Chapter 4
Selain mental Moza yang terlatih baik, telinganya pun demikian. Dia bisa masuk ke semua genre lagu. Papa dan Om Jule yang suka tembang lawas dan dangdut—kadang koplo. Bang Ridwan yang setia dengan lagu-lagu Opick dan Maher Zain. Bang Kendra yang heavy metal. Kemudian abang bungsunya yang pengagum berat lagu indie.
Hal itu yang kemudian membuat Moza sempat krisis identitas, orang lain pun mengira begitu. Takut kalau semakin dewasa dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Yang terjadi sebaliknya, dia lama-lama justru menjadi adaptif. Keluarga membebaskan dirinya untuk menjadi seperti apa yang dia inginkan. Dia pun menikmati menjadi Queen yang sebenarnya tidak Queen-queen amat. Mama salah nih kasih nama.
Di lantai dua terdengar abang keduanya mengomel. Moza mengikuti langkah lebarnya menuju kamar. “Napa sih, Bang? Pagi-pagi udah ngomel aja.”
“Selera Nopi kapan bagusnya? Nggak semua hal yang bau jeruk itu enak! Gue nggak peduli kamarnya tumbuh pohon jeruk kek, asal teritorinya sendiri, bukan barang yang dipake bareng!”
Moza menahan semburan tawa, memilih mundur menjauh dari pintu daripada ikut kena omel si Singa. Dia pun menuju ke bawah. Lompat dan menggelayuti bahu papanya dari belakang. Tidak ditepis karena orangnya sibuk menghitung uang untuk membayar ayam yang baru saja diantar.
Jadi ada beberapa bahan masakan yang diantarkan ke rumah, tapi tetap ada yang harus dibeli ke pasar langsung. Seperti ayam dan telur misal, Papa sudah punya produsen yang bisa mengantar ke rumah. Maka sisanya harus ke pasar sebelum subuh kalau mau dapat yang fresh—belum dipegang banyak tangan.
“Pagi, Om Yudha.”
Moza yang semula asyik bergelantungan manja seperti anak monyet, mendadak lompat turun. Membuat tubuh Papa oleng dan cepat-cepat dia tahan dengan kedua tangan.
Omelan Papa tertelan karena harus membalas sapaan barusan. “Habis lari pagi, Pra? Mampir sarapan?”
Moza memilih menyingkir, mencari kesibukan ke belakang etalase. Melihat tumpukan cabai yang belum disortir.
“Makasih tapi nggak usah, Om. Nanti saya sarapan dari kantin sekolah saja.”
“Ya udah, tapi nanti makan malam sama-sama lagi ya.”
Papa ini sepertinya punya bakat membuka panti sosial. Ada jiwa ingin merawat anak orang soalnya. Kalau di keramaian ada anak kecil mendekat, Papa juga main gendong saja. Pernah kena gebuk tas oleh ibu-ibu, dikiranya penculik anak.
Entah dijawab apa. Prana sudah hilang dari depan kedai, mungkin harus segera siap-siap berangkat mengajar. Abang sulungnya pun sudah ganteng rapi. Harum malaikat subuh menyebar ke segala penjuru lantai satu begitu sosoknya menuruni anak tangga. Semoga Bang Kendra tidak turun sekarang atau dia akan benar-benar ngamuk karena dua saudaranya ternyata punya masalah dengan selera wewangian.
Melihat muka adiknya yang masam. “Kenapa mukamu?”
“Kenapa pake parfum ini lagi?”
“Enak kok, Ja.”
Moza meneleng ke papanya. “Pa, kayaknya abangku yang ini perlu ke THT.”
“Parfumnya? Oke kok, Papa suka minta. Kamu aja yang aneh. Kebanyakan main sama Bang Kendra sih. Papa pening denger dia ngomel dari berangkat sampai pulang dari pasar padahal stella jeruk-nya udah dia buang di tempat sampah SPBU.”
Selalu begitu. Kalau Moza ini-itu, maka ada salah satu abangnya yang siap dijadikan kambing hitam. Papa tidak sepenuhnya salah karena fakta lapangan bicara seperti itu. Kebanyakan yang kena getah adalah Bang Nopi yang punya andil besar membuat Moza sering diomeli. Begadang, bangun kesiangan, nonton konser sampai tengah malam, karaoke sampai pagi dan kenakalan-kenakalan kecil lainnya.
Moza membawa baskom cabai tadi ke meja depan, bergabung dengan Bang Ridwan yang sedang sarapan bubur ayam oleh-oleh Papa dari pasar.
