Chapter 4
(Chiffon)
Tidak butuh waktu lama dan keramaian memenuhi jalanan kerajaan Aparath. Orang-orang dengan pakaian terbaik mereka, anak-anak yang bersorak-sorai saat berlari dan bermain-main, para pedagang yang bersemangat menjajakan buatan tangan mereka. Sepanjang jalanan utama menuju istana dipenuhi akan kegembiraan dari semua yang bersiap untuk festival tahun ini.
Sementara di istana pun sama padatnya. Sibuk mempersiapkan saat-saat paling dinantikan oleh orang-orang ini. Para pelayan mempersiapkan makanan, dekorasi, dan ruang pesta. Penampil yang terdiri dari penari, penyanyi, dan ada juga lakon klasik memulai gladi sebelum penampilan. Namun, tak ada yang lebih gugup daripada satu orang itu. Putri Chiffon.
Dia bahkan sudah berpesan untuk tidak boleh diganggu hingga lima menit sebelum bagiannya tiba. Bagian yang dimaksud adalah saat Chiffon harus memulai upacara sakral yang harus dilakukan sebelum perayaan utama dilakukan. Di mana dia akan pergi menggunakan sampan kecil dengan hanya ditemani seorang pendeta, pelayan terbaiknya, dan satu penjaga keamanan menuju altar suci, dan menyalakan tugu dari dewa Aparath. Sebagai bentuk penghormatan akan semua kesejahteraan yang sudah menghidupi kerajaan selama ratusan tahun lamanya.
Upacara yang sebenarnya harus dilakukan oleh raja. Namun, sang Raja atau ayah Chiffon sudah meninggal dunia, dan sementara itu Chiffon bahkan belum menginjak usia yang cukup untuk menjadi Ratu; pimpinan kerajaan saat ini masih diamanatkan kepada dewan penasehat utama. Sementara karena menjadi satu-satunya bagian dari garis keturunan, Chiffon yang akan mengambil tugas itu.
Gadis muda menatap menatap cermin agak lesu. Pun riasannya sudah siap, gaun putihnya yang sangat cantik juga telah dikenakan. Apa yang membuatnya gugup sebenarnya bukanlah upacara yang menanti.
Menjadi orang yang menyalakan tugu sudah dilaluinya selama tujuh tahun. Hanya saja, dua hari sebelumnya sebuah pesan peringatan dikirimkan padanya, ditulis dengan tinta berwarna merah seperti darah yang masih segar. Mengatakan agar Chiffon menyerahkan harta terbesar milik kerajaan Aparath atau seluruh kota akan diserang. Tak ada nama pengirim, kecuali notabene kalau dia akan datang hari ini. Dia juga sudah berbicara pada dewan penasehat untuk menunda saja festival, tetapi surat tersebut hanya dianggap sebagai ancaman biasa yang dapat diatasi para penjaga, dan tak mau mengambil keputusan yang cepat dengan membatalkan hari saat semua orang berbahagia.
Jadilah dia sekarang, dipenuhi perasaan khawatir meski sudah mencoba untuk terus berpikir kalau semuanya seperti yang dewan sampaikan. Setelah mengambil napas yang panjang, Chiffon berdiri dan keluar dari kamarnya. Tepat di mana seorang pelayan dan dua orang yang berjaga dengan perlengkapan lengkap telah menunggunya.
"Lewat sini, Your Majesty." Chiffon membungkuk dengan anggun, lalu mengikuti wanita itu. Semua orang-orang di istana yang dia lewati memberikan sikap sopan, sementara gadis itu tersenyum lembut dengan ramah. Sampai bertemu dengan dewan; seorang pria dengan wajah berkerut dan rambut wajahnya sudah beruban semua. Laki-laki itu masih bisa menemukan kegugupan dari Chiffon.
Tanpa mengatakan apapun, melainkan hanya dengan menggenggam tangan gadis itu berharap agar dia bisa kembali tenang, dan melakukan upacara sebagaimana dulu selalu dia lakukan dengan sempurna.
