SIX

Babang tahu kalian menunggu.
Tenang aja.
Kita main aman malam ini...

■■■■■

Darren menggeliatkan tubuhnya yang malas sambil menguap lebar. Dia merasakan tidur paling nyenyak dalam hidupnya setelah melakukan ronde-ronde panjang yang panas dan liar bersama Patricia sepanjang malam.

Dia tersenyum saat mengingat kembali bagaimana Patricia membalas ciumannya, menuntut dirinya untuk bergerak lebih cepat, dan terus mendesahkan namanya dalam wajah sensualnya yang begitu menggoda. Mereka bercinta seakan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan waktu yang ada untuk mereka.

Kini Darren terduduk di ranjang dengan tatapan mengarah kearah samping dan tidak menemukan Patricia selain selimut yang kusut disitu. Dia berpikir kalau wanita itu mungkin akan melakukan olahraga pagi seperti berlari, lalu mencari sesuatu di sekitar rumah ini. Darren pun tersenyum membayangkan Patricia yang bekerja dengan wajah penasaran dan ingin mencari tahu apa yang bisa dia dapatkan.

Darren pun beranjak berdiri dan menunduk untuk melihat tubuhnya yang memiliki bercak merah akibat balasan ciuman dari Patricia berupa hisapan keras dan brutal. Sungguh sangat menyenangkan membayangkan hal itu karena kejantanan Darren kembali menegang sempurna dan berkedut nyeri. Sial! Wanita itu selalu saja mampu membuatnya bergairah meski hanya terlintas dalam pikirannya saja.

Darren melangkah ke kamar mandi, membersihkan dirinya secepat mungkin,  dan menggosok gigi. Tugasnya kali ini terbilang ringan karena hanya menemani, sebab Patricia tidaklah sulit untuk ditangani dan memiliki kemampuan yang tidak usah diragukan. Melihat betapa mandiri dan kuatnya wanita itu sekarang, memberikan ketenangan yang tersendiri bagi Darren. Apalagi tip memuaskan berupa kenikmatan diatas ranjang dari Patricia seakan membuatnya menjadi pengawal pribadi paling beruntung di dunia.

Tidak lama kemudian, Darren sudah selesai dan memakai pakaian santainya. Dia keluar kamar sambil menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari-jarinya dan membiarkan tetesan air yang masih membasahi rambutnya itu menetes di bahunya.

Ketika dia keluar, aroma kopi yang menyegarkan menghantam indera penciumannya. Terlebih lagi pemandangan indah berupa bokong yang bulat tercetak pada celana yoga berwarna shocking pink yang dikenakan Patricia saat ini. Wanita itu tampak sibuk membuat sarapan dan berdiri membelakanginya. Rambut panjangnya diikat dalam model ponnytail dengan kedua tangan yang aktif bekerja untuk memasak disitu.

Senyum Darren mengembang semakin lebar dan menolehkan kepalanya kearah luar jendela. Tampak di depan sana tidak cukup cerah untuk perasaannya yang begitu senang. Sepertinya akan turun hujan dan dia mencoba untuk keluar rumah tanpa berniat mengganggu kesibukan Patricia yang masih belum menyadari kehadirannya.

Darren memasukkan kedua tangannya sambil mengarahkan tatapan kearah pemandangan bukit yang samar karena tertutup oleh semburat kabut disana. Dia menghelakan nafasnya lalu tersenyum miring. Langit pun sudah berawan dan hawa dingin seakan menusuk kulitnya pun tidak terasa apa-apa baginya. Dia sudah terbiasa dengan suasana dingin, bahkan dia bisa bertelanjang dada di tanah bersalju selama beberapa jam.

Cukup lama Darren berdiri disitu dengan tatapan menerawang seolah menikmati suasana tenang yang ada di sekitarnya. Tidak ada beban yang harus dipikulnya, juga tidak ada hal yang harus dicemaskan. Semua begitu terkendali. Saat ini. Tidak tahu kalau nanti.

“Melamun di pagi hari, huh?” suara lantang yang berasal dari balik bahunya spontan membuat Darren menolehkan kepalanya.

Darren langsung tersenyum dan menghampiri Patricia yang sepertinya sudah membersihkan diri. Wanita itu sudah berganti pakaian dalam balutan sweater kebesaran dengan skinny jeansnya. Darren menyukai penampilan santai dari Patricia yang membuatnya tampak lebih segar dan muda. Sangat polos dan istimewa.

