja tak bisa dibiarkan begitu saja. Mulut kurang ajar itu perlu diberi pelajaran. Gibran maju, menangkap kerah leher Erzan yang satu tangannya sudah menyentuhkan moncong pistol di pelipisnya.

Nada nyaris kehilangan keseimbangannya di tengah keterkejutannya. Gelombang dingin menerjangnya dengan keras. “Hentikan, Gibran!”

“Kau tak cukup bodoh untuk membunuhku di tempat umum seperti ini.”

Erzan tertawa,  melirik Nada yang sepucat mayat dengan tangan gemetar hebat memegang siku tangan Gibran yang melayang di udara. Siap menghantam wajahnya. “Well, aku cukup bodoh untuk membunuh kakek tua itu di rumahnya dengan semua anggota keluarga ada di sana.”

“Kumohon hentikan, Erzan,” ratap Nada mulai terisak.

“Setidaknya dengarkan kekasih hatimu.” Erzan mengedikkan ujung dagu ke arah Nada yang sudah dibanjiri air mata.

Wajah Gibran yang merah padam semakin menegang. Cengkeramannya sama sekali tak melonggar, begitupun dengan kepalan tangannya yang berusaha diturunkan oleh Nada. Tak akan semudah itu. “Kau pikir aku takut?” Suaranya mulai bergetar, tetapi kemarahan masih begitu menguasainya dan harus ia akuinya dirinya cukup gila.

Erzan berdecak bosan, menarik pelatuk yang membuat Nada semakin histeris dan melepaskannya hingga sang istri histeris hebat. Napas Nada memburu saat berusaha menjauhkan tubuh Gibran dengan kedua tangan bergetar hebat. Tetapi saat kemudian menyadari suara yang terlalu keras tersebut adalah satu-satunya yang bergema di ujung lorong adalah milik wanita itu sendiri.

Nada berhenti menjerit dan napasnya mulai memelan melihat tubuh Erzan masih berdiri di hadapannya. Tak ada darah di wajah pria itu. Tak ada darah di mana pun.

Erzan terkekeh. Menurunkan pistol tersebut dari pelipis Gibran yang wajahnya sudah diselimuti keringat dingin. Berusaha terlalu keras menyembunyikan ketakutan hingga pegangan di kerahnya mulai melonggar. “Memang seharusnya tidak.”

Kelegaan mengalir keras di tenggorokan keduanya. Tubuh Gibran terhuyung ke belakang bersandar pada Nada yang juga jatuh ke arahnya. Keduanya masih berusaha menormalkan napas saat Erzan mengulurkan gelas anggur di tangannya pada Nada.

“Butuh minum, istriku?”

Nada menatap gelas tersebut dan mata Erzan bergantian. Lalu turun pada pistol yang ia kenali sebagai hadiah ulang tahun dari pria itu untuknya. Dan itu bukan pertanyaan, jadi tangannya terulur, tetapi Gibran menahannya.

“Apa yang kau lakukan, hah?” Gibran memegang pergelangan tangan Nada. “Aku sudah mengatakan akan mengurus perceraian kalian dan …”

“Aku tak bisa melakukannya, Gibran.”

“Kenapa?! Kau bahkan tak menganggap pernikahan itu …”

“Kau tak mengerti. A-aku …” Nada kembali menutup mulut. Mengambil gelas yang diulurkan Erzan dan meneguknya sebelum Gibran sempat merebut gelas tersebut. Ia butuh minuman itu untuk menghilangkan kewarasannya dan bicara dengan Gibran tentang masalah keluarga dan penikahannya. Yang sulit dijelaskan pada pria itu. Ditambah keluarga Gibran yang telah mendapatkan tawaran perjodohan, ia tak ingin membuat Gibran berada dalam masalah yang lebih besar darinya.

Semua kecemasan dan kegelisahan itu berjumbal memenuhi pikirannya. Ia berpikir untuk menyelesaikannya satu persatu, tetapi ia tak tahu mana yang harus diselesaikannya lebih dulu. Dirinya? Gibran? Erzan?

‘Pergilah, Gibran!’ Nada pikir sudah meneriakkan kata itu dengan penuh harap dan permohonan pada Gibran. Tetapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Pandangannya mulai mengabur dan tiba-tiba saja tubuhnya meluruh, sebelum kemudian pandangannya menggelap seluruhnya.

