FIFTEEN
Collaboration with Sheliu.
For the sake of anything, I miss my mature content 😢
■■■■■
Sekembalinya Patricia dari ladang bunga dengan dirinya yang sudah dikunci dalam kamar utama milik Darren, disitu Patricia mulai melakukan tindakan pertamanya.
Jika Darren berpikir dengan mengunci dirinya di kamar itu untuk menyelesaikan masalah, dia salah besar. Ck! Tidak semudah itu, batin Patricia kesal. Dia heran kenapa pria itu bisa begitu bodoh. Entah apa yang dipikirkan pria itu sebenarnya, sampai musuh besarnya yang ada di depan mata tidak kelihatan olehnya.
"Petal, do you copy?"
Suara Nayla bergema di telinganya dan Patricia tersentak sambil mengerutkan alisnya.
"Rosie?"
Nayla berckckck ria sekarang. "Kurasa kau sudah bertambah bodoh jika dekat dengan pria impianmu disana, sampai anting mawar yang kau kenakan tidak terpikirkan olehmu untuk bisa dijadikan alat komunikasi."
Damn! Nayla benar. Patricia menggeram dalam hati kenapa sepasang anting yang dikenakannya sempat dilupakan olehnya. Anting itu akan berfungsi sebagai alat komunikasi sekaligus senjatanya. Satu buah antingnya sudah dia tancapkan di leher jalang tadi, sedangkan yang satunya lagi masih bertengger di telinganya.
Alat komunikasi yang terpasang pada antingnya, akan aktif jika salah satu darinya sudah melakukan pekerjaan darurat seperti yang dilakukan Patricia tadi.
"Kau benar sekali, Rosie. Bagaimana hal itu bisa terlupakan olehku?" desis Patricia geram.
"Apakah itu adalah efek dari keperkasaan pria yang sudah masuk ke dalam kewanitaan seperti yang kau ceritakan padaku? Ewww." sahut Nayla dengan nada jijik.
Patricia tertawa pelan mendapat sahutan konyol dari Nayla. Temannya itu memiliki phobia terhadap pria, khususnya bajingan. Dia akan histeris dan mendapatkan serangan ruam-ruam pada kulitnya. Entah sampai kapan dia seperti itu, karena Patricia cemas jika temannya itu akan menjadi perawan tua.
"Hentikan pertanyaan yang tidak diperlukan itu. Jadi, apa yang kau dapatkan? Dan dimana kau sekarang?" tanya Patricia dengan lugas.
"Wanita yang bernama Estelle, berniat untuk mencari masalah dan bekerja sama dengan Cobra untuk menghancurkan negerinya sendiri. Niat terselubungnya itu hendak dijalankan semenjak kematian ayahnya, tapi terhalang oleh pamannya sendiri yaitu ayah Darren."
Sambil mendengarkan penjelasan Nayla, Patricia mempersiapkan dirinya dengan memakai pakaiannya. Setidaknya dia sudah membawa pakaian khususnya ketika melarikan diri dari rumah persembunyian Darren tadi.
"Brice William Konstantinus, mengetahui niat keponakannya dan berusaha untuk menghalangi semua rencana Estelle. Dia pun membuat semacam ultimatum agar Estelle menikah dengan Julian a.k.a Darren karena seorang wanita tidak diperbolehkan memimpin kursi kerajaan di Almauric. Merasa terisolasi, Estelle mencari celah untuk keluar dari istana sekitar beberapa bulan lalu dan pergi menemui Domino Lourdes, pendiri Cobra."
"Darimana sih jalang itu bisa berkenalan dengan seorang pendiri organisasi mafia asal Roma itu?" tanya Patricia sambil memakai sepatu bootsnya.
"Masih belum diketahui. Yang jelas ada pergerakan Cobra yang mencurigakan dan itu diketahui oleh Alfa." Jawab Nayla langsung.
Gerakan Patricia terhenti ketika mendengar laporan Nayla. "Joel sudah tahu? Itu berarti ayah dan kakakku juga tahu. Lalu..."
"Lalu salah satu tim Eagle Eye menyusup masuk ke dalam tim suksesmu yang sudah mengundurkan diri di hari kau berangkat. Namanya.."
"Eve Florencia," sela Patricia geram. "Tidak heran kenapa dirinya bisa begitu hebat dalam memberikan pendapat meski baru menjadi anggota tim selama setahun terakhir."
