Chapter 19
Chiffon di bawa pergi. Awalnya dia berpikir Dr. Blood akan memasukannya ke ruangan terkunci untuk menahannya, tetapi ternyata malah berakhir ke ruangan dengan tempat tidur dan kamar mandi. Pintu yang berbahan baja tersebut mungkin ditutup, tetapi sama sekali tidak terkunci. Robot yang membawanya ke sana juga langsung pergi. Meski begitu melarikan diri adalah sia-sia. Knight saja bahkan sudah dikalahkan, apalagi Chiffon.
Namun, gadis itu masih belum bisa menerima sepenuhnya apa yang Dr. Blood katakan. Hatinya dengan tegas mengatakan kalau semua itu hanya kebohongan, tetapi di satu sisi dia masih terus memikirkannya. Dia masih hidup, itu adalah alasan pertama mengapa cerita tadi memang benar.
Lemah Chiffon melepaskan kalung yang menggantung di lehernya, mengusap dan menatapnya lekat. "Apa itu benar? Apa ayah memang melakukannya?"
Mungkin itulah alasan sebenarnya mengapa harus Chiffon yang menyalakan tugu saat festival kerajaan, dewa Aparath saat ini sedang ada di dalam tubuhnya. Hari itu saat Chiffon menatap lilin dia malah membayangkan kota dalam kehancuran, mungkin itu bukanlah halusinasinya jika Dr. Blood menghancurkan kota, melainkan dia sendiri dengan kekuatan besar dalam kendalinya.
Entah sudah pukul berapa. Chiffon dibawa ke barak saat malam, tetapi dia yakin dua hari sudah berlalu. Dia jadi benar-benar khawatir dengan kerajaan. Fern mungkin bisa mengatasi segala polemik, hanya tetap saja dia adalah seorang putri. Itu berarti semua yang terjadi juga tanggung jawabnya.
Chiffon duduk bersandar ke dinding lalu memeluk kedua kakinya. Dadanya jadi berkecamuk sekarang. Entah karena gugup atau dewa di dalam tubuhnya sedang marah.
"PERINGATAN! PENYUSUP! PENYUSUP! SEKTOR E-12! PERINGATAN! PENYUSUP! PENYUSUP!"
Seketika suara melengking menyentakkannya, diikuti lampu di ruangan tiba-tiba saja berganti warna jadi merah membuat Chiffon semakin gelisah. Apa yang terjadi?
Lalu pintu di hadapannya terbuka perlahan. Tubuh Chiffon mulai bergetar tak karuan saat engselnya berderit sekeras sirine yang berbunyi. Pikirnya akan datang robot, tetapi yang nampak adalah manusia. Bukan Dr. Blood, dia seorang gadis, seumurannya.
"Putri Chiffon," panggil gadis tersebut. Meski masih menaruh rasa khawatir, Chiffon memberanikan diri untuk turun dari tempat tidur dan mendekatinya. "Aku Peach, aku temannya Azure dan Fawn."
Segera napas lega dihela. "Kau yang menyalakan alarm tempat ini?" tanya Chiffon, dan Peach mengangguk.
"Tapi ini sektor A, sudah kulihat denah baraknya. Sektor E berada di luar, dan aku membuat pengalihan yang bagus di sana," pungkasnya. Peach segera menarik tangan sang Putri. "Ikut aku."
Tanpa ragu Chiffon mengikutinya. Suara derapan seketika menggema, tetapi mereka tidak khawatir. Mungkin Peach tidak tahu, tetapi Chiffon bisa lebih tenang karena hampir seluruh robot sudah dihabisi Azure dan Fawn sebelumnya.
Azure dan Fawn. Mengingat mereka membuat Chiffon sontak menurunkan kecepatan. Peach ikut memelan saat menyadarinya. "Ada apa?"
"Ini soal Azure dan Fawn." Chiffon menelan ludah agak kasar, dia tidak siap mengatakannya. Peach adalah temannya dan dia pasti akan terkejut setengah mati. Namun, ketika gadis itu bertanya lagi bisa dia temukan wajah yang mengerti. Paham kalau masalah sedang terjadi pada mereka berdua. Jadi pada akhirnya Chiffon menjelaskan semuanya, dan segera wajah itu berubah.
