Chapter 1

WARNING

Genre: family comedy, romance

Jumlah chapter: 30+

Tayang: Karyakarsa (Kamis, Sabtu & Selasa)

Harga: 2000-3000/chapter

Hanya tayang 1 chapter saja di Wattpad dan selanjutnya akan di Karyakarsa 😉🙏


***

Kesibukan rumah tiga lantai itu dimulai pukul tiga pagi.

Jule mengeluarkan mobil serta memanasi mesin sementara Yudha membangunkan bungsunya yang kena hukum ikut belanja ke pasar karena kemarin ketahuan pergi menonton konser diam-diam. Meski perginya juga dengan salah satu abangnya, Yudha tetap murka. Bukannya dia selalu melarang, tapi anak itu sudah nonton konser juga minggu lalu. Hal yang terlalu sering ini membuat Yudha khawatir pada anak gadisnya.

Lihat saja besok-besok, anak itu tetap akan nonton konser lagi. Hukuman ini tidak memberi efek jera apa-apa. Tapi dengan senang hati dia membawa Moza ke pasar. Dia memanjakan Moza, tapi tidak membiarkan putrinya tersebut menjadi manja. Hal yang ingin dia tanamkan ke Moza adalah meski dia perempuan, dia bisa melakukan banyak hal tanpa menunggu bantuan orang lain.

"Papa, Bang Nopi yang ngajak. Yang semalem itu penyanyi favorit dia, bukan aku. Aku cuma korban di sini."

Yudha menyibak selimut, memanggul tubuh putrinya dengan mudah. "Bang Novian milih hukuman ngupas bawang."

Di usianya yang sudah kelewat kepala lima, Yudha masih kuat menggotong putrinya dari lantai tiga tanpa kepayahan. Ini karena tubuh Moza yang memang ringan. Sebanyak apa pun makanan yang masuk ke tubuh putrinya tidak pernah menjadi lemak. Mungkin jadi dosa dan sifat menjengkelkan lainnya.

Moza diturunkan di samping mobil, dipakaikan jaket-hadiah-motor yang menenggelamkan tubuh mungilnya. Menguap lebar dan didorong pelan masuk ke bangku tengah. Bukan dia tidak suka ke pasar, tapi baru empat jam dia tidur karena mesti mendengar Papa kultum dulu sebelum menjatuhkan hukuman ke dua anaknya yang bandel itu.

"Biarin aku cuci muka dulu, Pa."

"Nggak usah, kelamaan. Nanti cuci muka pake embun di jalan." Dan pintu pun ditutup.

Di bangku depan, Om Jule menyetir dengan mata yang sudah segar—sudah terbiasa bangun jam segini. Moza masih terkantuk-kantuk bahkan gelombang polisi tidur membuatnya seperti dininabobokan. Kepalanya kembali tegak saat terdengar obrolan.

"Temennya Ridwan jadi ngontrak di rumah depan, Bos?" Om Jule bertanya untuk mengisi hening.

"Kayaknya jadi. Kemarin udah lihat-lihat. Kalau cocok mau pindahan hari ini juga."

"Dia temen ngajarnya Ridwan?"

"Iya, Jul. Mau mandiri katanya. Padahal juga orang sini aja, bukan luar kota yang jauh banget."

Moza menguap lebar sekali. Untung tidak ada abang sulungnya, dijamin dia diceramahi soal jin yang ikut masuk karena barusan Moza lupa menutup mulut.

"Oja."

Namanya Moza Queensha Andzani, tapi sudah khatam mendengar nama cantiknya dinistakan oleh papa sendiri dan ketiga abang kandungnya, serta teman-temannya.

Moja. Oja. Ojak. Jaja.

Yang memanggilnya Moza dengan benar hanya Om Jule. Sementara dia kadang menamai dirinya sendiri Mojarela—keju favoritnya.