"Yes. Dia ditugaskan oleh Joel untuk masuk ke dalam tim guna memberitahukan kemungkinan adanya kerajaan tersembunyi."
"Lalu aku ditugaskan dan ayahku berlagak tidak tahu soal kerajaan sialan ini, kemudian menyuruh kakakku untuk mengutus Darren mendampingiku." Tambah Patricia geram.
"Gunanya adalah untuk menyusup kesana dan Darren bisa memberitahukan jalan menuju Almauric. There you go, kau berada disana. Dan aku pun berada disini."
"What?"
"Yes, Petal. Aku dan Phantom sudah berada disini. Oh satu lagi, ada kedua sister yang ikut dengan kami yaitu Alena dan Ashley. Dalam waktu lima menit lagi, pihak Cobra akan membuat kekacauan dan ini tidak bisa dibiarkan. Berbagai peledak sudah terpasang dan kami sedang berusaha untuk menghalangi mereka."
Patricia tertegun lalu beranjak berdiri ketika sudah selesai mempersiapkan dirinya dengan memakai pakaiannya. Dia mulai mengobrak abrik isi kamar Darren lalu mendapatkan beberapa bahan peledak, pistol, dan senapan.
"Jadi apa rencananya? Apakah jalang yang sengaja datang kesini adalah salah satu alasan untuk mengalihkan perhatian?" tanya Patricia sambil menyelipkan pistol, pisau, dan granat yang ditaruh di lemari khusus yang ada di balik dinding walk in closet.
"Yeah! Dia berniat untuk membawa kalian ke istana dan ketika kalian sudah disana, pihak Cobra akan menembakkan rudal kearah istana untuk membunuh kalian."
Patricia menggeram kesal mendengar ucapan Nayla. Sial! Jalang itu sudah benar-benar membuatnya berang. Dia mendengus kasar sambil mengikat rambut panjangnya dalam satu ikatan dan memakai sarung tangan kulitnya.
"Jadi... berikan aku titik lokasi yang menjadi sasaran pihak sialan itu! Jalang itu sudah menerima racunku dan dia akan tertidur selama beberapa minggu dengan kedua kaki yang lumpuh selama racun itu masih bereaksi." Ucap Patricia dingin.
Kedua tangannya sudah memegang pistol yang terisi penuh. Saatnya melakukan pembersihan, pikirnya dengan penuh tekad.
"Kau harus menyusul Darren kesana! Beritahu dia kalau keluarganya dalam bahaya. Dia tidak sadar kalau ada pihak lain yang akan mensabotase kerajaannya." Ucap Nayla dengan nada tergesa.
Dor! Dor! Dor!
Patricia menembak pintu kamar lalu menendang keras pintu itu sampai terbuka dengan paksa. Sorot matanya yang tajam mulai menyapu setiap sudut yang sudah dipelajarinya tadi.
Setiap ada gerakan yang mengarah kearahnya akan jatuh merebah sebelum sempat mencapainya. Kedua pistol bekerja dengan cepat dan tangkas, tembakannya mendarat tepat di titik yang diinginkannya.
Personil yang menjaga mansion bawah tanah itu cukup banyak, sampai Patricia harus menggunakan semua senjata yang dibawanya tadi. Granat pun digunakan untuk meledakkan setiap sudut mansion itu. Keadaan sekitarnya pun tampak kacau dan berantakan.
"A...ampun, nona. Jangan membunuhku, a..aku adalah pihak Eagle Eye yang bertugas disini," ucap seorang pria muda sambil mengangkat kedua tangannya lalu berlutut di hadapan Patricia.
Patricia mengenalinya. Dia tampak seperti orang kepercayaan Darren dan ketika dia tiba di mansion ini, Darren sempat berteriak padanya.
"Baiklah kalau begitu, aku tugaskan kau untuk memberesi kekacauan ini dan segera memberi laporan kepada pihak pusat agar melakukan sesuatu!"
Orang itu langsung mengangguk dengan cepat dan mengarahkan jalan ketika Patricia bertanya padanya dimana mobil diparkirkan.
"Rosie, clear!" seru Patricia sambil membuang senjata terakhirnya ke lantai dan berjalan menuju ke basement.
