18. Ajakan Malam Minggu

Bagian delapan belas.

Rasa itu datang secara perlahan.

-The Cold Princess-

Yang Moza tahu tentang Alina adalah, wanita itu jalang, pelacur, dan kata yang lebih kasarnya lagi, dia adalah lonte. Saat ia belum mengetahui latar belakang Alina, ia sangat suka berdekatan dengan Alina, banyak bercerita ketika wanita itu pulang dengan membawa berbagai mainan untuknya.

Namun Alina tidak pernah mendengarkan cerita Moza, tidak pernah mau untuk menggendongnya, bahkan berdekatan pun enggan. Wanita itu memberi mainan banyak untuknya lewat papanya, Jordi. Saat itu juga, Moza masih kecil, pikirannya terlalu positif tentang Alina. Ia tidak pernah berpikiran sedikitpun menjelekkan mamanya itu.

Bahkan saat teman-temannya mengatainya yang memiliki ibu seorang pelacur, perebut papa mereka, ia berteriak di depan wajah teman-temannya bahwa ia memiliki ibu yang baik. Ya walaupun Moza tidak tahu apa latar belakang Alina saat itu, tapi ia tetap mengakui bahwa ia mempunyai ibu yang baik, yaitu Alina.

Tapi itu dulu, saat pikiran bocahnya masih ada. Ketika usianya kian bertambah, pikirannya mulai meluas, dan saat itu juga ia mengetahui siapa sosok Alina yang selalu ia banggakan.

Di usia dua belas tahun, ia baru saja melepas seragam putih-merahnya, dan ia mendapat kejutan dari kenyataan hidupnya. Bahwa Alina mengakui jika dirinya berkerja menjual diri, berkencan dengan setiap ayah dari teman-temannya, dan mengatakan tidak mencintai papanya sama sekali.

Kalian pasti merasakan bagaimana rasa sakitnya, bukan? Pantas saja setiap hari teman-temannya meneriakinya sebagai seseorang yang merebut papa mereka, rupanya kelakuan Alina lah yang membuatnya dicaci hingga demikian.

"Baa..."

Moza menoleh, ia melihat Nayla yang sudah bangun dari tidurnya. Gadis itu segera mengangkat tubuh Nayla dan memangkunya.

Asal kalian tahu, Nayla bukan darah daging Jordi. Bocah itu hanya hasil perbuatan dosa dari Alina dengan seorang bule dari Italia. Oleh karena itu, tubuh Nayla benar-benar berbeda, matanya yang bulat berwarna cokelat terang mengikuti mata Alina, dan rambut pirang ikal serta hidung mancungnya mengikuti ayahnya.

Jika Nayla sudah besar, mungkin akan menjadi idola sekolahnya nanti. Saat kecil saja, dia sudah begitu sempurna dengan fisiknya apalagi ketika berkembang saat usia remajanya.

Nayla anak suci yang terlahir dari perbuatan dosa kedua orang tuanya. Saat hamil Nayla, awalnya Alina akan menggugurkannya. Namun Jordi menahannya dan mengatakan akan menjaga Nayla selayaknya anak kandungnya sendiri. Dan lihat, Jordi membuktikan ucapannya, Nayla tidak merasakan kekurangan sedikitpun.

Moza benar-benar bangga memiliki papa seperti Jordi, kadang ia berpikir, terbuat dari apa hati papanya itu? Sampai-sampai mau mengasuh anak dari perbuatan dosa istrinya.

"Moza?" panggil seseorang.

Moza menoleh, lamunannya buyar seketika, ia menatap ambang pintu kamarnya. "Ada apa, Pa?"

"Di luar ada Darren, dia mau ketemu sama kamu."

Moza menganggukkan kepalanya, gadis itu bangkit dari kasur sambil menggendong Nayla hingga sampai di ruang tamu. Ia langsung dapat melihat Darren yang sedang memainkan ponselnya.

"Ngapain?" tegur Moza.

Darren mendongak, ia melihat Moza yang masih berdiri sambil menggendong Nayla.

"Keluar, yuk!" ajaknya.

"Gak."

Darren berdecak, cowok itu bangkit dari duduknya mendekat ke arah Moza. "Ini malam minggu, di rumah mulu, ga suntuk?"

Moza menggeleng. "Pulang sono."

"Tadi bokap lo udah ngizinin gue buat ngajak lo keluar, cuma di pasar malem deket sini doang kok," ajaknya kembali.

"Bokap gue iya, gue nggak."

"Segitunya, udah sih gapapa, deket kok. Keluar dari rumah ini, jalan sebentar, ada perempatan, belok kanan, nyampe!" terang Darren.

Moza memutar bola matanya. "Pulang sono!"

