61. Bad Dream

Specialy bagian ini buat MaharaniPutri832 karena bagian sebelumnya udah spam komen yang bener² banyak😭 sampe komen perbaris gitu 😭

Buat kalian juga yang udah komen banyak apalagi perbaris lagi buat bagian ini, next bagian aku sebut lagi. Semangat ya, gapapa komen gak bikin ibu jari kalian jadi botak kok😗

Happy reading!❤️❤️

Bagian enam puluh satu.

Jangan pernah merasa senang akan sebuah pertemuan.

-The Cold Princess-

"Coba pakai baju yang ini," kata Alina memberikan dress selutut bermotif bunga-bunga.

Moza mendengus. "Ma, aku mau naik motor jangan yang pendek-pendek."

"Kalo gitu coba pake yang ini." Alina memberikan dress selutut yang berbeda motif. Astaghfirullahaladzim, ingin rasanya Moza mengomeli mamanya.

"Ah, Mama," rengek Moza. Gadis itu kesal karena sedari tadi sang mama hanya memberikan dress selutut.

"Makanya kalo cari cowok yang tajir dong, yang punya mobil sendiri. Enak tahu naik mobil, bisa nyender, gak khawatir tatanan rambut rusak," oceh Alina sambil memilih beberapa dress yang ia bawa.

Drt...

"Iya seben—"

"Halo Darren saya Alina Mama nya Moza, ke sini nya pake mobil ya, pakaian Moza pendek soalnya. Ah ya terimakasih."

Moza menganga. Apa yang barusan mamanya lakukan?

"MAMAAA!"

Alina mengibaskan tangannya kemudian menyeret putri sulungnya untuk duduk di meja rias. Wanita itu mulai menata rambut putrinya, mendadani wajah putrinya, dan juga merapikan pakaian yang dikenakan gadis itu.

"Ah, cantiknya!" seru Alina.

Moza terkejut menatap dirinya di depan cermin, padahal ia hanya ingin menemani Darren membeli kacamata baru. Ya iya, memang setelahnya Moza akan nonton bersama, tapi ya, Darren saja pernah melarangnya menggunakan liptint lalu sekarang bagaimana dengan ia yang menggunakan make up?

Gadis itu menyeret sepatu sneaker nya hanya saja Alina langsung memberikan sepatu heels yang tidak terlalu tinggi.

"Ah, Mama, ini apa lagi?!"

Benar-benar. Alina seperti menutup telinganya ketika putrinya mengoceh terus-menerus. Wanita itu kemudian berlutut memasangkan sepatu heels yang tadi ia bawa ke kaki Moza. Seperkian detik berikutnya wanita itu berteriak senang.

"Anak Mama beneran princess!" seru wanita itu. "Ayo coba sini bangun." Alina menyeret Moza untuk berdiri di depan cermin full body.

Moza menelan ludahnya. Aih, ia bisa secantik ini? Wah, kenapa ia baru menyadarinya?

Drt...

"Itu pasti Darren!" seru Alina kemudian mengambil ponsel putrinya di atas kasur dan tanpa seizin pemiliknya, wanita itu sudah menjawab panggilan.

"Oh, udah di depan? Oke-oke, sebentar lagi Moza turun ya."

Tangan Alina kembali menyeret putrinya.

"Ah, Mama, gak usah nyeret aku." Moza juga sedari tadi sudah mengeluh.

Alina membuka pintu utama, ia melihat Darren dengan pakaian casual seperti biasanya. Celana jeans dan kaos putih yang dibalut kemeja berwarna gelap. Jangan lupa ia menggunakan sepatu sneaker seperti biasanya.

"Kamu nyantai sekali mau ngajak anak Tante jalan?"

Kedua alis Darren terangkat. "Ah, Tante, saya cuma mau minta temenin Moza beli kacamata baru."

"Hah?" Pandangan Alina beralih pada Moza yang sedang menundukkan kepalanya. "Wah, Mama kira kamu mau jalan sama pacar kamu. Taunya nganter beli kacamata doang?"

