TCM - 4
Sejauh apa pun aku melangkah, menjauhi dirimu. Bila hatiku tidak bisa berpaling dari rasamu, semua percuma saja.
SELAMAT MEMBACA
Magani mengerjap ke arah Agatha, ini hari ketiga sejak dia bangun dan wanita itu terus datang setiap hari. Kedatangan Agatha cukup membantu untuk mengurangi bosan Magani. Ya—terkadang Magani bingung dengan perkataan Agatha, tapi itu tidak terlalu jadi masalah. Lagi pula, di kamar ini mereka tidak hanya berdua. Selalu ada Renier dan Gilang yang siap memutus kalimat Agatha, kalau merasa sudah mulai membuat Magani sakit kepala. Agatha lebih banyak membahas hari-hari yang dilupakan oleh Magani, apa yang sering mereka kerjakan bersama, mal favorit, serial film yang mereka ikuti, dan seperti dugaan Magani sebelumnya—dia cukup dekat dengan Agatha.
"... iya, jadi tuh pas jaman kalian." Agatha menunjuk Magani dan Renier bergantian. "Pedekate alias pendekatan, lo tuh sering pergi dan pulang ke apartemen ngumpet-ngumpet gitu," kata Agatha. Dan Magani langsung paham mereka pernah tinggal bersama sebelumnya. "Kadang gue sampe heran, kenapa lo ngelakuin gitu... lagian ya, gue bukan orang kurang kerjaan yang suka kepo sama kehidupan orang terus gue jadiin bahan gossip."
Agatha mengambil jeda untuk mengigit roti jagung manis yang katanya dia beli di lobi rumah sakit, dan Magani mengalihkan pandangannya pada Renier. Pria itu duduk dengan kondisi badan maju menghadap laptop di depannya dan matanya serius mengamati sesuatu menonjolkan garis-garis tegas wajah seorang pria dewasa—sesekali tangan Renier menyugar rambutnya, memainkan bibir bawah dengan ibu jari, lalu berbisik pelan pada Gilang yang duduk duduk di samping Renier dan melakukan hal serupa, memandangi laptop dengan serius.
"Mereka sedang mengejar deadline program keamanan pesanan pemerintah." Suara Agatha mengembalikan fokus Magani. "Oh ya, lo kan lupa banyak hal." Kalimat Agatha terdengar seperti sebuah penyesalan. "Kerjaan mereka IT, buat program keamaan, menembus sistem kompetitor—kalau ini bahasa lainnya meretas."
Magani mengangguk.
"Pasti Lo kaget kan? Wajar sih, di pikiran banyak orang seorang IT itu berkacamata tebal dan berpenampilan acak-acakan. Tapi mereka..." Agatha memajukan badannya, meletakkan siku di tepi ranjang, lalu menopang dagu. "Berpakaian rapi layaknya seorang eksekutif, ya—mereka terurus dan sangat hot untuk diabaikan. Nggak akan ada yang menyangka mereka tahu banyak trik membobol sistem keamanan orang." Agatha mulai terkikik, dan itu menarik Magani untuk mengikuti.
Magani tidak benar-benar larut dalam tawa, dia kembali memandangi Renier mengabaikan Agatha masih mengoceh. Kali ini dia menemukan Renier juga tengah memandanginya, seperti sedang mengawasi, mencari tahu apa penyebab dia dan Agatha sedikit lebih berisik daripada sebelumnya. Lalu Renier tersenyum, benar-benar tersenyum tanpa paksaan. Setelahnya Renier kembali memandangi laptop, memainkan bibir dengan ujung ibu jari. Satu hal yang selalu menjadi perhatian Magani. Bibir Renier nampak penuh berwarna merah muda yang sehat, orang pasti mengira pria itu memakai lipblam—dan Renier tertawa. Renier tertawa dan Magani merasakan kelegaan seperti saat menghirup udara pertama kali setelah menyelam dalam-dalam, bukan hanya itu... tiba-tiba saja, bongkahan rindu yang besar menghimpit dadanya seperti dia sudah sangat lama tidak pernah melihat tawa Renier.