Sudah Chiffon duga, dia pasti pada akhirnya akan terkejut. Siapapun tidak akan menyangka kalau memindahkan seseorang ke waktu lain adalah nyata. "Itu kata Dr. Blood. Aku tidak tahu apa memang benar, tetapi aku sangat khawatir dengan mereka."
Namun, yang terjadi malah Peach menariknya kembali. Berusaha untuk keluar dari barak dengan selamat. "Tidak usah memikirkan dulu soal mereka. Prioritas utama adalah kau," ucapnya dengan tegas.
"Apa? Kau tidak khawatir? Bukannya kau teman mereka."
"Tentu saja aku khawatir, tetapi aku tahu mereka akan baik-baik saja. Lagipula aku tidak akan percaya dengan cerita Dr. Blood begitu saja. Pergi melintasi waktu itu mustahil, tetapi teleportasi bisa dilakukan. Itu lebih masuk akal, meski Dr. Blood adalah Crimson Knight." Masih sambil berlari, Peach menoleh dan tersenyum padanya. "Bahkan jika memang itu benar, mereka akan tetap baik-baik saja. Azure itu kuat, dan Fawn sangat pintar."
Chiffon merasa puas mendengarnya. Benar juga, Peach sudah mengenal mereka sejak lama, sementara Chiffon sendiri belum sampai seminggu. Dengan begitu dia bisa tenang.
Berkat kemampuannya sebagai Crimson Knight, Peach bisa membawanya keluar dengan cepat, tetapi kecepatannya tetap bisa disusul oleh Chiffon. Seberkas cahaya kemudian terlihat di antara lampu merah yang sudah menyakiti mata mereka. Hingga keduanya berhasil keluar dan sampai di sektor E yang dimaksud. Bisa dibilang halaman dari barak tersebut.
Riuh yang begitu dahsyat membuat Chiffon bergetar ketakutan. Baku tembak terjadi di sana sini. Puluhan pasukan robot—di dinding ataupun yang terbang mendekat—yang mungkin baru dibuat Dr. Blood melepaskan peluru-pelurunya ke tepat di tengah-tengah sektor, di mana sebuah senapan gatling memborbardir semuanya dengan mudah. Chiffon tidak mengerti sampai Peach menjelaskan kalau itu adalah miliknya.
"Itu kekuatanku. Aku bisa membuat senjata apapun dari tanganku," katanya. "Kau harus berlari ke sana, aku akan menahan mereka untuk sementara. Pastikan kau cukup jauh hingga sampai ke tepi pantai," sambungnya menunjuk pintu masuk barak yang terbuka dengan lebar.
"Bukannya mau sombong, tetapi aku yang punya kekuatan di sini. Jangan khawatir, aku akan menemuimu di sana."
Chiffon tak bisa lagi membantah, dia mengangguk meski agat tertahan. Peach melesat ke tengah menuju senjata buatannya, dan mengambil alih gatling tersebut. Berteriak sekuat tenaga dia memutar senjatanya ke seluruh sisi barak dan menghancurkan seluruh pasukan robot tersebut dengan mudah.
"Sekarang!" teriaknya. Chiffon mengangkat renda gaunnya agar dia bisa berlari lebih cepat. Berlari dengan menutup mata juga telinganya, kemudian berteriak setiap kali dia merasa ada sesuatu yang hampir mengenainya. Tanpa sadar dia sudah berada di hutan, jauh dari barak.
***
Tidak ada dingin sedikitpun, tetapi tubuh Fawn gemetar sampai harus memeluk dirinya sendiri. Saat menatap keluar, dia tidak menyangka akan menemukan pemandangan seperti itu dalam hidupnya.
"Kau takut?" Lalu suara yang tiba-tiba memanggil dari belakangnya membuat berteriak. Gelak tawa yang puas lantas mengikuti, dan Fawn membalas dengan mendengus.
"Tidak lucu, Rose!" Teriakan geram tersebut malah membuat Rose semakin tergelak.
"Oh, astaga. Apa kau masih marah soal bisnismu di Krolian?"
