[EXTRA PART] split up

Maaf telat WiFi nya eror dari semalem:'(
jadi baru bisa upload sekarang.

Sebelumnya aku mau bilang, apapun isi extrapart ini, semoga kalian memahaminya ya. Soalnya aku udah merancang sampai seperti ini, kalaupun kalian ga terima, mohon dengan sangat harus terima ya hehe.

Tidak semua kisah percintaan akan berakhir bahagia-Moza Ariesha

"A, Daniel boleh ga sih pacaran?"

Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menunduk menatap bocah berseragam SD yang baru saja bertanya padanya. Jarinya menyentil dahi bocah itu.

"Pacaran-pacaran! Aa aja pacaran umur tujuh belas, kamu sekarang umur berapa?" tanya pria itu.

Bocah berseragam SD itu mulai mengangkat kedua tangannya sambil menghitung dengan jarinya. Tak lama ia mengangkat kedua tangannya dengan sembilan jari yang terangkat.

"Sembilan, A."

Kemudian pria itu mengangkat tubuh bocah di hadapannya untuk ia gendong. "Berarti Daniel perlu delapan tahun lagi buat pacaran. Jangan macem-macem mau pacaran sekarang."

"Aa kenapa gendong Ade terus, sih? Ade kan cowok masa digendong-gendong terus," kata bocah itu.

"Aa tuh maunya adik cewek, tapi keluarnya kamu. Ya udah terima aja, masih untung Aa sayang sama kamu."

Dapat didengar jika bocah berseragam SD itu mendengus sambil mencebikkan bibirnya.

Masih menggunakan setelan jas kerjanya, pria itu memasuki pusat perbelanjaan dengan menggendong bocah berseragam SD tadi. "Kakak Alia kapan pulang?" tanya bocah itu.

"Masih lama," jawabnya. Pria itu meletakan bocah berseragam SD bernama Daniel itu pada troli belanjaan.

"Kata Bunda sebentar lagi," balas Daniel.

Pria itu mengabaikan ucapan adiknya. Dirasa, semakin ke sini adiknya ini semakin cerewet, selalu bertanya, dan terkadang rusuh juga.

"Pak Darren!"

Kedua laki-laki menoleh menatap wanita yang masih menggunakan seragam kantor sambil mendorong troli.

"Eh, Mia," balas pria dengan setelan jas kerjanya itu.

Wanita bernama Mia itu melirik Daniel yang berada di dalam troli. "Ini anaknya, Pak?"

"Heh, anak darimana. Saya masih dua tujuh tahun, nikah aja belum."

"Eh, kirain Pak. Tapi usia Bapak udah cukup loh," kata Mia.

"Saya nikahnya nanti, kalo dapet istri orang Belanda," celetuk Darren membuat Mia tertawa.

"Memperbaiki keturunan ya, Pak."

Belum sempat Darren membalas ucapan salah satu karyawannya itu, sang adik tiba-tiba menyela. "A, nanti beli eskrim di taman ya."

"Iya," jawab Darren sambil mengelus kepala bocah itu. Ia menatap Mia kembali kemudian berucap, "Duluan Mia. Besok masuknya lebih pagi ya ada rapat koordinasi soalnya."

"Ah, oke Pak, siap!"

Kemudian Darren mendorong trolinya menjauh dari wanita tadi. Ia berjalan di bagian sayuran dan mengambil sekitar enam box sayuran segar di sana kemudian di masukan ke dalam troli bersamaan dengan adiknya.

"A, mau cokelat," ucap Daniel tiba-tiba.

Darren menatap adiknya. "Jangan ah, nanti gigi kamu sakit, Aa lagi yang repot."

"Yah..."

Pria itu kemudian berjalan menuju kasir dan mengangkat tubuh sang adik agar berdiri di sebelahnya. Setelah membayar semua belanjaan, ia berjalan keluar.

Daniel ia gandeng dengan tangan kirinya dan tangan kanannya membawa sekantung belanjaan.

"De, ambil kunci di kantong Aa," ucap Darren membuat sang adik langsung merogoh saku celana kakaknya itu.

Tapi bukan hanya kuncinya saja, Daniel juga ikut mengeluarkan ponsel dari saku celana kakaknya.

"Yah, A, hp nya ikut keluar." Daniel mengangkat ponsel itu di hadapan kakaknya.

"Ya udah pegang dulu, mana kuncinya?"

Daniel memberikan kunci itu dan segera Darren membuka mobilnya. Ia meletakan belanjaan pada bangku belakang kemudian kembali mendekati sang adik yang sedang memainkan ponselnya. Darren mengangkat tubuh bocah itu dan memasukkannya ke dalam mobil, ia juga memasangkan sabuk pengaman pada adiknya.

Kemudian keduanya pergi meninggalkan pusat perbelanjaan.

