Chapter 8
"Um ... apa itu tadi?" tanya Rose. Namun, saat menoleh dia juga melihat pria itu sama bingungnya. "Dark Knight?"
"Entahlah, tapi kau dengar? Dia mengucapkan Chaos Control. Ini bukanlah teleportasi yang biasa," simpul Ink. "Tempat ini bahkan tidak ada di peta."
"Kalau begitu di mana kita? Mars?" ucap Rose mengedikkan bahunya kasar.
Segera Ink menunjuk di hadapannya. "Kurasa bukan, karena ada gedung di sana." Rose tidak menyadari bahwa Ink ternyata telah menggunakan kekuatannya untuk mencari informasi. Walau agak gelap akibat kabut tebal, beberapa saat memicingkan mata dia akhirnya bisa melihat siluet sebuah bangunan yang setengah hancur, tetapi sisanya berdiri dengan kokoh.
Tanpa lanjut berbicara, keduanya mengangguk. Sepakat untuk pergi ke sana. Namun, baru sekali melangkah, keduanya dikejutkan dengan tanah yang tetiba saja bergetar hebat. Gempa, begitulah pikir mereka. Hingga tiba-tiba tanah di bawah mereka pecah. Rose tidak berpikir panjang, seluruh tubuhnya bersinar putih dan seketika melayang.
Tidak menguntungkan bagi Ink, sesuatu yang sangat panas muncul begitu saja, dan membuat pijakannya benar-benar terbelah menjadi dua, tak ada kesempatan untuk melompat karena semuanya terjadi dengan sangat cepat, selain yang bisa dilakukannya hanya berpegangan di salah satu sisi tanah. Pikirnya itu hanya lahar di bawah sana yang berkontraksi, tetapi ketika bunyi geraman mendegum di telinganya, yang segera muncul adalah tatapan penuh kengerian.
"INK!" Rose berteriak panik. Sosok sebelumnya yang begitu mirip dengan Ink sudah cukup membuat mereka terkejut, kemudian sesuatu yang besar dan hanya bisa dilihatnya dalam buku-buku cerita anak kecil tengah meraung di hadapannya. Sebuah monster.
Ink merasakan tangannya semakin basah, ataupun tanah yang dipegangnya mulai mengikis. Rose menahan napasnya saat melihat tangan dari monster super besar itu sudah berayun ke arah Ink. Tubuhnya seakan membatu, tak bisa melakukan apapun selain menyaksikannya.
Panas yang luar biasa terasa di tubuhnya saat tangan itu semakin mendekat. Ink menutup mata, mencoba menahan rasa sakit yang akan segera diterimanya. Namun, dia tak bisa menahannya sama sekali. Tubuhnya terhempas ke udara dengan kuat, jaketnya terbakar, panas yang begitu menyakitkan menggerogoti seluruh kulitnya.
Rose melesat, berpikir kalau dia bisa menangkapnya, tetapi Ink terlalu cepat. Dia terjatuh ke tanah dengan segera. Wanita itu buru-buru mendekat, menutup mulutnya langsung saat menyadari bagaimana kondisi rekannya. Selain terus mengerang kesakitan, hampir seluruh pakaiannya terbakar oleh api. Dada dan lengannya terluka, tetapi Rose juga tak bisa berbuat apa-apa.
Belum selesai dengan Ink, monster itu kembali menggeram. Rose menatapnya seakan malaikat pencabut nyawa sudah membawa sabitnya. Rose dilatih untuk menghadapi manusia atau pasukan robot, tetapi tidak pernah untuk melawan sesuatu yang bahkan seharusnya tidak nyata.
Seluruh tubuhnya melemah begitu saja. Rose memilih pasrah. Setidaknya salah satu latihan lain yang pernah diberikan padanya adalah kematian yang selalu dekat. Rose hanya tidak menyangka kalau nyawanya harus tercabut dalam cara seperti ini.
Tatapan makhluk itu sama terangnya dengan lahar, dan terus melihat dua manusia di bawahnya yang sudah tak berdaya. Namun, tidak lama dia berjalan pergi, meninggalkan tempatnya dengan setiap langkah yang menggetarkan tanah. Rose merasa kepalanya akan pecah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kesadarannya kembali saat mendengar suara napas yang patah-patah dari Ink. Kedua tangannya siap membopoh pria itu. Sesuai dugaannya, teriakan kuat langsung menggema begitu Rose memegang dada Ink. Namun, Rose juga tidak punya cara lain. "Bertahanlah, pria tangguh."
Rose menatap ke atas, kakinya perlahan-lahan meninggalkan tanah, dan mulai terbang menuju gedung yang menjadi tujuan awal mereka. Ink masih terus meracau dengan luka bakarnya, dan tanpa Rose sadari dia terdiam. Ink sudah tak sadarkan diri.
***
Udara yang hangat melambaikan rambut biru Azure. Cowok itu suka bersantai di pinggir pantai, karena rumahnya juga berhadapan langsung dengan laut. Tempat tinggalnya, Shamatan bukan pulau seperti Aparath. Lebih banyak daratan yang hijau dan pohon-pohon tinggi berusia setengah abad. Jika harus membandingkan, Azure lebih menyukai di sana.
