Chapter 9
Awalnya cukup sulit mencari kapal di pulau tersebut. Apalagi setelah berbagai kerusakan yang Dr. Blood lakukan dalam serangannya, tak ada siapapun yang ingin tinggal di dermaga dan melakukan bisnisnya lagi.
Pada akhirnya mereka bisa mendapatkan satu dengan ide Fawn yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan. Mencuri kapal. Terkadang Azure sebenarnya kebingungan dengan teman yang bisa dikategorikan sebagai satu dari seratus Knight terpintar itu. Beberapa rencananya tidak menyenangkan, atau mungkin hanya sifat yang dibawanya saat memutuskan untuk berhenti bekerja dengan Dr. Blood.
Sebuah pulau yang lebih kecil dari Aparath, tetapi masih cukup luas. Tidak ada tanda-tanda manusia saat mereka sudah menapakkan kaki, beberapa yang Azure lihat hanyalah pepohonan dengan tutupan kanopi rindang, hingga bintang-bintang di atas hampir tak bermunculan. Sampai terpaksa Fawn menyalakan senter agar keduanya dapat melihat sekitar.
"Kau yakin dia ada di sini?"
Fawn mengangguk. "Di depan sana ada laboratorium lama milik Dr. Blood."
"Sebenarnya berapa jumlah pasti laboratorium yang dimiliki orang itu?"
"Lebih daripada yang bisa kau hitung dengan jarimu," Fawn tersenyum. "Aku juga tidak tahu kenapa menyiapkan sangat banyak saat bahkan seharusnya dia tidak butuh laboratorium."
Tubuh Fawn mulai memunculkan ronanya, kuning yang hangat seperti matahari terbenam, dan perlahan-lahan tubuhnya terangkat ke langit, tetapi tidak terlalu tinggi. Perlahan-lahan maju ke depan menuntun Azure ke tempat yang dimaksud.
Fawn adalah White Knight. Saat suatu hari dia menyadari Dr. Blood sudah terlalu gila untuk terus bekerja dengannya, dia—dan banyak orang lain—memutuskan untuk keluar. Fawn masih remaja saat itu, sekarang pun masih harus menunggu setahun lagi baru menginjak kepala dua. Ketika tanpa sengaja bertemu dengan Azure, Knight muda yang dengan bodoh tetapi serius ingin menghentikan Dr. Blood serta seluruh eksperimennya. Hari itu juga Fawn memutuskan membantunya.
Fawn bisa bertarung secara fisik dengan kemampuannya, tetapi dia terlalu malas untuk menggunakannya karena kontrak yang juga terlalu merepotkan. Remaja itu lebih suka menghabiskan waktu di rumah dan laboratorium barunya, melakukan berbagai eksperimen yang dapat digunakan untuk menghentikan Dr. Blood, walau dia tahu pasti ciptaannya akan selalu berada jauh dari pada mantan bosnya itu.
Mereka tiba tepat di hadapan laboratorium. Tak ada penjagaan apapun, bahkan pintu juga tidak, saat masuk keduanya disambut lorong panjang tanpa ada penerangan apapun selain lagi-lagi hanya cahaya yang disorot Fawn.
Cowok itu berhenti melayang. Gema lantas semakin kuat saat langkah kaki keduanya yang menapak semakin ke dalam. Cahaya terus menyorot ke sana kemari, mencari-cari apakah ada sebuah jebakan yang mungkin dipasang ilmuwan tersebut.
Tentu saja Fawn tidak takut, walau pemandangannya tampak seperti film-film horror bertema fiksi ilmiah yang biasa ditontonnya saat tengah malam di akhir pekan. Namun, sesuatu dirasakan Azure semakin jauh dia melangkah masuk. Bukan berarti dia harus gemetar, hanya saja bagaikan dingin seketika menyeruak dan itu membuatnya jadi cemas.
Sadar kalau dia sudah berjalan jauh sementara temannya malah tinggal diam di belakang, Fawn lantas berhenti. "Azure?"
Seolah tidak mendengarkan, mata biru Azure hanya menatap ke atas dengan mulut setengah terbuka. Tak ada apapun di sana, bahkan saat Fawn akhirnya mengarahkan senter. "Oi, kau kenapa?" tanya ulang Fawn, dan Azure masih saja terdiam.
Bahkan saat Fawn akhirnya kembali ke sana, remaja itu masih saja membeku di tempat. Entah ada apa sebenarnya, tetapi Fawn mulai gelisah sendiri. "Oke, kalau kau kerasukan, maka ini tidak lucu."
Tanpa aba-aba, Azure seketika menunjuk ke atas, menyentakkan temannya, dan semakin dibuat terkejut saat dia menurunkan senter dan menemukan wajah Azure yang penuh ketakutan. "Kau melihat apa sih?"