Lalu kemudian dia tiba di ujung dermaga sungai dengan tiga orang yang siap menemaninya. Naik ke sampan sederhana yang dibuat dengan sangat telaten oleh para tukang kayu terbaik di kerajaan. Laki-laki yang juga adalah bagian dari penjaga istana mengayuh sampan tersebut dengan kekuatan tangan, perlahan-lahan melintasi sungai dengan jarak yang tidaklah terlalu jauh.
Meski tidak ada aturan kalau tak boleh ada yang berbicara, tetapi juga tak ada satupun yang ingin membuka mulut. Sikap yang mungkin sengaja dibuat untuk menghormati Chiffon sebagai Putri, jadi hanya menunggunya untuk berbicara lebih dulu.
Akhirnya perjalanan yang sunyi itu berakhir dengan sampan menyambar ujung altar. Puluhan lilin berjarak di sepanjang dinding menjadi satu-satunya penerangan. Hanya pendeta dan pelayan yang mengikuti, sementara pria penjaga berdiam di luar. Isi altar sebenarnya hanya lorong agak panjang, dan berakhir dengan ruangan luas berisi tugu raksasa, dewa Aparath.
Bagian Chiffon di mulai dari sini. Masih mencoba untuk terus tenang, dia maju dan mengambil lilin lain yang sudah dipersiapkan. Mengadahkannya ke hadapan dewa. Lalu terdiam, sangat lama.
Dia menatap api yang menyalakan lilin itu. Bagaikan mata yang menatapnya tajam. Terasa baginya seperti api kecil itu sedang berbicara padanya. Memberikan padanya sebuah penglihatan yang menjadi alasan mengapa gadis itu terdiam. Seisi kerajaan hancur terbakar, orang-orang yang berbahagia untuk festival malah berakhir dengan teriak-teriakan meminta tolong. Tanah-tanah retak lalu terbelah, mengeluarkan cairan yang lebih panas. Sementara Chiffon memperhatikan semua itu dari istana, tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Putri Chiffon." Gadis itu tersentak kecil, saat pendeta di belakangnya berbisik mencoba memanggil.
Chiffon buru-buru menghilangkan imajinasinya tadi, lalu berbicara. "Aku baik." Dia lanjut, mengucapkan kalimat doa atas kesyukuran dan permohonan.
Oh, dewa Aparath. Setahun lainnya atas semua pemberianmu.
Orang-orang bersorak bukan karena mereka melupakanmu, melainkan bahagia untukmu.
Kami berterima kasih untukmu, dewa yang suci. Kami selalu berharap sebuah kedamaian yang lebih panjang.
Tuntun kami, dan jagalah kami dengan cahayamu.
Lalu dia menaruh lilin ke ujung tugu, dan segera api menyebar ke seluruh kerangka-kerangka besi dan menyalakannya. Saat semula tugu itu hanya sebuah patung, kini memiliki sayap yang menyala sungguh terang. Ketiga orang di dalam sana bernapas lega, dan bergegas keluar untuk kembali ke istana.
Meski berjalan dengan lancar, Chiffon masih belum sepenuhnya merasa tenang. Tentu saja surat ancaman itu masih terus mengganggunya. Sementara dari jendela istana dia menyaksikan di jalanan orang-orang mulai berpesta. Di dalam istana pun sama, mereka semua menikmati.
"Princess, kenapa Anda belum turun?"
Dewan memanggilnya. Gadis itu berbalik dengan raut yang benar-benar tak akan bisa disembunyikan. Pria tua itu lantas kembali mencoba membuatnya tenang.
"Sekali lagi, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja."
Chiffom menghela napas, dan membuat senyum yang agak terpaksa. Dia menerima uluran tangan sang Dewan, dan membiarkan dirinya dibawa keluar, untuk bertemu dengan para tamu-tamu penting yang sudah menunggu kedatangan Putri sejak tadi. Mereka saling menyapa, berbicara, hingga beberapa mengajaknya untuk berdansa. Namun, belum ada satupun yang mampu menghilangkan rasa gelisahnya.
Melihat hal itu, Dewan membawanya keluar. Ke halaman istana untuk mengambil udara segar sekaligus melihat pemandangan kota dengan lebih baik lagi. "Lihatlah, orang-orang sedang berpesta di sini. Mereka semua bahagia. Anda tidak perlu khawatir, Princess."
