Chapter 3
Dengan lap yang tersampir di bahu kanan, Moza sejenak memandangi rumah di depan kedai.
Pemilik rumah memang menyewakan rumah itu sejak memutuskan tinggal dengan sang putra dua tahun lalu. Kemarin dihuni sepasang suami-istri yang hobi cekcok dan akhirnya cerai lalu pulang ke kota masing-masing. Rumah sempat kosong sekitar tiga bulan. Lampu di dalam rumah yang dibiarkan mati membuat Moza dan Bang Nopi setiap gabut menebak-nebak berapa kiranya dedemit yang mulai tinggal di rumah itu. Sampai terpikir untuk uji nyali semalam di sana. Tentu saja ide gilanya Bang Nopi. Moza dipaksa tapi dia segera mengadu ke abang sulungnya.
Reaksi Bang Ridwan saat itu. “Hantu itu nggak ada. Mereka jin yang menyerupai makhluk. Nggak usah aneh-aneh, apalagi mau lihat. Nop, Nop, adik cewek satu bukannya dijaga. Dan kamu Oja, besok Minggu pagi ikut Abang pengajian.”
Sekarang rumah itu tampak bercahaya. Bahkan jendela besar di lantai dua terbuka separuh. Prana nggak ngerti AC ya?
Rencana menonton film bersama Mawar akhirnya gagal, pun dengan ajakan Haikal yang terbuang sia-sia. Begini amat calon pewaris ganda kedai. Bang Kendra masih berkutat dengan kalkulator di meja kasir setelah kedai tutup sepuluh menit lalu. Bang Ridwan bantu mencuci peralatan di belakang. Dirinya kebagian mengelap meja dan menaikan kursi-kursi.
“Udah tutup ya?”
Moza terperanjat. Kapan datangnya? Perasaan detik lalu orangnya masih seliweran di lantai dua rumahnya.
“Mau makan apa, Pra?” Bang Kendra menyambut akrab.
Prana bantu membalik satu kursi yang ada di dekatnya ke atas meja.
“Sori, gue lupa. Lo diundang makan malam sama Papa. Duduk di mana pun lo suka, makan malam bentar lagi.” Bang Kendra meninggalkan kalkulatornya. “Lo pengin makan apa dulu gitu?”
“Aku ke sini lagi nanti, Bang.”
“Duduk, udah ke sini juga. Anggap rumah lo sendiri.”
Prana menurut. Moza jadi penasaran apakah lelaki itu sama seperti Haikal yang sungkan ke Bang Kendra? Dia pun jadi memperhatikan gerak-gerik Prana.
“Mau ganjel pakai apa dulu, Pra?” ulangnya. Bang Kendra ini seperti punya ilmu bisa melihat mana orang yang lapar, lapar sekali dan mana yang seharian belum makan. Dia sebenarnya ramah tapi urat ketawa di wajahnya tuh entah hilang ke mana. Pelit kalau suruh senyum. Diam saja sudah ganteng, apalagi senyum. Takut ada gempa lokal.
Selain masakan yang enak, daya tarik lain kedai ini ya Bang Kendra. Banyak mbak-mbak kantoran yang suka melipir makan siang kemari demi melihat jelmaan Nicholas Saputra yang kebanyakan krim pemutih—Moza kalah putih. Di antara anak-anaknya Papa, hanya Bang Kendra sendiri yang kelewat putih. Moza dan yang lain sawo matang. Dia pernah ngoprek kamar abangnya itu dan tidak menemukan skincare apa-apa selain cuci muka.
Baik, kembali ke Prana yang sudah duduk sambil memandangi detail kedai. Kepalanya sedikit mengangguk-angguk. Entah penilaian seperti apa yang terbentuk di kepalanya.
“Jadi ngerepotin. Mi instan aja, Bang.”
Moza menatap horor, mengantisipasi reaksi yang akan abangnya tunjukkan di depan tamu. Karena seingatnya tidak ada mi instan di dapur. Alamat Moza disuruh beli ke minimarket ini.
