#7 (A)

"Tidakkah kau ingin membeli sesuatu untuk ketiga kakak tiri kita?" tanya Chester pada Cheryl di sela-sela obrolan usai sarapan.

Cheryl memandang Chester penuh arti. Dia mulai merasa simpatik. Dan kian jauh tertarik pada pemuda di hadapannya ini. Satu tangannya menyibak sekelebat untaian rambut pirangnya yang menghalangi pandangan.

"Apa kau sudah tahu siapa itu Don, Sarron dan Farah beserta selera mereka masing-masing?" tanyanya dengan nada penuh percaya diri.

"Well, setidaknya kita sudah menanamkan kesan baik sebagai saudara yang hangat," sahut Chester semanis wajahnya,

"Perhatian merupakan suatu usaha yang bagus daripada datang dengan tangan kosong."

"Aku jadi berpikir," pandangan Cheryl separuh menerawang dan separuh menatap Chester,

"Siapa di antara kita yang lahir duluan, ya?"

"Ehm... aku juga berpikir dan merasakan hal yang sama, tapi aku tidak... belum tahu. Karena baru kali ini kita bertemu."

"Aku merasa pernah mengenalmu," sahut Cheryl mantap, lalu seakan mengulanginya, "pernah bertemu denganmu. Kau tak asing bagiku."

Hati dan pandangan Chester juga menyatakan perkataan yang sama. Namun logikanya yang lebih banyak berbicara.

Maka dia menyambung, "Jika memang begitu, dua pertanyaan besarnya adalah, kenapa kita dipisahkan dari kakak-kakak kita?

"Dan yang satu lagi, kenapa kita berdua dipisahkan?"

Cheryl tersentak kembali. Kali ini sekaligus terpesona dengan daya pikir Chester, yang lalu berasumsi,

"Mungkin jika seandainya kehadiran kita tidak diinginkan oleh ketiga Cherlone itu, kita bisa saja dibiarkan hidup -- tinggal dalam atap yang sama selama ini. Dua kehidupan yang bersinggungan, saling mengisi dan saling menyayangi sebagai pasangan kakak beradik.

"Kenapa itu tidak terjadi pada kita berdua? Padahal bukankah kita ini sepasang anggota keluarga Cherlone yang lain?"

"Mengapa tidak terpikir olehmu jikalau seandainya orang tua kita sendiri yang berkeinginan begitu?" Cheryl melihat celah lain,

"Bisa saja kita tinggal di rumah Cherlone meski mungkin ketiga anak itu keberatan... eh, lagi pula kenapa mereka harus keberatan?

"Bukankah mereka malah seharusnya senang bisa punya dua orang adik lagi?"

"Atau...," Chester sampai pada sebuah kesimpulan, "kita ini anak-anak Cherlone di luar nikah?"

Spontan Cheryl mengatupkan bibir dan memasang telunjuk di depannya sambil berdesis pelan.

Usai menanyakan itu, kedua mata Chester berkeliling dengan hati-hati dan waspada. Dia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. Memaksa Cheryl mencondongkan badan selesai menggeser kursinya agak lebih dekat dengan meja.

"Mungkin Brandon punya simpanan yang membuatnya bingung, dinikahi atau tidak. Alasan klasik yang terus berulang kali terjadi sejak masa kuno. Mencintai dua perempuan, dan mulai merasa bosan dengan perempuan yang resmi dinikahinya. Dan selanjutnya kau sudah tahu...

"Itu yang menjelaskan kenapa kau menghabiskan masa kecilmu di panti asuhan. Tapi aku juga merasa bingung jikalau memang itu kebenarannya. Aku punya sepasang suami istri yang jelas-jelas mengaku sebagai orang tuaku, dan memperlakukanku sebagai anak mereka. Aku tumbuh dalam asuhan mereka sejak masih balita. Sungguh aneh kelihatannya."

"Mungkin saja ketika kau lahir, kondisi keuangan Ayah sudah lebih kuat untuk membayar sepasang suami istri untuk mengadopsimu," giliran Cheryl berasumsi,

"Sedangkan aku, bisa saja waktu itu bisnisnya sedang dalam tahap perkembangan yang masih butuh dana besar. Berarti, aku ini kakakmu, dan kau adikku," sambil memasang senyum kemenangan.

"Berapa tahun umurmu?"

"Pokoknya kau pasti dua atau tiga tahun lebih muda dariku," Cheryl tertawa meremehkan,

"Dua puluh satu."