“Abang mau lari ke sekolah? Kok motor nggak dikeluarin dulu?”
“Punya temen depan rumah ya dimanfaatkan.”
Tunggu dulu. Jangan berharap terlalu banyak. Biar abangnya ini lumayan agamis, dia masih abang-abang yang punya sejuta keburukan pada umumnya. Agamanya tidak salah. Sudah Moza bilang, abang-abangnya memang unik cenderung aneh.
Moza melirik ke gerbang rumah depan. Ada mobil mahal yang tak lazim dimiliki laki-laki 24 tahun kalau bukan hasil privilege. Moza bukannya iri, cuma penasaran. Kalau Haikal kan memang sandal jepitnya saja sudah bisa buat beli motor baru.
“Prana itu udah PNS kayak Abang?”
“Udah, sekali ikut tes CPNS langsung lolos. Rezekinya masyaAllah.”
“Tapi mobilnya bagus. Mahal itu.”
“Astagfirullah, ngapain ngepoin kekayaan dia?”
“Aku takut kalau Abang salah pilih temen. Dia nggak ikut slot judi online, ‘kan?”
Abangnya nyaris tersedak. “S-slot? Astaga. Yang punya temen aneh-aneh tuh kamu.”
“Orangtua dia kaya banget ya, Bang?”
“Udah dibilang, nggak usah kepo. Nggak ada faedahnya buat kamu juga.”
“Oke, terakhir.”
“Udah cukup. Bubur abang jadi nggak enak ini.”
“Intinya dia pelihara tuyul nggak? Masa jadi PNS setahun bisa punya mobil bagus. Gadai SK ke bank ya?”
“Beli pakai uang sendiri kok.”
“Oh, uang sendi—” Loh, kok bukan suaranya Bang Ridwan?!
Moza menoleh dengan gerakan kaku dan waswas. Yang bisa dia berikan hanyalah cengiran tanpa dosa untuk menghadapi Prana yang sepertinya langsung keki dan ilfeel dengannya sekarang.
Ya sudahlah. Kalimat Moza tidak bisa ditarik lagi kecuali lelaki ini tiba-tiba amnesia karena tertimpa neonbox Kedai Ngebul. Lagi pula kesan Prana terhadap Moza memang tidak elit sejak awal. Tinggal menunggu waktu dia akan ngupil di depan Prana.
Dengan santai Moza kembali memotek batang cabai. Bang Ridwan menghabiskan sarapannya dan lekas menyusul Prana masuk mobil. Tak lama mereka pun berangkat. Moza meraup udara banyak-banyak. Biar dipaksa tidak panik, dia nyatanya tetap panik.
Ponsel di samping baskom cabai bergetar. Bang Ridwan baru saja mengirim tautan video ke grup keluarga dengan judul; Azab tetangga yang suka fitnah dan iri dengki.
Meletakkan kembali benda pipih itu, Moza kali ini memotek cabai dengan gerakan berlebihan.
Suara Papa terdengar dari dapur. “Ja, tengokin HP papa, ada chat tuh. Siapa tahu penting!”
“Bang Ridwan kirim video ke grup, Pa. Biasaaaa.”
“Oh, video apa?”
“Ibu-ibu ngamuk nggak mau bayar paket.”
“Hah?” Tidak yakin dengan apa yang dia dengar, minta diulangi.
“Ibu-ibu senam sama Andrew White!”
Makin ngawur.
“Yang bener mana? Ngamuk apa senam?”
Bang Kendra muncul dengan ponsel di tangan. “Lo habis ngapain sampe disindir di grup?”
Moza mendengkus, malas menjawab. Tangannya tanpa sengaja mengucek mata. Meraung sendiri.
“Gue masih heran kenapa gue punya adik kayak lo sama Nopi.”
***
Di bawah sedang ada Prana, jadi Moza pilih nongkrong di lantai tiga sambil menikmati bulan purnama bersama Taro rumput laut di tangan kiri. Dia bisa makan malam nanti-nanti saja. Bang Nopi juga belum pulang dari acara kumpul dengan geng vespanya. Bisalah cari burjo ke mana sambil keliling kota nanti.
Ketenangan Moza terusik saat ada derap langkah di tangga. Baru juga dia merebahkan punggung lelahnya. Dia belum sempat mandi dan memilih ngemil lebih dulu.
“Bang, aku makan nanti sama Bang Nopi, nggak usah maksa turun.”
