1. Kembali
Part 1 Kembali
Matanya terpejam, kedua tangannya saling menggenggam di depan dada saat harapan itu bergumam di dalam hatinya. Kebahagiaannya. Hanya itu yang dibutuhkannya. Matanya terbuka, dan meniup deretan lilin yang ia yakin berjumlah 25 itu. Nada Zachira Arkatama, pernah menjadi cucu kesayangan Syamil Arkatama dan bukan dirinya yang menjadi pemilik utama pesta pada malam ini.
Tepuk tangan meriah memenuhi seluruh halaman belakang. Suasana ceria dan langit malam yang dipenuhi taburan bintang menambah suasana menjadi semakin indah. Semua wajah memasang senyum terbaik mereka, memastikan tidak terlihat tak menyenangkan saat si pemilik pesta memandang mereka.
Potongan pertama tentu saja akan menjadi milik ayah dan ibunya, seperti tahun-tahun sebelumnya. Nada mengambil pisau yang sudah dibalut pita warna merah muda, mengambil potongan segitiga dan memberikannya pada sang ayah, Abimana Arkatama ketika sebuah ledakan yang keras bergemuruh dari kejauhan.
Tepukan tangan seketika berubah menjadi kesiap dan pekik ketakutan saat cahaya terang membumbung tinggi dari arah halaman depan kediaman Arkatama yang begitu luas. Tak ada lagi sisa-sisa kegembiraan dan kemeriahan pesta. Sepenuhnya digantikan kepanikan yang mencekam para tamu berhamburan ke segala arah. Dalam sekejap, lebih dari separuh orang meninggalkan halaman belakang.
"Sepertinya itu kejutan lainnya, ya?" Abby Bimantara, sepupu Nada dari sisi sang ayah berdiri di depan meja. Menjawil krim di tumpukan kedua kue dan menjilatnya. "Apa ada tamu undangan paman yang datang terlambat?"
Wajah Abimana menegang, menatap putra sulungnya yang hanya mengedikkan bahu. Duduk di meja paling depan. "Mungkin salah satu musuh papa. Tidak ada yang tidak tahu kalau malam ini adalah pesta ulang tahun dari cucu kesayangan Syamil Arkatama." Kavian melirik dingin pada Nada ketika nama sang kakek disebut. "Tenanglah, adik. Itu hanya kiriman hadiah. Bukan untukmu. Ulang tahun kita sudah menjadi milik papa."
"Cukup, Kavian," geram Abimana. Yang segera teralih pada seorang pria bersetelan hitam berlari mendekat, menerobos beberapa para tamu undangan yang masih tersisa dan tak berani pergi ke mana pun. "Apa yang terjadi?"
Si pria sedikit mendekat saat Abimana memberikan telinganya. Wajah pria paruh baya itu seketika diselimuti kegelapan. Turun dari panggung dan dengan langkah terburunya berjalan menuju area depan rumah.
Nada menyusul. Mengabaikan sang mama yang menahan lengannya. Firasat buruk itu tak pernah enyah dari ketakutan yang selama lima tahun ini menghantuinya.
Aku akan kembali. Selamat ulang tahun, istriku.
Bau besi karet yang dibakar seketika menyengat hidung Nada begitu langkahnya berhasil menerobos di antara orang-orang yang membentuk lingkaran. Mengeliling sebuah mobil yang diselimuti api yang menyala. Meski begitu, tak ada satu pun orang yang bergerak untuk memadamkan api itu. Lagipula, itu satu-satunya mobil yang diparkir di tengah halaman rumah. Jauh dari kendaraan para tamu undangan yang lain.
"Sialan!" Kavian mengumpat di samping Nada saat mengenali mobil Porsche biru miliknya yang sudah berubah menjadi hitam bercampur orange.
"Aku tak suka warnanya. Membuat kepalaku pusing."
Nada tersentak, seluruh tubuhnya membeku dan wajahnya sepucat mayat saat mencari asal suara yang tepat berada di sampingnya. Kepalanya berputar dengan perlahan. Terdongak dengan tinggi tubuh yang menjulang dan rambut panjang melewati bahu yang dibiarkan tergerai. Meskipun setengah wajahnya tertutupi helaian rambut, tetap saja Nada mengenali seringai dan wajah pria itu dengan sangat baik.