Darah Fawn semakin berdesir cepat, dia bangkit dan menunjuk tepat di wajah Rose dengan berang. "Kau memasukkanku ke dalam penjara selama hampir satu tahun karena kau berpikir aku masih bekerja untuk Dr. Blood! Kau tahu apa yang sipir-sipir sialan itu lakukan padaku? Mereka meredam kekuatanku, menutup kepalaku dengan kain dan merendamnya di toilet sepanjang malam! Dan kau bahkan tidak pernah meminta maaf!"
"Okey, aku minta maaf," ucapnya, dan tentu saja Fawn seketika berbalik dengan menyilangkan kedua tangan.
"Kau tidak pernah serius mengucapkannya."
"Aku minta maaf," ulang Rose. "Lagipula kami sudah memecat sipir itu dan memberikanmu kompensasi dengan membuat laboratoriummu sendiri. Kau bahkan membuat senjata yang keren ini."
Sadar punggungnya jadi lebih ringan, Fawn bergegas menoleh lagi dan merebut senjatanya. Entah kapan benda itu sudah ada di tangan Rose. "Jangan sentuh barang-barangku!"
Sekali lagi, Rose benar-benar terbahak sampai empat siku-siku terbentuk di dahu Fawn. Dia benar-benar tidak tahan lagi mendengarnya. "Dasar anak-anak."
"Aku bukan anak-anak!"
"Rose!" Lalu suara lain segera melerai mereka. Dua orang yang juga ada bersama mereka sudah tidak tahan dengan keributan yang terjadi. "Jangan ganggu dia."
Wanita itu mengangkat bahunya lalu menjauh. Fawn memilih untuk bergabung dengan sahabatnya dan agen Knight Ops yang lebih bersahabat tersebut.
"Biar kuluruskan, kita di masa depan, bumi hancur, dan ada monster aneh di luar sana yang membuatmu jadi ... apa kau baik-baik saja?" simpul Azure.
"Ya. Knight bernama Onyx membawa kami kemari. Itu saja sudah tidak masuk akal. Lalu kalian malah mengatakan Dr. Blood yang melakukan ini."
Azure termenung agak lama setelahnya. Sebenarnya mereka semua jadi terdiam satu sama lain. Terlalu banyak hal yang harus diproses dalam waktu cepat. Sampai kemudian Rose masuk dalam diskusi mereka. "Kurasa tidak penting untuk membahas itu sekarang. Dua Chaos Control ada di sini, dan kau bilang itu akan jadi tiket kita untuk pulang."
"Tiket pulang?" tanya Azure tidak paham.
"Dongeng itu. 'Ketika dua berkumpul waktu adalah milik mereka'. Kami berpikir mungkin itu alasan mengapa Onyx atau Dr. Blood bisa membawa kita semua kemari. Meski begitu aku juga masih belum yakin.
"'Orang lain adalah milik mereka'," beo Fawn.
"Apa?"
"'Orang lain adalah milik mereka'. Bukan 'waktu adalah milik mereka'. Itu isi dongeng soal Chaos Mark. Artinya jika dua segel disatukan, kekuatan Knight lain bisa digunakan."
"Ouh ...." Dahi Ink lantas terangkat begitu mengetahuinya. "Kalau ternyata begitu, berarti Onyx benar-benar bisa mengendalikan waktu dengan kemampuan Chaos Control-nya."
"Wah wah! Kau ternyata memang sangat pintar." Lagi-lagi Rose coba untuk menjahilinya. Gigi-gigi Fawn sudah bergemelatuk dan siap untuk membalas, tetapi itu sebelum Azure menahannya.
"Bisa jangan ganggu temanku dulu. Karena aku tahu kalian berdua punya masa lalu yang harus diselesaikan, tetapi kita berempat harus bekerja sama sekarang." Azure menoleh menatap Ink. "Aku tidak terlalu ingat soal dongeng Chaos Control, tetapi kurasa itu adalah saat kita harus menyatukan segel masing-masing."
"Benar, dan itulah masalahnya." Sebelah alis Azure naik, dan itu segera dibalas Ink dengan mendesau, lalu mengangkat tangannya setinggi dada. "Cincinku hilang saat serangan monster itu. Jadi sekarang kita harus mencarinya."
