3. Asisten Guru BK
Bagian Tiga.
Jika kita menikmati hidup dan terus bersyukur, semuanya akan terasa nikmat saja. Namun ketika kita hanya mengeluh pada hidup, jangan salahkan Tuhan yang terus memberimu cobaan.
Aku tidak pernah mengharapkan kecantikan ini, bahkan hidup dalam pujian juga bukan harapanku sama sekali.
-The Cold Princess-
Kantin ramai dan menjadi tempat utama saat jam istirahat. Namun Moza enggan memasuki keramaian itu, ia lebih suka dengan kesunyian yang berada di dalam kelasnya saat ini.
"Za?" panggil seseorang yang membuat Moza menoleh.
"Darren mau ngomong sama lo," ucap lelaki itu di hadapan Moza. Lelaki itu adalah Dito.
Moza menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?"
Dito mengedikkan bahunya. "Katanya ada urusan sama lo."
Moza menegakkan tubuhnya. "Bilang, kalau butuh dateng sendiri."
Dito diam, kenapa Darren harus menyuruhnya sih? Sudah tahu sifat Moza seperti ini, masih saja ingin mencari masalah dengan Moza.
"Aduh Za, tinggal lo samperin aja, di depan kok, deket," bujuk Dito.
"Gak."
Dito menghela napasnya, ia keluar dari kelas Moza yang telah sepi itu. Tak berapa lama----
Brak!
Darren menggebrak meja, datang dengan mata yang sudah terbakar emosi. "Dasar cewek sok cantik! Jangan kira semua orang di sini bilang kalau lo cantik! Denger! Gue! Darren Adinata, kalau Moza adalah cewek yang berperawakan buruk sepanjang masa!" teriak Darren yang membuat seketika kelas Moza ramai.
Moza masih diam pada bangkunya. "Oh."
Sudah mengomel hanya di jawab 'Oh' saja?!
Brak!
Darren menggebrak meja Moza, lagi. Yang membuat Moza menatap matanya. "Kenapa lo ngadu ke Pak Tomi?! Gak sekalian Kepsek juga?!"
"Tadinya, tapi berhubung Kepsek-nya lagi gak ada jadi ya gak usah."
Darren menggeram. "Inget ya lo! Di sini gak ada yang belain lo sama sekali, karena dari kecantikkan lo itu, sifat lo, busuk!"
"Enak aja lo! Eh Ren, sadar! Tanpa adanya Moza, cewek di sekolah kita mana ada yang cantik?" celetuk salah satu siswa.
"Ketua Osis aja suka, gue suka, para cowok-cowok di sini suka, lo gak suka? Gay ya lo?"
"Moza ini penyelamat citra cecan sekolah."
Darren diam, rahangnya mengeras serta tangannya terkepal kuat. Ia menatap Luis, Adnan, juga Dito yang tengah memperhatikannya.
Saat Moza bangkit dari tempat duduknya berusaha pergi dari tempat itu, tiba-tiba saja pergelangan tangannya ditarik menjauh dari kerumunan.
Moza tahu, ia akan dibawa ke arah pagar belakang.
"Gue mau ngomong sama lo," ucapnya dengan nada dingin.
"Gue gak kenal sama lo," jawab Moza.
"Gue gak tanya lo kenal gak sama gue, gue di sini mau ngomong sama lo."
"Apa?"
"Kenapa lo laporin ke Pak Tomi? Kalo Ibu Nina sih masih gue maklumi,"
Moza menghela napasnya, ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue udah laporin lo ke Ibu Nina, dan kata Ibu Nina lo harus dilaporin ke Pak Tomi."
Darren menghembuskan napasnya lalu mengacak rambutnya frustasi. "Kenapa lo selalu aja ngadu, hah?! Kemarin gue, kemarinya lagi Luis, kemarenya lagi bang Radit, abis ini siapa?!"
"Lo lupa sama gue?" tanya Moza masih dengan nada yang sama, datar.
Darren diam, ia menatap mata Moza lekat.
"Gue ini asisten Bu Nina, kalo lo dilaporin ke Ibu Nina sama gue berarti itu memang sudah kewajiban gue," ucap Moza.
"Aarggh!" Darren mngacak rambutnya frustasi. "Gara-gara lo, Motor gue disita! Dan gak boleh keluar malam!" sentak Darren pada Moza.
Moza menatap Darren datar, kebanyakan cewek jika dibentak seperti Moza sekarang yaitu menangis. Sedangkan Moza? Ia malah menarik sebelah ujung bibirnya lalu tertawa meremehkan.
"Cewek sialan!" umpat Darren.
Moza masih menatap Darren, ia melihat keadaan Darren yang sedang marah. Wajahnya memerah, napasnya memburu serta tatapan matanya yang tajam.
"Dasar cowok lemah."
Ucapan tersebut dengan mudah terlontar dari bibir Moza. Ia menjauh dari Darren yang masih sedang dalam emosi yang tinggi.
Darren mengejar Moza, ia menarik pergelangan tangan itu lalu melemparnya ke arah tembok, hingga punggung Moza terbentur keras.
"Aw!" Moza meringis saat punggungnya terasa sakit akibat dorongan keras dari Darren.
Darren mendekat, hingga akhirnya ia berada di hadapan Moza. Cowok itu masih menatap Moza tajam, rahangnya mengeras, serta kedua telapak tangannya sudah terkepal di samping tubuhnya.
