7. Kesalahan
Bagian Tujuh.
Ketika mencintai lebih banyak menanggung rasa sakit,
Sedangkan dicintai lebih banyak merasa rasa bahagia,
Aku akan tetap mencintai kamu.
Karena di situ, aku bisa melihat bahagiamu.
-The Cold Princess-
Saat lengannya telah terlepas dari Darren, ia segera berlari untuk pulang sendiri. Namun harapan indah itu hangus dalam sekejap ketika ia tak sengaja menabrak seseorang, orang yang pernah ia lihat sebelumnya. Hingga ia sadar orang itu adalah, lelaki yang sempat mencekal lengannya saat hujan mengguyur, dan lelaki yang pernah ada di masa kelamnya, dulu.
Dan sekarang, ia bingung harus melakukan apa. Ia sudah terseret oleh lelaki kurang ajar itu hingga masuk ke dalam sebuah Mall. Ia hanya berjalan di sampingnya. Ia enggan mengikuti langkah lelaki kurang ajarnya itu, ia berjalan menuju toilet studio bioskop berusaha menghindarinya. Namun, tangannya tercekal ketika ia ingin berbelok memasuki toilet.
"Gak usah pegang juga kali." Moza menepis tangan yang mencekalnya.
Lelaki itu terkekeh, ia menoleh menatap Moza. "Gak berubah ya, dari dulu galak."
Moza mengalihkan tatapannya, ia berdecih lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Pulang."
"Ha?"
"Pulang tolol."
Lelaki itu terkekeh kembali, tak lama kemudian ponsel milik Moza berdering. Moza membaca nama yang tertera di layar ponselnya.
Darren.
Saat ia telah menggeser ikon tersebut, ponselnya sudah direbut.
"Moza sama gue."
Moza membelak, ia berusaha untuk menarik ponselnya dari lelaki itu. "Kembaliin hape gue Za! Jangan lo campurin hidup gue lagi!"
"Dia gak tau apa-apa! Masalah lo cuma sama gue! Gak usah bawa Darren!"
Lelaki itu menoleh ketika sambungan telfon terputus. "Siapa? Pacar lo?"
Moza menatap matanya tajam, terselip tatapan benci di sana. "Lo gak perlu tau."
Lelaki itu berdecih lalu memojokkan tubuh Moza pada tembok toilet yang pada saat itu sepi dari lalu-lalang orang.
"Lo itu cuma milik gue."
Moza menatap lelaki di hadapannya itu nyalang, berusaha menantangnya. "Mimpi lo ketinggian!"
Lelaki itu, Reza. Lelaki yang dulu pernah ada di dalam hidup Moza, sebelum akhirnya ia mengetahui jika lelaki di hadapannya ini adalah seseorang yang berengsek.
"Berani lo sama gue? Lo itu cuma cewek lemah bego, lo mau? Gue lakuin ke lo macam nyokap lo yang pelacur itu?" ucapnya penuh penekanan.
👑👑👑
Langkah Luis tergesa ketika Adnan dan Dito berlari. Dengan tangan yang membawa dua paper bag berisi makanan, ia berjalan tergesa mengikuti kedua sahabatnya.
"Eh si bos di mana?" tanya Adnan, lariannya terhenti lalu berbalik menatap Luis yang tengah berjalan cepat.
"Telfon aja," usul Dito.
Adnan merogoh saku celananya mengambil handphone-nya.
"Hallo bos, di mana woy?" tanya Adnan cepat.
"...."
"Jauh amat, oke gue sama yang lain ke sana."
Sambungan telfon terputus. Adnan menoleh ke arah dua sahabatnya. "Si bos lagi ada di lantai empat."
Adnan langsung berlari menuju eskalator dengan kedua sahabatnya, saat telah sampai di lantai empat ia melihat Darren yang tengah bersandar di sebelah tembok manekin butik.
"Woy bos!" teriak Adnan.
Darren menoleh, ia lengsung menghampiri Adnan juga kedua sahabatnya. "Eh gue minta tolong."
"Minta tolong? Minta tolong apa?" beo Luis.
Darren berdecak. "Ck! Sekarang kalian cari Moza di sekeliling Mall ini, ya?"
Darren melihat raut wajah sahabatnya penuh tanya, segera ia mengibaskan tangannya ke arah dua sahabatnya. "Udah-udah! Nanti gue jelasin! Sekarang cari Moza dulu!"
"Gue kira lo ajak kita ke Mall mau traktir nonton, gue udah bawa makanan banyak nih bos." Luis mengangkat kedua paper bag yang sedari tadi ia jinjing.
"Ck! Iya nanti gue traktir, sekarang cari Moza dulu, oke?"
Ketiganya mengangguk setelah mendengar ucapan Darren. Segera, Adnan, Luis, juga Dito berpencar, serta Darren yang ikut mencari juga.
Darren berlari menuju studio bioskop, siapa tahu Moza sedang menonton walaupun itu hanya kemungkinan kecil. Karena setahunya, Moza hanya memiliki dua teman, yaitu buku Fisika juga buku bahasa Inggris. Tidak mungkin juga jika Moza pergi menonton sendirian.