"Maksudmu berhadapan dengan monster yang sudah hampir membuatmu tewas terbakar?" tanya Fawn, dan Ink mengangguk.
"Kita beruntung jika cincinku tidak jatuh ke lahar panas itu. Chaos Mark memang tidak akan bisa hancur bahkan oleh ledakan sebesar apapun, tetapi siapapun akan tewas jika coba masuk ke dalam sana. Sebaliknya, kita punya harapan untuk melawan monster itu." Mata Ink jadi fokus pada Azure. Semula remaja itu tidak mengerti hingga beberapa detik.
"Aku?" tunjuk Azure ke dirinya sendiri.
"Ya."
"Um ... aku bukannya ingin mengejekmu, tetapi kau pria dewasanya di sini. Aku hanya anak-anak. Dan kau adalah agen Knight Ops yang sudah lepas kontrak. Apa yang membuatmu berpikir aku bisa melakukannya?"
"Aku dan Rose hanya mata-mata, tetapi kemampuanmu adalah untuk bertarung. Aku tidak memintamu untuk menggunakan kekuatanmu yang bisa, aku ingin kau menggunakan Chaos Control."
"Kau serius?!" Azure sontak terkesiap, dan menemukan Ink mengucapkannya tanpa keraguan membuatnya semakin tak percaya.
Namun, dua orang lainnya malah tidak mengerti. Rose mengangkat tangannya. "Emm ... memangnya kenapa? Bukankan ini saatnya untuk menggunakan kekuatan itu?"
"Chaos Control tidak hanya soal nama. Karena kekuatan itu memang akan menimbulkan kekacauan." Ink mengelus dagunya. "Bagi penggunanya tidak akan ada masalah, tetapi entah bagaimana dengan orang lain."
"Apalagi jika itu adalah kekuatan dengan area yang luas seperti milikku. Siapapun yang ada di dekatku bisa saja mati tanpa aku sadari." Penjelasan tambahan itu membuat mata coklat Fawn melebar. Itu pertama kalinya dia melihat Azure jadi ragu pada kemampuannya sendiri. Dia jadi menyadari satu hal, Azure memang belum pernah terlihat menggunakan kekuatannya sebagai Chaos Control selain membuat dua energi besar di kedua tangannya. Fawn juga masih belum tahu apa kemampuan sahabatnya yang lain.
"Apa kau bisa?" tanya sekali lagi Ink, dan butuh waktu lama sebelum Azure bisa mengiyakan pertanyaan itu.
"Jika itu satu-satunya jalan keluar."
"Ya, kau juga tidak perlu menggunakannya jika monster itu tidak muncul."
Kemudian rencana mereka susun. Pembicaraan berakhir dengan segera dan mereka menyiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan. Fawn yang sepertinya paling sibuk. Rose coba meminta salah satu senjatanya, dan meski awalnya remaja tersebut menolak, tetapi pada akhirnya Fawn memberikannya.
Sisanya lebih pada persiapan mental, khususnya Azure. Dia tidak menyangka akan datang hari di mana kemampuan spesialnya akan digunakan.
Lalu Ink lebih hanya diam di tempat, menatap ke luar melalui lubang besar di dinding. "Hei," Rose memanggil.
"Ada apa?"
"Bagaimana dengan kau? Apa kau akan menggunakan kemampuanmu juga? Maksudku saat kau mendapatkan cincinmu kembali."
Hanya diam pada awalnya. Tanpa Rose ketahui buku-buku jari rekannya tersebut langsung mengeras. Suaranya bahkan jadi dingin, dan masih tidak wanita itu sadari. "Aku tidak akan pernah menggunakannya meski harus."
"Sungguh? Wow, kukira kau bukan pria egois, tapi kau sepertinya memang memanfaatkan anak-anak itu."
Azure akhirnya memilih untuk tidak menjawab lagi. Sampai kedua remaja tersebut mendekat, tanda sudah siap. Mereka semua mengangguk bergantian, lalu menatap keluar. "Ayo kita pergi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top