THIRTEEN

Surprise?

This part is dedicated to She_Liu
Who always pursue me to update every Saturday, with no reason.

■■■■■

Patricia terdiam sambil menyilangkan tangan dan kakinya, dia sedang duduk di sebuah kursi yang ada di ruang kerja Darren.

Entah kenapa dia menjadi pendiam dan tidak bisa berpikir apapun selain merasa kosong dalam hatinya. Juga pikirannya. Jika benar apa yang dikatakan Darren, bahwa ada yang menyelinap masuk ke dalam tim kerjanya, maka situasi disana pasti sedang kacau.

Dia berharap kalau kakaknya akan menggunakan otak jeniusnya untuk menanggapi hal itu dan melakukan sesuatu disana. Sebab dia tidak bisa menghubungi siapapun dari sini. Itu sangat menyebalkan, umpat Patricia dalam hati. Dia merasa seperti hidup di jaman batu yang tidak memiliki jaringan komunikasi.

“Ada apa, Petal?” tanya Darren, pria itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya dengan satu lutut bertumpu di atas lantai.

Patricia menggeleng. “Aku hanya merasa bosan.”

“Bosan?”

“Kehidupanmu disini seperti terisolasi. Tidak bisa kemana-mana. Kalaupun pergi, harus menjaga sikap dan tidak bisa seenaknya. Pantas saja kau tidak betah.”

Darren terkekeh. “Sudah kubilang untuk pulang saja ke Chicago, tapi kau tetap bersikukuh.”

“Jika aku tidak mengenalmu, mungkin aku tidak akan bersimpati dan akan menyudutkanmu agar aku bisa menggali informasi. Hanya saja, aku cukup kesal dengan orang suruhan ratu jalangmu itu.”

“Dia bukan ratuku, tapi kau. Dia memang jalang, tapi bukan jalangku. Jika aku mau dengannya, sudah dari dulu aku menikahinya.” Darren memberikan seringaian hambarnya.

“Apakah kau memiliki potret keluarga? Maksudku keluargamu dan kerajaanmu itu?” tanya Patricia penasaran.

Darren menggeleng. “Aku tidak punya, tapi ada di rumahku.”

Patricia mendesah malas. “Semua orang juga pasti memiliki potret keluarga di rumahnya, bodoh. Maksudku di dompetmu atau di tempat ini.”

Darren kembali menggeleng. “Aku tidak ingin meninggalkan jejak apapun yang bisa membuat orang tahu siapa keluargaku. Aku adalah Darren Petterson, bukan Oscar Julian Aliansus Konstantinus. Aku lebih bangga menjadi anak seorang pekerja bangunan, ketimbang anak seorang panglima tertinggi.”

Ada nada pahit dalam suara Darren dan Patricia bisa merasakan kegetiran dalam diri Darren. Dari luar, mungkin Darren tampak berkuasa dan penuh kendali, tapi tidak dalam hatinya. Seolah kekuatan yang dimilikinya adalah perisai untuk melindungi dirinya yang rapuh. Dia tampak tidak bahagia. Mungkin saja begitu, pikir Patricia. Karena kepercayaan adalah hal yang sulit untuk dilakukannya, termasuk dengan Darren.

Patricia spontan mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Darren dengan lembut. Pria itu memejamkan matanya untuk menikmati usapan lembut Patricia, dan beringsut mendekat kearahnya, memeluk pinggangnya, lalu menyandarkan kepalanya di pangkuannya.

“Aku suka seperti ini.” Ucap Darren dengan suara bergumam. “Aku lelah dan aku ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi.”

“Apakah kita akan dipisahkan?” tanya Patricia kemudian.

“Tidak ada yang bisa memisahkan kita. Sekalipun itu adalah keinginanmu, kau tidak akan bisa lepas dariku.” Jawab Darren mantap.

“Memangnya siapa yang ingin berpisah darimu? Yang aku tanya adalah apakah kita akan dipisahkan?” koreksi Patricia dengan lugas.