“Aku hanya perlu merasa bersyukur untuk hari ini karena ada kau yang menemaniku disini.” ucap Darren hangat sambil merangkulnya.

Dia mencium bibir Patricia dengan lembut dan melumatnya pelan. Tentu saja ada balasan dari wanita itu karena sepertinya mereka sama-sama menikmati setiap sentuhan dan ciuman yang diberikan satu sama lain.

Ciuman itu disudahi Patricia dengan mendorong bahunya dan menatapnya tajam. Darren pun hanya menyeringai sambil merangkul bahu Patricia dan mengarahkan jalan untuk kembali ke rumah.

“Itu terdengar menjijikkan.” gumam Patricia pelan. “Aku terjebak disini bersamamu, bukan karena ingin menemanimu. Tolong dibedakan.”

“Aku tahu. Tapi aku tetap bersyukur karena bisa berduaan saja denganmu seolah dunia hanya milik kita berdua disini.” balas Darren ceria.

Patricia memutar bola matanya dan tidak menyahuti Darren. Dia segera bergerak lebih cepat ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah.

Darren tersenyum senang melihat apa yang tersaji diatas meja makan. “Breakfast like a king, huh?”

“Udara dingin membuatku lapar dan ingin memakan apa saja yang ada di pikiranku. Jadi aku membuatnya saja dan berpikir sekalian membuat makan siang juga. Sehabis sarapan, aku harus bekerja dan akan sangat sibuk.” jawab Patricia sambil menuangkan kopi untuk Darren yang sudah duduk di kursi utama.

Darren mengangkat alisnya. “Kupikir disini tidak memilki sinyal untukmu bisa melakukan komunikasi.”

Patricia mengangguk setuju dan duduk di kursinya. “Aku hanya akan melakukan pekerjaan secara offline dan tidak akan bisa diretas atau dilacak oleh siapapun. Sore ini, aku akan kembali menuju ke rumah yang sudah kusewa. Jika kau masih ingin disini, silahkan. Aku tidak akan...”

“Aku akan menemanimu. Tapi diluar akan hujan, Petal. Aku tidak yakin kalau kita akan bisa mencapai rumah sewaanmu. Disamping itu, kita masih belum tahu siapa yang mengejar kita.” sela Darren halus.

“Justru itulah rencananya. Aku akan ke rumah sewaanku dan akan mencari tahu disana. Barangkali aku bisa menggorok leher orang itu sekalian.” balas Patricia santai sambil memulai sarapannya.

Darren terkekeh sambil meraih cangkirnya lalu meneguk kopinya. Dia cukup heran dengan semangat kerja dari Patricia. Seingatnya dulu, wanita itu bahkan terkesan cuek dan tidak terlalu memedulikan apa yang menjadi cita-citanya. Malahan Patricia cukup membuat orangtuanya kerepotan karena harus dipanggil terus ke sekolah akibat kenakalan remajanya yang suka berbuat usil kepada teman-temannya.

Namun satu yang tidak berubah. Rasa penasaran yang tinggi tetap melekat pada Patricia, bahkan itu sudah menjadi ciri khasnya tersendiri jika mendapatkan sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Jadi, kau datang kesini karena ingin mencari tahu tentang adanya sebuah kerajaan disini?” tanya Darren kemudian lalu menyuapkan dirinya dengan sepotong sosis panggang.

Patricia meliriknya sinis lalu kembali menekuni sarapannya seakan apa yang ditanyakannya barusan tidak didengarnya. Dia bungkam. Benar-benar tidak ingin menjawab pertanyaannya dan malah menekuni sarapannya dalam diam. 

“Kenapa kau mengabaikanku?” tanya Darren dengan alis terangkat.

“Aku tidak harus menjawab pertanyaanmu.” jawab Patricia langsung.

“Setelah kita bercinta semalaman, kau masih menjaga jarak denganku?” balas Darren tersinggung.

Patricia menyeringai. “Urusan ranjang tidak ada kaitannya dengan urusan pekerjaan. Apa yang terjadi semalam adalah kenikmatan yang diinginkan oleh kedua belah pihak. Dan aku tidak merasa harus menganggapmu lebih, hanya karena aku puas dengan kejantananmu yang besar itu.”