"Taman yang di mana, De?" tanya Darren.

Daniel langsung meletakkan ponsel sang kakak kemudian mulai memperhatikan jalanan. "Itu A, sebelah sekolahan Ade."

Pria itu melajukan mobilnya dan berhenti ketika sudah sampai. Ia membukakan sabuk pengaman milik adiknya dan keluar dari dalam mobil.

"Yang jualan es krim di mana?" tanya Darren.

"Itu," tunjuk Daniel pada sebuah kedai es krim yang cukup ramai.

Pria yang menggunakan jas kerjanya itu mengangkat tubuh adiknya dan berjalan menuju kedai es tersebut. Dengan Daniel yang berada di gendongannya, adiknya itu mulai menunjuk es krim yang ingin ia beli.

Ia juga heran, di usia adiknya yang sudah menginjak sembilan tahun. Tubuh bocah itu masih saja seperti anak berusia lima tahun. Sangat kecil dan bahkan saat di sekolah sang adik sering mengeluh karena teman-temannya mengatai dengan sebutan cebol.

Padahal saat Darren seusia adiknya, tubuhnya malah berkali lipat lebih tinggi. Tapi Dalvin sering berkata bahwa tubuh Darren mengikuti sang ayah sedangkan Daniel mengikuti tubuh sang Bunda.

Darren, Dalvin, juga Disa masih selalu berdoa sampai sekarang agar tubuh Daniel bisa mengikuti Dalvin.

"Yang cokelat, vanila, sama strawberry," kata Daniel yang dituruti oleh penjual es krim itu. "Kasih oreo," lanjut bocah itu.

Saat sudah mendapatkannya, senyum dari Daniel benar-benar sangat manis membuat Darren jadi ikut tersenyum.

"Berapa Mas?" tanya Darren.

Penjual itu menyebutkan nominalnya kemudian Darren membayar. Keduanya duduk terlebih dahulu di salah satu bangku taman sambil melihat orang yang sedang berlalu-lalang.

"Enak?" tanya Darren.

Adiknya menganggukkan kepalanya dengan kuat. "Enak banget, A. Aa mau?"

Darren terkekeh. "Boleh," ucapnya.

Daniel menyendok es krim nya kemudian ia menyuapi sang kakak. Darren yang menerima itu tersenyum kemudian berkata, "Em, enak ya!"

Saat keduanya sedang asyik bersama, tiba-tiba sebuah es krim jatuh tepat di jas milik Darren.

"Sorry sir," kata anak perempuan yang baru saja menumpahkan es krim secara tidak sengaja itu pada jas kerjanya. Anak perempuan itu bahkan berusaha menghilangkan noda di jas kerjanya sambil terus mengucapkan kata, sorry.

"Ah, it's okay," balas Darren.

"Eh, maaf Mas, adik saya gak sengaja." Tiba-tiba satu kalimat terdengar di telinga Darren. Ia mendongakkan kepalanya melihat perempuan yang membungkuk di hadapannya sambil menyerahkan sapu tangan.

"Gak papa, saya tahu dia gak sengaja." Darren menatap bocah perempuan yang tadi menumpahkan es krim pada jas nya, ia seperti mengenali bocah itu.

"Nayla bukan?" tanya Darren membuat perempuan yang membungkuk padanya itu langsung menegakkan tubuh.

"Ih, kakaknya mirip sama yang di hp A Darren," ucap Daniel sambil menunjuk perempuan itu.

Darren langsung menatap perempuan yang ditunjuk sang adik. Dan benar saja, "Moza?"

"Darren?"

👑👑👑

"Kasian Nayla, dia gak ngerti Daniel ngomong apaan," ucap Darren sambil menatap dua bocah yang sedang asik bermain itu.

Kepala Darren menoleh menatap perempuan di sebelahnya. "Dari kapan pulang ke sini? Kok gak bilang-bilang?"

Darren benar-benar hampir tidak mengenali perempuan itu. Sepuluh tahun berpisah dengan Moza banyak terjadi perubahan pada mantan gadisnya. Sekarang, tubuh Moza lebih berisi, lebih putih, rambutnya tidak lagi panjang, bekas luka di tangan maupun tubuhnya juga sudah memudar.

"Dari seminggu yang lalu," jawab Moza. Perempuan itu ikut menolehkan kepala dan menatap Darren. Keduanya saling bertatapan dan saling berbagi senyuman.

"Pulang kerja?" tanya Moza.

Darren mengangguk. "Iya nih, kamu kerja apa lanjut kuliah?"

Moza terkekeh. "Udah kerja kok, lagian aku kuliah lulus dari umur dua tiga sama S2 ya."

"Eh, S2?" Darren menatap Moza terkagum. "Wah, padahal aku masuk S2 kirain kamu gak ikutan, taunya ikutan juga."