Tapi semakin dekat dia baru sadar kalau derap ini bukan milik abang-abangnya atau pun orang rumah ini yang dia hapal. Masa harus kejadian lagi? Apa tidak cukup insiden awkward tadi pagi? Gini amat punya dosa. Niatnya menghindar malah disamperin.
Moza terlambat buat kabur. Orangnya sudah di tangga terakhir.
“Jadi ini basecamp yang bikin betah nggak mau turun?”
Moza mengganti posisi duduk, dari yang semula menyandar meluruskan kaki menjadi tegak dan bersila. Menarik bantalan leher yang dia kenakan untuk menutupi paha. Lelaki itu tampak santai menduduki beanbag padahal siapa yang kasih izin gabung di sini. Kehadirannya saja tidak Moza inginkan.
Bukannya antipati dengan lelaki ini tanpa alasan. Moza hanya masih malu karena kepergok membicarakan harta Prana. Sungguh tidak sopan mulutnya. Tidak salah kalau Prana habis ini memusuhinya.
“Sori yang tadi pagi. Lancang banget mulut gue. Udah kayak tetangga julid yang iri—tapi gue nggak iri ya.”
“Nggak apa-apa. Santai aja.”
Hmm, aroma buaya.
“Tapi wajar kalau lo anggap begitu. Tapi ya nggak slot judi juga kali.”
Moza meringis.
“Nabung buat beli itu mobil udah lama, dari masih SMA. Tapi gue akuin soal privilege itu. Bohong besar kalau gue beneran dari nol. Ada support Papa di awal usaha.”
“Kerja?”
“Jualan baju.”
“Sekarang masih?”
“Masih. Baru punya satu distro tapi.”
“Sebelumnya?”
“Dari satu bazar ke bazar lain.”
Moza diam sebentar untuk menilai apakah sikap merendah Prana bertujuan biar disanjung?
Beberapa detik, tidak ada lanjutan dari Prana.
“Kenapa baru satu? Sekarang pinjaman modal kan banyak.”
“Ehm, anggap aja gue tercerahkan sama Bang Ridwan.”
Moza paham. Pasti urusan riba nih.
“Sementara nggak mungkin minta modal lagi ke Papa.”
“Mereknya apa?”
“MHPrana.”
“Narsis ya, Pak.”
“Mumpung punya sendiri.”
Moza sampai lupa menawarkan Taro ke Prana. Tapi dibalas dengan gelengan.
“Lo nggak ikut makan di bawah?”
“Nggak enak minta makan mulu.”
“Kalau anak Papa belum kebanyakan, gue yakin lo mau diangkat jadi anak.”
“Kenapa? Apa gue mirip salah satu anaknya?”
“Papa emang suka ngasih makan anak orang. Terlepas anak itu mampu apa nggak.”
Prana mengangguk. “Nyaman ternyata di sini.”
“Berantakan begini, untuk ukuran orang normal sih mendingan lantai dua.”
“Eh iya. Kenapa di lantai dua lebih bersih ya?”
“Ada polisi kebersihan dan kerapihan di sana.”
“Maksud lo orang-orang jorok dikumpulin jadi satu di lantai tiga?”
Sialan! Moza kesal tapi mau ketawa—harus yang mana? Prana sedang balas dendam?
“Gue nggak bilang lo jorok.” Prana tergelak, lanjut menunjuk tangan Moza. “Kuku tangan lo pendek dan bersih.”
Moza jadi mengabsen kuku tangan yang terpotong rapi. Dia memang sudah dibiasakan dari kecil dengan standar ini. Jadi susah kalau mau garuk-garuk atau membuka bungkus makanan. Andalannya adalah gigi.
Kerutan di sudut mata Prana perlahan sirna. “Abang mana yang pemuja kebersihan?”
“Bang Kendra.”
Selanjutnya hening dan hanya bunyi kriuk Moza mengunyah. Dia pun menjilat jari yang terkena bumbu. Catat ya, ini bukan ngupil. Belum saatnya.
“Jadi lo antitesa-nya Bang Kendra?”
“Nggak juga.” Moza sadar apa yang barusan dia lakukan, mungkin lelaki di sebelahnya ini jadi berasumsi dia ini paling jorok di rumah. Makanya Prana tanya begitu. “Penghuni lantai tiga ini nggak jorok, cuma males aja.”
“Keluarga kalian unik.”
“Emang keluarga lo nggak unik?”
“Enggak.”
“Adik perempuan lo nggak ribet?”
“Ribet tapi masih bisa teratasi.”