"Aku harus, Fern. Jika ayahku ada di sini, dia pasti akan sama khawatirnya," kata Chiffon tanpa menatap lawan bicaranya. "Ayahku pasti akan membatalkan perayaan ini."
"Jika raja ada di sini, saya yakin beliau akan memperketat penjagaan, seperti yang sudah dilakukan. Sudah kusampaikan pada Crow untuk menggerakkan semua orangnya." Fern kemudian mendekat. "Princess, tidak lama lagi dan Anda akan menjadi seorang ratu untuk Aparath, dan saat tiba masanya Anda mungkin akan dihadapkan pada pilihan yang sulit antara menyelamatkan orang-orang atau membuat mereka malah bertanya."
"Jadi maksudmu saat ini kerajaan sedang menyelamatkan orang-orang?"
"Ya, dengan cara tidak menimbulkan kepanikan. Jika misalnya kita benar-benar menunda ini, orang-orang akan bertanya, gerangan apa yang mampu menghentikan festival tahunan suci ini? Seseorang akan menyerang kota?"
Chiffon mendesau, dan berusaha membenarkan ucapan Fern. Gadis itu suka tidak suka harus melakukannya. Pria tersebut lebih berpengalaman darinya, menjadi penasehat ayahnya untuk waktu yang lama, dan saat ini menjadi pengambil keputusan kerajaan. Chiffon berpikir mungkin memang kepalanya saja yang tidak akan sampai paham.
"Ah, ini mungkin akan meyakinkanmu, Princess." Chiffon berbalik, mengikuti arah pandang Dewan dan menemukan seorang pria mendekat. Membungkuk sebagai rasa sopan dan bentuk penghormatan. "Bagaimana keadaan kota, Crow."
"Semua penjaga sudah disebar di seluruh sudut kota, dan dapat dipastikan tidak ada siapapun yang mencurigakan."
"Bagaimana dengan istana?"
"Penjagaan di istana sedikit dikurangi, kami memfokuskan semuanya pada daerah perbatasan dan setiap sudut jalanan."
"Lihat? Semuanya aman, Princess." Tidak lama Chiffon menghela napas dengan lega, kemudian mengangguk kecil pada Fern. "Sebaiknya kita masuk lagi, lagi pula Anda belum menyapa semua orang."
Ketiganya berjalan masuk, dan seketika angin muncul entah dari mana, menerpa mereka dengan begitu kuat. Topi tinggi yang Fern gunakan terlepas hingga terbang tanpa bisa dia ambil kembali, sementara debu yang beterbangan membatasi penglihatan mereka.
"Jadi istanamu ini sedang tidak dijaga dengan baik, sepertinya." Hingga suara yang entah darimana asalnya menyentakkan mereka. Chiffon melirik ke sana kemari, dan tidak melihat ada siapapun selain mereka bertiga. Lalu tidak lama, dengan perlahan-lahan muncul sebuah objek di hadapan mereka, seakan sejak tadi sudah ada di sana, tetapi menggunakan sesuatu yang membuatnya jadi tembus pandang.
Sebuah robot yang mampu melayang di udara, dan seorang pria dengan pakaian merah menyala berdiri di atasnya, menatap mereka sembari menyilangkan kedua tangannya.
"PENYUSUP!" Crow lantas berteriak, tetapi sebelum ada yang mampu bergabung bersama mereka ataupun pria itu bisa mengangkat senjatanya, sebuah tembakan melesat dan membunuhnya di tempat. Chiffon langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, dan Fern sigap memeluknya. Gadis itu menahan napas dan air matanya sekuat mungkin saat tidak lama kemudian muncul lebih banyak robot dengan bentuk seperti kapal perang, yang siap melepaskan ratusan peluru untung menghancurkan apapun.
Lalu terdengar keributan yang mengisi jalanan-jalanan kota. Fern menoleh, dan bulir-bulir keringat seketika memenuhi wajahnya saat melihat lebih banyak lagi robot-robot itu melayang di atas kepala orang-orang. Tak ada yang menembak, tetapi semuanya sudah berlari untuk menyelamatkan diri.