"Aku sudah kembali, selamat ulang tahun, istriku."
Tubuh Nada terhuyung ke belakang, ditangkap Kavian yang sama terkejutnya. Dan tak hanya adik kakak tersebut. Abimana, Abby, dan seluruh keluarga besar Arkatama sukses dibuat terperangah. Erzan Rajhendra telah kembali.
***
"Ck, perusahaanku bangkrut saat kalian semua menjebloskanku ke penjara. Jadi aku hanya bisa berkelakuan baik agar hukumanku dikurangi." Erzan menyandarkan punggungnya. Mendapatkan posisi yang nyaman, berbanding terbalik dengan ketegangan yang memenuhi seluruh ruangan.
"Kau keluar untuk membuat keributan ini?" dengus Kavian yang berdiri di balik punggung sofa. Tepat belakang Nada dan sang mama, Ayudia Arkatama.
"Hanya kejutan kecil." Erzan merogoh saku jasnya yang tampak lusuh. Kesiap keras terdengar dari para wanita melihat benda hitam mengkilap yang diikat tali merah muda tersebut ke meja. "Aku lupa, hadiah untuk istriku," ucapnya sambil mendorong pistol tersebut ke hadapan Nada.
"Kau sudah gila, Erzan." Ayudia menarik Nada ke dalam pelukannya.
"Tiga tahun bergelut dengan para kriminal, sepertinya kegilaan mereka menular padaku juga, Mama. Jangan terkejut. Sebagai mertua dan menantu, mama harus terbiasa."
"Kau tak ingin menerimanya, istriku?"
"Kau ingin aku menggunakannya untuk bunuh diri?"
Erzan terkekeh. "Ya, hanya itu satu-satunya cara kau bisa bebas dari mereka, kan?'"
Abimana menggeram. Untuk pertama kalinya bersuara.
"Apakah aku salah, Papa?"
"Apa yang kau inginkan?"
Erzan terkekeh lagi. Sedikit mencondongkan tubuh saat meletakkan kedua sikunya di lutut. Menatap lurus sang mertua yang duduk di sofa tunggal yang ada di seberang meja. "Hanya istriku satu-satunya hal yang kumiliki di dunia."
"Dia tidak akan ke mana pun." Kavian menolak sebelum Erzan menutup mulut menyelesaikan keinginannya. Tatapannya menajam dengan kobaran amarah di kedua matanya yang coklat.
Erzan tertawa. "Kenapa? Kami masih sah sebagai suami istri. Kalian tak berencana untuk memisahkan kami, kan? Itu tidak mungkin, tak ada salah satu di antara kalian yang akan sanggup menanggung kerugian tersebut."
"Aku tak akan ke mana pun." Nada mengumpulkan keberaniannya yang tak seberapa. Erzan sudah menjadi teror dan mimpi buruknya di setiap malam. "Apalagi ikut dengan pembunuh sepertimu."
Kali ini tawa Erzan membahana ke seluruh ruangan. Membuat semua orang semakin geram.
"Seperti yang kau bilang, hanya Nada yang kau miliki," celetuk Abby kemudian. "Dia anak manja yang terbiasa hidup dengan kemewahan. Kau yakin tak akan membuatnya mati kelaparan saat membawanya keluar dari rumah ini?"
Tawa Erzan berhenti. Senyumnya tetap mengembang saat menatap sepupu istrinya itu. "Seperti janji yang kuucapkan di pernikahan kami. Tepat tiga tahun yang lalu." Pandangannya beralih pada Nada. "Aku berjanji tak akan membuatnya menderita. Memenuhi semua kebutuhannya dengan cara yang baik dan mencintainya di saat susah maupun senang."
Nada menelan ludahnya.
"Bukankah begitu, Papa?" Erzan menatap lurus sang papa mertua. Seringainya bergerak naik menikmati ketegangan di wajah Abimana, yang tak berkutik untuk membantah kalimatnya. Apalagi menolak keinginannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top