Chapter 1
(SNOW)
Sudah tak ada lagi yang menghitung waktu sejak bertahun-tahun lamanya. Tidak ada yang tahu apakah sekarang masih pagi atau sudah malam, langit selalu sama, tak ada biru, tak ada putih, tak ada matahari.
Sejak lahir pun Snow sudah mendapatkan pemandangan yang sama. Semua yang terlihat hanya reruntuhan, tanah yang gersang, dan sebagian daratan lainnya yang terbelah hingga memunculkan cairan kental merah yang begitu panas di bawahnya.
Pemuda itu berhenti berjalan begitu mencapai ujung daratan. Jauh di depan sana terdapat daratan lain, dipisahkan oleh kawah raksasa dengan lelehan lahar panas mengamuk di bawahnya.
Snow terdiam sembari menutup matanya untuk memfokuskan diri, mengalirkan energi dalam tubuhnya. Dia membayangkan dirinya sendiri berada di atas langit. Angkat aku, angkat aku. Lalu kaki Snow perlahan-lahan terangkat, tak lagi menyentuh tanah. Pertama-tama hanya sejengkal dari tanah, tetapi kemudian naik lebih tinggi lagi.
Snow membuka matanya, perlahan-lahan menyebrangi kedua daratan yang terpisah tersebut. Di saat bersamaan memperhatikan pemandangan di sekitar dari sudut yang paling jelas. Kepalanya menoleh kesana ke mari, lalu menyimpulkan dalam hati, sepertinya cukup aman di sini.
Setelah beberapa menit dia akhirnya sampai. Kakinya mendarat dengan sempurna di tanah, tetapi waktunya dihabiskan sejenak dengan berbalik, menatap kembali tanah kelahirannya yang rusak parah. Snow masih ingat akan buku cerita yang selalu diceritakan oleh ibunya dulu. Tentang seorang petualang cilik di sebuah danau ajaib. Airnya begitu jernih hingga dapat menyembuhkan lukamu, ada banyak hewan-hewan unik yang bisa bernapas di dalam danau, kemudian di sekitarnya terdapat rerumputan yang sesekali akan tertiup angin.
Kesadaran Snow kembali setelah dia mendengarkan derapan kaki berlari yang sangat cepat ke arahnya. Dia tidak perlu memasang curiga untuk tahu siapa gerangan yang akan datang. Namun, mendapatinya secepat itu hanya berarti satu hal.
"Iris?! Ada apa?!"
Sosok gadis dengan pakaian ungu muda yang dilengkapi dengan tudung tiba di hadapannya, tak sedikitpun dia berusaha menarik napas setelah berlari secepat itu, tetapi langsung menjawab Snow. "Dia muncul, Utara!" jelasnya menunjuk ke arah dia datang.
Snow ikut melirik ke sana, pemuda itu kembali melayangkan tubuhnya, tetapi kali ini dia melesat secepat gadis bernama Iris itu berlari. Gadis itu juga dengan mudah kembali berlari dan langsung menyamakan kecepatan dengan Snow.
Hingga mereka tiba di sebuah ujung daratan yang lain. Kali ini, cairan lahar di bawah sana berkontraksi dan naik melewati mereka. Suara raungan memekakkan mengikuti, dan muncul lah sosok dengan tubuh sangat besar, tubuh yang terbuat dari batu-batuan dengan lahar yang sama terlihat mengucur dari celah-celah kecilnya. Ketika sosok itu menemukan tubuh kecil Snow dan Iris, dia meraung sekali lagi.
"Majulah kau, Demon!" tantang Snow dengan tegas. Kedua tangannya terbuka lebar, energi mengalir ke sekujur tubuhnya, tetapi kali ini bukan untuk terbang. Tidak lama sinar berwarna hijau muda tampak muncul di sekitar jari-jarinya, dan reruntuhan-reruntuhan di dekatnya ikut memancarkan cahaya yang sama.
Tangan kanan Snow mengayun ke arah Demon, reruntuhan itu melesat maju mengikuti gerakan, melayang dengan cepat dan berhasil mengenai kepala makhluk besar itu. Tetapi seakan tidak berefek apa-apa, monster itu membalas dengan membuka lebar mulutnya, mengeluarkan batuan-batuan yang lebih kecil tetapi berjumlah sangat banyak ke arah mereka.
Baik Snow maupun Iris berusaha menghindar dengan berlari dan melompat. Kepulan debu tercipta berkat serangan itu. Hingga Demon sendiri tak mampu melihat apapun di sana.