"Awas!" Azure berteriak, mendorong Fawn dan buru-buru melompat mundur. Sesuatu yang berisik melentang di telinga keduanya, seperti sesuatu yang berat jatuh dari atas. Fawn meringis kecil saat mencoba bangkit, dan hal pertama yang dilihatnya adalah Azure dengan tangan yang sudah menyala, mengaktifkan kekuatannya.
Kemudian tidak lama sesuatu di tengah-tengah mereka perlahan-lahan memunculkan wujudnya. Akhirnya Fawn tahu apa yang sejak tadi Azure perhatikan. "Robot?"
"Blood sudah semakin pintar sekarang," geram Azure. Kedua tangan dengan cahaya yang setajam pedang itu sudah dinaikkan.
Tidak lama suara kaki melangkah terdengar di belakang, Fawn berbalik dan melihat satu robot berjalan.
"Kau punya bayaranmu?"
"Tiga botol," jawab Fawn. Merasakan darahnya semakin mengalir leluasa setelah menekuk lehernya, segera kedua tangannya berpindah ke ranselnya, mengambil sesuatu di dalam sana. Pertama adalah kacamata yang lain, dengan lensa khusus yang membantunya melihat di kegelapan. Kedua adalah senapan mesin rakitannya sendiri. "Tapi aku tidak akan menggunakannya."
Azure sendiri sudah tidak butuh senter, dia bisa melihat musuhnya dari remang-remang cahaya yang dibuat tangannya. Menggunakan itu dia melesat lebih dahulu, sudah bersiap mengayunkan tangannya ke depan. Azure berpikir, meski robot baru milik Dr. Blood dapat menjadi tembus pandang, dia pasti masih sama mudahnya dikalahkan seperti pasukan-pasukan lain. Ternyata Azure salah. Robot itu menghilang kembali, menyentakkan Azure hingga dia berhenti. Belum sempat memutar kepala, tubuhnya terhempas hingga mencapai Fawn yang sudah sibuk menembak ke arah yang asal. Targetnya sendiri juga menghilang dari pandangannya, dan itu cukup membuat keduanya berdecak kesal.
"Terkadang aku lebih ingin kemampuan Dr. Blood, bahkan jika bayarannya aku harus makan pasir," celetuk Fawn, Azure ingin saja tertawa kalau situasinya lebih menguntungkan.
"Kau tidak punya apapun untuk melihat ke mana robot-robot itu pergi?"
"Tidak, tapi aku punya rencana." Fawn berlari masuk, Azure mengikuti dengan kaki yang berkali-kali tersandung karena temannya yang lupa untuk menyalakan senter kembali. Meski begitu keduanya bisa keluar dari lorong tersebut, dan tiba di ruangan yang masih kecil karena ada meja-meja besi di sana-sini, tetapi lebih leluasa untuk bergerak.
"Jadi apa rencanamu?" tanya lagi Azure.
Fawn memberikan kacamata night vision yang satu lagi dibawanya, dan tanpa berbicara dia kembali menembak dengan asal. Bunyi dari baja-baja yang memantul dengan mudah terdengar, tetapi keduanya bisa segera tahu kalau itu bukan hanya dari peluru-peluru yang keluar dari senjata Fawn.
Segera Fawn meraih sesuatu di dalam tas kecil yang menggantung di pinggang kanannya, dan langsung melemparkannya ke depan.
"Pasir?" Setengah alis Azure terangkat, tetapi dengan segera mengerti. Sangat pintar, Fawn. Tangan Azure bercahaya kembali. Dia melesat ke depan, langsung menyerang dengan menghunuskan tangannya. Kali ini Azure yakin betul kalau dia bisa mengenai satu, karena merasakan pergelangannya menembus sesuatu.
Benar saja, satu robot memunculkan wujudnya, dengan bagian dada yang sudah ditembus tangan Azure, hingga sirkuitnya rusak, dan perlahan-lahan mati. Satu robot tersisa, dia bergerak dengan cepat, tetapi meski begitu Fawn hanya bisa menyeringai. Mengangkat senapannya, dia hanya perlu menembakkan satu peluru saja, dan besi panas itu bisa menembus bagian kepala dari robot yang sebenarnya sudah menerjang ingin menyerang, tetapi akhirnya berhenti di udara, dan jatuh ke lantai.
"Kenapa kau membawa pasir?" tanya Azure. Meski rencananya sangat bagus dengan memanfaatkan pasir untuk melihat pergerakan robot-robot tersebut, tetapi dia masih belum mengerti mengapa Fawn membawanya.
"Kau tahu betapa sulitnya mendapatkan air keruh? Aku selalu mengakalinya."
Sekali lagi Azure hanya bisa bergumam. Sangat pintar, Fawn.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top