Darren tertegun mendengar ucapan Patricia lalu kembali memberikan ekspresi biasa saja. “Aku tidak percaya jika kau bisa sekejam ini padaku. Namun perlu kau ketahui bahwa aku bukan mau ikut campur. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu selama disini dan aku harus mencari motif penyerangan kemarin.”

Patricia mendengus dan menatap Darren dengan tatapan tidak bersahabat. “Memangnya kakakku tidak...”

“Dia hanya menyuruhku untuk mendampingimu dan menjagamu, sama sekali tidak memberikan informasi apapun. Lagipula setiap kali aku bertugas, aku memang mendapatkan perintah dan mencari tahu sendiri pokok permasalahannya.” sela Darren dengan nada tajam.

“Aku sudah bilang bahwa itu bukan urusanmu. Aku menolak untuk memberitahumu karena ini rahasia.” sahut Patricia angkuh.

Darren menggertakkan giginya dan menatap Patricia dingin. Wanita itu benar-benar tahu bagaimana memancing emosinya dan membuatnya gerah. Sepertinya Patricia memang sengaja ingin menyingkirkan Darren dari sini, tapi tentu saja tidak semudah itu.

“Aku hanya melakukan pekerjaan, Petal. Kuharap kau bisa bekerja sama.” ujar Darren akhirnya dengan suara yang lebih melunak.

“Aku juga hanya melakukan pekerjaan, dan kuharap kau mengerti kenapa aku tidak bisa memberitahumu, karena itu rahasia.” balas Patricia sambil memberikan seringaian licik seolah menantangnya.

Darren memberikan seulas senyuman hambar dan meletakkan garpunya begitu saja. “Apa kau sengaja ingin memancing keributan?”

“Aku hanya ingin kau kembali kepada kakakku dan jadilah bawahan yang baik disana. Aku tidak suka jika ada kau disini.” jawab Patricia lantang.

Ucapannya barusan terdengar tegas dan menyakitkan. Darren pun menanggapinya dengan santai, sama sekali tidak merasa harus membalasnya dengan cara yang sama.

“Baiklah. Kau tidak mau menjawabku karena kau tidak suka aku ada disini.” ucap Darren kemudian. “Aku tidak akan bertanya apapun padamu lagi. Aku akan diam seperti tikus yang mengendap masuk ke dalam rumah, sehingga kau tidak sadar kalau aku ada di sekelilingmu.”

Nyatanya, Patricia mengerut kesal mendengar balasannya dan mendengus sambil menusuk makanannya dengan kasar. Darren meringis melihatnya lalu terkekeh kemudian.

Dia cukup salut dengan Patricia yang berniat untuk bermain rahasia dengannya dan cukup bangga akan hal itu. Wanita itu jelas mengalami banyak kemajuan, suatu nilai lebih untuk Darren tidak terlalu mencemaskannya. Berbeda dengan dirinya yang dulu, sosok putri bungsu dan manja karena menjadi kesayangan bagi semua orang.

Mereka melanjutkan sarapan tanpa bersuara, hanya suara dentingan alat makan yang dipakai mereka untuk menghabiskan sarapannya. Barulah ketika mereka sudah selesai, disitu ada obrolan singkat.

“Biar aku saja.” ucap Darren halus ketika Patricia hendak membereskan meja makan.

“Tidak usah. Aku yang menyiapkan, aku juga yang membereskan.” tolak Patricia langsung.

“Justru karena kau yang menyiapkan, maka aku yang membereskan.” kembali Darren berucap dalam nada suara yang begitu halus.

Patricia mendelik tajam kearahnya. “Jangan membuatku kesal, Darren.”

“Aku tidak berniat membuatmu kesal, aku hanya menjalankan pekerjaanku sebagai bawahan yang tidak ingin membiarkan majikannya mengurusi dirinya.” balas Darren sambil mengambil alih piring kotor yang ada di tangan Patricia, lalu berjalan memutar kearah tempat cuci piring.

“Pekerjaan dapur adalah pekerjaan wanita. Aku tidak yakin kau akan bisa melakukan hal itu.” ujar Patricia yang masih bersikeras untuk membereskan meja makan.

“Aku cukup mandiri. Mencuci piring, membersihkan meja makan, dan menjaga dapur agar tetap kering adalah pekerjaan mudah untuk orang dari kalangan rendah sepertiku. Bahkan sebelum kau bisa memakai sepatumu sendiri, aku sudah bisa mencuci sepatu.” tukas Darren sambil tersenyum dan mulai mencuci piring kotor itu.

