Chapter 14
Percikan dari desiran ombak yang menghantam dermaga berhasil mengenai pakaian Snow, meski begitu dia tidak ingin beranjak dari duduknya. Membiarkan angin dan bintang-bintang menjadi penenangnya hari ini.
Remaja itu sudah terdiam di sana sejak pertarungannya dengan Azure, dan walau Snow tidak tahu waktu, tetapi tengah malam sudah sampai puncaknya. Jadi keadaan benar-benar lebih tenang daripada sebelumnya.
Sunyi yang menyejukkan itu membuat setiap indranya lebih sensitif. Sehingga suara sekecil apapun akan langsung di sadari Snow. Termasuk saat langkah yang menapak pelan mendekatinya, dia langsung menoleh. Matanya membelalak begitu tahu siapa orang tersebut, dan otaknya meminta agar dia berdiri dan memeluknya, tetapi entah mengapa Snow menolak dan masih memutuskan untuk terus duduk saja.
"Jadi kau di sini, aku mencarimu ke mana-mana."
Bahkan Snow terlihat biasa-biasa saja dengan kedatangannya, dia kembali menghadap ke depan seolah rasa senangnya tidak dapat dikeluarkan akibat kegelisahan yang menumpuk. "Ya. Aku juga mencarimu ke mana-mana, Iris."
"Aku berusaha mencari jejakmu atau Onyx, tapi tidak kurasakan."
Gadis itu segera mengambil tempat di samping Snow. "Tidak, aku bohong. Aku hanya berkeliling untuk menikmati semuanya. Ini sangat indah," lanjutnya menaikkan sudut bibirnya pendek. Bagi Snow momen tersebut semakin membuatnya lebih tenang. Namun, tetap saja dia terlihat murung di luar, dan Iris segera menyadari itu. "Ada apa?"
Kepala Snow naik sedikit karena terkejut, tetapi setelah itu kembali menatap rendah. "Apa ... apa menurutmu ini semua benar? Kita harus membunuh seseorang untuk menyelamatkan dunia?"
Iris lantas menghela napas yang pendek, dia tidak perlu waktu yang lama untuk menjawab pertanyaan itu. "Kau selalu menentang Sang Raja karena menurutmu beliau terlalu takut untuk melakukan apapun, tetapi kenyataannya kau juga sama. Snow yang naif, yang takut mengorbankan apapun. Lagipula ...."
Sejenak Iris terdiam, tanpa aba-aba dia melemahkan kepalanya untuk bersandar di pundak Snow. Cowok itu sama sekali tidak keberatan. "Kita adalah Contract Knight, dan kau tidak akan mungkin lupa dengan janji kita, kan?"
Snow hampir tak bisa membalas, dia bahkan merasa agak kesal karena Iris menyamakan sifat ayahnya tersebut. Namun, lagi-lagi Snow tak ingin membantah. Kalimat yang dikeluarkannya adalah tentang janji tersebut. "Berapapun harganya, bagaimanapun resikonya, semua ini untuk dunia kita ...." Tidak lama dia malah tertawa pelan. Seharusnya dia bisa mengingat janji itu saat berhadapan dengan Peach. Seharusnya dia tidak menahan diri sedikitpun.
"Kuduga kau sudah menemukannya? Knight itu," tanya Iris, dan Snow mengangguk. "Aku suka di sini, dan kau pasti juga menyukainya, tetapi akan lebih bagus lagi kalau semua orang di kerajaan bisa menikmatinya bersama-sama. Itu berarti kita harus melakukannya, kita harus membunuh Knight itu."
"Namanya Azure. Crimson Knight. Lepas kontrak," tambah Snow. "Mungkin kau butuh informasi seperti itu."
Giliran Iris yang tertawa kecil. Gadis itu menyadari kalau seharusnya mereka mencari lagi Knight bernama Azure itu, tetapi tiba-tiba saja dia jadi teringat sesuatu yang membuatnya urung. "Kau masih ingat kontrakmu?"
"Oh, tidak. Aku tidak mau."
"Ayolah, sudah lama aku tidak melihatmu melakukannya."