Entah ajakan dari mana, langkah kakinya menuju arah toilet bioskop yang sepi karena film yang tengah berputar.
"Aw!"
Suara ringisan terdengar oleh indera pendengaran Darren, ia langsung berlari menuju suara ringisan tersebut. Ia menengok dari balik tembok, matanya membelak.
Pengelihatannya yang salah, atau ia salah mengenali orang. Kini Darren tengah melihat Moza yang tengah terkurung oleh seorang lelaki di depan toilet, setahunya Moza tidak mengenal siapapun kecuali bukunya itu. Lalu, siapa lelaki yang sedang mengurung tubuhnya itu? Darren kini memberanikan melangkah mendekat.
"Jangan pernah lo ganggu hidup gue lagi," ucap Moza
Lelaki itu terkekeh, ia memiringkan wajahnya. Dari tempat Darren melangkah, terlihat sekali bahwa Moza dan lelaki itu berciuman.
Darren semakin memberanikan untuk maju, bukan keinginannya, namun keinginan hatinya juga keinginan pikirannya yang ingin melihat Moza lebih dekat.
"Khm!" dehemnya yang membuat lelaki di hadapan Moza menoleh, rupanya mereka tidak berciuman, namun hampir berciuman, lelaki itu melepaskan tangannya yang digunakan untuk mengurung tubuh Moza.
Ia menatap Darren, berdiri tegak membelakangi Moza. "Siapa lo?"
Darren tak menjawabnya, ia menatap Moza yang tengah diam itu, memberi isyarat untuk pergi. Namun, pergerakan Moza terlihat oleh ujung mata lelaki itu, Reza. Dengan cepat Reza mencekal lengan Moza, menaruh tubuh mungil itu di belakang punggungnya.
"Dia dateng sama gue, pulang juga harus sama gue," ucap Reza dengan nada yang tajam.
Darren berdecih. "Bokapnya nitipin dia ke gue, dia harus pulang sama gue," ucapnya, tak kalah tajam.
Reza tersenyum miring lalu menarik lengan Moza, menghempaskannya ke arah Darren. "Nih! Gue gak perlu cewek murahan," ucapnya.
Moza meringis saat pergelangan tangannya begitu terasa perih, bekas cekalan tangan Reza benar-benar membekas di lengannya. Berwarna kemerahan yang terlihat jelas pada kulit putih Moza.
Reza menatap sengit Darren lalu pergi meninggalkan dua orang di hadapannya.
Berbeda dengan Darren, ia menoleh ke arah Moza yang tengah menggenggam pergelangan tangannya. Ia bisa merasakan bahwa cekalan Reza begitu kuat dan rasanya pasti sakit, namun Moza seperti tidak mengalami apapun, wajahnya masih tetap datar, tak terlihat sedikitpun wajah kesakitan atau apapun.
Darren menghela napasnya, terlalu bosan ia melihat wajah Moza yang seperti itu terus. "Ini yang kenapa lo gak mau pulang sama gue?"
Moza menatap Darren tajam, selalu seperti itu. "Kenapa?"
"Di toilet yang sepi, berduaan, dan bahkan keliatan udah kayak orang lagi ciuman. Lo cewek, jaga harga diri lo!"
Moza diam, ia tidak menjawab ucapan Darren.
"Kalo gue gak dateng, mau lo kelas sebelas SMA udah ngisi bayi di perut lo?" Amarah Darren sudah tak terbendung lagi.
"Gue gak pernah minta tolong sama lo," jawab Moza cepat, dengan nada yang sama.
Darren menganga. "Apa? Ini balesan lo setelah gue nolongin lo dari cowok yang bahkan gak gue kenal itu?" ucap Darren tak percaya.
"Oh, apa jangan-jangan lo udah pernah main-main sama cowok itu? Main di atas kasur gitu? Dibayar berapa sekali main, neng? Ternyata bener ya kata cowok tadi, lo murahan--"
Plak!
Ucapan Darren terhenti ketika pipi sebelah kirinya terasa panas oleh tamparan tangan gadis di hadapannya ini.
Moza menatap nyalang Darren. "Gue gak serendah itu."
Moza langsung pergi berlari meninggalkan Darren yang masih diam mematung itu. Ia memang selalu diam saat semua orang mencemooh sifatnya, namun ketika sudah mencemooh tentang harga dirinya, ia tidak akan tinggal diam.
Berbeda dengan Darren yang memegangi pipi sebelah kirinya yang terasa panas, ia menatap punggung Moza yang mulai menghilang itu. Entah darimana, ia begitu menyesal setelah mengucapkan kata-kata yang bahkan ia tidak menyadarinya sama sekali, ia benar-benar sudah melakukan kesalahan.
Bersambung...
Vote belum gan?
Komennya udah banyak gan?
Oke trimakasih kalo sudah:')
Yang belum, cuma mau ngingetin, buku yasin pake foto sendiri waiting for you:'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top