Tidak ada jawaban. Yang ada malah terdengar ledakan hebat di luar sana sampai tanah yang diinjak Patricia bergetar. Patricia terkesiap dan menatap ke arah lorong panjang yang mengarah ke ladang bunga tadi. Itu adalah satu-satunya jalan menuju ke Almauric sialan itu.
"Petal! Do you copy?!" kini suara Joana yang bergema di telinganya dengan nada tergesa.
"Yes, Phantom!" balas Patricia sambil memasuki sebuah mobil sport berwarna hitam yang terparkir disitu.
Dia menyalakan mesin mobil dan melakukan pengaturan pada kemudi yang di desain khusus. Bahkan mobil itu dilengkapi senjata dan memiliki tombol-tombol dengan kecepatan layaknya mobil racing.
"Ledakan di titik primer sudah dilakukan! Ashley dan Alena berhasil melumpuhkan posisi Cobra yang mencoba untuk melepaskan rudal ke istana! Kami sedang melakukan pengejaran kepada pihak Cobra, lakukan pengalihan agar anggota Almauric tidak ada yang terluka!" ucap Joana dengan nada perintah.
"Pengalihan? Maksudmu menyerahkan diri seolah aku yang melakukan penyerangan?" tanya Patricia sambil menginjak pedal gas dan mobil itu langsung melesat cepat.
"Terserah! Alfa akan mengirimkan bantuan disana!" jawab Joana dan komunikasi pun terputus.
Disitulah Patricia menembus istana dengan membuat keributan kecil seperti menabrak gerbang istana setelah melepaskan tembakan dari senjata yang terpasang di mobilnya, memberikan sedikit perlawanan dengan baku tembak kepada para penjaga, dan menyerahkan diri dengan berdiri di tengah-tengah halaman istana.
Tatapan Patricia terarah pada asap-asap tebal yang memenuhi udara di beberapa lokasi yang sepertinya cukup fatal. Dia berharap untuk teman-temannya bisa melakukan penindakan kepada pihak Cobra dan menangkap mereka.
Dan disinilah dia berada sekarang, menempati sel bawah tanah yang berada paling ujung dengan tangan terborgol. Suasana di sekitar begitu pekat dengan penerangan yang tidak seberapa. Hanya ada sebuah lentera kecil yang terpasang di tengah lorong, sekitarnya begitu dingin dan berbau. Patricia harus menahan diri untuk tidak mengumpat ataupun merutuk disitu.
Dia mencoba meloloskan kedua tangannya dari borgol yang terpasang di kedua pergelangannya. Ketika borgolnya sudah berhasil dilepaskan dengan kedua sisi tangannya yang tergerus, disitu dia merasakan adanya derap langkah beberapa orang yang mendekat ke arahnya.
Dia memicingkan matanya untuk melihat siapa yang mencoba untuk mendatanginya. Sambil menunggu, Patricia bergeser pelan untuk meraih beberapa batu kecil yang ada di sudut sel dan menatap waspada ke arah orang itu.
"Easy, girl. It's us." Terdengar suara dingin dari kejauhan.
Disitulah Patricia bisa melihat ada Brant, Luke, dan Russell berjalan cepat ke arahnya. Brant membuka pintu sel dengan menendangnya keras, lalu kemudian menghambur masuk ke dalam.
"Periksa sekeliling!" perintah Brant pada Luke dan Russell, keduanya pun langsung berpencar sambil mengarahkan senapan yang dibawa mereka.
Patricia menarik napasnya sambil menerima uluran tangan dari Brant untuk beranjak berdiri.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Brant memastikan.
"Tentu saja. Mana mungkin ada ceritanya aku mati di medan perang? Apalagi jika berurusan dengan teman sialanmu itu!" jawab Patricia sinis sambil berjalan keluar dari dalam sel.
"Clear!" seru Luke dan Russell bersamaan ketika mereka kembali.
"Apakah kalian tahu apa yang terjadi?" tanya Patricia yang kini sudah ikut berjalan dengan Brant dan kedua pria yang lain mengikuti di belakangnya.
"Tidak ada yang tidak kami ketahui. Hanya saja kali ini mereka terlambat menghalangi ledakan besar itu. Kurasa akan menjadi berita yang cukup menggemparkan dan Darren akan menyalahkanmu karena belum tahu soal penyerangan Cobra." Jawab Brant datar sambil mengarahkan senapannya ketika mereka sudah hampir mencapai keluar.
