12. Sial

Bagian Duabelas.

Sebenarnya, siklus pacaran itu mudah. Jika langgeng lanjut ke pelaminan, jika putus tinggal datang ke kondangan.

-The Cold Princess-

Seluruh siswa menatap heran pemandangan pagi ini. Di mana Moza, si cewek datar yang selalu berangkat menggunakan transportasi umum kini berada di atas jok belakang motor Darren.

Darren memberhentikan motornya di parkiran sekolah, dengan cepat pula Moza turun dari motor itu. Ia kesulitan membuka helm karena rambutnya hari ini ia gerai, tidak seperti biasanya yang selalu dikuncir kuda sehingga helaian rambutnya menyangkut pada pengait helm.

Darren menahan tangan Moza yang membuka paksa pengait helm itu, ia mengangkat dagu Moza lalu membuka pengait itu yang sontak saja menjadi tontonan murid pagi ini. Saat helm itu sudah terlepas dari kepalanya, Moza merapihkan sedikit rambutnya lalu mulai beranjak. Namun, Darren menahan tangannya lagi.

Moza menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya--Ada apa?

"Bentar, ini masih pagi, keajaiban juga sih ya gue berangkat pagi-pagi gini," celoteh Darren sambil turun dari motornya. Cekalan tangannya yang berada di pergelangan tangan Moza turun ke telapak tangan gadis itu lalu meraih jemarinya berusaha menggenggam.

Namun Moza sadar akan tindakan Darren, ia secepatnya menepis genggaman itu. Darren terkekeh, tangannya beralih dari tangan ke bahu Moza lalu merangkulnya.

Moza ingin sekali mengumpat di hadapan wajah songong cowok di sebelahnya ini, walaupun murid belum terlalu banyak yang datang, tapi tetap saja, ia menjadi tontonan semua siswa di sekolah. Apakah Darren harus melakukan hal seperti ini kepada setiap pacarnya? Menurut Moza, ini menjijikan.

"Tadi Bunda masakin sarapan buat gue sama lo, dia tau kalo kita berdua itu pacaran," ucap Darren lantang saat sudah mencapai kantin yang penuh siswa.

Semua siswa menoleh, mereka pasti terkejut mengenai ucapan Darren di pagi hari ini.

"Kata Bunda juga, lo sama gue cocok." Darren masih terus merangkul Moza memasuki kantin, ia mendudukkan gadis itu di salah satu bangku.

Darren duduk di hadapan Moza, ia membuka tasnya lalu memberikan kotak bekal--Tupperwere-- warna ungu. Moza segera mengambil kotak itu lalu bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja meninggalkan Darren.

"AWAS YA NANTI TUPPERWERE-NYA DIBALIKIN, BUNDA SOALNYA LEBIH SAYANG TUPPERWERE-NYA DARIPADA ANAKNYA!" pekik Darren saat Moza berjalan meninggalkannya.

Ia menatap siswa di kantin yang memperhatikan tingkah lakunya. "Apa lo?!" sungut Darren yang membuat siswa di kantin kembali dengan aktivitas mereka masing-masing.

Tak lama, cowok berkacamata datang lalu duduk di hadapannya. "Seharusnya gue ikutin saran lo buat Autanin dia, biar dia gak dinyamukin sama cowok kayak lo," ucap cowok itu.

"Kata lo, Moza gebetan kita bersama, ya udah gue gak mau ya jadi gebetan dia, gue mau jadi pacarnya aja."

"Tapi Moza calon bini gue," timpal cowok berkacamata itu.

"Ah, pacar itu biasanya yang bakal jadi jodohnya!" tegas Darren.

"Banyak loh yang pacaran bertahun-tahun tapi pas nikahan dateng jadi tamu kondangan," celetuk cowok bermata sipit yang langsung duduk di sebelah Darren.

"Simpel sih ya siklus pacaran, kalo langgeng ke pelaminan, kalo putus ya kondangan," timpal Dito yang baru saja datang lalu duduk di sebelah Adnan, si cowok berkacamata.

"Nah, setuju tuh!" Cowok bermata sipit yang duduk di sebelah Darren alias Luis menyahut.

"Kenapa lo tiba-tiba bisa pacaran sama Moza? Kemakan omongan sendiri, kan?" Adnan menatap Darren tajam.

Raden Adnan Arsenio Mahardjo Widojo, yang biasa kita kenal sebagai Adnan, si CS-nya Luis, sebenarnya masih keturunan kebangsawanan di Solo , anak yang selalu terpandang di manapun, ia menjadi istimewa dengan membawa nama keluarganya.

Bukan hanya itu, keistimewaan Adnan masih ada, yaitu memiliki sifat cenayang alias bisa mendengar perasaan orang lain. Kata Adnan, itu adalah salah satu sifat dari neneknya yang menurun padanya. Dan satu lagi keistimewaan Adnan, yaitu ia mendapatkan gelar di sekolahnya dan mendapat julukan 'Si stalker handal skill dewa'. Sepintar-pintarnya kalian menyembunyikan kealayan kalian dulu, cowok berkacamata itu pasti akan tahu dengan cepat.

Darren terkekeh. "Tenang dong, Raden."

"Gimana mau tenang? Ini Moza loh, Moza! Bukan Zubaedah anak kelas tetangga." Adnan berseru.

Darren terbahak. "Patrecia lo ke manain?"

Adnan berdecak. "Ngapain bawa-bawa Patrec, sih? Ini kita lagi ngomongin Moza."

"Tau tuh!" sungut Luis tiba-tiba.

"Lo lagi Wis, gak usah segala bela-bela Moza. Kasian nanti Alia di kelas sama siapa," ucap Darren yang membuat Luis menatapnya tajam.