Moza juga bingung kenapa namanya jadi begini. Apa nama-nama kalian juga mudah dinistakan seperti namanya? Nama kita tidak salah, orang-orang di sekitar kita saja yang kelewat kreatif.

Dan kita tunggu apakah akan ada sebutan baru untuknya.

"Ya, Pa?"

"Kamu udah beneran putus sama si Jabrik, 'kan?"

Jabrik ini pacar Moza yang dia putuskan bulan lalu setelah jadian selama dua minggu. Gaya rambutnya mohawk dan meski berkali-kali sudah dikoreksi jika namanya Galih, Papa tetap memanggilnya si Jabrik. Semua orang rumah tidak suka dengan Jabrik yang memang ada bau-bau madesu. Putusnya mereka bahkan dirayakan seisi rumah—Moza tidak sakit hati, dia tidak cinta-cinta amat dengan lelaki parasit yang ternyata mokondo. Masa' dua minggu pacaran minta dibayarin Air Jordan! Agak laen memang!

"Duh, males banget bahas dia, Pa. Baru juga ayam berkokok."

"Ini yang terakhir, Papa cuma mastiin aja. Jangan-jangan kamu nonton konser sama dia. Novian disogok choki-choki juga doyan."

"Astagfirullah." Hilang sudah kantuknya. "Aku mestinya pergi sama Bang Ridwan aja kemarin."

"Kalau sama dia, kamu dibawa ke pangajian bukannya konser. Harusnya kamu lebih dekat sama abang sulungmu, nempel sama Novian konsar-konser teroossss!"

Papa salah. Moza ini tempat pertemuan dari berbagai sifat dan kebiasaan ketiga abangnya. Sebagai bungsu yang dididik untuk family oriented, dia mewarisi beberapa sifat mereka.

Ridwan. 29 tahun. Abang sulung. Darinya dia mendapat ilmu agama secara cuma-cuma. Salatnya jadi rajin meski bolong sesekali. Orang yang paling rajin ke masjid. Terlalu alim sih tidak, abangnya ini tetap punya sisi manusiawi yang membuat orang mempertanyakan dia punya berapa kepribadian.

Kendra. 27 tahun. Abang kedua. Yang memuja kebersihan, kerapihan dan kesehatan menjadikan Moza nyaris OCD. Dia sering membawa tisu basah ke mana-mana. Setiap membeli sesuatu dia otomatis membaca informasi nilai gizi dalam kemasan. Stok mi instannya juga tidak pernah banyak gara-gara manusia satu ini.

Abang ketiga. 25 tahun. Novian. Si anak senja yang hobi vespaan keliling ibu kota. Dia juga yang turut andil membuat salat Moza bolong. Sering disebut sebagai kembaran Moza karena wajah mereka paling mirip dan umur yang hanya terpaut satu tahun. Punya banyak kepribadian yang lebih bikin geleng-geleng daripada Ridwan.

Moza bahkan tidak tahu mewarisi sifat apa dari Papa atau Mama. Yang dominan sepertinya ketiga abangnya yang tanpa Moza sendiri sadari sering mencuci otaknya dengan berbagai cara. Dulu dia sempat krisis identitas. Diajak berangkat pengajian, ya ayo. Diajak mengelap sendok hingga mengilap, ya nurut. Nonton konser band indie, gassss!

Ini bukan beban, Moza menikmati menjadi bungsu dan satu-satunya perempuan yang ada di rumah setelah Papa-Mama bercerai sepuluh tahun lalu. Alasan mereka berpisah klise, tidak cocok dan diputuskan jika anak-anak ikut Papa semua. Yang ini Moza tidak tahu kenapa, saat itu umurnya masih empatbelas, belum sepenuhnya mengerti kerumitan orang dewasa. Kalau ditanya lebih sayang siapa, dia akan jawab sayang dua-duanya.