"Lo bilang gue lemah?" Pertanyaan terlontar dari bibir Darren dengan suara yang berat.
Moza, makhluk yang hanya mempunyai satu ekspresi itu hanya menatap datar Darren. "Iya," jawab Moza.
Darren memukul tembok di sebelah telinga Moza hingga membuat Moza sedikit terlonjak kaget. Ia makin mendekatkan tubuhnya pada Moza hingga ujung sepatunya dan ujung sepatu Moza bersentuhan.
"Cewek bego!" ucap Darren di hadapan wajah Moza.
"Banci."
Masih dengan menatap mata Darren, Moza dengan mudahnya mengucapkan kata itu lalu mendorong bahu Darren hingga membuka celah untuknya lari dari tempat itu.
Di sisi lain, Darren menatap punggung Moza yang menjauh. Baru sekarang, ada yang mengatainya Banci , diucapkan oleh perempuan pula. Darren yakin, ia akan memporak-porandakan hidup Moza, agar cewek yang terkenal karena cantiknya itu tahu bahwa dia bukan Banci, melainkan lelaki sejati.
👑👑👑
Anggapan Moza tentang kejadian tadi? Biasa saja.
Ucapan ketus Darren, tatapan tajam mata Darren, membentaknya, serta menyakiti tubuhnya dengan mendorong hingga punggungnya terbentur tembok dengan keras. Moza menganggapnya biasa saja.
Tidak usah balas dendam, orang gila kalau dibalas kejahatannya berarti kita sama gilanya.
Itu adalah kalimat yang selalu menjadi pendirian Moza hingga sekarang yang membuatnya selalu diam saat dimaki, diam saat dicemooh, serta diam saat ada yang menyakiti fisiknya. Toh, untuk apa? Ia juga tidak pernah mencari gara-gara dengan semua orang, karena ia lebih mengurusi diri sendiri ketimbang mengurusi hidup orang lain.
"Za?" panggil seseorang yang membuat Moza menoleh.
Cowok dengan balutan jas berwarna hitam dengan logo osis berwarna cokelat di sebelah kiri itu mendekati Moza yang sedang berjalan menuju gerbang.
Moza menatap cowok itu ketika sudah berada di hadapannya.
"Mau pulang bareng gue nggak?" tanya cowok itu.
Moza menatap kedepan lagi. "Gak." Lalu ia melanjutkan jalannya kembali.
Reno, ketua Osis yang barusan mengajak pulang Moza itu menghela napasnya saat melihat punggung Moza yang semakin menjauh dan menghilang. Setiap hari ia selalu mengajak Moza untuk pulang bersama, namun setiap hari juga ajakannya selalu ditolak.
Moza menyebrangi jalan lalu duduk pada bangku halte. Tidak banyak yang berada di sana, mungkin hanya sekitar 4 sampai 5 orang saja yang berada di halte.
Tatapan mata Moza menatap langit yang sepertinya akan turun hujan. Sekejap, bis datang hingga selruh siswa yang berada di halte manaiki bis tersebut. Berbeda dengan Moza yang tidak menyadarinya.
Bis itupun pergi, Moza menatap bis yang baru saja melaju itu. Ia terlalu senang melihat langit gelap sampai lupa ia harus pulang. Moza menatap langit lagi, ia melihat jalanan yang sudah sepi akan kendaraan.
Tak lama, hujan turun, dimulai dari rintik pelan hingga rintik yang paling deras. Moza mengadahkan tangannya pada air hujan, ia merasakan tetes demi tetes air hujan yang lembut itu membasahi kulit tangannya.
Satu langkah Moza mulai keluar dari halte hingga seluruh tubuhnya kini berada di luar halte dan seluruh tubuhnya pula basah akan air hujan. Moza melangkah, satu demi satu sambil merasakan jatuhnya butir air hujan yang membasahi.
Ia mulai berjalan semangat, ada sedikit tarikan dari sudut bibirnya yang membuat sedikit senyuman.
Moza mulai berlari, ia berlari hingga pada jalan yang di mana tidak ada lahan apapun. Tidak ada kendaraan, tidak ada perumahan hingga tidak ada orang. Moza berlari menerobos hujan bahkan hingga berteriak.
Sudah lama sekali ia merindukan hujan. Dan kini saatnya ia bisa menikmati rintikan hujannya lagi, teriakan Moza benar-benar teriakan bahagia. Bahkan ia juga sempat tertawa terbahak-bahak.
Lariannya terhenti, tawanya terhenti, serta teriakannya berhenti saat melihat seseorang yang sedang berteduh di bawah rumah kosong. Moza berusaha tidak peduli, namun ia merasa kenal dengan seseorang itu.
Ia memberanikan diri mendekat, walau dengan tujuan utama yaitu hanya penasaran. Wajah seseorang itu tiba-tiba mendongak, langkah Moza langsung terhenti, ia menatapnya datar lalu melanjutkan jalannya.
Namun, tak lama langkahnya terhenti kembali ketika pergelangan tangannya tercekal. Moza berbalik menatap orang itu.
"Ini karena lo, gue harus terjebak dalam hujan!" ucapnya berteriak berusaha menyamakan suaranya dengan suara air yang jatuh ke bumi.
Moza menatap seseorang itu datar. "Gue gak peduli."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top