Sebelum asap coklat itu menipis, tiga batu besar lainnya berhasil mengenai wajah Demon. Serangan itu membuatnya meraung sangat keras.
Snow membuka tangan lagi, mengisi ulang amunisi. Enam buah reruntuhan lain mulai beterbangan di dekatnya. Snow sudah siap menyerang, sampai dia sadar serangan balik Demon yang berikutnya juga berbeda. Lelehan lahar panas ditembakkan, Snow segera mengalihfungsikan reruntuhan itu menjadi sebuah tameng dengan menyusunnya bertumpuk. Sayangnya, batu-bati itu tak cukup kuat, Snow bisa melihatnya perlahan-lahan mulai meleleh.
Snow melemahkan kekuatan di tangannya, dan langsung melompat tinggi hingga tubuhnya berputar ke belakang. Dia baru saja mengangkat kepala dan melihat semburan lahar lain sudah mengarah langsung ke hadapannya. Sial! Snow menyadari dirinya tak sempat untuk menghindar.
Sambil menutup mata, dia refleks menaikkan kedua tangannya sebagai pelindung tambahan, tetapi tak ada rasa panas yang dia rasakan. Snow baru tahu alasannya saat menemukan sebuah kubah pelindung telah mengelilinginya dengan sempurna. Aliran energi dengan warna ungu muda itu berhasil menghalangi serangan Demon.
Snow melirik ke arah Iris yang tidak jauh darinya, menemukan gadis itu juga dikelilingi kubah yang sama, tetapi dirinya dalam posisi berlutut dengan kedua tangan di atas tanah. Tampak sebuah lingkaran magis terbentuk dengan warna yang sama seperti kubah pelindung itu. Tepat saat Iris bangkit, baik lingkaran dan kubah itu akhirnya menghilang.
"Snow! Sekarang!"
Seluruh energi dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari pada sebelumnya. Snow menerbangkan dirinya lagi, kali ini lebih tinggi. Rona hijaunya memancar lebih terang, Snow meletakkan tangan di depan dada, membentuk segel yang hampir mirip seperti milik Iris.
"Chaos Control: Insignia!" Tepat setelah Snow berteriak, sebuah medan berbentuk kotak seketika mengelilingi Demon. Monster itu mengamuk saat berusaha untuk kabur, tetapi bagaimana pun usahanya sesuatu langsung menyakitinya saat dia mencoba untuk menyentuh medan itu. Tidak lama cahaya hijau muda yang sangat terang muncul di dalam sana, dan sedetik kemudian tak ada apapun yang tersisa. Baik Demon atau medan energi yang sangat besar itu.
Snow menghela napas yang pelan dari mulutnya, kemudian turun. Tepat saat kakinya sudah menyentuh tanah, suara seperti retakan kecil terdengar di telinganya. Dengan enggan dia melirik ke arah Iris, menemukan gadis itu memegang salah satu jarinya.
Gadis itu menutup mata, kemudian menekuk jarinya sendiri ke arah atas, dalam beberapa detik suara patahan yang sama kembali terdengar, kali ini diikuti suara yang meringis. Tampak air mata mengalir dari pipinya saat Snow mendekat.
"Seharusnya kau tidak perlu menggunakan kekuatanmu," ucap Snow dengan rasa bersalah. Dari saku jubah putihnya, dia mengambil sebuah kain perban. "Aku masih bisa menghindari serangan yang tadi."
"Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai kau mati, Pangeran Snow." Sejenak Snow tertahan, sudut bibirnya naik dengan canggung. Dia melanjutkan urusannya, melilit perban itu ke kedua jari Iris yang sudah patah.
"Sekali lagi memanggilku seperti itu, kau akan berakhir di dapur umum."
"Aku suka dapur umum," balas Iris tertawa pelan, tetapi meringis kembali saat Snow tanpa sengaja membabat perbannya terlalu kuat. "Bagaimanapun kau memang pangeran, dan tugasku adalah melindungimu." Sambungnya sopan.
"Sudah berkali-kali kukatakan jangan menggunakan kekuatanmu kecuali aku memintanya," tegas Snow. "Untuk seorang Knight, kau punya kontrak yang sangat mahal."
"Bukankah itu sudah janji kita?" kata Iris, meski tatapannya tampak datar, tetapi Snow bisa melihat adanya ketidaksetujuan di sana. "Berapapun harganya, bagaimanapun resikonya, semua ini untuk dunia kita."