Darren mendongak dan membuka matanya dengan ekspresi tegas di wajahnya. “Kemungkinan itu ada, tapi tidak akan terjadi karena aku tidak akan membiarkannya.”

“Oh.”

Patricia kembali mengusap kepala Darren sambil memandang wajah rupawan pria itu. Jika dipikir ulang, seharusnya Patricia bisa menilai kalau Darren memang berbeda dibanding ketiga temannya yang lain. Dari segi penampilan, sikap, dan tutur katanya. Dia tampak lebih dominan dan seolah memiliki aura penguasa yang langsung bisa dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Darren tidak banyak berbicara seperti Luke, juga tidak seserius Brant, atau sedatar Russell. Dia pandai menempatkan diri dalam berbagai kesempatan. Tidak heran dia menjadi orang pilihan Petra untuk mendampinginya kemanapun kakaknya pergi.

“Apa kau marah ketika mendengar aku yang ingin kesini?” tanya Patricia.

“Aku hanya bingung,” jawab Darren langsung. “Kenapa kau bisa tiba-tiba berniat untuk mencari tahu soal Almauric. Aku yakin kalau kami masih menyembunyikan diri dari mata dunia. Di samping itu, ibuku tidak memberitahu apa-apa. Jadi bisa dipastikan kalau semua ini adalah ulah Estelle, dan itu benar.”

“Bisa jadi dia ingin bertemu denganku,” balas Patricia dan Darren mengangguk setuju.

“Sayangnya, cara yang dia lakukan sangat tidak berkelas. Kurasa dia adalah wanita bodoh,” ejek Patricia jengkel.

Darren terkekeh. “Dia ingin membuktikan dirinya padamu.”

Patricia mengangkat alisnya setengah. “Maksudnya ingin membuktikan kalau dia adalah seorang ratu, lalu merendahkanku karena aku hanyalah seorang diplomat biasa?”

“Sepertinya begitu.”

Seharusnya Patricia berhak merasa tersinggung, tapi dia lebih memilih untuk bersikap datar saja. Jika ada yang meremehkannya, maka dia akan membuktikan bahwa apa yang dinilai orang itu adalah salah besar. Karena marah-marah dan meluapkan emosi, akan membuatnya lelah dan membuang waktu. Apalagi jika orang yang berhadapan dengannya adalah orang dungu.

“Jadi, berapa lama kita akan berdiam diri disini?” tanya Patricia.

“Ingin berjalan-jalan sebentar?” tanya Darren balik.

“Apakah bisa?”

“Tentu saja. Kita bukan buronan.”

Patricia tertawa. “Kukira kita adalah orang yang masuk dalam daftar pencarian nomor satu di negeri ini.”

“Karena kau bersama orang nomor satu itu.”

“Sombong sekali.”

“Aku memang sombong. Nilai diriku terlalu tinggi dan sudah sepantasnya aku harus bersikap angkuh.” Balas Darren sambil menegakkan tubuh dan beranjak berdiri.

“Mau kemana?” tanya Patricia ketika Darren mengulurkan tangan kearahnya, dan dirinya langsung menyambut uluran tangan itu.

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Disini ada ladang bunga yang sangat cantik dan indah. Kau akan menyukainya. Percayalah.” Jawab Darren sambil membimbingnya berjalan keluar dari ruang kerjanya.

Patricia mengembangkan senyuman dan terlihat antusias. Dia mengeratkan genggaman tangan Darren sambil bersenandung untuk mengikuti pria itu yang memimpin langkah mereka menyusuri lorong bawah tanah yang begitu panjang.

“Apakah kita akan memasuki wilayah Almauric jika melewati lorong ini?” tanya Patricia lagi.

“Ya, tapi kita tidak akan kesana dulu. Aku ingin bersenang-senang denganmu hari ini.” Jawabnya.

“Baiklah. Jadi kita berkencan hari ini.”

Darren menoleh kearahnya dan mengangguk. “Yes, Petal. Kita berkencan.”