Mobil berbelok ke jalan kecil di samping bangunan pasar. Moza menurunkan jendela dan seketika bau tai ayam dari truk pengangkut menyerbu masuk. Stella jeruk di dalam mobil kalah telak. Dia misuh-misuh sambil menaikan kaca lagi. Lebih baik mabok stella jeruk.

Dan ya, selamat datang di hidup Queen Mojarela.

Setelah mobil terparkir, Moza merapatkan jaket-hadiah-motor yang dia kenakan, lalu sebuah tas belanja dikalungkan Papa begitu saja di lehernya. Bagai anak kambing dia mengekor ke mana kaki papanya melangkah. Ini bukan pertama kali dia ikut ke pasar. Yang berat adalah melawan rasa kantuk dan malasnya.

Semua list belanja segera memenuhi tas-tas belanjaan. Moza menenteng dua tas yang penuh sesak berisi sayuran. Sementara para daging dan ikan dibawa Om Jule. Papa yang kebagian melakukan transaksi dan melempar candaan sesekali ke pedagang yang sudah jadi langganan. Social energy-nya luar biasa. Papa adalah morning person paling keren dalam hidupnya.

Mereka tiba di rumah pukul lima. Lampu-lampu jalan belum dimatikan. Jalanan kompleks juga belum ramai. Dengan cekatan Om Jule menurunkan semua belanjaan dibantu Papa dan Bang Ridwan yang masih pakai sarung.

Pintu besi lantai satu—yang dijadikan kedai—sudah dibuka separuh. Bang Kendra sedang mengelap peralatan makan di balik kaca etalase. Dijamin bisa menghabiskan waktu sejam. Moza ngeri kalau saking bersihnya itu alat makan bisa hilang.

Moza turun dari mobil dengan ogah-ogahan. Dia meregangkan tubuh dengan berbagai gaya; kanan-kiri, membungkuk, mendongak. Lalu menguap lebar dan lagi-lagi lupa menutup mulut. Matanya terpejam menikmati pagi yang dia kenali baik. Hal yang diam-diam dia syukuri karena masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Udara yang segar. Embun yang lembut menerpa wajah. Kicau burung yang terbang rendah di atap-atap rumah. Kesibukan pagi di kompleks perumahan yang akrab di telinganya.

"Hai ... adiknya Bang Ridwan ya?"

Tubuhnya berputar ke arah sumber suara. Mulutnya terkatup kelewat cepat—kapan coba dia mangapnya? Kedua tangannya pun turun kikuk ke sisi tubuh.

Moza sedikit mendongak. Tidak perlu hitungan detik, dia langsung terpana hebat.

Demi sempak micky mouse Bang Nopi yang berkibar-kibar di rooftop, Refal Hady ada di depannya sekarang!

Apakah ini jawaban kenapa dia tidak pernah bersih setiap kali menyapu dan selalu kena omel Bang Kendra?

Sebuah tangan melambai di depan mukanya.

Moza mengerjap. "Ya? Apa?" Apa pertanyaannya tadi?

Lesung pipinya muncul satu. "Iya, pasti adiknya Bang Ridwan. Kalian mirip."

Suaranya berat tapi adem seperti ubin masjid. Tatapan matanya juga teduh. Moza siap meleleh seperti keju moza—

"Ojaaaak."

Tatapan Refal Hady melewati puncak kepala Moza. Menatap ke pemilik suara yang ada di belakang sana, tapi tak lama mata lelaki ini kembali padanya.

Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua di tengah jalan. Berdiri berhadapan dengan jarak dua langkah. Agak gugup tapi Moza sulit berpaling dari wajahnya.

"Ojak?" Dia bingung. Mungkin geli dan merasa aneh dengan panggilan itu. Atau malah teringat dengan ayahnya Ayu Ting-ting? Padahal lafalnya beda.

"Nggak, bukan, gue Moz—"

"Salat Subuh, Ojaaaak!"

***




Sampai ketemu di KK. Chapter 2 sudah update ❤

Kamis/15.09.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top