"Itu sudah pasti karena dia orang yang bodoh." Ucap Patricia sambil menarik sebuah pistol yang terselip di pinggang Brant lalu menembak ke arah kiri dan satu orang pun terkapar tak berdaya.
Disitu keempatnya mulai melakukan penyerangan agar bisa menyingkir dari situ. Sampai akhirnya, mereka memasuki sebuah mobil SUV hitam yang terparkir disitu.
Luke memegang kemudi dan Russell duduk di sampingnya. Sementara Patricia dan Brant duduk di kursi belakang sambil sibuk melakukan pekerjaannya masing-masing.
"Aku masih tidak percaya kalau Darren adalah calon raja. Astaga! Bukankah dia adalah anak tukang bangunan seperti yang dia katakan selama ini?" ucap Luke sambil menggelengkan kepala.
"Dia tidak sepertimu yang tukang pamer," balas Russell kalem sambil mengutak-atik tombol mobil yang memiliki fasilitas senjata di dalam interior mobilnya.
Luke menghelakan napasnya dan melirik ke arah Russell. "Jangan-jangan, kau juga adalah anak sultan? Atau bangsawan? Atau ayahmu adalah jenderal? Lebih baik katakan sekarang sebelum aku ketakutan."
Russell hanya mendengus mendengar ocehan Luke, sementara Brant dan Patricia hanya memutar bola matanya dengan jengah.
Ada beberapa mobil yang menyusul di belakang mereka dan Luke mulai menaikkan kecepatan kendaraannya. Russell pun menekan tombol senjata yang menembak otomatis dari arah belakang mobil itu.
"Alfa, do you copy? The A team reached the target." Ucap Brant dingin sambil mendelik tajam ke arah jendela.
Russell terus berkutat dengan tombol menembak dan menguras seluruh isi senjata, Luke mengendalikan kemudinya dengan meliuk lincah di sepanjang jalan. Patricia pun mencari sinyal untuk memantau posisi teman-temannya dan mendapatkan bahwa mereka sudah berkumpul di suatu tempat.
"Go to the right. Pick yellow sign. Enter then dissappear."
"Copy that, sir!"
Patricia telah menyelesaikan urusannya dengan memberikan kode kepada yang lainnya bahwa dirinya sudah bersama dengan ketiga orang itu.
"Apakah kita akan benar-benar pergi dari sini?" tanya Patricia dengan alis berkerut.
"Kau iya, kami tidak." Jawab Brant tenang sambil mengatur senapan laras panjangnya.
"Kenapa begitu? Aku bahkan belum memberi pelajaran kepada bajingan itu!" seru Patricia dengan nada protes.
"Itu bisa menyusul," balas Russell ketus. "Bukan waktu yang tepat untuk membahas urusan rumah tangga kalian saat ini."
"Rumah tangga? Memangnya Darren dan Patricia sudah menikah?" tanya Luke yang terlihat konsentrasi dalam membawa kemudinya dan kecepatan yang semakin tinggi.
"Fokus, Luke!" bentak Brant sambil menggeram.
"Kenapa sih aku selalu salah?" keluh Luke sambil membelokkan kemudinya ke arah kiri.
Patricia menekan tombol yang ada di sampingnya dan atap mobil pun terbuka. Disitu Brant beranjak berdiri dan mengarahkan senapannya untuk menembak ke arah satu, dua, tiga, dan empat mobil yang mengekori mereka.
Keempat mobil itu tumbang seiring dengan mobil yang memasuki sebuah bangunan kecil berwarna kuning. Ketika mereka sudah masuk, disitu pintu otomatis tertutup.
Mereka segera keluar ketika sudah berhenti di dalam bangunan itu, dan bergerak menuju ke lantai atas dengan menaiki tangga.
"Kenapa aku harus keluar dari sini?" tanya Patricia sambil mengikuti langkah cepat Brant.
"Karena kau menjadi orang yang tertuduh atas penyerangan ini. Kami akan mengincar pihak Cobra yang masih tersisa di negeri ini." Jawab Brant lugas.
"Bagaimana dengan Darren?" tanya Patricia lagi.
"Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Yang jelas saat ini, kami sedang mengincar Cobra. Misi kami kali ini adalah membantu Darren untuk melindungi negerinya."