Alina memijat pelipisnya tapi kemudian wanita itu kembali menatap Darren di hadapannya. "Tapi ya sudah gak papa, ini Tante udah dandanin Moza jadi cantik banget biar penjaga optik seneng liatnya."

Tangan Alina menarik tangan putrinya kemudian memberikannya pada Darren. "Jagain anak Tante ya, hati-hati."

Darren mengangguk kemudian mencium tangan wanita di hadapannya begitupula dengan Moza. Keduanya pergi menaiki mobil kemudian meninggalkan perumahan itu.

Berada dalam mobil pun sedari tadi Darren mencuri-curi pandang kepada gadisnya. Sampai akhirnya Moza sadar akan hal itu.

"Kenapa?" tanya Moza.

Darren tersentak. Cowok itu menggeleng segera kemudian kembali fokus menyetir. Tapi baru beberapa menit, Darren kembali tidak fokus, ia seperti ingin melihat gadisnya terus-menerus. Melihat jalanan tidak enak sekali, padahal pemandangan sangat indah berada di sampingnya.

Akhirnya cowok itu menepikan mobilnya kemudian menatap Moza yang juga menatapnya.

"Kenapa cantik banget?" bisik Darren yang masih terdengar oleh Moza.

Moza mengernyitkan dahinya, ia sedari tadi melihat Darren yang menatapnya aneh. "Kenapa? Kamu gak suka?"

Mulut Darren tiba-tiba menganga. Gak suka? Wah, katakan Darren gay jika ia memang tidak menyukai penampilan Moza saat ini.

Tubuh cowok itu mendekat ke arah Moza. Darren dapat rasakan jika aroma tubuh gadis itu menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya, dan itu seperti candu untuknya.

Moza dibuat terkejut lagi ketika Darren tiba-tiba merentangkan kedua tangannya.

"Wangi kamu enak, mau peluk." Dengan gamblangnya Darren mengatakan hal itu.

Moza diam beberapa saat sebelum akhirnya ia melepas seatbelt nya kemudian memajukan tubuh dan memeluk tubuh Darren. Tangan gadis itu mengusap pelan kepala Darren yang berada di bahunya, sedari tadi cowok itu mengendus-endus di ceruk lehernya.

"Ayo, keburu tutup optiknya. Keburu mulai filmnya kalo begini terus," kata Moza.

Lagi, Darren tidak mengindahkan ucapan gadis itu. Ia malah semakin mengendus leher Moza. "Nama parfum kamu apa? Enak banget wanginya."

"Aku dandan cantik biar diliat, bukan diendus gini," kata Moza membuat Darren langsung melepaskan pelukannya.

Iya juga, seharusnya Darren harus melihat Moza hari ini karena sangat jarang sekali gadis itu memoleskan make up di wajahnya.

Kedua tangan Darren menangkup wajah gadis itu, menyingkirkan anak rambut dari wajah cantik Moza sambil tersenyum manis. "Kenapa perempuan secantik kamu bisa sama aku?"

Kedua sudut bibir Moza terangkat, kedua tangan gadis itu ikut menangkup wajah Darren kemudian mengelus pipi cowok itu dengan ibu jarinya. "Kok aku bisa dapet cowok sebaik kamu?"

"Aku jahat," kata Darren.

"Emang."

"Ih, tadi katanya bilang baik." Darren mengunyel pipi gadisnya karena gemas.

"Sekarang baik, sebelumnya kayak anjing."

👑👑👑

Suara tawa kecil terdengar ketika jari Darren digigit oleh Moza. Iya, keduanya memakan popcorn sambil menonton film. Sedari tadi Darren menyuapi Moza dan menyuapi diri sendiri.

Darren memakan popcorn nya dan saat itu ia merasa sedikit aneh, kenapa jadi rasa strawberry? Kepala cowok itu menatap gadisnya yang sedang fokus melihat film dengan mulut yang tersumpal sedotan.