Keduanya berhasil menaikkan lebih tinggi senyum masing-masing. Snow yang paling ingin tertawa saat itu. Sebelum menjadi Knight yang lepas kontrak, Snow seperti halnya Iris memiliki bayaran setiap kali menggunakan kekuatannya. Namun, berbeda dengan gadis itu yang punya kontrak menyakitkan, Snow lebih mudah dan bahkan menyenangkan.
Dia harus menulis sebuah puisi, entah berapa bait. Dia sendiri kebingungan mengapa kontraknya dulu seperti itu. Dulu setiap selesai patroli Snow akan membuat puisi, dan teman-temannya beristirahat sembari mendengarkan goresan penanya yang sesekali menghibur, sedih, atau marah. Karena itu pula ibunya selalu membacakan dongeng agar Snow punya lebih banyak kosakata.
"Ayolah, kau bisa membuat satu puisi. Mungkin untuk tempat ini." ucap lagi Iris dengan nada memohon.
Snow tentu saja merasa malas, tetapi setelah semua yang terjadi dalam sehari, dia berpikir kalau tidak ada salahnya. Matanya menutup, meski begitu visualnya terbuka dengan lebar, membayangkan semua pemandangan indah yang telah ditemuinya.
Dahulu semuanya hanya delusi
Membayangkannya pun bagai adiksi
Setiap malam seakan hilang esensi
Karena di akhir telah jadi distorsi
Kini, nyata tanpa ada ilusi
Mereka menari melalui jejeran serasi
Menyenangkan saat melihatnya membentuk gradasi
Kuharap setelah ini sebentar saja memberikan spasi
***
Azure tak dapat bergerak, meski dia harus segera pergi dari sana. Namun, tubuhnya seakan membantu, bahkan saat orang-orang di sekitarnya sudah berteriak panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Padahal dia baru saja pergi untuk mengantarkan beberapa buket bunga yang dipesan oleh sahabat baiknya. Keluarganya menjalankan bisnis kebun bunga yang mereka tanam di kebun pribadi dalam jenis dan warna yang beragam. Semuanya cantik, dan juga paling populer di seluruh pulau Shamatan.
Namun, tepat di hadapannya kini toko tersebut hancur. Semuanya terjadi dengan sangat cepat, tepat saat dia baru saja melihat sang Ayah baru saja memanggilnya untuk masuk dan mengantarkan lagi pesanan lainnya. Lalu sesuatu terjatuh dan meledak, menciptakan kobaran api yang segera membakar dan mulai meruntuhkan kayu-kayu penopang tempat itu. Mereka semua masih ada di dalam sana. Ayah, ibu, serta kedua saudarinya. Seketika semua menjadi lambat begitu Azure berteriak dengan histeris. Dia berusaha masuk dan menerobos, tetapi seseorang menahannya. Dia meronta meminta dilepaskan, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Azure ditarik menjauh dari sana, sementara dia masih terus berteriak, memanggil ayahnya.
"AYAH!"
Bulir-bulir keringat membanjiri tubuh Azure, membuatnya setengah basah. Napasnya jadi mengap-mengap dengan mata yang menjalar dengan segera. Kamar dengan jendela yang ditembus cahaya hangat. Tempat tidur empuk ada di bawahnya. Dia mencengkram ujung kasur dengan sangat kuat seolah-olah ingin merobeknya, hingga tanpa sadar ronanya muncul dengan tipis.
Setelah beberapa saat barulah dia benar-benar mengerti kalau yang dia lihat barusan hanya mimpi. Tidak, Azure tahu itu bukanlah mimpi. Itu kenangan, memori buruk yang masih menghantuinya. Tidak lama dia juga menemukan sahabatnya yang sudah mengenakan kembali jaket kuningnya dengan raut ketakutan berdiri di sudut ruangan.
"Fawn ...."
Butuh sekian detik baru remaja berkacamata itu beringsut dari tempatnya. "A--Apa itu selalu terjadi?" tanya dia gugup.
"Apa?" Azure bertanya balik keheranan.