"Apa dia sudah tahu kalau ada yang berniat untuk menyerang negerinya? Jika begitu, seharusnya dia tidak perlu sampai mengurungku di sel itu!" desis Patricia tidak terima.
Brant menyeringai sambil melirik Patricia dengan tajam. "Terkadang hidup membutuhkan sedikit drama agar tujuan utamanya bisa berjalan dengan lancar, Petal. Pada intinya tutup mulutmu dan biarkan kami menyelesaikan pekerjaan kami. Aku harus cepat pulang untuk membuat sandwich."
"Buatkan satu untukku," timpal Luke dari belakang.
"Aku juga." Tambah Russell.
Patricia hanya menghela napas dan ketika mereka sudah mencapai atap bangunan itu, disitu sudah terparkir sebuah helikopter dengan adanya para Orchid League disitu.
"Petal is on her way back home. Confirmed." Ucap Brant datar.
"Copy that." Jawab Joel dari alat komunikasi mereka.
Patricia terdiam ketika melihat Nayla yang sudah keluar menyambutnya. Di dalam sana sudah ada Joan yang duduk disitu dan memegang kemudi. Dia pun menoleh pada ketiganya secara bergantian.
"Tidak usah berkata apa-apa, aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tenang saja, aku akan kembali dengan membawa Darren bersama kami." Ucap Brant angkuh.
Luke terkekeh geli sambil menyilangkan tangannya sedangkan Russell hanya terdiam saja. Patricia pun menunduk pelan sambil memainkan cincin yang berada di jari manisnya. Shit! Pria itu benar-benar sudah memenuhi pikirannya saat ini. Apakah dia baik-baik saja? Tanyanya dalam hati.
"Bilang padanya aku akan membuangnya seperti sampah jika tidak kembali dengan cepat. Ada urusan yang harus dia selesaikan!" tukas Patricia tanpa ekspresi.
Brant hanya mengangguk sebagai jawaban dan mengarahkan dirinya untuk segera masuk ke dalam helikopter itu. Nayla pun merangkulnya dan membimbingnya duduk di kursi yang ada di sampingnya.
Pintu tertutup dan helikopter pun mulai dijalankan oleh Joan. Baik Joan dan Nayla hanya terdiam seolah memberikan Patricia waktu untuk berpikir.
"Dimana Alena dan Ashley?" tanya Patricia kemudian.
"Sedang melakukan eksekusi pada pihak Cobra yang berhasil ditangkapnya. Mereka sedang bersama Noel dan Hyun untuk menindak lanjuti apa yang sudah mereka lakukan." Jawab Nayla dengan lugas.
"Apakah tidak menjadi masalah jika kita terbang dengan helikopter seperti ini?" tanyanya lagi.
"Bangunan kuning ini adalah perbatasan wilayah antara Kemi dengan Oulu. Pihak Almauric tidak bisa mencapai kita sampai kesini." Jawab Joan kemudian.
"Pada intinya adalah kedatanganmu kali ini memicu kesengajaan dari wanita yang bernama Estelle untuk mencari perkara. Mereka sengaja menyerangmu untuk membuat Darren sibuk, sehingga kalian terus diincar agar pihak Cobra bisa melancarkan serangannya." Ucap Nayla.
Patricia mendengus napasnya dengan kasar. "Supaya orangtua Darren terus mengawasi kami dari kejauhan sementara orang-orang itu tidak diperhatikan. Sungguh sangat cerdik sekali jalang itu!"
"Estelle mencari informasi tentang Cobra yang memang spesialis mengincar kekayaan alam untuk memperkaya diri. Dia akan membangun tambang liar dan mengambil semua lahan secara ilegal." Lanjut Joan memberitahu.
"Karena Eagle Eye tidak memiliki musuh di negara ini, dan tidak adanya akses untuk masuk ke dalam sini..." gumam Patricia pelan.
"Jadi mereka mengutus seseorang untuk menyampaikan hal ini dalam pembahasan tim kalian mengenai rumor tentang kerajaan yang tersembunyi. Divisi kalian adalah untuk mencari informasi terkait tentang kedudukan sebuah negara." Timpal Nayla.
"Tapi kenapa ayahku berlagak tidak tahu dan sok kaget waktu kuberitahu tentang aku yang akan datang kesini?" desis Patricia geram.