*** 

Silau yang teramat membangunkan Nada dari tidurnya yang terlalu lelap. Matanya berkedip beberapa kali, menyesuaikan dengan cahaya di sekitar ruangan yang terlalu terang sambil mengusir pusing di kepala.

Begitu matanya bisa memandang ke sekitar dengan cara yang normal, wanita itu mengenali plafon gypsum dengan detail rumit yang klasik tersebut adalah salah satu kamar suite di gedung hotel bintang lima. Paman dan pesta perayaan, kemudian Gibran dan …

Nada terlonjak bangun. Kepalanya berputar ketika tanda tanya besar memenuhi kepalanya. Bagaimana dirinya ada di tempat ini? Dan … pekikannya segera terbungkam telapak tangannya saat menyadari tubuhnya yang tak mengenakan apa pun di balik selimut. Sementara Erzan berbaring tengkurap di sampingnya. Masih dengan mata terpejam dan napas yang berhembus teratur.

Wanita itu bergegas turun dari ranjang, meraih gaun di ujung tempat tidur untuk menutupi tubuhnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Mengunci pintu dan jatuh bersandar pada meja wastafel. Menatap pantulan tubuhnya di cermin, cukup lama bagi Nada untuk mengira-ngira apa yang mungkin dilakukan Erzan padanya. Pada tubuhnya.

‘Butuh minum, istriku?’ Mata Nada melebar. Minuman itu! Erzan pasti mempersiapkan minuman itu untuknya.

Kemarahannya tersulut dengan mudah, tetapi saat sekali lagi ia mengamati tidak ada yang aneh dengan tubuhnya. Juga tidak ada jejak baru yang biasanya ditinggalkan Erzan di kulitnya, Nada merasa lega mereka hanya tidur. Benar-benar hanya tidur.

‘Kau di dalam?’ Suara Erzan terdengar dari balik pintu.

Nada menoleh, melihat gagang pintu yang bergerak-geral. Umur panjang. Baru saja ia merasa lega memikirkan Erzan yang masih tenggelam dalam mimpi suram pria itu.

‘Buka pintunya, Nada!’ Gerakan dari balik pintu semakin tak sabaran. Memaksa Nada meraih jubah handuk di bawah meja wastafel dan mengenakannya dengan cepat tepat sebelum Erzan benar-benar berniat mendobrak pintu.

Senyum Erzan tampak terlalu berseri-seri begitu muncul di hadapan Nada. “Selamat pagi, istriku.”

“Apa yang kau taruh di minumanku?”

“Hanya obat tidur. Atau obat perangsang? Aku tak yakin.” Erzan terkekeh sambil melangkah masuk. “Wanita itu yang memberikannya padaku.”

“Wanita itu?”

“Kavian menyuruhnya menggodaku, sepertinya. Seharusnya aku tidur dengannya, dia punya dada yang bagus.” Pandangan Erzan berhenti pada belahan di dada Nada yang ditutup rapat. “Tapi … itu hanya akan membuatku tak lebih baik darimu saat menghadapi sebuah perselingkuhan.”

Nada tak membalas. Semakin Nada membela diri akan hubungannya dan Gibran, entah kenapa ia merasa itu bukan cara yang tepat untuk berhadapan dengan Erzan.

“Aku sudah cukup terhibur dengan tubuhmu.” Senyum Erzan berubah menjadi seringai.

Nada sudah bergerak ke samping saat tangan Erzan hendak mengambil pinggangnya. Gerakan pria itu lebih gesit, dalam sekejap tubuh mereka sudah ada di bawah shower. “A-aku pusing. Bisakah …”

Erzan membungkam penolakan tersebut dengan bibirnya. Menyingkirkan jubah handuk dari tubuh Nada yang menghalangi tangannya untuk menyentuh kulit telanjang dan halus wanita itu.

Pada akhirnya, Nada selalu tak punya pilihan selain pasrah. Matanya terpejam erat, merasakan telapak tangan Erzan menjelajah ke seluruh tubuhnya di bawah guyuran air. Napas pria itu semakin memberat dan panas saat mengabsen seluruh gigi di mulutnya. Memilin lidahnya dan melakukan apa pun yang diinginkan. Dan itu hanya permulaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top