TCM - 5
Bentengku runtuh dan pertahananku tak bisa kujaga agar tetap utuh.
Selamat membaca...
Hidupin lagunya ya, itu ungkapan Renier... dan mungkin Magani.
Renier menutup laptopnya dengan kasar. Dia pikir pindah ke coffee shop ini bisa membuatnya tenang menyelesaikan pekerjaan. Namun pikiran tentang dia dan Magani terus menghantui. Setelah ciuman yang dia lakukan, banyak kalimat yang pernah ditujukan pada Magani berdengung di benaknya. Dan siksaan yang dia enyahkan siap untuk mengikutinya kembali.
Renier menghela napas kasar, lalu menegak kopi miliknya hingga tandas.
"Besok lo yang tes penetrasi perdana sistem ini, kalau ada yang cacat langsung kasih kabar ke gue," ujar Renier sembarai menatap gamang cangkir bekas kopinya. "Kalau ada apa-apa lo hubungin si Ben, kemarin dia bilang ke gue lagi menguji ketanguhan firewall milik Tito. Katanya sebelum ke kita klien ini make si Tito." Biasanya ini menjadi pekerjaan favorit Renier, meningkatkan keahlian dan membuktikan sendiri sejauh mana kehebatan yang dia miliki. Tapi kali ini, otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Jadi biarkan kedua sahabat yang kebetulan juga rekan bisnisnya mengambil alih semua urusan itu.
Renier mengambil ponsel memperhatikan sebuah pesan singkat yang dia ketik dua hari lalu, tapi belum juga dia kirim.
"Kenapa Ren?" tanya Gilang. Pria itu ikut menutup laptop, mencodongkan badan ke arah Renier, melipat kedua tangan di atas meja, dan melirik ke arah ponsel Renier. "Yakin???"
Renier menghela napas letih, dia mengedarkan pandangan ke seluruh coffee shop. Perutnya melilit dan dadanya nyeri ketika dia berusaha menarik napas dalam-dalam. Ini yang dia selalu dia rasakan setiap kali bersama dan memikirkan Magani.
"Kenapa lo selalu kasih pertanyaan dengan kata yakin sih, Lang? Nggak ada pertanyaan lain? Yakin mau mulai lagi. Yakin mau nikah. Yakin mau ambil jarak. Yakin mau pisah. " Renier mencoba berkelakar.
"Ya, karena tugas gue itu cuman sebagai apa ya, semacam pengingat lo gitu. Memastikan kalau lo itu yakin sama setiap keputusan dan konsekuensi yang mengikuti. Gue nggak akan ngelarang atau sok nasehatin lo, percuma bro... mantul." Sudut bibir Renier sedikit terangkat. "Tapi kali ini, coba lo pikirin sampai mateng. Bukan hanya sekadar yakin. Lo udah terlalu sering ngelakuin banyak hal secara terburu-buru dan semua selalu berakhir berantakan..."
Renier mengangguk lalu memijat pelan pelipisnya, sembari menggoyang-goyangkan ponsel dalam genggamannya. "Ini nggak batal, cuman ditunda. Gue minta Adam memasukkan surat gugatan ke pengadilan agama setelah kondisi Magani benar-benar baik dan stabil. Setelah dia benar-benar bisa mencerna hubungan kami yang sebena—"
"Tapi dari pantauan gue, lo belum kasih tahu Magani yang sebenarnya. Bahkan lo bersikap seolah-olah kalian nggak ada apa-apa."
"Belum bukan berarti bukan! Gue—" Renier memijat pelipisnya semakin keras. "Gue nggak bisa tetap ngajuin gugutan cerai, di saat dia aja nggak ingat apa yang tejadi sama kami. Gue nggak tega ninggalin dia dalam kondisi seperti itu."
"Apa lo yakin bisa ninggalin dia setelah kondisinya baik?"
Renier memandang waspada ke arah Gilang. Sebelum bertemu dengan Magani untuk membahas perpisahan mereka. Sebelum Magani berjalan keluar restoran dan tertabrak kopaja yang ugal-ugalan. Renier telah berhasil mengumpulkan keyakinan untuk berpisah, mengupayakan perceraian untuk memutuskan hubungan. Toh, mereka berdua sudah menetapkan kehidupan masing-masing, jadi tidak ada yang perlu dipusingkan lagi. Lalu kecelakaan ini terjadi, mengacaukan banyak hal yang telah direncanakan oleh Renier.
