#5 (A)
Surel misterius itu masih mengganggu pikiran Chester saat sudah melangkahkan kaki di halte Distrik lima Area London. Baru saja keluar dari sebuah kereta api cepat yang membawanya dari Area Filipina.
Sudah pukul delapan, dan perutnya belum terisi sepenuhnya. Gara-gara surel bernada ancaman yang datang persis sesudah berita kematian Brandon Cherlone. Setelah itu, dia segera beranjak ke kamar mandi dan mempersiapkan diri dengan terburu-buru. Termasuk ketika menyantap beberapa sendok sereal.
Menurut analisanya, surel tersebut berkaitan erat dengan panggilan telepon pagi-pagi buta yang membangunkan tidurnya.
Begitu tiba di Area London, kontan perut kosongnya minta diisi lagi. Kedua matanya segera mencari-cari tempat makan. Beruntung baginya, ada kedai yang cukup enak sekitar lima kilo dari halte. Malangnya, itu masih waktunya santap sarapan.
Matanya berkeliling cepat mencari tempat kosong. Kelihatannya ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Semua tempat di situ terisi penuh. Kecuali, sebuah kursi tak bertuan yang berhadapan dengan kursi yang diduduki seorang perempuan muda. Pada meja yang sebenarnya diperuntukkan untuk dua orang.
Chester menghampirinya. Si perempuan cantik yang berambut pirang sebahu memalingkan kepala ke arahnya. Pandangan mata mereka sontak bertemu.
Kedua pasang mata biru yang sama-sama jernih beradu sesaat. Pikiran Chester menghantam keras benak Cheryl. Penglihatan Cheryl menubruk kencang takdir Chester.
Sehingga untuk sekian detik lamanya, keduanya diam terpaku dalam keheningan. Saling menatap tajam, dengan diselimuti rasa terkoneksi yang mendadak muncul.
Mereka belum pernah bertemu satu kali pun seumur hidup.
Namun, ada sesuatu dalam diri masing-masing yang berbicara kalau sesungguhnya dirinya mempunyai jalinan erat tak terpisahkan dengan sosok di hadapannya. Sesuatu yang tak terkatakan, namun bisa dirasakan dan terlebih, sangat mungkin untuk diungkapkan.
Cheryl mengedipkan mata. Seulas senyuman manis tersungging di bibir yang mungil - menyapa Chester. Kehangatan yang disertai kelembutan memasuki dan memenuhi hati sang laki-laki. Berhasil mengusir semua yang mengusik dirinya pada awal hari tadi. Beban pikiran pun secepatnya menyingkir dari kepala Cheryl.
"Hai," Chester duluan yang menyapa.
Kondisi perut memaksa tangan kanannya langsung menunjuk kursi kosong di seberang Cheryl. Sambil berujar, "Boleh aku duduk di situ?"
"Lihatlah," kedua tangannya mengajak Cheryl mengitari kedai itu.
"Tidak ada lagi tempat duduk, dan perutku lapar sekali," katanya sambil mengelus perut.
Masih diiringi senyuman manis, Cheryl menganggukkan kepala ke arah kursi yang dimaksud, "Tentu saja, kenapa tidak boleh?"
Chester bergerak menghampiri tempatnya dan segera duduk. Pandangan kedua pasang mata ini tak beranjak sedetik pun. Saling memperhatikan, saling mengawasi, saling menyelidik, dan berakhir dengan ketertarikan besar di dalam hati keduanya.
Chester ikut tersenyum begitu pantatnya menyentuh dudukan kursi. Senyuman yang dirasa renyah bagi Cheryl. Dia menyukainya.
"Kau sudah pesan sesuatu?
"Kalau sudah - jika aku boleh tahu, apa yang kau pesan?" tanya Chester santai.
"Rasanya, aku sangat ingin memesan tawamu," Cheryl sadar betul kalau baru sekali ini dia merayu seorang laki-laki dengan penuh kesungguhan.
Chester biasa tertawa kecil saat kaget di depan seorang perempuan cantik. Tak terlintas di pikirannya bahwa seorang perempuan asing berparas cantik berani memuji dirinya di depan umum.
Kontan bakat alaminya segera diaktifkannya. Benak Cheryl dipenuhi dengan luapan emosi yang irasional - begitu juga dengan miliknya sendiri.
Mereka berdua saling menyukai.
"Tertawa tidak mengusir rasa laparku. Jadi apa yang kau pesan?"
"Roti lapis isi daging panggang dan telur mata sapi, serta salad buah. Kira-kira satu menit kupesan sebelum kau datang."
"Apa itu kesukaanmu?" tanya Chester dengan hati bergetar.
"Ya, ibu angkatku sering membuatkannya untuk sarapanku sebelum ke sekolah, dan aku tak pernah bosan. Terkadang, jika daging atau telur sedang habis, aku tak keberatan menyantap keju atau ham sebagai salah satu penggantinya."
"Aku juga sama sepertimu. Bahkan kalau aku memilih untuk memakannya di sekolah, teman-teman sering mengejekku 'anak mami'," Chester terkenang masa kecilnya. Lalu spontan hendak memanggil pelayan di ujung sana.
Dengan sigap, tangan Cheryl menahan tangan Chester yang akan terangkat.
"Biar aku pesankan saja," katanya tulus.
Terpancar kehangatan dari balik genggaman tangan Cheryl. Energi alami tubuh mereka saling bersentuhan dan menyatu.
Baik Cheryl maupun Chester sama-sama menyadari jika keduanya saling menyukai.
Seorang pelayan perempuan melewati meja saat Cheryl akan memberi isyarat pada seorang yang lain. Untunglah orang ini segera tanggap.
"Tolong berikan makanan yang sama dengan yang kupesan tadi untuk meja kami ini," pinta Cheryl.
"Termasuk minumannya juga?" tanya pelayan itu.
"Kau suka jus lemon juga?" tanya Cheryl pada Chester. Yang ditanya menjawab dengan anggukan yang diselimuti dengan rasa heran.
Ketika pelayan itu berlalu, giliran kedua tangan Chester mendekati dan menangkap satu telapak tangan Cheryl.
"Hei, tidakkah kau sadari kalau selera makan dan minum kita sama persis?"
"Apa maksudmu? Memang banyak orang yang punya selera makan dan minum yang sama. Apa anehnya?"
"Kau bukan warga London, dan kau pasti punya kepentingan tertentu di sini," Chester membuat Cheryl mengisi pikirannya dengan data-data.
"Ya, memang begitu. Dari mana kau tahu?"
Cheryl terpancing. Tapi saat Chester akan menanyakan lagi, dia sudah keburu menyela, "Ingat, kita belum berkenalan. Aku tidak mau kalau di antara kita hanya ada panggilan 'kau' dan 'aku' selamanya."
"Kau punya selera humor yang bagus," Chester memamerkan giginya.
"Ayolah, masakan kau tak mau tau siapa namaku," tangan Cheryl sudah terjulur, tidak sabaran.
Chester menyambutnya, "Chester Lombardo. Tapi beberapa jam lalu ada seseorang yang menyanggah nama keluargaku."
******
Gimana kelanjutan cerita pertemuan Chester dan Cheryl
untuk pertama kalinya seumur hidup mereka?
Ayo lanjut saja ke bagian kedua dari chapter 5 ini.
(Astardi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top