Patricia ikut tersenyum ketika Darren memberikannya senyuman yang mempesona.  Sudah begitu lama dia tidak merasa sesenang ini, bahkan rasa senang yang familiar ini kembali dirasakannya dari orang yang sama.

“Gaun yang kukenakan ini milik siapa, Darren?” tanya Patricia sambil menunduk menatap gaun sederhana tanpa lengan sampai semata kaki berwarna ivory.

Gaun itu membalut pas di tubuh langsingnya dan seolah gaun itu memang untuk ukuran tubuhnya. Modelnya mengusung gaya vintage namun elegan. Patricia menyukainya.

“Milikmu,” jawab Darren hangat. “Aku sudah menyiapkan pakaian dengan ukuran tubuhmu di lemari pakaianku sejak lama. Karena aku ingin mengajakmu kesini jika kau sudah menerimaku dan menjadi milikku kembali.”

Alis Patricia terangkat. “Benarkah?”

“Iya. Tapi kau sulit sekali kudekati sehingga baru bisa sekarang. Itupun dengan cara yang menyebalkan seperti ini,” balas Darren sambil menghentikan langkahnya.

Ada sebuah pintu besi di hadapan mereka, dan ada rak besar yang menyimpan mantel, topi, boots, dan perlengkapan untuk bepergian di samping pintu besi itu. Darren meraih sebuah topi lalu memakaikannya pada Patricia.

“Kenapa harus memakai topi?”

“Aku takut akan hujan. Meskipun cuaca lumayan cerah, tapi aku tidak mau kau sampai flu. Tutupi kepalamu, itu membuatku merasa lebih tenang.”

Perhatian kecil yang diberikan Darren berhasil membuat perasaan Patricia menghangat. Kemudian, pria itu menempelkan telapak tangan kanannya ke sebuah alat pendeteksi, sekaligus menaruh dagunya diatas alat yang sudah terpampang untuk membiarkan alat itu menscan wajahnya dari kening hingga ke dagu.

Ting! Terdengar sebuah dentingan dan lampu diatas pintu besi itu menyala, lalu perlahan, pintu besi itu terbelah dua dan memberikan pemandangan yang begitu indah.

Mata Patricia melebar dan bibirnya terbuka dengan ekspresi takjub melihat ladang bunga lavender yang begitu luas dan indah. Tanpa menunggu Darren mempersilahkannya, spontan kedua kakinya melangkah dengan penuh semangat dan dia hampir berlari agar bisa berdiri di tengah-tengah ladang.

Dia merentangkan kedua tangannya lalu menghirup udara segar disitu dengan dalam. Rasanya begitu menyenangkan. Dia sangat senang. Dia memetik setangkai lavender lalu berjalan riang menyusuri ladang itu. Tatapannya mengarah pada sebuah rumah kayu yang sederhana disana. Mungkin itu adalah rumah untuk pekerja yang bertugas merawat ladang itu.

Patricia masih asik sendiri dan tidak menyadari kalau Darren sedang mengarahkan ponselnya, lalu mengambil beberapa foto dari arah belakangnya. Pria itu tersenyum ketika mendapatkan hasil yang memuaskan dari posisi Patricia yang sedang berdiri membelakanginya.

“Apa kau senang?” tanya Darren sambil memeluk Patricia dari belakang.

Patricia menoleh kearahnya dan menaruh tangannya diatas kedua tangan Darren yang melingkari perutnya.

“Ini sangat indah. Bagaimana bisa kau memiliki ladang bunga seperti ini? Apa kau menyukai lavender?” balas Patricia dengan sumringah.

Lavender memiliki makna keanggunan dan kesetiaan. Aku membuat ladang bunga ini untuk ibuku dan dirimu.” Ujar Darren lembut.

Patricia mengerjap dan membalikkan tubuhnya untuk menghadap Darren. Keduanya saling berangkulan.

“Kau membuat ladang ini untuk ibumu dan diriku?” tanya Patricia untuk memastikan.