Ah, iya, Moza sempat menggigit jarinya dan barusan saja ia mengemut jarinya. Aish, jadi yang ia rasakan itu air liur gadisnya?

Wah, Darren merasa seperti laki-laki kurang ajar.

Ia menepuk pundak Moza, gadis itu menatapnya bingung. "Kenapa?"

Cowok itu mendekatkan bibirnya ke telinga gadisnya dan mulai berbisik. "Tadi aku rasain air liur kamu masa?"

Kedua mata Moza membola, ia langsung memundurkan tubuhnya menatap horor laki-laki di sebelahnya. Darren langsung menggelengkan kepala. "Bukan gitu."

Pandangan Moza masih tidak enak, sehingga Darren menjelaskan apa yang terjadi barusan. "Tadi pas kamu gigit jari aku, aku makan popcorn sambil aku kemut jarinya. Aku bingung kenapa jadi rasa strawberry, terus keinget kalo jari aku digigit kamu dan ninggalin air liurnya," kata Darren dengan nada berbisik. "Maaf ya," lanjutnya.

Sebisa mungkin Moza menerima ucapan Darren, ia menganggukkan kepalanya kemudian kembali fokus pada film yang sedang tayang.

Tangan Jordi mencomot kue brownies yang dibuat Moza. Gadis di sebelahnya sedari tadi terus menatap sang papa.

"Pa, aku mau tanya," kata Moza.

Kepala Jordi menoleh. "Tanya apa? Tanya aja."

"Kenapa Papa pergi ninggalin aku?" Oke, ini adalah pertanyaan yang selalu Moza ingin tanyakan pada papanya.

Jordi terdiam melihat putrinya, ah sepertinya ia harus menjelaskannya sekarang.

"Tapi janji kamu gak akan motong ucapan Papa ya," kata Jordi yang diangguki oleh putri sulungnya.

"Selama menjalani hubungan sama Tante Marina, beberapa persen saham perusahaan Papa dipegang sama dia. Marina selalu manjain kamu sampai melupakan anaknya, Sheila iri dengan kamu. Lebih lagi waktu Sheila kasih tau kalau kamu pacaran diam-diam sama Reza pacarnya, Sheila marah sama Papa, Sheila juga marah sama kamu," ucap Jordi.

"Papa mengakhiri hubungan sama Marina karena Papa rasa hanya menyukai satu pihak itu tidak akan aman. Kamu benar, Papa masih cinta sama Mama kamu. Jadi, ya, Papa akhiri saja tapi Marina merasa sangat terpukul karena keputusan Papa. Dia sampai tidak makan berhari-hari dan itu bikin Sheila ngancem Papa. Dia kasih video pacarnya sama Mama kamu, Papa tau itu bukan kamu, jelas saja karena tempatnya itu tempat mama kamu," lanjutnya.

"Sheila mengancam Papa akan rebut saham perusahaan Papa yang dikelola Marina kalau tidak minta maaf sama Marina atau akhiri hubungan kamu sama si Reza."

Pernyataan sang papa membuat Moza terbelak. Sheila terlalu pintar memainkan perannya.

"Papa mau marah tapi gak bisa, bagaimanapun Sheila itu masih remaja kata Papa, dia belum tahu apa-apa soal kerjaan bahkan sampai bisnis. Tapi lagi-lagi, Sheila menyuruh orang untuk merebut saham perusahaan Papa. Kepala Papa saat itu panas, otak Papa bahkan tidak bisa berpikir jernih. Jadi ya, Papa ninggalin kamu dan kerja keras agar Papa tidak punya masalah apapun sama keluarga itu—"

"—tapi lagi-lagi Papa dibuat hilang akal kalau tahu kamu punya mental yang gak sehat. Papa tahu pesta itu karena Disa, dia bilang kamu jadi bahan olokan teman-teman kamu setelahnya. Papa yakin, ketika kamu kembali sehat dan sekolah, Papa sangat yakin kalau kemungkinan kamu masih bertahan di sekolah kamu sangat kecil. Kamu pasti akan di Drop Out karena buat nama sekolah jadi buruk. Bahkan ada yang tega sampai menulis berita kamu di blog sekolah."