"Oi!" Seseorang memanggilnya dengan lantang. Azure tidak perlu menoleh ke mana-mana untuk mencari, melainkan hanya mendongak ke atas dan sudah menemukan siapa tadi yang bersuara.
"Akhirnya kau datang."
Orang itu melayang di udara, dan perlahan-lahan turun hingga mendarat sempurna di atas pasir. Dia memakai kacamata pilot yang biasanya digunakan pada perang-perang, tetapi dengan segera menggantinya dengan kacamata biasa.
"Kau sendirian?"
"Bukannya kau sendiri yang melihatku pergi sendirian kemarin?"
"Ah, maksudku, kau tidak bertemu dengan Peach?"
"Oh, tidak, aku sendirian—Peach ada di sini?!" Seketika mata Azure melebar, terkejut bukan main. "Kenapa dia ada di sini?"
Si Kacamata hanya mengedikkan bahu. "Aku sudah melarangnya ikut, tapi dia bilang kau tidak mengatakan apa-apa saat pergi. Jadi ...." Tidak lama suaranya memelan, begitu melihat Azure menggigit jari, dirinya lantas tertawa.
"Ini tidak lucu. Peach akan memarahiku habis-habisan."
"Itu salahmu, lagipula kenapa tidak mengatakan apapun ke pacarmu yang galak itu? Juga, pada akhirnya misi menghentikan Dr. Blood tetap berakhir menjadi kerjasama tim, dan bukan aksi solo, kan?"
Azure mendesau kasar, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Yah ... aku kehilangan jejaknya. Kurasa kau bisa membantuku mencari ke mana Blood pergi?"
"Dr. Blood, Azure. Dia seorang Doktor. Kau mengucapkan namanya seolah dia tetanggamu."
"Aku tidak akan menghormati orang itu," balas Azure.
"Yah ... sesuatu memang membuatnya terobsesi untuk beberapa tahun terakhir, tapi rasanya tidak sopan kalau hanya memanggil dia dengan namanya." Dari ranselnya, remaja seumuran Azure itu mengambil laptop, dan mencoba untuk mencari tempat yang tenang di hamparan pasir.
"Jadi akan butuh berapa lama?" tanya lagi Azure, sudah tidak sabar.
"Selain barak besarnya, Dr. Blood punya banyak laboratorium yang tersembunyi di berbagai tempat, atau mungkin dia menggunakan pesawat perang raksasanya untuk melakukan semua proyek gilanya."
"Wow, kau tahu semua itu? Aku juga baru mau bilang kalau pria itu punya pesawat tembus pandang."
Remaja itu lantas tertawa pendek. "Please, aku Fawn. Apa yang tidak Fawn ketahui?"
Azure menyeringai. "Atau mungkin karena, Fawn di sini pernah bekerja untuk Blood." Jari-jari remaja itu yang sebelumnya sibuk menekan-nekan tombol di keyboard, sontak terhenti. Walau hanya sebentar.
Sudut bibir Fawn ikut naik sedikit. "Yah, itu salah satunya."
Merasa bosan, Azure ikut duduk di samping Fawn. "Jadi bagaimana sebenarnya kau akan menemukan Blood?"
"Kau tahu dia. Bisa menciptakan robot dengan mudah. Saat bekerja dengannya, dia selalu punya radiasi elektromagnetik yang agak besar. Sebenarnya aku selalu mengatakan padanya untuk menutupi itu, tetapi dia selalu—"
Sisa penjelasan Fawn seakan melebur di kepala Azure, dan berganti menjadi penyesalan karena bertanya pada temannya itu. Azure menyukai Fawn karena lebih mengandalkan kepintarannya daripada kemampuannya sebagai seorang Knight. Namun, Azure harus mengakui kalau beberapa penjelasan dari remaja itu tidak akan pernah bisa dicernanya sampai habis.
Ketika tanpa sadar dia meluruskan kakinya, suara gemerincing menarik perhatian Azure. Sementara Fawn masih terus berbicara, Azure malah teringat dengan benda di sakunya. Benda langka yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, dan putri kerajaan yang diculik tersebut seharusnya bukan salah satunya. Azure adalah Crimson Knight, dia bisa mengetahui seseorang adalah Knight hanya dengan melihatnya, dan putri bernama Chiffon tersebut bukanlah salah satunya.
Sempat Azure ingin memberitahukannya pada Fawn, tetapi langsung urung saat laki-laki itu menutup penjelasannya. "Ini dia, sederhana, bukan?" Azure sedikit buru-buru menatap layar. Peta, dan juga koordinat muncul, tidak terlalu jauh.
"Kita bisa menyewa kapal untuk ke sana," saran Fawn. "Tapi sudah terlalu sore. Sebaiknya kita--"
"Kita berangkat sekarang," tukas Azure.
"Hmmm? Kenapa? Kau takut Peach akan menemukanmu?"
"Bukan. Karena Blood menahan seorang putri dari pulau ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top