Yang dimaksud dengan mencuci piring adalah memasukkan semua piring kotor ke dalam mesin pencuci piring. Cukup mudah, bukan? Dengan hanya menekan tombol pada mesin itu, maka piring akan bersih dan Darren bisa memakai waktu menunggunya dengan membersihkan meja makan.

“Kenapa kau berkata menyakitkan seperti itu? Aku yang mau membereskan hal ini, tapi kau malah memaksa.” cetus Patricia dengan geram.

Darren masih memberikan senyumannya dan mengerjakan apa yang dikatakannya. Yaitu membersihkan meja makan dengan kain basah yang sudah diambilnya dari Patricia.

“Seorang nona besar tidak boleh bekerja kasar seperti ini. Nanti tanganmu kasar dan tidak akan ada pria konglomerat, atau pria dari kalangan atas menyukaimu. Aku tidak mau nanti disalahkan.” ujar Darren dengan kalem.

“Hentikan itu!” tegur Patricia dengan ekspresi masam. “Kenapa kau malah semakin merendahkan diri hanya karena urusan mencuci piring dan membersihkan meja?”

“Aku tahu diri, Ms. Tristan.” jawab Darren cepat.

Darren berbalik untuk menaruh kain basah, mencuci kain itu dengan air bersih, lalu merentangkannya di alat penyangga agar kering. Dia pun mencuci tangannya dan sama sekali tidak merasa harus membalas tatapan menusuk Patricia yang terasa di balik punggungnya.

“Sebenarnya apa sih maumu?” tanya Patricia dengan nada menuntut.

Darren memutar tubuhnya untuk menatap kearah Patricia sambil mengeringkan tangannya dengan handuk kecil yang tersedia di meja pantry.

“Aku hanya memperjelas kedudukan kita disini.” jawab Darren santai. “Kau yang sebagai nona besar dan aku yang sebagai pengawal atau bawahanmu. Kita tidak sepadan, apalagi selevel. Dengan kata lain, aku hanyalah orang rendahan yang tidak usah kau pedulikan.”

Alis Patricia mengerut. “Kau marah karena aku tidak mau memberitahumu soal apa yang ingin kukerjakan disini? Atau kau marah karena aku tidak suka kau ada disini?”

“Aku tidak memiliki hak untuk marah, nona. Tolong jangan salah paham. Aku sarankan untuk kau segera bekerja, katanya kau akan sibuk. Aku tidak ingin mengganggu.” balas Darren lagi.

Wanita muda yang angkuh itu semakin mengerutkan wajahnya tanda tidak menyukai apa yang dikatakan Darren. Omong kosong yang diucapkan Darren seakan membuktikan bahwa alasan Patricia  mengeluarkan ucapan kasar hanya untuk membuatnya gerah, lalu pergi meninggalkannya.

Dia tahu jelas bahwa wanita itu tidak akan serendah itu memandang orang lain lewat status sosialnya. Dia juga tahu kalau Patricia masih menaruh perasaan terhadapnya, hanya saja dia selalu menolak kehadiran Darren selama ini. Menganggap Darren seolah tidak ada.

Sambil menghentakkan kakinya dengan kasar, Patricia berjalan menuju ke kamar dan menutup pintu kamarnya dengan membantingnya keras-keras. Debuman kencang itu menggetarkan dinding rumah dan Darren malah terkekeh senang melihatnya. Wanita itu sungguh luar biasa. Darren merasa sangat bangga atas Patricia yang dilatih sedemikian tangguh oleh ayahnya.

The Rose Petal, itu julukannya. Nama panggilan itu diberikan kepada dua orang wanita yang perannya seakan memanipulasi musuh bahwa mereka seperti hantu yang bisa berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Hanya saja, peran Patricia lebih utama dibandingkan satu temannya yang lain.

Meski keduanya sama-sama tangguh, namun tetap Darren hanya bisa melihat sosok Patricia yang mencengangkannya saat Petra menjatuhkan para kepala organisasi hitam sekitar beberapa bulan yang lalu.

Darren berdiri disitu cukup lama, sampai dia merasa yakin kalau Patricia sudah melakukan pekerjaannya di dalam kamar dan tidak akan keluar lagi. Dia pun berjalan keluar dari rumah dan menuju ke halaman belakang rumah itu.