Dan untuk sesaat, Magani menjadi sosok gadis remaja yang baru pertama kali menyukai Renier. Jantung di dadanya berdentum hebat sperti saat berlari manaiki tangga sambil berdoa semoga tidak melewatkan permainan basket Renier.
Renier yang tinggi, mempunyai senyum yang mematikan, dan seksi.
Renier mempunyai semua yang diinginkan Magani—dan sekarang miliknya, Renier suaminya. Tapi entah kenapa, hati kecil Magani merasa ada yang hancur di antara mereka yang sulit untuk diperbaiki. Magani coba mengingat sebab perasaan itu. Setiap kali dia mengingat, kepalanya akan berdentum dan menciptakan sakit yang luar biasa. Memaksa Magani untuk menyerah dan merasakan yang terjadi sekarang.
"... aku terserah Magani." Sentuhan lembut Agatha terasa pada lengan Magani. "Lo nggak masalah kan?"
Magani mengerjap. "Apa? Hah? Masalah apa?"
Bukannya menjawab Agatha justru tertawa. "Astaga, ternyata kebiasaan melamun lo nggak pernah bisa ilang ya. Itu para suami kita tercinta mau lanjut kerja di bawah, sekalian ngopi katanya. Kita ditinggal berduaan nggak masalah kan? Atau lo nggak mau lepas dari Renier?" Agatha terang-terangan menggoda Magani.
Otak Magani sedang memproses kalimat Agatha, tapi Renier sudah sampai di sisinya mengelus punggung Magani dengan lembut.
"Kalau kamu keberatan, nggak masalah kok... kami bisa mengerjakannya di sini," kata Renier seolah sedang mencari jalan aman agar Magani tidak merajuk.
"Oh, nggak kok. Kalian bisa turun. Lagi pula, sudah ada Agatha di sini..." Magani menoleh ke Agatha. Entah dari kapan, tapi Gilang sudah berdiri di samping kursi Agatha. Tangan Gilang merangkul bahu Agatha, keduanya berbisik tapi terlihat penuh semangat. Magani melihat cinta dari sorot mata Gilang. Dari cara mereka menautkan jemari satu sama lain, memperlihatkan betapa bahagianya mereka.
Diam-diam Magani tersenyum tipis, tapi hanya persekian detik. Tiba-tiba banyak dengungan menguasai benaknya; kamu nggak pernah berubah! Pernikahan macam apa ini?! Magani merasa kepalanya mendadak berat dan kupingnya berdenging. Dia kesakitan, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang meminta Magani menyembunyikan kesakitan. Beruntung Gilang dan Renier keluar dari kamar rawat dalam waktu yang cepat.
Magani mengembuskan napas berat. "Boleh minta tolong turunkan ranjang ini dalam posisi tidur?"
Agatha tidak menjawab, wanita itu cepat-cepat berdiri dan mengatur ranjang sesuai permintaan Magani. Lalu dengan cepat pula kembali ke sisi Magani.
"Kenapa?" tanya Agatha.
Magani menatap Agatha, ekspresinya serius. Dia menggerakkan satu tangan menggenggam tangan Agatha.
"Apa pernikahan gue senormal pernikahan lo?" Perubahan wajah Agatha terlalu cepat, Magani dengan mudah bisa menebak jawaban dari pertanyaannya. Tapi Magani tetap mempertahankan ekpresi serius, menunggu Agatha menyia-nyiakan alasan untuk menutupi hal yang dilupakan oleh Magani.
Agatha berdeham, menarik tangan dari genggaman Magani. Agatha mengulurkan waktu dengan merubah posisi duduknya dengan pose setengah bersandar yang feminine, menyilangkan kaki, mengibaskan rambut di bahunya dengan gerakan gugup.
