4 - The Bloody Wall


Ketika lampu terakhir di kamar sang Butler dimatikan, sesosok bayangan bergerak dalam subuh.

Lincah tak bersuara seakan telah seumur hidup tinggal dalam bayangan.

Dalam jeda waktu beberapa saat sebelum matahari terbit, sebelum penghuni manor pertama bangun, bayangan itu menyelinap masuk ke dalam ruang makan. Mengendap dan menatap sekeliling mencari sesuatu.

Akhirnya dia menemukannya, sebilah pisau di antara peralatan perak.

Darah tercurah dan dia menuliskan sesuatu di tembok dalam kegelapan di ruang makan.

Tenggelam dalam dunianya, sosok itu tak menyadari bahwa pagi telah tiba. Seorang pelayan wanita yang memulai tugas pagi bergerak ke ruang makan untuk menyiapkan sarapan, berteriak dan menjatuhkan tumpukan piring yang dia bawa.

Gema suara pecahan piring dan jeritan memenuhi manor, membangunkan dunia.

Bayangan itu terkejut, tak menyangka datangnya pengganggu. Dia terlonjak, memandangi sang pelayan yang menatapnya nanar.

Jeritan kedua kembali terdengar.

Kepanikan menjalar dan sosok itu mencari jalan keluar.

======

Saat suara teriakan pertama memecah sunyi, Harold pikir dia sedang bermimpi. Semalam dia tertidur di manor. Sehabis memeriksa Henry Myrtle, dia masuk ke kamar yang sekaligus berfungsi menjadi ruang kerjanya, lantas hingga dini hari sibuk merapikan barang-barangnya. Sekadar untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dia perlu angkat kaki dari tempat itu.

Ketika teriakan kedua terdengar, Harold masih mengira dia sedang bermimpi. Tapi, kedua matanya telah terbuka. Dia kemudian mengambil kacamata dan menyisir rambutnya dengan tangan. Belum sempat dia merapikan kemeja yang dikenakan, suara langkah kaki berderap di luar kamarnya. Seseorang--atau lebih--tengah berlari menuruni tangga.

Sesuatu yang buruk telah terjadi, pikir pria dengan rambut ikal bergelombang itu.

Buru-buru Harold mengenakan kacamata, lalu tanpa sempat memeriksa penampilannya di cermin, dia pun bergegas menyusul ke luar. Tungkai panjangnya melangkah cepat, melompati dua anak tangga sekaligus. Rasa penasaran terus menderu di dadanya.

Sesuatu yang buruk telah terjadi.

Akhirnya, Harold tiba di lantai dasar. Samar-samar terdengar suara kasak-kusuk dari para pegawai yang berusaha mengintip ke arah ruang makan. Harold dapat melihat bergerombol di dekat pintu dapur ketika akhirnya dia melintasi pintu ruang makan yang terhubung ke tangga.

Akio Kai dan Detektif Whetstone telah lebih dulu ada di sana, sementara sosok Mary dan Gaela tidak terlihat di mana pun. Kedua pria itu tak menyapanya. Perhatian mereka tersita pada satu sisi dinding. Harold pun refleks menoleh ke arah dinding tersebut. Perhatiannya langsung tersita pada coretan berwarna merah yang karut-marut di dinding.

"Apa itu darah? Apakah ada yang terluka?" tanya Harold kepada kedua pria itu, atau siapa pun yang berkenan memberikan penjelasan.

"Sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang terluka," jawab Akio. Pria itu terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Semoga saja Maid yang mengejar pelaku tidak mendapat luka."

"Maid?" timpal Harold. Namun, Akio tidak mendengarnya. Butler itu kembali sibuk memperhatikan kekacauan yang terjadi di ruang makan, mungkin sedang memikirkan bagaiman cara menghilangkan noda darah itu dari dinding.

Harold kembali melayangkan pandangan pada dinding penuh coretan itu. Pelapis dinding ruang makan dipenuhi bercak darah berbentuk telapak tangan dan beberapa bentuk seperti usapan. Sepintas, garis-garis yang ditorehkan terlihat acak dan tidak berarti apa-apa. Namun, saat diamati dengan lebih saksama, coretan tersebut membentuk sebuah tulisan.

"K E L U A R"

Demikian yang tertulis secara kasar di dinding, menggunakan darah. Tulisan besar yang mengisi bagian tengah dinding ruang makan.

Perhatian Harold tertuju pada pecahan piring yang terserak di lantai. Jeritan tadi bukan hanya ada dalam bunga tidurnya. Setidaknya salah satu maid benar-benar menjerit.

Mungkinkah dia sempat bertemu pelaku?

Harold tidak habis pikir. Siapa orang yang berani membuat onar seperti saat seorang detektif polisi dan rekannya tidur di bawah atap yang sama dengan tempat kejadian perkara. Nama yang terlintas pertama kali di benak Harold adalah Richard, tapi setahunya tukang kebun Myrtlegrove Estate itu buta huruf.

Lalu ... siapa?

Beribu tanya menghantui benak Harold. Diliriknya pisau yang tergeletak di lantai. Tampaknya si pelaku menggunakan pisau itu untuk merajah diri. Maid yang menyaksikan hal itu pasti kaget sekali.