“Bagus dong.”
Prana diam.
“Yaah, begini adanya keluarga Yudha Hartono. Mau gabung? Jangan deh.”
“Jadi abang apa suami lo nih?”
Moza tiba-tiba tergelak sendiri. Mulutnya memang kadang-kadang offside. Tapi balasan yang dia dapat juga tak kalah ngawur. Apakah isi otak mereka sebenarnya sama?
Dari sudut matanya, Moza lihat lelaki itu tidak ikut tertawa. Justru itu yang membuatnya makin terpingkal.
“Nggak keduanya. Tapi bantuin Om Jule.”
“Jadi supir Om Yudha?”
“Silakan kalau mau.”
“Lo nggak butuh supir?”
“Gue udah punya tiga supir gratis sepanjang hidup. Lagi pula juga jarang pergi-pergi, paling jauh mal. Gue ini Rapunzel MasyaAllah Alhamdulillah Fii Amanillah.”
Ada gelak yang tak sekeras tadi, lalu Prana tak bersuara lagi. Dia rupanya sedang menikmati bulan bundar yang membuat langit di sekitarnya cerah.
Moza juga tak ambil pusing dengan keberadaan Prana. Tidak berniat mengusir. Lanjut menghabiskan cemilan di tangan dengan cuek.
Lelaki ini sudah mau menikah, ‘kan? Moza juga mau menikah kok. Tapi masih empat-lima tahun lagi. Sesuai urutan. Melangkahi tiga kakak laki-laki itu berat. Apa tidak engap Papa kalau setiap tahun anaknya menikah. Oke, menikah sepuluh tahun lagi juga tidak apa.
“Kenapa nggak milih apartemen?”
Prana menundukkan kepala setelah semenit mendongak. Pandangannya jatuh ke seprai di tali jemuran, yang bagian ujungnya berkibar pelan-pelan mengikuti arah angin.
“Takut jadi individualis.”
“Tapi lebih praktis. Nggak semua momen dalam hidup, kita mood ketemu banyak orang tiap waktu,” sanggah Moza. Dan dia tidak tahu kenapa harus memberi pendapatnya seperti ini.
“Kompleks ini rame banget ya?”
“Ya gitulah.”
“Baguslah.”
“Lihat bangunan itu.” Moza menunjuk tower apartemen di kejauhan, entah ada berapa lantai. Sambil melamun di sini dia sering membayangkan suatu hari bisa membeli satu unit di sana. Tapi agak mustahil, dia kan Rapunzel yang tidak punya naga terbang.
“Kenapa?”
“Di sana lebih deket dari SMA tempat lo ngajar.”
“Dari awal gue nyari kontrakan.”
“Iya, kenapa?”
“Lebih pengin ngerasa hangat.”
Moza mengerutkan bibir, mencoba mengingat momen hangat apa yang bisa didapatkan di rumah dan kompleks ini. Tapi gagal, yang muncul di kepalanya justru Bang Kendra yang ngomel-ngomel meributkan toples gula yang tidak ditutup dengan benar. Bang Nopi yang kena sambit celemek merahnya Papa. Bang Ridwan yang sering membahas teori konspirasi dan bikin otak Moza ngebul.
Para tetangga sejauh ini terpantau normal semua. Mereka rata-rata pekerja kantoran, sibuk, jarang di rumah. Tapi beberapa ada ibu rumah tangga, jadi banyak anak kecil di sekitaran sini. Langganan kedai Papa justru datang dari jauh.
“Hangat? Jangan berharap lebih, Prana. Apalagi lo punya tetangga kayak keluarga gue.”
“Seru, tahu. Keluarga kalian bikin gue merasa betah.”
“Serunya kita beda kayaknya, Pra.”
“Nggak apa-apa beda. Kita tetap bisa temenan.”
Dan sejak kapan mereka jadi ngobrol akrab begini? Satu sama lain saling mengomentari hidup. Dan apa tadi, Prana bahkan mengomentari kuku tangannya. Ini kejauhan tidak sih? Tapi anehnya tidak ada alarm tanda bahaya yang berdenging di kepala Moza.
Oke, aman berarti ya.
“Tapi gue nggak suka temenan sama calon suami orang.”
“Udah bukan lagi.”
“Apa?”
“Bulannya bagus.”
Moza tidak menegaskan apa-apa lagi. Anggap saja dia budek—Prana, bukan Moza.
***
Publish KK: Selasa/20.09.2022
Publish wp: 22.09.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top