Darren menoleh kembali kearah rumah itu dan tidak ada tanda-tanda Patricia akan muncul. Dia pun tersenyum dan melanjutkan langkahnya untuk terus berjalan ke halaman belakang, terus dan terus sampai tiba di sebuah jalan kecil yang panjang.


Tampak ada sepasang pohon besar dari kejauhan. Langkah Darren semakin cepat berjalan menuju kepada kedua pohon besar itu. Tepat diantara kedua pohon besar, ada sebuah lubang seperti gua yang merupakan jalan masuk untuk menuju ke tempat yang akan ditujunya.


Tanpa ragu, Darren berjalan masuk ke dalam gua itu. Ketika dia melangkah, disitu obor api menyala secara otomatis seakan memberinya penerangan untuk dirinya menyusuri lorong panjang gua itu. Hawa dalam gua semakin dingin dan nafas yang berhembus keluar dari rongga hidungnya, mengeluarkan uap putih yang terasa dingin menerpa wajahnya.

Ketika dia sudah tiba tepat di depan pintu kayu yang sudah begitu tua, Darren membukanya dan segera masuk ke dalam. Disitu ada sebuah ruangan dengan dekorasi modern yang begitu maskulin. Hanya ada rak buku dengan sebuah sofa besar tunggal yang ada disitu.

Kemudian, Darren pun duduk di sofa besar itu tanpa ada keraguan sambil menyilangkan kaki. Dagunya terangkat tinggi dengan kesan angkuh di wajahnya. Sorot matanya menjadi dingin dan aura yang menyeruak darinya terlihat penuh kendali.

Tidak berapa lama setelah itu, muncullah dua sosok yang bertubuh tegap dan berjalan kearahnya sambil menundukkan kepala. Ekspresi wajah diantara keduanya terlihat gelisah dan waspada. Mereka bahkan masih belum berani mengangkat wajahnya ketika sudah berdiri sekitar tiga meter dari posisi Darren duduk disitu.

Hening. Tidak ada yang bersuara. Suasana itu bahkan semakin terasa mencekam dengan petir yang berkilat hebat diatas sana, berteriak parau dalam deruan hujan deras yang bergemuruh.

Darren bersandar sambil menatap kedua orang itu dengan kemarahan yang tertahan dan bibir yang terkatup rapat. Deruan nafasnya yang memburu mewakili betapa berangnya seorang Darren saat ini.

“Jika satu kali lagi kalian lalai dalam mengalihkan perhatian mereka, maka kalian akan kulempar ke dasar jurang paling dalam yang ada disini.” ucap Darren dalam nada suara yang begitu dingin.

“Maafkan kami.” balas salah satu dari mereka.

Darren mendengus tajam. Dalam kamus hidupnya, dia paling benci kata maaf. Jika maaf memang begitu niat diucapkan, sudah seharusnya ada perubahan. Juga disertai perbedaan. Tapi jika maaf dijadikan kalimat wajib untuk kesalahan yang itu-itu saja, maka tidak ada gunanya selain membuat orang itu jera.

“Bereskan urusan di Kemi. Aku tidak mau sampai ada serangga penguntit yang tidak kuinginkan masih berkeliaran. Dan jika kalian lalai, maka kepala kalian yang akan menjadi taruhannya.” ujar Darren dengan nada perintah.

Kedua orang itu mengangguk dan memberanikan diri untuk mengangkat wajah mereka agar bisa bertatap muka dengan Darren. Wajah familiar yang sudah cukup lama tidak dilihat Darren, namun tidak ada yang berbeda. Hanya terlihat bertambah tua.

“Dan satu lagi.” ucap Darren tanpa ekspresi. “Jangan sampai ada yang menyentuh ataupun menyakiti wanita yang sedang bersamaku. Sedikit saja dia dilukai, aku tidak akan ragu untuk membunuh orang itu. Sampaikan pesanku padanya, agar dia tahu bahwa aku tidak main-main terhadap ancamanku!”

■■■■■

Saturday, Jan 26th 2019
22.16 PM

Jadi tuh authormu marahin babang dan nggak suka babang marah-marah.

Dia suruh minta maaf. Jadi...
Babang minta maaf bukan karena babang salah, tapi karena lebih menghargai author daripada egonya babang.
(Ngambil bullshitan Shin 😔)

Babang khilaf. Tapi nggak nyesel.
Malahan keki.

Minta sayangin babang dong.
Baper nih 😭


Regards,

CH







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top