Ah, aku harus memeriksanya. Harold langsung menuju dapur. Dan mungkin mencari informasi.

"Apakah ada yang terluka?" Harold mengulang pertanyaan yang sempat dia ajukan tadi, tapi kali ini pertanyaan itu dia tujukan kepada para pelayan yang tersisa di dapur.

Beberapa gadis pelayan buru-buru merubung Harold.

"Tidak ada, Dokter. Tapi, Lisbeth yang malang masih syok," jawab salah satu dari mereka. Telunjuknya terarah pada gadis lain yang duduk di salah satu sudut dapur.

Harold menyibak kerumunan dan menghampiri Beth. Gadis itu memegang secangkir teh hangat dengan kedua tangan. Wajahnya masih terlihat pucat.

"Boleh aku memeriksamu, Bethie?" tanya Harold lembut sambil berjongkok di hadapan gadis itu. Tentu saja dia tidak lupa memasang senyuman andalannya.

Rona merah mulai merebak di pipi Lisbeth. Gadis itu mengangguk, lalu menjulurkan tangannya saat Harold meminta.

Harold menempelkan telunjuk dan jari tengahnya ke pergelangan tangan Lisbeth. Denyut nadi gadis itu masih belum normal, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Kau hanya perlu menenangkan diri," kata Harold. Pria itu bangkit berdiri. "Memangnya apa yang terjadi, Bethie?"

"Ta-tadi a-aku meli–"

Belum sempat Lisbeth menyelesaikan kalimatnya, maid lain keburu menyela. "Lisbeth melihat monster yang mengacak-acak ruang makan."

"Monster?" Kening Harold berkerut dan menatap gadis yang berbicara, lalu kembali menoleh kepada Lisbeth.

"Sa-saya tidak tahu, Dokter. Saya hanya melihat sekelebat bayangan. Saya tidak bisa memastikan .. Maafkan saya." Kepala Lisbeth tertunduk.

"Tidak perlu minta maaf, Bethie. Bukan salahmu." Harold menyembunyikan rasa kecewanya di balik senyuman. Tidak ada gunanya menekan Lisbeth, apalagi Detektif Whetstone dan Akio bisa muncul kapan saja.

Firasat Harold benar. Tak lama kemudian, kepala Akio menyembul dari balik pintu.

"Kalian jangan masuk ke Dining Room dulu sampai ada pemberitahuan lebih lanjut!" perintah butler itu kepada para pegawai. "Katakan juga ke staf yang lain soal itu."

====

Meski Akio sudah memerintahkan agar tidak ada yang masuk ke dining room, Harold kembali ke ruangan itu. Akio dan Detektif Whetstone tampaknya sudah membuat barikade untuk mencegah orang lain mendekat ke dinding. Pisau yang tadi berlumuran darah sudah tidak ada lagi, mungkin telah disimpan Detektif Whetstone sebagai barang bukti.

Harold mengamati coretan di dinding dari pintu. Sebagai dokter, tentu saja dia sudah sering berurusan dengan darah, tapi pemandangan di depannya berhasil membuat jeri. Dia sudah memastikan kepada para maid dan footman, tidak ada satupun yang terluka.

Siapa?

Bayangan Richard kembali melintas di benak Harold. Akan tetapi, Harold tidak yakin bahwa kekacauan ini adalah ulah tukang kebun itu. Meski sedikit eksentrik, Harold rasa Richard tidak akan berbuat senekat itu. Dia memang bukan seorang dokter jiwa, tapi coretan-coretan itu tampak ditorehkan oleh seseorang yang telah kehilangan akal sehat.

Sempat tebersit di pikiran Harold untuk menyusul Akio dan yang lainnya. Namun, firasat buruk kembali mendatanginya. Siapa pun yang telah membuat kekacauan pagi-pagi buta itu sedang berusaha memberikan peringatan. Firasat Harold mengatakan, seseorang–atau mungkin beberapa orang–sedang berusaha memberi petunjuk kepada Detektif Whetstone dan rekannya.

Siapa?

Harold masih belum mendapat jawabannya. Namun, dia tidak bisa tinggal diam. Dia harus memanfaatkan kekacauan malam ini. Mumpung yang lain sedang sibuk mencari 'sang pelaku', Harold memutuskan untuk membereskan beberapa hal lagi.

Harold kembali masuk ke dapur dan tanpa sepengetahuan siapa pun mengambil korek api yang tergeletak di meja pantry. Setelah itu, dia keluar melalui pintu samping gedung utama dan berjalan ke arah paviliun bersama beberapa pelayan yang akan kembali ke kamar. Namun, bukannya naik ke kamarnya yang terletak di lantai tiga, Harold justru terus berjalan melintasi kamar Akio lalu keluar melalui pintu yang mengarah ke gudang.

Seperti dugaannya, tidak ada orang di gudang. Bahkan Richard yang biasanya tidur di sana juga tidak kelihatan. Setelah memastikan sekali lagi bahwa Richard tidak sedang bersembunyi di sana, Harold berjalan mengendap-endap menuju salah satu sudut gudang yang sudah sangat dia hafal.