Darren mengangguk. “Aku hanya memberi kesetiaanku pada dua orang wanita dalam hidupku. Ibuku, lalu kau. Dan setiap kali aku merindukan kalian, aku akan melihat ladang bunga ini.”

“Kenapa kau bisa begitu manis, Yang Mulia?”

“Jangan memanggilku seperti itu, Petal.”

Why? Bukankah memang seperti itu?”

“Aku tidak mau. Itu bukanlah hal yang patut kubanggakan. Jadi, anggaplah pria ini sebagai Darren, sih bawahan yang selalu menggauli atasannya yang seksi.”

Patricia menggigit bibir bawahnya untuk menyembunyikan seringaiannya. Dia merasa terharu dan juga bahagia. Bagaimana bisa pria itu melakukan hal yang manis seperti ini di belakangnya? Padahal dia sudah bersikap kasar dan terus menghinanya. Damn! Jangan mudah terpengaruh, Patricia! Batin Patricia kembali mengingatkan.

“Jangan membuat diriku jatuh cinta, lalu meninggalkanku ketika cintaku sudah terlalu banyak untukmu, Darren. Kalau dulu aku mungkin akan meratapi kepergianmu dengan menangis, tapi kali ini aku akan membunuhmu jika itu terjadi.” Tegur Patricia ketika Darren mengeratkan rangkulannya dan mendaratkan sebuah ciuman di keningnya.

“Aku sudah berusaha mengetuk pintu hatimu selama ini, Petal. Kau sudah mempersilahkanku masuk ke dalamnya dan aku tidak akan keluar lagi, sekalipun kau mengusirku.” Balas Darren tegas dan menundukkan kepalanya untuk mengecup lekuk leher Patricia.

“Aku tidak akan mengusirmu.” Ujar Patricia sambil memiringkan kepalanya untuk memberi akses agar Darren bisa mencium lehernya dengan puas.

Mmmmm... aku juga tidak ingin keluar dari pintu hatimu,” bisik Darren hangat.

“Aku juga tidak akan membiarkanmu pergi meninggalkanku begitu saja,” balas Patricia sambil menyeringai dingin dan merangkul bahu Darren lalu mengusap kepalanya.

“Tidak akan.” Sahut Darren mantap.

Patricia semakin melebarkan seringaiannya dan menatap tajam kearah satu sosok yang berdiri di tengah-tengah ladang itu.

Seorang wanita. Berambut pirang. Memiliki sepasang bola mata berwarna biru yang berkilat tajam, ekspresinya begitu dingin, dan dia tampak begitu marah ketika menatap Patricia saat ini. Dengan pakaian yang sangat terbuka, bahkan menampakkan belahan dadanya secara terang-terangan. Satu kata yang mewakili penglihatan Patricia saat ini, yaitu jalang.

“Darren, apakah kau tahu ada perumpaan bahwa wanita berambut pirang itu kebanyakan adalah bodoh?” tanya Patricia dengan wajah tanpa berdosanya.

Darren menghentikan ciuman di lehernya dan menegakkan tubuhnya untuk menatap Patricia. “Apakah...”

“Dan aku cukup prihatin dengan rakyatmu yang memiliki seorang ratu yang terlihat lebih seronok ketimbang jalang yang ada di klub malam,” celetuk Patricia sambil mendongakkan dagunya kearah wanita yang masih melotot kearahnya.

Darren langsung menoleh ke belakang dan matanya menyipit tajam kearah wanita itu. Dia langsung merangkul pinggang Patricia dengan erat dan menatap wanita itu sengit.

“Untuk apa kau datang kesini, Estelle? Aku sudah bilang kalau aku yang akan datang kesana!” cetus Darren dengan dingin.

Estelle datang sendirian. For Godsake! Patricia mengedarkan pandangannya sekeliling dan tidak mendapati seorang pun mendampinginya. Apakah tidak terlalu lucu? Bagaimana semua ini terkesan begitu... kebetulan?

“Untuk menjemput calon suamiku yang kabur-kaburan.” Jawab Estelle lantang.