Darren kesal, ia menarik tangan Moza keluar rumah dengan Nayla yang masih berada di gendongan gadis itu. Moza berusaha melepasnya namun pegangan Darren semakin kuat, hingga ujungnya adalah, ia pasrah saja.

Saat sudah berada di pasar malam, Darren menggandeng tangan Moza menyusuri setiap pedagang juga wahana-wahana mini di sana.

"Mau main apa?" tawar Darren. "Itu?" tunjuknya pada salah satu wahana yang amat ekstrem.

"Bawa bayi, bego!"

Darren terbahak, "Haha, lupa gue."

Mereka berjalan beriringan kembali, ketika sampai pada penjual permen kapas, Nayla menunjuk-nunjuk permen itu.

"Aaa..." Suara Nayla membuat Moza dan Darren menatap anak itu.

"Mau permen kapas, Nay?" tanya Darren. Cowok itu menghampiri penjual permen kapas sambil menggandeng Moza.

"Kang, beli satu dong." Darren membuka dompetnya lalu memberikan uang pada penjual itu.

"Nikah muda ya, Jang?" tanya penjual itu. "Anaknya lucu banget!"

Moza dan Darren membulatkan matanya. Penjual itu terus berbicara. "Padahal masih muda, sekolahnya gimana?"

"Ehm, Kang, kita bukan suami istri," potong Darren.

"Hah? Masa, sih? Dikira teh udah nikah, udah cocok gitu soalnya," ucap penjual itu yang membuat keduanya diam.

Darren menyerahkan uang kepada penjual itu sambil berbisik. "Jangan sampe, Kang, saya gak mau punya keturunan papan triplek."

Kemudian Darren langsung menggandeng tangan Moza kembali. "Makasih ya, Kang." Mereka meninggalkan penjual itu lalu berjalan beriringan kembali.

"Ngomong apa?"

Darren menoleh, ia melihat Moza yang menatapnya penuh selidik. "Yang mana?"

"Penjual."

"Oh, gue gak ngomong apa-apa kok," balas Darren cepat.

👑👑👑

Cekrek!

Rona kembali mendapatkan jepretan wajah Moza, ia memeriksa kameranya dan melihat hasilnya. Gadis yang menggunakan kacamata bulat membingkai mata juga dua kuncir di sisi kanan dan sisi kirinya itu tersenyum, satu berita tentang Moza akan ia publikasikan di blog sekolahnya.

Saat berbalik ingin menuju ruangan jurnalis, tak sengaja bahunya tertabrak kencang yang membuatnya menoleh.

"Aduh, maaf!" ucapnya.

Seseorang yang ia tabrak rupanya Darren, kekasih Moza. Cowok itu melirik kamera yang Rona bawa lalu menatap mata cewek itu mengintimidasi.

"Lo apain cewek gue?"

Rona menggeleng kuat, nyalinya seketika menciut. "Nggak aku apa-apain kok, cuma sekali foto aja."

Darren mendekatkan wajahnya. "Buat apa?"

"Buat aku unggah di blog sekolah," jawab Rona takut-takut.

"Emang Moza ngapain?"

Pertanyaan Darren yang terus-menerus menimpa Rona membuat gadis itu gugup menjawabnya.

"Moza bakal mewakili sekolah kita buat nanti debat bahasa Inggris sama sekolah SMA Garuda Jakarta."

Darren memundurkan wajahnya. "Oh, ya udah." Cowok itu pergi dari hadapan Rona.

Sedangkan gadis itu menghela napas, dekat dengan Darren membuatnya merasa takut berlebihan, mungkin itu akan menjadi sebuah phobianya mulai sekarang.

Darren mendekati Moza yang sedang duduk di bangku depan kelasnya, gadis itu tengah membaca buku.

"Siang pacar!" sapa Darren sambil duduk di sebelah gadis itu.

Moza meliriknya sekilas, tidak menjawab sapaan Darren sama sekali.

"Nanti kalo debat lawan anak SMA Jakarta terus mereka sambil ngomong yang nggak-nggak, ga usah pake bahasa Inggris! Pake aja bahasa sunda biar kicep!" ucap Darren.

"'Sia cicingnya, iyeu teh daerah aing!' Kitu Za, ulah sieun. ('Kamu diem ya, ini tuh daerah saya!' Gitu Za, gak usah takut)"

"Moza?" panggil seseorang yang membuat keduanya menoleh. Rupanya teman sekelas Darren yang memanggilnya, yaitu Alia. "Dipanggil Pak Ilham, latihan debat lagi katanya."

Moza mengangguk lalu mengambil beberapa bukunya dan segera beranjak dari tempat duduknya. Sedangkan Darren mendengus kesal.

"Lo ganggu mulu sih, Al!"

Alia menoleh, ia menaikkan sebelah alisnya menatap Darren. "Apa? Kok gue?"

"Bodo!"

Bersambung...
Maaf atas keterlambatan:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top