Awalnya Renier berpikir Magani sudah tidak membutuhkannya. Tidak membutuhkan apa pun dari Renier. Tidak pengorbanan, kewajiban, atau uang untuk menanggung kehidupan wanita itu. Magani mempunyai banyak uang dari peninggalan orang tua, penghasilan sebagai seorang pianis papan atas, dan juga pemilik sekolah musik bertaraf internasional. Dengan semua itu keduanya bisa terlepas cepat.
Namun setelah Magani kecelakaan dan bangun dalam kondisi melupakan banyak hal. Renier mengakui kepicikan dalam memandang perpisahan mereka. Takdir seolah enggan menerima perpisahan mereka, bukan membantu agar cepat tapi seolah ingin keduanya dekat dan mengikat sisa hidup bersama.
"Ren..."
"Gue nggak tahu," sahut Renier lemah. Dia menyandarkan punggung pada sandaran kursi, lalu menekan tombol send pada ponselnya. Melihat apa yang dilakukan Renier, Gilang hanya mampu menggeleng pelan.
"See... ngomong sama lo mantul, wushhh!" Gilang mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. "Magani udah tidur di atas... katanya kelelahan habis menangis." Gilang menyodorkan ponsel ke arah Renier, mempertontonkan foto yang dikirm Agatha.
"Nangis? Di depan Agatha? Kenapa?" Satu alis Renier terangkat. Ini sebuah kejadian langka, selama kurun waktu pertemanaan Agatha dan Magani yang berlangsung cukup lama—delapan tahun, Renier tahu pasti Magani tidak pernah mengizinkan Agatha melihat sisi lemahnya.
Kedua wanita itu sama-sama pemain alat musik handal, keduanya kuliah di fakultas musik dan mengambil jurusan classical performance. Magani piano. Agatha violin. Sama-sama mencintai musik, membuat dua wanita itu dekat, partner banyak pertunjukkan. Agatha selalu melihat Magani yang efisien dan tegas. Jadi, Renier bertanya-tanya apa yang dirasakan Agatha setelah melihat Magani yang rapuh?
Renier mengamati foto Magani yang terlelap. Wanita di foto itu nampak bagai putri cantik manja, rapuh, ringkih, butuh perlindungan. Dan hilang sudah ekspresi tangguhnya.
Magani begitu berbeda.
Dalam hal tertentu. Dalam hal lain... ya, beberapa reaksinya pada Renier masih sama.
Renier menelan saliva, bibirnya tiba-tiba kering, dadanya sesak.
Dan dia merindukan wajah damai Magani dalam pelukannya.
"Tuh kan! Belum apa-apa aja lo nggak bisa ngelepasin mata lo dari Gani, padahal ini cuman foto loh!" seru Gilang, menarik mundur ponselnya, lalu tertawa kecil sambil menggeleng. "Gini kok mau sok-sokan mau pisah dari Gani. Gue jamin saat hari itu tiba—Gani sembuh, lo nggak akan bisa ngelepasin dia. Dan siklus hubungan kalian akan balik kayak bertahun-tahun silam. Bertengkar hebat-berpisah-kembali bertemu-ternyata masih ada rasa-mencoba bersama lagi. Entah kali ini kalian berpisah secara dramatis seperti dua perpisahan sebelumnya atau tetap bersama." Gilang mengedikkan bahu. "Tanpa lo sadari, lo seperti sedang usaha menciptakan kenangan baru buat Gani, buat hubungan kalian."
"Ngomong apa sih lo, Lang? Ini cuman semacam rasa kemanusian aja. Dia nggak punya siapa-siapa selain gue. Orang tuanya sudah meninggal sejak dia umur sembilan belas. Keluarga besarnya nggak ada yang benar-benar peduli, kecuali sama harta peninggalan orang tua dia. Dan Cakra—" Desis napas Renier terdengar, mereda menjadi sesuatu yang mungkin bisa disamakan rasa frustrasi. Suara Renier perlahan memelan, seolah-olah ingin menutupi sesuatu yang coba dia sembunyikan. "Nggak tahu tuh laki masih hidup atau nggak."