"Hanya untuk terlihat normal dan membiarkan Darren merangkum sendiri apa yang sedang terjadi di negerinya sendiri." Balas Joan langsung.
"Darimana kalian mengetahui semua ini? Jangan bilang kalau kalian sudah tahu dan sengaja tidak memberitahuku." Tanya Patricia ketus.
Nayla dan Joan sama-sama menggeleng dengan tegas.
"Aku baru melahirkan dan masih cukup lelah untuk bertugas. Tapi karena kau yang sedang berada di dalam sini, aku sempatkan untuk bekerja sebentar." Jawab Joan kemudian.
"Lalu bayimu?"
"Dengan ibu mertuaku dan mungkin saja Petra," kekeh Joan geli.
Nayla tertawa pelan. "Sang Omega dalam tugas mulia. Pantas saja Alfa bekerja sendirian hari ini."
"Aku yang meminta kakakku untuk tidak usah memberitahukan kemana aku pergi, jadi Petra tidak tahu aku kemana sekarang."
"Really?" tanya Nayla dan Patricia tidak percaya.
Joan mengangguk lalu tersenyum saja. "Mungkin tahu, tapi berlagak tidak tahu. Seperti tidak tahu saja drama diantara para keluarga."
Keduanya ber-oh ria sambil mengangguk paham.
"Bagaimana denganmu, Nayla? Apa kau sudah tahu sedari awal?" tanya Patricia lagi.
"Tidak. Aku mencari tahu keberadaanmu ketika kau mengirimkan lokasimu yang berada di sebuah rumah kecil. Disitu aku menemukan beberapa kejanggalan seperti adanya pergerakan yang mencurigakan. Lalu aku mengumumkannya pada Ashton, dan disitu ayahmu memberitahu semuanya pada kami. Dan disinilah kami." Jawab Nayla.
Patricia menarik napasnya sambil bersandar di kursinya dengan malas. Sesuai dugaannya sedari awal bahwa bukan dirinya yang diincar, melainkan Darren. Sejak dari serangan pertama dan seterusnya, semuanya seakan tahu apa yang akan terjadi.
Dia yakin kalau Darren tampak berusaha bersikap biasa saja tapi sorot matanya terus mengawasi sekelilingnya. Dia yang terus berkata melindunginya dan memperjuangkannya, itu berarti bahwa ada masalah pelik dari sekedar perjodohan antar sepupu yang dialaminya. Darren masih mencari tahu apa yang terjadi dan berusaha menjaga warisan keluarganya dengan mempertahankan apa yang dimilikinya.
Bisa jadi pihak Eagle Eye sudah memahami adanya pihak luar yang menginginkan tanah Almauric dengan cara tidak terpuji. Terlebih lagi soal ratunya sendiri yang menginginkan kehancurannya. Pantas saja, ayahnya bersikeras agar Darren menduduki kursi kepemimpinan sementara pria itu menolak mentah-mentah.
"Kenapa kau diam saja, Petal? Jangan bilang kalau kau sedang merencanakan sesuatu." Hardik Joan sambil menatapnya curiga.
Nayla menoleh ke arahnya dengan alis terangkat, lalu menyeringai sinis setelahnya. "Sepertinya memang begitu."
Patricia terkekeh sambil mengarahkan pandangannya ke arah pemandangan sebuah negeri yang tampak indah dari atas. "Aku sudah diperjuangkannya dan itu berarti aku harus memperjuangkannya juga. Dia sudah berusaha dan aku tidak mungkin meninggalkannya."
"Apa kau serius?" tanya Nayla dengan nada hati-hati. Joan pun melirik kearahnya untuk mendengar jawabannya.
Patricia mengarahkan tangan kirinya dimana cincin pemberian Darren masih tersemat di jari manisnya. "Aku serius."
■■■■■
Saturday, March 16th 2019
23.24 PM
Babang kecapekan tulis part ini, karena ini bukan spesialis babang.
Authormu cuma jadi mandor kelas tengik.
Trims sudah menunggu.
Babang sayang kalian.
Bubyeeee... 🤗🤗
P.S.
K
etinggalan.
Main game yuk.
Kalo vote nyampe 1K, minggu depan babang mau nganu... eh... maksudnya part yang ada anu-anunya 😛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top