"Aku juga dua puluh satu," Chester menyeringai, "dua belas Juni dua puluh satu tahun yang lalu."

Cheryl melongo, "Aku juga dua belas Juni."

"Berarti tanggal lahir kita sama," sahut Chester simpel, sambil tersenyum kecil.

Sembari melongok arlojinya, dia berkata, "Kita harus cepat kalau mau membelikan sesuatu untuk kakak-kakak kita. Lima belas menit lagi pukul sembilan."

Tak lama kemudian, keduanya sudah berjalan di jalan raya distrik lima Area London. Sejak mengetahui tanggal lahir yang sama tadi, Cheryl tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Kenapa kau diam saja?" Chester membuka obrolan dengan ramah.

"Bukankah kau bisa membaca pikiran?"

"Tidak perlu, kau gampang ditebak," senyum yang Chester tampilkan dimaksudkan untuk tidak memengaruhi perasaan Cheryl,

"Kau pasti masih memikirkan hubungan persaudaraan kita sejak dua belas Juni tadi itu."

"Ya," sahut Cheryl tenang, "logisnya, saudara kandung yang lahir pada hari yang sama merupakan saudara kembar."

"Ya, kau benar juga," Chester mempertimbangkan, "tapi..."

"Tapi apa? Kau juga gampang ditebak," Cheryl tersenyum sinis,

"Kau mau bilang kalau kita tidak mirip. Katakan saja kalau dugaanku itu benar."

"Itu juga logis. Kau perempuan dan aku laki-laki, jadi jelas kenapa kita tidak mirip. Penjelasan yang cukup sederhana."

"Pasangan kembar yang berbeda jenis kelamin," Cheryl mengulangi dugaan yang sama sambil berpikir sejenak, "berarti kita butuh cermin yang sesuai untuk mengukur tingkat kemiripan fisik kita.

"Dan sekaligus juga dapat membelikan sesuatu untuk ketiga kakak itu. Aku tahu tempat yang tepat."

Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah berada di dalam sebuah toko pakaian. Mereka berdiri berdampingan di hadapan cermin yang berukuran sesuai dengan tinggi badan - sama-sama seratus tujuh puluh dua senti. Juga selebar penggabungan badan keduanya.

"Well, rambut asliku sebenarnya pirang," Chester membuat suatu pengakuan, "tapi aku kurang begitu suka.

"Jadi sejak remaja, kuganti saja warnanya yang membuatku menjadi terkesan kurang tegas itu."

Tangan kiri Chester membelai rambut pirang Cheryl. Mulai merasakan sensasinya dengan semua indranya,

"Punyamu bagus, dan sungguh indah. Aku sangat menyukainya."

Menghargai ketulusan Chester, Cheryl menyahut sambil menyeringai, "Seandainya kau bukan kembaranku, sudah kuhajar tulang keringmu."

"Kau sungguh menarik kalo lagi judes begitu," canda Chester, lalu tangannya menunjuk ke cermin.

Tangan Cheryl menepuk kencang bahu saudara kembarnya itu. Kontan Chester memegangi pundak kirinya setengah meringis dan separuh nyengir.

"Hei, bentuk hidung kita sama selain warna bola mata yang biru bening," kata Cheryl menunjuk ke cermin.

"Ya, semoga bentuk hidung yang membawa keberuntungan hidup," Chester berharap. Lalu ia menemukan kemiripan lain,

"Bentuk wajah kita sama-sama agak bulat dengan rahang agak menonjol. Alis hitam kecokelatan tebal. Alis itu... (sambil menunjuk kedua pasang rambut hitam di atas mata mereka)

"Itu salah satu ciri khas fisiknya Brandon Cherlone. Aku ingat betul persisnya setiap dia muncul di pemberitaan media."

"Bilyuner yang malang itu?" terdengar sahutan dari belakang mereka.

Chester dan Cheryl berbalik.

Seorang laki-laki gemuk dengan penampilan kasarlah yang mengucapkan pertanyaan bernada sinis dan menghina tadi itu. Kumis dan janggut yang tak terawat menghiasi wajah lusuh itu. Perut buncitnya mengintip dari balik kaos yang agak kekecilan. Kedua lengan dihiasi tato di sana-sini.

******

Siapakah orang ini?
Kejutan apa yang didapat Chester dan Cheryl dari sosok ini?
Ayo lanjut saja ke bagian kedua dari chapter ini.
(Astardi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top