Pukulan rasa marah mendarat bersama kata-katanya.
Sial! Kenapa nama pria sialan itu harus keluar dari bibir gue? Dan kenapa justru kenangan pria itu yang melekat di benak Gani?
Suasana hening berlalu, Gilang menyudahi kemarahan diam-diam Renier. "Naik ke atas yuk! Si Agatha minta balik, anak gue udah kelamaan ditinggal sama Omanya takutnya stock asi di sana nggak cukup."
"Oke." Renier menyetujui dengan cepat. Merapikan laptop masing-masing, lalu keduanya keluar dari coffee shop. Sepanjang perjalanan menuju ke ruang rawat Magani, baik Renier atau Gilang memilih untuk tidak membahas apa pun. Tidak pekerjaan. Tidak pula tentang Magani.
Begitu mereka sampai, Agatha sudah ada di depan kamar sibuk menghubungi seseorang yang dapat ditebak dengan mudah. Mereka saling berpamitan, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal pasangan suami istri itu pergi. Menyisakan Reiner dan Magani yang tertidur.
Reiner menaruh laptop di sofa terlebih dahulu, lalu berjalan ke sisi ranjang. Memandangi Magani dalam keheningan dan tindakannya itu mengalirkan getaran ke dalam hati Renier. Dan perkataan Gilang tentang kenangan baru terngiang... itu pasti akan jadi hal bagus. Kenangan baru yang menyenangkan. Benar-benar luar biasa.
Renier memejamkan mata persekian detik, lalu terbuka. Tidak! Dia harus memalingkan wajah, keluar sebelum terlalu dalam—sebelum mereka berdua kembali menuju jalan yang akan berakhir di rasa sedih dan frustrasi yang sangat dia kenal, juga rasa bersalah yang tidak mereka perlukan.
Renier berbalik, bersiap untuk menuju sofa dan kembali tenggelam dengan pekerjaan. Tapi, "Maaf..." Satu kata itu dan genggaman pada pergelangan tangannya menghilangkan niat Renier. Kemudian dengan gerakan lambat Renier kembali berbalik ke arah sebelumnya. Magani telah bangun, mata wanita itu berkaca-kaca, dan bibir tipisnya bergetar.
Renier bergidik saat rasa hangat tangan Magani mengunci pergelangan tangannya, menjalar di aliran darah dan memaksa jantungnya berdetak cepat dan memunculkan denyutan... di segala titik.
Renier memaksakan senyum. "Kenapa bangun? Aku ganggu kamu?"
"Maaf..." Magani mengulang. "Aku nggak ingat kesalahan apa yang telah aku perbuat ke kamu. Aku udah coba ingat, tapi nggak pernah berhasil." Senyum menghilang dari bibir Renier. Jemari Magani melingari pergelangan tangannya dengan kuat, penuh ketakutan. "Aku benar-benar minta maaf kalau kesalahan yang aku lakuin udah buat pernikahan kita berantakan, aku minta maaf..." Dan tangis Magani pecah. "Jangan pergi... aku janji, apa pun kesalahan aku itu. Aku nggak akan ulang lagi. Aku baru ngerasa bahagia, karena akhirnya kita bisa bersama. Aku nggak siap kalau akhirnya kamu pergi, karena kebodohan aku. Aku sela—"
Renier membungkuk cepat dan mencium kening Magani dalam-dalam. Tidak ada yang bisa Renier lakukan. Tidak ada waktu untuk bersembunyi.
Semuanya terasa melambat. Menghangat. Berat.
Ya Tuhan, ini Magani. Ini hidupnya. Hidup yang susah payah dia tinggalkan tapi selalu dia datangi. Penuh rasa sakit, tapi ada bahagia mengiringi.
Renier mengganti bibir dengan kening.
"Kamu nggak pernah melakukan kesalahan. Aku nggak akan pergi, aku akan selalu jadi milikmu, Darl... sekarang dan seterusnya."
Dan Renier kembali bermain api.
Terima kasih sudah membaca...
Jangan lupa vote dan comment.
Bagaimana part hari ini? Hahaha...
Follow
Bagaskarafamily
Falaradeviana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top