Dia cepat menawarkan yang lain. “Kue mau? Di kulkas—”
“Ja, ambil mi yang lo sembunyiin di kardus kolong kasur.”
Langsung gelagapan. “K-kok Abang tahu?!”
“Empat indomie ayam bawang, lima indomie goreng jumbo, tiga indomie soto. Sisanya kari ayam.”
Moza bahkan tidak ingat jumlahnya ada berapa!
“Mau yang rasa apa, Pra?” tawarnya.
Prana tersenyum. “Ngikut, Bang.”
Bang Kendra menatap adiknya dengan laser. “Terserah, katanya.”
“Iya, denger kok.” Moza menunduk, berjalan menuju tangga. “Agak lama ya, Pra. Ambilnya di lantai 30 nih pake gondola.”
Prana tertawa renyah tapi hanya sebentar karena Bang Kendra bertanya sesuatu. Moza cepat kembali ke lantai satu membawa satu mi rebus ayam bawang.
“Sekalian lo bikinin.”
Moza mencebik karena ujung-ujungnya dia juga yang repot. Ya sudahlah. Dia pasrah membuatkan mi tanpa protes. Lima menit kemudian semangkuk mi terhidang di depan Prana lengkap dengan telur ceplok setengah matang dan irisan pakcoy. Lelaki itu bilang terima kasih lewat senyumnya. Moza menjawab sekenanya, lantas meninggalkan Prana yang mulai menyantap mi-nya. Bang Kendra benar, lelaki itu memang kelaparan. Pantas tidak sungkan ketika ditawari makan lebih dulu.
Makan malam yang terlambat itu dimulai jam sembilan malam ketika semua pekerjaan selesai. Prana ikut menggabungkan tiga meja menjadi satu. Urusan di belakang sudah selesai. Bang Kendra masih berkutat menghangatkan beberapa lauk. Moza membuatkan teh hangat.
Bang Nopi yang gabung paling akhir, pulang-pulang membawa gorengan hangat. Watados seperti hari-hari biasa. Papa juga mulai bosan bertanya anak itu dari mana.
“Oja, gue es nutrisari jeruk!”
Tahu kan siapa yang membeli stella jeruk di mobil? Tunggu saja sampai Bang Kendra pakai itu mobil dan dijamin Bang Nopi akan dihisap ubun-ubunnya.
“Wah, seumuran sama Moja dong.” Papa habis bertanya tentang umur.
“Iya, Om. Kelihatan tua ya?”
Papa tersenyum. “Ah, enggak. Nggak tua. Wajahmu ini malah kelihatan dewasa dan bijak. Kamu anak nomor berapa, Pra?”
“Saya sulung, Om. Ada adik satu perempuan, masih SMP.”
“Duapuluh empat, Brok?” Bang Nopi tak percaya. “Adik gue yang umur segitu perasaan udah tua mukanya. Mungkin gara-gara dia suka ngomel ke gue. Iya, kan, Pra? Lo pasti setuju kalau ngomel bikin cepat tua.”
Moza membawa semua minuman di dalam nampan sambil berniat ingin menyiram kepala abangnya dengan es nutrisari. Tidak usah repot minum, biar saja meresap lewat pori-pori kulit.
Sudut mata Prana otomatis tertuju ke Moza. Tidak melihat kebenaran dari omongan Novian kalau wajah perempuan itu lebih tua dari seharusnya. Yang dia lihat adalah sebaliknya. Awal melihat Moza tempo hari, pagi-pagi di depan rumah, dia pikir perempuan itu masih duduk di bangku SMA.
Bang Ridwan menengahi. “Nop, janganlah ngomongin jelek ke adiknya. Ucapan itu doa.”
Detik itu mata mereka bertemu, atau lebih tepatnya Prana yang tertangkap basah. Moza langsung menghindar demi menutupi gugup yang tidak perlu atau sebenarnya dia hanya belum terbiasa saja dengan Prana. Dia pura-pura fokus memindahkan gelas dari nampan ke meja. Prana sigap membantu, membuat jemari mereka tidak sengaja bersentuhan.