Moza masih terkekeh dengan ucapan Darren. "Alia gimana?" tanyanya.

"Alia di Korea, awalnya cuma kuliah doang eh malah ketagihan sampai kerja juga di sana," jawab Darren.

"Kamu? Bos?"

Darren menegakkan tubuhnya saat mendengar pertanyaan dari Moza, pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mendongakkan kepala. "Ekhm, iya nih, direktur utama."

Ucapan Darren lagi-lagi membuat Moza tertawa.

"Di Belanda gimana? Temennya baik-baik nggak?"

Terdengar helaan napas dari Moza kemudian perempuan itu kembali tersenyum. "Baik kok, lagian teman itu tergantung kita ke mereka nya bakal gimana. Sekalipun kamu tinggal di tempat orang baik kalo kamu jahat, ya mereka jahat."

Senyum Darren mengembang saat mendengarkan jawaban Moza. Pria itu terus menatap wajah Moza dari samping yang membuatnya terpesona beberapa detik. "Kamu nambah cantik aja," ucapnya membuat Moza menolehkan kepala.

Perempuan itu tersenyum ikut menatap Darren. "Kamu juga nambah ganteng."

Lagi, ucapan itu membuat Darren terkejut. "Eh, baru kali ini loh aku denger kamu bilang ke aku ganteng!"

Kedua mata Moza membola. "Masa? Jangan bohong!"

"Serius, dulu kamu boro-boro ngomong ganteng, senyum ke aku aja susah."

Pernyataan yang keluar dari mulut Darren membuat Moza teringat dengan kejadian sepuluh tahun lalu. Ya, memang, dulu ia sangat sulit untuk tersenyum. Tapi sekarang berbeda, ia jadi lebih banyak tersenyum dan mudah untuk berbicara dengan orang lain.

Moza terdiam beberapa saat, ia menundukkan kepala sambil menghela napas. Kemudian ia mulai menatap Darren lagi.

"Maaf ninggalin kamu tanpa pamit," ucap Moza.

"Kamu pamit, tapi pake tulisan," balas Darren yang membuat Moza kembali terkekeh geli.

"Kamu pasti marah ya sama aku atas kejadian sepuluh tahun lalu?"

"Marah buat apa? Ya emang marah sih, tapi aku juga mikir yang namanya perpisahan pasti sakit. Jadi ya, aku mulai mencoba untuk tidak memikirkan hal itu," kata pria itu.

Senyum Moza mengembang. "Berakhir sama aku, pacaran sama siapa lagi?"

"Em..." Darren bergumam dengan pandangan ke atas seperti sedang mengingat sesuatu. "Putus dari kamu, aku pacaran lagi sama Rena pas kuliah tapi cuma bertahan tujuh bulan. Terus pacaran lagi sama Olive dan baru putus tiga bulan lalu," lanjutnya.

Woah, Moza tidak percaya jika setelah putus dengannya, Darren jadi lebih mudah memberikan perasaannya pada perempuan lain.

"Kamu gimana? Putus dari aku di Belanda pacaran sama siapa aja?" tanya Darren. "Cowoknya ganteng-ganteng pasti!"

Kekehan Moza kembali terdengar. "Setelah putus dari kamu, aku gak pacaran lagi karena sibuk urusin pendidikan, sekolah Nayla, terus juga Papa sekarang udah nikah lagi dan aku punya adik lagi."

"Om Jordi nikah lagi? Sama siapa? Orang Belanda ori? Wah, adik kamu bule lagi, dong!" sela Darren.

Tangan Moza terangkat untuk memukul pelan lengan Darren karena ucapan pria itu membuatnya tertawa.

"Iya, adik aku bule lagi. Yang sekarang laki-laki dan baru berumur dua tahun," ucapnya. "Dia ganteng banget, bahkan warna matanya ikut Mama tiri aku, warna biru."

"Yah, saingan aku bayi!" desis Darren.

"Dia adik aku, bukan pacar aku."

Darren menyengir lebar. "Aku masih punya kesempatan, dong?"

Senyuman Moza semakin lebar hingga kedua sudut matanya tertarik. "Sayangnya enggak."

Kedua bahu Darren luruh. "Kenapa?"

"Karena sekarang aku masih resmi jadi orang warga negara Belanda, kalo kamu mau tetep sama aku ya ayo ikut aku ke sana," ucap Moza.

"Kerjaan aku gimana?" tanya Darren masih sambil menatap mata Moza. "Kamu aja pindah ke sini, ganti warga negara lagi."

"Kerjaan aku gimana? Aku ini dokter loh."

Pernyataan Moza membuat Darren membelakkan matanya. "Dokter?!" pekik Darren. "Anjir calon istri gue dokter loh." Pandangan Darren teralih kebawah sembari berbisik.