Moza sudah menduganya, sekolah tidak akan baik-baik saja. Tapi kenapa Darren terus menutupinya? Agar ia merasa tenang? Ah, bodoh sekali. Mana ada orang yang merasa  tenang setelah aibnya diumbar.

"Papa pergi ninggalin kamu karena selain merebut kembali saham Papa, Papa juga sudah mencari sekolah dan tempat tinggal baru agar kamu bisa memulai hidup dengan nyaman," kata Jordi.

"Tempat tinggal baru? Kita mau pindah rumah?" tanya gadis itu.

Dengan berat hati Jordi menganggukkan kepalanya. "Papa sudah berhasil menjual rumah ini, rumah yang kata Papa jauh dari kenangan baik."

"Kita mau pindah ke mana?"

"Tempat yang jauh dari segala rintihan rasa sakit kamu," katanya. "Kita berangkat seminggu setelah rapot kamu dibagikan," lanjutnya.

"Ke mana?" Lagi, pertanyaan Moza belum dijawab.

Jordi tersenyum, ia mengeratkan genggaman tangannya kemudian kembali menatap manik mata putrinya.

"Amsterdam, Belanda."

Moza mematung. Jauh, kenapa sangat jauh? Padahal ia ingin mencoba memulai hidup baru, ia ingin menghilangkan kenangan buruk di hidupnya bersama orang-orang terdekatnya.

"K-kenapa gak di sekitaran Bandung aja, Pa? Atau mungkin ke luar kota? Kenapa harus ke luar negeri?"

"Papa mau buat kamu berhenti kesakitan, Papa rasa kalau masih sekitaran sini, kamu belum tentu akan tenang,"ujar Jordi.

"Moza bangun, Za."

Kedua bola mata Moza terbuka secara tiba-tiba, ia melihat wajah Darren tepat di depannya. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya dan deru napasnya sangat memburu.

Kenapa mimpi itu yang harus datang? Kenapa ucapan papanya saat itu harus memasuki mimpinya? Perkataan yang membuatnya menangis sehari sebelum sekolah kini membuatnya menangis kembali di hari bahagianya.

"Za, kenapa? Mimpi buruk?"

Matanya berair kemudian tangannya terulur memeluk leher Darren. Gadisnya menangis tanpa ia tahu alasannya.

Tangannya mengelus perlahan punggung Moza, menepuk-nepuknya secara perlahan agar gadisnya merasa tenang. Film tadi sudah selesai, karena itu Darren membangunkan Moza.

"Keluar yuk, bentar lagi film lain mau tayang."

Moza mengangguk, gadis itu berdiri dengan dituntun Darren. Saat keluar dari bioskop, cowok itu mencari tempat duduk untuk menenangkan gadisnya. Tangannya tak henti-henti menepuk-nepuknya bahu gadis itu agar tangisnya terhenti.

Sepuluh menit kemudian tangis gadis itu sudah mereda dan isakannya pun sudah tidak terdengar. Darren mengangkat kepala gadisnya, untungnya make up yang dikenakan Moza tidak luntur.

"Kapan mau ambil kacamatanya?" Pertanyaan itu terdengar dari mulut Moza.

"Mau kamu kapan?"

"Sekarang aja."

Darren menganggukkan kepalanya. "Boleh!" Tangan cowok itu membantu Moza berdiri kemudian menggandeng tangan gadis itu.

Saat sampai di optik, Darren mengambil kacamata yang sudah dipesan sejak satu minggu yang lalu. Ia kembali memasuki mobil karena Moza ia tinggal sendirian.

"Kacamatanya masih model yang kayak dulu, aku gak mau ganti," kata Darren.