"Sangat tidak bijaksana, kau membuat sebuah festival sementara seseorang akan menghancurkan kota."
Fern menggigit bibirnya. Dia tahu dia sudah kalah, sedikit kesalahan saja maka bukan hanya nyawanya saja yang akan terancam. Orang-orang dan bahkan Chiffon bisa saja bernasib seperti Crow. "Apa yang kau inginkan?"
"Sepertinya kau tidak membaca pesanku dengan baik, pengganti raja. Tidak masalah, akan kuulangi. Aku hanya membutuhkan benda penting yang dimiliki oleh Aparath." Kemudian satu jarinya dinaikkan, dan menunjuk ke arah Chiffon. "Tanda kontrak dari Raja Aparath, segel api harapan."
Chiffon melepaskan dirinya pada Fern. Menatap si Jubah Merah terkejut. Sebelum kemudian tatapannya berganti pada kalung yang dia kenakan. Jadi itu yang dia maksud dengan harta terbesar kerajaan Aparath.
"Jangan lakukan, Princess. Itu adalah peninggalan ayahmu," tukas Fern dan kembali memeluk gadis itu seakan menjaganya, tetapi dia juga sadar kalau tindakannya tidak akan ditanggapi dengan baik.
"Kujelaskan, kalau saat ini kalian berdua sedang dalam keadaan tidak beruntung, jadi sebaiknya jangan mempersulit apapun. Jika kau menyerahkannya, akan kujamin kalau hanya pria penjaga itu saja yang terluka," balas si Jubah Merah menunjuk Crow. Namun, tawarannya masih ditolak. Chiffon melenggang kepala kuat-kuat dan memegang kalungnya erat.
Seketika wajah si Jubah Merah menjadi dingin, dan robot-robotnya mulai mengepung mereka, membuat keduanya tak bisa ke mana-mana.
Lalu suara yang sangat keras mengagetkan mereka. Salah satu robot tiba-tiba saja jatuh, dan sedetik kemudian terbelah jadi dua. Kemudian robot lainnya juga begitu. Kemudian yang lain, satu persatu tiba-tiba saja hancur hingga si Jubah Merah ikut terkejut bukan main. Semuanya berlangsung sangat cepat dan hanya sedikit saja dari robot itu yang tersisa. Sebelum akhirnya si Jubah Merah hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar saat mengetahui siapa pelakunya.
"Kau ...," geramnya.
"Sangat intens, tapi pidatomu setidaknya masih bisa diperhalus lagi."
Chiffon ikut terkesiap, melihat ada seorang remaja tiba-tiba saja muncul di antara mereka. Terutama saat dia menoleh dan tersenyum merekah, seketika bagian terdalam dari otak Chiffon merespon cepat, memberikannya penglihatan lain akan remaja itu. Sangat tidak asing. Bedanya remaja dalam ingatannya mengenakan jubah putih, sementara yang ini memakai kaos oblong biasa.
"Jangan kau lagi! Bunuh dia!"
Kemudian dua tangan remaja itu tiba-tiba menyala, sinar hijau mengelilingi mulai dari ujung lengan hingga pangkal jari. Seketika dia bergerak sangat cepat hingga bahkan robot-robot yang tersisa tak dapat mengeluarkan pelurunya, melainkan langsung terbelah menjadi dua seperti teman-temannya yang lain. Si Jubah Merah tidak tinggal diam, dia yang akhirnya menyerang, menembakkan peluru-pelurunya dengan membabi buta, dan memaksa Fern juga Chiffon harus menurunkan tubuhnya hingga merayap. Sementara itu, tak ada satupun peluru yang mengenai remaja itu.
Semakin berang, si Jubah Merah menggunakan senjata pamungkasnya. Dia mengeluarkan bahan peledak yang siap menghancurkan tempat itu. Chiffon mulai panik, dan berteriak agar semuanya dihentikan. Saat itu juga terasa tubuhnya terangkat. Remaja itu sudah membopongnya.
"Aku Azure. Crimson Knight. Senang bertemu denganmu," ucapnya, lalu berlari. Larinya sangat cepat sampai-sampai Chiffon menjerit dan memeluk remaja itu karena ketakutan setengah mati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top