Patricia mengangkat alisnya ketika bisa mendengar wanita itu bersuara. Apakah barusan dia mendengar ada selipan desahan dari susunan kalimat yang terlontar dari bibir laknatnya itu? Dia sampai menoleh kearah Darren untuk melihat respon pria itu. Ekspresi jijik dari pria itu membuat Patricia menyunggingkan senyum setengah.

“Aku bukan calon suamimu,” tolak Darren mentah-mentah.

“Dan kau tidak bisa menolak karena itu sudah tertulis pada surat wasiat yang ditulis oleh ayahku, yaitu rajamu!” desis Estelle dengan nada tidak terima.

“Jika kau bisa membaca wasiat itu dengan benar, maka kau harus membaca poin utama yaitu seorang Konstantinus yang berhak menduduki kursi kerajaan, khususnya keturunan laki-laki.” Balas Darren.

“Dengan catatan bahwa kau harus menikahi putrinya.”

“Dan tahta kerajaan itu seharusnya adalah ayahku, dan bukan kau.”

“Tetap aku yang memegang peran penting karena aku adalah putri dari raja sebelumnya.”

“Tapi rakyat lebih memilihku daripada dirimu, Estelle. Akuilah itu.”

“Intinya adalah kau adalah calon suamiku! Dan bukan wanita itu!”

“Dan aku tidak peduli dengan tahta itu sampai aku mati jika harus menikah denganmu! Kau adalah sepupuku, kita adalah keluarga. Ini adalah Patricia, calon istriku.”

“Julian!!”

“Namaku Darren.” Tegas Darren dengan sinis. “Jika kau tidak terima dengan keputusanku, itu berarti kau harus menerimanya suka atau tidak suka.”

Estelle mendengus dan membuang mukanya kearah ladang. Cih! Sekalian saja mukanya dibuang dan tidak kembali lagi, rutuk Patricia dalam hati.

“Kenapa kau kesini? Aku sudah bilang kalau...”

“Ayahmu sakit. Dan aku kesini untuk memberitahukanmu akan hal itu. Dia ingin kau segera menemuinya.” Sela Estelle cepat.

Darren terdiam selama beberapa saat sambil mengerutkan alisnya. Estelle melirik tajam kearah Patricia dengan tatapan meremehkan.

“Bagaimana kalau kita menjenguk ayahmu, sayang? Jika dia terkena serangan jantung, kurasa kedatangan kita bisa semakin memicu serangannya untuk semakin cepat.” Tukas Patricia dengan sindiran tajam.

Darren menoleh kearahnya dengan mata melotot tajam. “Kau kembali mengabaikan peringatanku dan bersikap kurang ajar padaku, Petal.”

What?

“Apa kau berniat untuk membuatku marah dengan menyumpahi ayahku mati?” tanyanya dengan suara dingin.

Patricia menatap Darren kesal. “Aku tidak menyumpahi. Tidakkah kau lihat kalau wanita itu berbohong? Sudah jelas itu hanya akal-akalannya dan..”

“Ayahku memang memiliki riwayat jantung dan sewaktu-waktu bisa terkena serangan. Jika kau memang mencintaiku, seharusnya kau juga bisa menerima orangtuaku, sekalipun aku memang tidak dekat dengan ayahku. Estelle memang keterlaluan, tapi dia tidak pernah berbohong atas kondisi keluarganya sendiri.” Sela Darren sinis sambil melepas rangkulannya.

“Tapi...”

“Masuk ke dalam lorong itu dan tunggulah disana!” perintah Darren tegas. “Aku dan Estelle akan kembali ke Almauric untuk melihat kondisi ayahku.”

Patricia menatap punggung lebar Darren yang menjauh untuk mendekat pada Estelle. Sementara jalang itu menyeringai puas kearah Patricia dengan tatapan penuh kemenangan.

“Kau meninggalkanku disini?” tanya Patricia dengan nada tidak percaya.

Darren berbalik kearahnya dengan mata mendelik tajam dan ekspresi yang dingin. “Aku ingin kau tunggu disini dan menanti hukumanmu.”