Snow menghela napas begitu selesai mengobati tangan Iris. Lalu beringsut ke tempat di mana dia melawan Demon sebelumnya. Kedua tangan di sisi tubuhnya mulai mengepal. Dia sangat kesal, karena meski berhasil mengalahkan Demon, dia tidak puas. Snow malah sangat marah karena nyatanya dia tak pernah bisa berhasil.
Pada akhirnya ini semua hanya sia-sia, batin Snow.
"Snow!" Iris mendekatinya, dan gadis itu disambut Snow dengan delikan kemarahan yang jelas, meskipun memang hal itu tidak ditujukan untuknya. "Jangan biarkan amarahmu pada Demon menguasaimu."
"Lalu bagaimana?! Setiap minggu kita berkeliling tempat ini untuk menghentikan Demon, dan monster itu selalu kembali. Semua orang di istana masih mengharapkan kita sebagai Knight yang tersisa, tetapi nyatanya mereka hanya hidup dalam kepalsuan dan keputusasaan. Semua ini tidak ada gunanya!"
Napas Snow naik turun, keluar dari mulutnya dalam tempo yang cepat. Iris hanya memegang lengan kiri pemuda itu sebagai harapan agar dia bisa tenang. Amarah Snow selalu berdampak buruk, bisa saja tanpa sengaja dia mengangkat sesuatu dengan kekuatannya. Tetapi tak ada yang benar-benar bisa menghentikannya kecuali dirinya sendiri.
"Jade, Gold, Aqua, semuanya! Tak ada Knight yang tersisa, hanya kita berdua saja yang tersisa. Kita sudah berusaha sekuat mungkin, dan kita selalu gagal!"
"Suatu hari nanti, kita pasti bisa menghentikannya," kata Iris.
"Lalu bagaimana caranya? Bagaimana caranya kita bisa menghentikan Demon?!" Snow dengan kasar melepaskan genggaman Iris, dan menjauhi lagi gadis itu. Memunggunginya dengan kedua tangannya menyilang di dada, walau dia sama sekali tak ingin menyalahkan Iris, tetapi Snow sangat berharap agar setidaknya gadis itu bisa sependapat dengannya sekarang.
"Tentu saja, dengan menghentikan siapa yang mengendalikannya." Lalu sebuah suara menjawab, tetapi bukan Iris. Gadis itu sendiri terkejut saat mengetahui ada orang lain di sana selain mereka berdua. Seorang pria berdiri di atap sebuah bangunan besar yang masih setengah utuh, dengan pakaian serba hitam menatap ke langit gelap.
"Knight ...," bisik Iris, dan semakin membuat Snow terkesiap.
"Apa maksudmu dengan mengendalikan? Apa kau bilang kalau selama ini ada yang menyuruh Demon untuk menghancurkan dunia?" tanya Snow tak sabar. Pria itu menoleh ke arah mereka berdua seakan menatap kosong.
"Jika kau mau tau, cari aku. Gadis Crimson Knight itu pasti bisa menemukanku." Pria itu seketika menghilang di tempatnya setelah Snow berkedip, seakan melebur bersama debu di udara.
"Iris?!" Tatapan Snow menyala.
"Ya, aku bisa merasakannya," jelas Iris.
"Kalau begitu ayo kita ke sana." Snow sigap menarik tangan Iris yang tak sakit, tetapi gadis itu langsung menepis, dia menolak untuk pergi.
Iris menggeleng pelan. "Tidak, kita harus kembali. Kita harus melaporkan kemunculan Demon pada ayahmu."
"Kita tidak perlu melapor! Hasilnya sama saja seperti biasa."
"Bagaimanapun kita harus kembali, Snow. Kita tidak tau siapa pria itu, dia muncul begitu saja entah dari mana. Aku juga mau saja bertemu dengannya, tapi kita jangan mengambil resiko apapun. Mari berpikir terlebih dahulu."
Snow sudah membuka mulutnya untuk berbicara lagi, tetapi lidahnya jadi kaku. Meski benci untuk mengakui, tetapi Iris benar. Snow tak pernah melihat pria itu sebelumnya, dan meski apa yang dikatakannya benar, semuanya terkesan mencurigakan. Dengan berat hati Snow harus mengangguk sebagai tanda setuju.
"Baiklah, mari kembali ke istana," kata Snow dan melangkah pergi, sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung jubah.
"Kau tidak mau terbang?" tanya Iris saat menyusul.
"Tidak, kau tidak mau lari?"
"Mungkin kalau kau mau terbang, kita bisa berlomba siapa yang akan lebih dulu sampai di istana."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top