Moza mengambil kotak kacamata Darren dan membukanya. Ya, masih sama, bahkan warnanya juga.

"Aku juga suka kamu pakai kacamata model yang ini," kata Moza menutup kotak kacamata itu dan menatap Darren.

Tangan gadis itu mengambil wadah lensa kontak yang berada di atas dashboard dan membukanya. Tubuhnya ia dekatkan ke arah Darren, tangannya juga menarik wajah cowok itu agar mendekat. Jarinya mulai mengambil lensa kontak di mata kekasihnya dan memasukkannya ke dalam wadah itu.

"Kalo aku lakuin hal ini, aku jadi keinget hari di mana aku jatuh cinta sama kamu." Kini tangan Moza kembali membuka kotak kacamata dan mengambil benda di dalamnya, ia memasangkan benda itu, mengaitkan gagang benda itu di kedua telinga Darren.

Tangannya menyibak rambut bagian depan cowok yang masih menatapnya dalam. Mata gadis itu kini terkunci dengan manik mata hitam yang begitu membuatnya merasa rindu setiap hari.

"Saat kamu peluk aku dan cium aku di depan Reza, detik itu juga aku jatuh cinta sama kamu."

Darren menelan ludahnya. Entah apa yang gadisnya lakukan, tapi selamat, Moza sudah membuat Darren kehilangan kesadarannya. Ia tidak bisa beralih dari manik mata berwarna cokelat terang itu.

Tangannya mengelus puncak kepala gadisnya. "Aku juga, karena senyum kamu dan perhatian mendadak kamu di lapangan futsal."

"Aku jatuh cinta sama kamu, satu jam lebih dulu."

"Apa yang kamu lakuin kalo kita pisah?" tanya Moza membuat kedua mata Darren membola.

"Kamu mau kita pisah?"

Moza menahan tangisnya, gadis itu mencoba untuk tetap kuat. Bagaimana ini? Satu minggu ke depan ia sudah pindah, meninggalkan rumahnya, sekolahnya, bahkan orang yang sedang ia cintai saat ini.

"Kamu beneran gak mau LDR?"

Darren tertegun, ia ingat senyum Moza sempat hilang ketika ia berbicara tentang hubungan jarak jauh.

"Za..."

Tangan Moza meraih tangan cowok itu, ia menggenggamnya dengan erat. Kepalanya terangkat menatap Darren yang menuntut penjelasan darinya.

"Sisa waktu aku di sini hanya enam hari, setelahnya aku pergi."

Darren melepas kacamatanya, pandangannya memburam begitu saja ditambah air mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya.

"Ke mana?"

Moza masih berusaha tersenyum walaupun air matanya sudah terjatuh membasahi pipinya lagi. Dan gadis itu belum menjawab pertanyaan Darren, ia malah kembali berbicara.

"Aku gak mau hubungan kita berakhir, tapi keadaan memaksa kita untuk pisah." Tangan gadis itu mengepal.

"Ke mana?"Lagi, pertanyaan dari Darren kembali terdengar.

"Amsterdam, Belanda."

Pertahanan Darren runtuh begitu saja. Air mata yang memenuhi pelupuknya kini mulai turun dan meninggalkan bekasnya. Kepalan tangan Moza mengendur dan beralih untuk menghapus jejak air mata di pipi Darren, ia mengelus pipi itu dengan ibu jarinya.

"Kita masih punya waktu enam hari, ayo buat kenangan yang tidak akan terlupakan sampai aku pergi nanti."

Bersambung...

Jelaskan perasaan kalian setelah membaca bagian ini? (Wajib jawab)

Makasih banyak yang udah selalu dukung cerita ini, sayang Brois😗❤️❤️ btw besok akan diusahakan update ya, udah 2 hari ini aku lagi gak enak badan soalnya. Kalaupun besok gak update maafin ya, tapi aku akan tetap usaha buat tetap konsisten

have a nice day Brois!❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top