Duh, anteng aja bisa nggak sih? Ganteng tapi milik orang buat apa?
“Bukan maksud ngatain, tapi ini kan mataku ya, Bang. Abang sih nggak pernah diomelin dia.”
“Matamu sini Papa colok pakai tusuk gigi. Kurangajar ya kamu, Moja-nya Papa cantik imut begini. Minta dikunirin mulut kamu ya, Nop!” Papa membela putri kesayangannya setelah berusaha sabar sejak tadi. Kalau tidak dihadang Om Jule, Bang Nopi sudah tercekik di kelek Papa.
Moza mengabaikan, tapi perhatiannya justru terjebak pada reaksi Prana saat melihat keributan kecil itu. Mungkin ini hal baru baginya. Mungkin di keluarganya yang harmonis dan manis, keributan aneh seperti ini tidak pernah masuk ke daftar bercandaan.
Sementara di rumah ini, love-hate relationship antara Novian dan Moza sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Mereka baru benar-benar akur ketika menonton konser saja. Lebih karena Novian sadar tugasnya untuk menjaga Moza agar tidak kena senggol dan pulang dengan utuh. Di luar itu ya, seperti kembaran yang sulit akur.
Akhirnya makan malam benar-benar dimulai dengan normal. Papa yang aktif bertanya ke tamu spesialnya seraya diselingi mengulang template cerita yang Moza dan abang-abangnya hapal mati. Bagaimana dulu Papa bekerja jadi chef di hotel, kecintaannya dengan memasak, hingga bagaimana Dapur Ngebul ini berdiri—minus cerita tragis pecahnya keluarga ini yang tidak direveal daripada membuat suasana hangat menjadi canggung.
Tampaknya Prana juga paham. Lelaki itu tidak menyinggung ke mana perginya sosok lemah lembut yang mungkin memiliki senyum teduh yang seharusnya ikut duduk makan malam di sini bersama mereka. Semakin diperkuat dengan foto keluarga yang terpajang di bawah kipas tempel. Tidak ada sosok perempuan selain Moza di sana.
Moza duduk di pojok dekat Bang Kendra, sementara Prana di pojok yang lain. Dia tidak terlibat dalam obrolan, hanya menjadi pendengar sambil membayangkan dirinya sedang menonton konser Nadin Amizah. Dia yang akan paling kencang ikut bernyanyi ketika tiba giliran lagu Amin Paling Serius dibawakan Nadin. Syukur-syukur ada kejutan Sal Priadi yang tiba-tiba muncul di atas panggung. Atau malah ada Kunto Aji. Ya Tuhan....
Dia mendesah sedih dan terdengar oleh semua orang karena kebetulan obrolan sempat terjeda.
“Nape lu?” Bang Nopi ada di sebelahnya menyenggol bingung. “Jerawat pecah? Makanya jangan dipencetin gue bilang apa. Ngeyel!”
Bang Kendra mengoreksi. “Gagal kencan sama monyetnya.”
Bukan itu konteksnya, tapi ya sudahlah. Terserah. Moza menggigit paha ayamnya.
“Haikal ngajak ke mana?” Papa turut bertanya.
“Paling nongkrong di jembatan layang.”
“BangKe, nggak mungkin jembatan layang, dia lahir bawa sendok emas. Siapa tahu adik manis kita ini mau diajak dinner di atas kapal pesiar.” Hanya Bang Nopi yang berani memanggil abang kedua mereka dengan sebutan itu. Oh, kadang Moza juga ikutan kalau benar-benar jengkel dengan kelakuan Bang Kendra.
“Oh, belain. Kayaknya lo yang mau nikah sama dia ya, Nop.”
Bang Ridwan mendecak.
“Nggak ada bendera pelangi di keluarga ini, Bang. Lu jangan bikin tanduk Papa muncul dong. Minggu gue mau sunmori ke Priuk izin nggak turun salah lo ye.”
“Tukang makan gaji buta.”