Moza mengangguk saja. Pria itu kemudian menatap Moza lagi. "Aku kudu nikahin kamu secepatnya, Bunda pasti seneng banget dapet mantu kayak kamu."

"Kerjaan aku gimana?" tanya Moza lagi. "Gak mungkin aku batalin kontrak sama rumah sakit gitu aja, dendanya mahal."

"Tapi kamu mau kalo aku nikahin, kan?"

Karena kulitnya yang putih, entah mengapa kemerahan di pipi Moza jadi semakin terlihat setelah mendengar ucapan Darren. Ia juga mengalihkan pandangan matanya karena pria itu menatapnya dengan pandangan yang serius.

Tak ada jawaban, tangan Darren beralih untuk menoel pipinya. "Heh, bukannya jawab malah malu-malu."

Moza menepis tangan itu dan menunduk, rambut pendeknya ia tata agar wajahnya tidak terlihat oleh Darren.

"Za..."

Kali ini Darren memanggil Moza dengan suara yang berat membuat gadis itu akhirnya menolehkan kepala menatap kembali pria itu. Kedua tangan Moza Darren kurung pada tangannya yang lebar, jari-jari panjangnya menutup tangan yang mungil itu.

"Kalau kamu bersedia menikah sama aku, batalin kontrak kerja kamu, dan aku yang bayar semua dendanya. Ubah warga negara, tinggal di sini, dan menikah sama aku."

Kening Moza berkerut. "Kamu lagi lamar aku?"

Bibir Darren terkatup rapat. Benar juga, apa yang sedang ia lakukan? Sepuluh tahun berpisah dengan Moza dan kembali bertemu ia langsung melamarnya? Bodoh sekali.

"Anu..." Pria itu menggaruk tengkuknya. "Aku seneng banget kamu pulang. Sepuluh tahun tanpa kabar dari kamu dan aku cuma pantengin sosial media kamu cuma buat tau kamu lagi apa," ucapnya.

"Padahal aku pacaran sama kamu cuma lima bulan, sedangkan sama Rena tujuh bulan, bahkan Olive sampai dua tahun. Tapi aku tetep penasaran sama hidup kamu dan berharap kamu kembali pulang." Manik mata Darren menatap manik cokelat terang milik Moza yang juga menatapnya. "Sekarang kamu di hadapan aku, dalam jiwa yang berbeda tapi dari raga yang sama. Aku bahkan masih gak percaya kalau kamu sekarang pandai bicara dan juga banyak senyum."

"Kamu masih berharap sama aku?" tanya Moza.

Kepala Darren mengangguk kemudian menunduk, ia tidak yakin untuk menatap wajah gadis itu. Malu rasanya malah mengungkapkan rasa di hari pertama bertemu setelah sepuluh tahun tidak berjumpa.

"Kamu tahu kan, semua kisah percintaan itu tidak selamanya berakhir bahagia. Dan sepertinya kita berdua juga sama," kata Moza membuat Darren kembali mendongakkan kepala.

"Kamu nolak aku?"

"Karir aku masih panjang, aku juga lebih suka tinggal di Belanda, aku lebih nyaman sama keluarga baru aku di sana. So... Mungkin aku bakal pulang lagi cuma buat main ke Mama, dan untuk ganti warga negara..." Moza menjeda ucapannya kemudian kembali menatap manik mata pria itu. "Kayaknya enggak."

"Kepikiran menikah untuk sekarang belum ada, bahkan gak pernah kepikiran sama sekali sejak dulu. Pikiran aku hari ini masih pada karir dan aku akan terus berkarir sampai aku siap untuk kembali memulai hubungan dengan laki-laki lagi."

Tangan Moza mengelus punggung tangan Darren kemudian tersenyum manis. "Maaf ya."

~o0o~

Udah ye guys abis nih cerita. Ingat kata Moza, gak semuanya akan berakhir bahagia. Hidup kalian juga mungkin sekarang lagi senang-senang, tapi gak tahu besok dan seterusnya bakal seperti apa.

Bagaimana perasaan kalian setelah membaca bagian ini? (Wajib jawab)

Keluh kesah kalian selama baca cerita ini? (Wajib jawab)

Siapa tokoh yang paling kamu sukai di cerita ini? (Wajib jawab)

Momen tak terlupakan dari cerita ini? (wajib jawab)

Apa yang buat kalian bisa suka cerita ini? (Wajib jawab)

Suka sama author nya gak? (Sunnah jawab)

Kurangnya cerita ini untuk kalian? (Wajib jawab)

Jawaban kalian akan aku terima apapun itu, jadi lemparin aja unek-unek kalian ya. Aku yakin, aku bakal terima. Aku suka kalian komen² dan rep ketikan aku ini.

Oh iya, siap-siap sama cerita baru aku ya, besok aku bawakan info lagi seputar cerita baru. See u in next story, Aisyosi really love u all❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top