"Kau berteriak, memanggil ayahmu, dan ... menggunakan ronamu. Kupikir kau akan merusak tempat ini atau bahkan membunuhku. Yah, aku khawatir kau akan menghancurkan tempat ini karena ... aku tidak akan mau bertanggung jawab," jelasnya, sedikit mencoba tertawa dengan membuat lelucon, tetapi itu sama sekali tidak bekerja karena ketegangan masih terus mencengkramnya. Bahkan dia mendekati Azure dengan meneguk ludah, walau dia sendiri tahu kalau sahabatnya tidak akan menyakitinya.
Sementara Azure segera meminta maaf dengan menyesal. Dia tidak punya jawaban apakah itu memang sering terjadi, tetapi mimpinya sesekali datang dan itu selalu membuatnya ketakutan. "Di mana aku?"
Merasa semuanya telah terkendali, Fawn akhirnya memberanikan diri untuk mengambil duduk di samping tempat tidur. "Masih di Aparath. Ini penginapan. Well ... Dr. Blood sadar kalau kita berpisah saat di pulau, jadi robotnya mengejarku, dan dia sendiri mengikuti kalian kemari. Aku bertemu dengan Peach, dan kami mendengar Putri Chiffon berteriak, saat di sana, kau bertarung dengan seorang Knight, dan kau terluka. Pemilik penginapan ini sempat histeris karena berpikir aku membawa mayat, tapi dia akhirnya membiarkan kita memakai satu kamar."
Azure menarik selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, dan baru menemukan ada bekas-bekas luka yang sudah mengering. Di dekat Fawn terdapat nakas dengan kapas, cairan alkohol, dan alat-alat medis lainnya. "Bagaimana dengan Peach?"
"Dia belum kembali, dan tidak bisa kuhubungi. Sebenarnya aku juga mulai khawatir, karena Knight yang hadapi ... dia, itu, kan?"
"Ya, dia sudah lepas kontrak," jawab Azure paham dengan maksud pertanyaan tersebut.
"Dia pasti akan baik-baik saja. Kau sendiri lebih mengenal Peach daripada aku, dia sudah cukup kuat, dan kontraknya juga bukan masalah besar." Namun, Azure tetap merasa khawatir. Bahkan meringis dalam hatinya akan keputusan bodoh untuk pergi sendirian ke Aparath. Jika saja dia setidaknya mengabari Peach tentang misinya, mungkin tidak akan berakhir seperti ini.
"Sementara itu, ini soal Dr. Blood." Azure langsung memukul dahinya, dia sendiri hampir lupa dengan Chiffon yang sudah diculik kembali. "Dia mengirimkanku pesan."
Fawn merogoh sakunya, dan mengeluarkan sebuah kartu berukuran tebal. Saat Azure menekan sebuah tombol di sana, suara yang terekam serak terdengar.
"Kuharap kali ini tidak ada tipuan atau permainan lagi, karena kupastikan sesuatu yang buruk akan terjadi pada Putri Aparath jika kau tidak mengikuti perintahku. Pergi ke Barakku, Fawn tahu di mana tempatnya. Bawakan padaku segel kontrak milik Chiffon sebelum tengah malam, dan semua ini akan selesai."
Rekamannya berhenti di sana. Azure dengan geram melempar benda itu hingga hancur saat menabrak dinding.
"Jadi bagaimana?" tanya Fawn.
"Kita tidak punya pilihan lain." Seakan seluruh sisa pertarungannya semalam telah menghilang, Azure turun dari kasur dan menggerakkan seluruh otot-ototnya dengan kuat. "Kita berangkat sekarang."
"Tidak mau menunggu Peach?" Azure terdiam sejenak, berhenti mengenakan kaosnya, dan tidak lama segera mengemasi seluruh barang-barangnya.
"Dia akan menemukan kita." Sebenarnya Azure tidak ingin mengatakan itu. Dia ingin menunggu, tetapi waktu juga terus berputar. Remaja itu hanya yakin kalau Peach akan datang kepada mereka. Seperti kata Fawn, Azure mengenal baik Peach. Gadis itu adalah Crimson Knight dengan kemampuan mendeteksi Knight lainnya yang lebih baik daripada Azure.
"Baiklah. Baraknya ada di hutan Nautsar. Kita bisa sampai ke sana tanpa harus terburu-buru." Azure membalas dengan anggukan tegas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top