What? Hukuman? Hukuman seperti yang dilakukannya semalam? Apakah Darren memang selalu menganggapnya seperti boneka yang bisa dimainkan sepuasnya? Tidakkah dia melihat kalau Estelle berusaha berbohong lewat dari tatapannya? Bisa jadi itu adalah jebakan untuknya dan Darren menerima mentah-mentah kebohongan yang dilayangkan jalang itu.

Tanpa mau membuang waktu, Patricia berjalan mendekat kearah Darren dan Estelle sambil melepas anting tindiknya yang berbentuk bunga mawar. Derap langkahnya tidak terdengar sehingga membuat kedua orang itu tidak menyadarinya.

Dengan gerakan cepat, Patricia menusukkan antingnya pada sisi leher Estelle tanpa ragu. Dia bersyukur kalau Estelle memakai pakaian yang kurang bahan sehingga memudahkannya untuk memasukkan racun yang bisa melumpuhkan seseorang selama beberapa waktu.

Dalam hitungan detik, Estelle ambruk begitu saja. Itulah yang akan diterima jika membuat Patricia marah.

“Apa yang kau lakukan, Patricia?!” seru Darren berang. Dia segera meraih Estelle dan memeriksa keadaannya.

“Aku melakukan sesuatu yang harus kulakukan!” balas Patricia dengan tajam.

“Apa maksudmu?”

“Seperti bunga mawar yang dikelilingi oleh duri-duri beracun pada tubuhnya, demikianlah aku yang seperti itu” Desis Patricia sambil berjalan menuju pintu besi tanpa menoleh kearah Darren lagi.

Dia kesal. Sangat kesal. Dia tidak bisa menerima Darren yang menegurnya, apalagi di depan jalang itu tanpa melakukan perlawanan. Langkahnya terhenti ketika dia merasa ada cekalan erat pada sikunya, dan dia tertarik ke belakang lalu menubruk tubuh besar Darren.

“Aku sudah mengirim sinyal kepada ketiga temanku untuk menjemputmu disini. Ikutlah mereka.” Bisik Darren tepat di telinganya.

Patricia menatap Darren dengan dingin. “Tentu saja aku akan ikut mereka, tapi setelah aku melakukan sesuatu pada negeri sialanmu ini!”

Dia melepas cekalan Darren dengan kasar, mendorong pria itu agar menjauh darinya, dan menatapnya berang sambil menggertakkan giginya.

Darren terdiam sambil membalas tatapannya dengan sorot mata yang berkilat. Dia tidak menyahuti Patricia, hanya diam saja. Hal itu membuat Patricia menyeringai sinis sambil menatapnya dengan tatapan merendahkan.

Lalu Patricia berbalik untuk berjalan menyusuri lorong itu dengan langkah cepat. Jika Darren berpikir kalau Patricia terlihat begitu bodoh dan terlena akan rayuannya, maka pria itu harus berpikir lebih ekstra untuk mengelabuinya lebih keras.

Darren boleh saja meremehkan dirinya, yang dikiranya Patricia tidak tahu kalau Darren sengaja membawanya ke ladang itu, karena dia tahu kalau wanita itu akan kesana. Dia sengaja mengeluarkan perkataan manis untuk memanasi jalang itu. Cih! Dia bahkan merelakan dirinya disentuh dan diperlakukan semaunya tanpa perlawanan, hanya demi mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Dan itu sudah didapatkannya.

Yaitu jalan menuju ke Almauric.



■■■■■


Saturday, March 2nd 2019
22.31 PM

Kuping terasa berdenging sedari siang,
Kata orang ada yang ngomongin.
Hati deg-degan nggak karuan,
Kata orang ada yang nungguin.
Kirain itu jodoh,
Nggak tahunya itu... QM 😘😘😘

Babang masih sibuk.
Tapi authormu ingetin tiap hari untuk jangan kasih orang menunggu, karena katanya babang tuh nggak penting-penting amat jadi orang. Sial 💣







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top