"Alia sama gue aja Ren, lumayan, kan dia cantik," sambar Dito menatap ketiga sahabatnya.

"Apaan nih, Kok Alia dibawa-bawa!" komplain Luis.

Darren terkekeh. "Ciee, gue yakin loh Wis lo bakal sama Alia."

"Raimu!" ketus Luis sambil melemparkan salah satu sedotan di meja yang membuat ketiga orang di meja itu tertawa.

Dalam tawanya, Darren masih berfikir untuk mencari alasan yang logis agar bisa menjawab pertanyaan ketiga sahabatnya tentang hubungannya dengan Moza.

👑👑👑

Bel pertanda jam pelajaran pertama lima menit lagi akan berdering. Moza berjalan cepat menuju kelasnya, ia baru saja dari perpustakaan untuk mengambil beberapa buku yang akan ia pelajari di rumah.

Bruk!

Moza berdecak lalu memungut buku-bukunya yang berserakan.
"Maaf ya, gue buru-buru soalnya," ucap gadis yang barusan menabrak Moza itu.

Moza mendongakkan kepalanya kala bukunya sudah terkumpul semua. Ia menatap gadis di depannta datar, ia ingat, gadis di hadapannya ini adalah seniornya, setahunya dia adalah ketua anggota chers sekolah.

"Gue duluan ya," ucap gadis itu lagi lalu pergi meninggalkan Moza yang masih terdiam.

Moza lalu berjalan kembali menuju kelasnya. Saat ia telah sampai di kelasnya, bisik-bisik ramai kabar murid baru yang akan duduk di kelas itu rupa-rupanya datang sekarang. Ia meletakan buku-bukunya di atas meja miliknya, ia duduk sendiri, tanpa teman sebangku.

"Moza? Ini catatan perpustakaan lo jatuh di koridor tadi," ucap gadis yang masuk ke dalam kelas dengan peluh keringat berceceran di dahinya sambil menyodorkan kertas pada Moza.

Moza mengambil kertas yang disodorkan itu tanpa mengucap kata terima kasih. Gadis di hadapan Moza mengulum senyumnya, sebenarnya gadis itu ingin sekali dekat dengan Moza. Hampir berbagai cara telah ia lakukan untuk mendekati Moza, namun rupanya itu semua hanya sia-sia karena Moza tetap pada pendiriannya untuk tidak pernah mengizinkan siapapun masuk ke dalam kehidupannya.

Walaupun begitu, setidaknya Moza mengetahui namanya dan sesekali jika meminta bantuan pada dirinya.

"Lo tau gak Za? Murid barunya cowok loh," ucap gadis itu sambil duduk di atas meja Moza.

"Lo duduk sama gue," ucap Moza datar.

Gadis itu membelakan matanya. "Seriusan lo ngajak gue duduk semeja sama lo?!" teriaknya tak percaya.

Moza mengendikkan bahunya. "Kalo lo mau."

"Ya jelas gue mau lah, Mozaaa!" pekik gadis itu lalu loncat dari atas meja.

"Bentar, gue ambil tas." Dengan cepat, gadis itu berlari ke arah bangkunya lalu kembali dengan menenteng tas.

"Gue duduk di sebelah mana?" tanya gadis itu saat sudah mencapai meja.

Moza menoleh ke arah belakang, tempat gadis itu duduk sebelumnya. "Temen lo sendirian?"

"Elah, dia cowok, ditinggal sendiri pasti keenakan," ucap gadis itu.

Moza mengangguk lalu menggeser tasnya sehingga memberi jalan untuk gadis di hadapannya duduk. "Oke, gue sebelah sini ya."

"Tugas biologi kemarin, lo udah selesai?" tanya gadis itu berbasa-basi.

Moza mengangguk, ia mengeluarkan beberapa buku mata pelajaran yang akan diulang pada jam pelajaran pertama.

Kriiing

Bel pertanda jam pertama akhirnya dibunyikan. Seluruh siswa yang berada di kelas XI IPA2 langsung menghampiri bangku mereka masing-masing.

Sekitar kurang dari sepuluh menit setelah jam pertama dibunyikan, guru memasuki kelas dengan diikuti siswa di belakang guru itu. Gadis di sebelah Moza, yang bernama lengkap Patrecia Angelina itu menatap kagum siswa baru tersebut. Berbeda dengan Moza yang tengah membolak-balikan lembar bukunya.

"Selamat pagi!" sapa guru itu.

"Pagi, Bu!" Siswa di kelas menjawab sapaan itu.

"Hari ini, Ibu membawa siswa baru di kelas kalian," ucap guru itu, Ibu Elina, wali kelas kelas XI IPA2.

Moza mendongak, setidak pedulinya ia terhadap lingkungan sekitar, ia masih punya rasa penasaran. Gadis itu melihat cowok jangkung di sebelah ibu Elina.

Napas Moza tercekat ketika melihat siswa baru itu, entah mengapa oksigen di sekitarnya terasa menipis untuk ia hirup. Mata Moza masih menatap siswa baru yang sedang tersenyum ke arah teman sekelasnya dan sepertinya belum melihat adanya Moza di sana.

"Silahkan perkenalkan dirimu, Nak!" titah ibu Elina.

Mata dari cowok itu tak sengaja bertemu dengan tatapan terkejut Moza, ia menyeringai lebar. "Perkenalkan nama saya Reza Aditya, saya pindahan dari SMA Gemilang, terima kasih."

Jika saja Moza tidak cepat-cepat untuk sadar, mungkin sekarang ia sudah pingsan terkapar karena terlalu lama menahan napas.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top