Papa berdeham. Malas dengan candaan anak-anaknya, dia pun memilih menanyai Prana lagi.
Yang bisa disimpulkan Moza dari sesi tanya jawab; Prana ini sepantaran dengannya. Mengajar sebagai guru mapel penjaskes—pantas badannya tegap bagus, soal mi instan tadi paling hanya untuk merendah. Punya adik perempuan satu. Orangtuanya terdengar harmonis dan baik-baik saja. Keputusan mengontrak rumah ini pun disetujui tanpa drama apa-apa.
Coba kalau Moza yang mencetuskan ide untuk ngekos, wajan raksasa yang tadi digunakan Om Jule menggoreng ayam pasti sudah melayang padanya. Papa benci ide Moza meninggalkan rumah. Itu yang membuat Moza langganan tipes sewaktu masih kuliah karena jarak tempuhnya yang lumayan.
Makanya mau main ke mana-mana juga jadi susah. Cuma Mawar yang bisa mengerti segala keribetan hidupnya.
Piring-piring sudah disingkirkan, menyisakan gelas dan sepiring gorengan yang tinggal tiga biji. Moza ikut mengangkut piring-piring kotor ke belakang dengan Om Jule sementara para lelaki masih di depan, melanjutkan obrolan seru dengan gaya nyaman masing-masing. Sekilas bisa Moza lihat kalau Prana mudah berbaur dengan keluarganya. Tidak ada gestur kaku atau canggung tapi tetap santun tiap kali menjawab pertanyaan Papa.
Prana pamit pulang pukul sepuluh karena sungkan melihat wajah-wajah yang sebenarnya lelah meski obrolan mereka masih seru untuk dilanjut. Dia berterima kasih berkali-kali dan memuji keahlian Papa yang bisa menjadikan makanan yang sering dia lihat menjadi luar biasa enak di lidah.
Moza lekas naik ke lantai tiga. Punggungnya sudah menjerit minta rebahan. Karena langit sedang bagus, dia memilih duduk di kursi malas sambil menatap taburan bintang selagi menunggu kantuk datang. Ada novel tebal di pangkuan yang belum selesai dia tamatkan, rencananya malam ini.
Tenang dan damai sebelum abangnya grasak-grusuk datang.
“Lo naksir sama Prana, Ja?”
Tanpa mengalihkan mata dari langit. “Enggak, kata Bang Ridwan udah mau nikah. Males nyenggol punya orang.”
“Nikah muda? Abang tertua kita aja belum ketemu jodohnya.” Bang Nopi mengempaskan diri di bean bag sebelah kursi. “Lagian ngaco, dia nggak pake cincin apa-apa. Dikibulin lu sama Bang Ridwan biar nggak ganjen aja ke temennya.”
“Cincinnya disimpen, takut rusak kali. Gue lebih percaya sama Bang Ridwan sih ketimbang lo, Bang.”
“Bodo ah. Gue tetep setuju lo sama Haikal.”
“Yang jalanin kan gue. Yang nanti nikah kan gue juga.”
“Tapi kalau lo kaya raya, gue kecipratan, Jaja-ku Sayang.”
Moza menipiskan bibir, menyingkirkan tangan abangnya dari kepala. Untung stok sabarnya luar biasa. Terlahir dengan tiga abang yang punya watak ajaib semua, membuatnya jadi tahan banting dan hampir-hampir semua keusilan mereka tidak pernah dia masukkan ke hati. Kalau bisa minggat, sudah minggat dia sejak dulu.
“Gue udah list apa aja yang pengin gue beli kalau Haikal jadi ipar gue beneran.”
Satu gebukan bantal melayang tepat mengenai wajah Novian, tapi tak menyurutkan niatnya menyebutkan barang-barang mahal incarannya kalau terkabul iparan dengan Haikal.
Iphone series terbaru. Vespa antik. Kebun jeruk berhektar-hektar. Pabrik choki-choki.
***
Publish KK: Sabtu/17.09.2022
Publish wp: 22.09.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top