Beberapa jerigen penuh berisi minyak tanah tertata rapi di sana. Harold bersyukur Akio selalu memastikan persediaan bahan bakar lebih dari yang dibutuhkan untuk berjaga-jaga. Harold memindahkan beberapa jerigen dan menumpahkan isinya di berbagai penjuru gudang. Disisakannya beberapa jerigen di dekat pintu, lalu dia bergegas menuju tumpukan barang bekas di bagian belakang gudang.

Di antara tumpukan barang tak terpakai, terdapat satu bagian lantai yang tampak berbeda. Berbeda dengan area lain yang berlantai semen, sepetak lantai justru dari kayu. Harold menyingkirkan barang-barang bekas yang menutupi sebagian lantai kayu itu. Kini tampak jelas bahwa lantai kayu itu aslinya adalah sebuah pintu untuk menuju ruang bawah tanah.

Harold mematung di tempat. Sejenak dia merasa ragu. Berat rasanya harus melepaskan hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun. Namun, akan lebih berat jika Detektif Whetstone atau rekannya menemukan tempat itu.

Aku bisa melanjutkannya lagi di tempat lain. Harold berusaha meyakinkan diri.

Setelah menarik napas dalam-dalam, pria itu membuka pintu menuju ruang bawah tanah. Aroma bahan kimia segera menyapa indra penciumannya. Dia menuruni tangga dalam gelap, tidak tersandung ataupun terjerembab karena memang dia sudah menghafal setiap sudut ruangan itu. Pada saat-saat tertentu, dia lebih sering menghabiskan malam di tempat itu dibandingkan kamarnya sendiri.

Di anak tangga kelima, Harold menekan tuas sakelar yang menempel di dinding. Lampu ruang bawah tanah berkedip-kedip selama beberapa detik sebelum kemudian menyala terang. Harold melewati sebuah brankar kosong dan lemari kaca berisi botol-botol berbagai ukuran, lalu berhenti sejenak di sebuah meja putih yang dipenuhi peralatan laboratorium.

Pria itu termenung sambil menatap sendu ke arah tabung-tabung reaksi yang telah dia cuci bersih dua hari lalu saat terakhir kali mengunjungi tempat itu. Lima tahun dia curahkan untuk membuktikan teorinya. Elixir yang diciptakannya hampir sempurna, dia telah menyisihkan beberapa sampel dan menyimpannya di ruang kerja. Namun, eksperimen utamanya masih belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Dia masih belum bisa memenuhi janjinya kepada Henry Myrtle untuk membangkitkan kembali putera pengusaha itu.

"Aku harus bergegas," ujar Harold saat tersadar dari lamunan. Dia tidak punya banyak waktu. Harus segera dia selesaikan rencananya sebelum ada orang yang menyadari dirinya menghilang cukup lama.

Harold membuka laci meja dan merobek beberapa lembar terakhir. Disimpannya lembar-lembar itu ke saku jas. Setelah itu, dia menuju mesin genset di sudut laboratorium dan meraih jirigen berisi diesel. Pria itu menarik napas panjang, lalu mulai menuangkan cairan diesel ke lantai. Dia berjalan mundur menaiki tangga sambil terus menumpahkan cairan itu. Sesampainya di ujung tangga, Harold melemparkan jirigen yang di pegangnya ke dasar ruang bawah tanah.

Harold terpaku di atas pintu menuju ruang bawah tanah. Pandangan matanya terlihat nanar. Tidak dia sangka, jerih payah selama ini harus dia singkirkan begitu saja. Meski beberapa sampel penting berhasil dia selamatkan, tetap saja rasanya berat berpisah dengan laboratorium yang telah menjadi pusat dunianya selama lima tahun terakhir.

Pria itu kembali menarik napas dalam-dalam.

"Good bye," ucap Harold sambil melemparkan korek api yang menyala ke tangga menuju ruang bawah tanah.

Api mulai merambat ke meja laboratorium. Harold buru-buru menutup pintu menuju ruang bawah tanah rapat-rapat. Dia tidak bisa berlama-lama. Sebentar lagi, api akan menyambar tabung-tabung berisi cairan kimia. Ruang bawah tanah itu bisa meledak kapan saja.

Harold bergegas keluar gudang. Matahari telah merangkak naik, tapi langit masih terlihat redup, pertanda musim dingin telah makin dekat. Dia meraih jirigen minyak tanah yang tersisa. Dengan setengah berlari ke luar gudang, Harold menumpahkan sisa minyak tanah ke lantai yang dilewatinya.

Sesampainya di luar, Harold segera menyalakan korek api kedua. Kali ini, dia sama sekali tidak merasa ragu saat melemparkan korek api ke cairan minyak tanah yang menggenang di lantai. Api segera merambat dan menyambar tumpukan jerami, lalu menjalar ke benda-benda lain yang sebagian besar terbuat dari kayu dan kain.

Tanpa menoleh ke belakang, Harold berlari ke arah paviliun dan masuk ke lavatori di samping kamar Akio. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top