Magani kembali mendesah dengan kasar. "Jawabannya enggak kan?" Magani mengangguk-angguk. Lalu mulai menuding dirinya sendiri sebagai biang masalah. Apa diumur dua puluhan pun gue masih suka menarik perhatian dengan cara yang salah? Magani merasa kecewa untuk dirinya.
"Gan..."
"Gue ngejebak dia yah?" Magani tidak bisa menyembunyikan nada sedih di kalimatnya.
"Hah?"
"Iya, pernikahan gue nggak normal karena sebenarnya Renier nggak mau nikah. Dia terpaksa. Ya Tuhan, gue ngelakuin apa?" Magani mulai lepas kendali, matanya mulai berkaca-kaca, kedua tangannya memegang kepala yang masih dibalut perban. "Kenapa sih gue harus kehilangan sebagian ingatan gue?!"
Agatha berdiri, mencegah Magani mencengkram kepalanya kuat-kuat. "Wohoo! Ini kita lagi bahas apa sih? Jebak? Nggak! Lo nggak melakukan sesuatu yang ditujukan untuk menjebak Renier, oke? Lo mau dengar jawaban gue? Gue jawab! Gue jawab sejujur-jujurnya tapi lo harus tenang dulu!"
Magani menurut demi mendapatkan jawaban. Dia berusaha tenang, walaupun di dalam dirinya alarm panik masih berbunyi sangat nyaring.
"Udah?" Agatha mengembuskan napas pelan, kelegaan nampak menghiasi wajah wanita itu. "Lo tanya pernikahan lo normal atau nggak, jawabannya iya. Pernikahan kalian normal, kalian memutuskan menikah atas kemauan masing-masing. Tapi, udah lima bulan terakhir ini kalian memutuskan untuk jalan masing-masing."
Magani tercekat. "Tapi Renier bilang pernikahan kami bahagia?"
"Ya—pernikahan kalian emang bahagia, tapi kalian ada salah paham dikit dan kalian terlalu mempertahankan ego masing-masing untuk menyudahi salah paham itu. Pioritas hidup lo berubah dan akhirnya lo terbiasa berpisah dari dia ketimbang bersama." Agatha merengkuh wajah Magani, memaksa Magani untuk mau melihatnya. "Mungkin ini cara Tuhan buat memperbaiki semuanya. Kalau Renier nggak mau terang-terangan mengatakan pernikahan kalian ada masalah, itu artinya dia mau gunain kesempatan ini untuk mengembalikan semuanya di jalur yang benar. Dia mau ngelanjutin pernikahan kalian. Oke?"
"Gue buat kesalahan fatal ya?"
Agatha menggeleng. "Nggak ada yang salah dan nggak ada yang benar. Seperti yang gue bilang tadi, kalian hanya terlalu menyayangi ego masing-masing."
"Terus..."
"Gani, gue cuman boleh sampai sini. Selanjutnya, itu bukan daerah gue. Itu daerah Renier, biarkan dia menjelaskan ke lo dengan perlahan. Pesan gue, jangan terus berpikir lo penyebab semua yang terjadi dalam pernikahan kalian. Jangan juga paksa Renier buat kasih jawaban, nikamtin aja alur yang dia buat, liat dia mau menciptakan apa dari situasi ini. Tapi gue sih yakin, dia nggak akan menciptakan sesuatu yang menyakiti lo." Rengkuhan Agatha perlahan terlepas. "Tolong kali ini lo nurut sama gue... nggak akan ada hal buruk, Gani. Lo satu-satunya wanita yang buat Renier jadi orang lemah sekaligus kuat dalam bersamaan. Dia nggak pernah seperti itu. Nggak sebelumnya. Nggak sesudahnya."
Terima kasih sudah membaca...
Apa yang ada dipikiran kalian sekarang setelah membaca setiap bab yang udh aku update?
Jgn lupa vote dan comment ya
Follow
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Love. Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top