Part 4 : Butterfly Effect
Tidak terbayang dalam benak Samsara apa yang akan terjadi setelahnya. Entah nasib Darmi maupun ibunya yang memilih pergi. Ada sesuatu yang menjanggal di hatinya ketika melihat kepergian beliau tanpa suara maupun menoleh hanya untuk melihat putrinya untuk terakhir kali.
Sang ibu telah pergi, dan kini Darmi yang sendirian di tengah kerumunan berlinang air mata. Entah berduka, menyesal, atau justru kesal kehilangan seseorang yang bisa disuruh-suruh lagi. Tapi toh, jika misalkan Darmi benar-benar berengsek, dia tidak akan repot mencari orang lain untuk dijadikan pembantu. Itu pun jika dia memiliki uang. Setahu Samsara, sosok Darmi ini memang terbilang boros sehingga anggapan dia memiliki tabungan cukup sukar dipercaya.
Beberapa saat setelah kepergian wanita itu, warga perlahan pergi meninggalkan Darmi sendirian di tengah jalan. Bahkan pemuda-pemuda yang biasa mendekat untuk merayu dia juga menjauh seakan tidak pernah mengenal Darmi sebelumnya.
Takdir yang Diubah :
Batu Menangis
><
Darmi tidak menjadi batu menangis
Itulah notifikasi yang Samsara dapatkan waktu itu juga. Suatu pencapaian di hari pertama. Tapi, dia tidak tega meninggalkan Darmi duduk merenung di sisi jalan layaknya anak terbuang, walau pada hakikatnya memang demikian.
Hati Samsara bergerak untuk menghiburnya. Dia mendekat dan mencoba duduk di sisi Darmi yang tampak kalut pikirannya. Membiarkan orang-orang berjalan melewati mereka berdua.
"Darmi?" Samsara berucap pelan sekiranya tidak terkesan kasar.
"Diam." Darmi menanggapi, tapi dari nada suaranya terkesan tidak ada jiwa di dalamnya. Namun, Samsara tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk bicara.
Kini, Samsara yang kehilangan kata. Memang sedari tadi dia sudah merangkai kalimat agar Darmi menyadari akibat dari perbuatannya, tapi sekarang malah justru pupus sudah akibat canggung.
Samsara pikir, Darmi sebagai anak yang sudah tumbuh menjadi gadis sudah cukup berakal dan bisa merenungkan perbuatannya. Dia harap seperti itu. Bisa jadi dari sinilah Darmi bisa belajar dari pengalamannya.
Samsara menarik napas. Suasana pasar yang ramai tetap membuat dia tidak nyaman akan kecanggungan ini.
Tanpa berkata lagi, Darmi beranjak pergi dari tempatnya dan meninggalkan Samsara layaknya sang ibu pergi darinya. Tidak meninggalkan sepatah kata maupun tatapan. Hanya menjauh membiarkan lautan manusia menutupi jejaknya.
Kini tinggal Samsara di tengah pasar yang kembali ramai seperti sedia kala. Merasa tugasnya telah selesai meski tidak cukup memuaskan, dia memutuskan untuk pergi. Sudah tidak ada yang bisa dia lakukan di desa ini.
Samsara pun melangkah pergi sambil menatap pasar yang ramai seakan tidak terjadi apa-apa. Kembali berjalan, dia merenungkan kejadian tadi.
Bagaimana nasib Darmi setelahnya? Apa dia akan menjadi pribadi yang berbeda? Itu hal pasti. Tapi, apa dalam artian baik atau justru semakin parah? Tidak ada yang tahu pasti.
Samsara kembali melangkah keluar dari desa tersebut dan kembali ke hutan tempat dia masuk tadi. Mencari dongeng baru yang bisa diubah. Ada beberapa hal menjanggal dalam hatinya akibat peristiwa tadi, tapi sekarang dia harus fokus pada kejadian sekarang menuju masa yang akan datang.
Maka, dia teruskan langkah.
***
Dalam perjalanan yang cukup panjang, kaki Samsara mulai melemah sehingga dia pun duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat. Terdapat sejumlah daun kering yang menimbulkan bunyi renyah ketika diinjak, membuat siapa saja bahkan yang mengendap-endap pun bakal ketahuan. Samsara merasa aman karenanya, itulah kenapa dia memilih tempat ini.
Bersandar di pohon, membiarkan angin bersepoi-sepoi, membuat Samsara perlahan terbuai dalam tiupan angin. Matanya perlahan terasa berat hingga akhirnya terpejam.
Guk! Guk! Guk!
Samsara tersentak akibat mendengar gonggongan anjing di dalam hutan. Sontak dia melipat kaki meski masih dalam posisi duduk dan mulai siaga. Memastikan bahwa dirinya masih utuh dan tidak sedang dimakan binatang buas seperti anjing. Samsara memang tidak takut pada binatang itu, tapi dalam situasi seperti ini apa saja bisa membahayakan.
"Hei, Tumang! Hentikan itu!"
Seruan seorang pemuda membuat Samsara terkejut. Tentu dia kenal nama anjing itu apalagi sosok pemuda yang merupakan majikan dari anjing tersebut.
Tunggu, bukan majikan, melainkan anak kandungnya.
Samsara tahu dongeng ini dan dia tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Sebuah notifikasi muncul dari jam tangan yang melingkari tangannya.
Misi Baru :
Mengubah Alur Cerita Tangkuban Perahu
Samsara tidak tahu lagi harus berbuat apa hari ini. Dia tahu akar masalahnya bukan hanya berawal dari Dayang Sumbi yang tidak ingin mengambil alat tenunnya yang jatuh, melainkan juga dengan ketidaktahuan Sangkuriang bahwa Tumang ternyata ayah kandungnya. Membuat dia serta merta menjadikan jantung anjing tersebut sebagai barang ganti.
Samsara tahu alasan mengapa Tumang tidak ingin memburu babi itu. Karena babi itu jelmaan dewi yang diturunkan ke bumi bersamanya dulu, sekaligus ibu kandung dari Dayang Sumbi. Membuatnya sebagai mertua Tumang sekaligus neneknya Sangkuriang.
Tapi, bagaimana cara dia menyampaikannya? Tidak mungkin Sangkuriang bisa semudah itu percaya. Bahkan ketika Dayang Sumbi menikahi Tumang pun sampai diusir ayahnya karena dianggap gila. Meski memang setiap malam purnama Tumang akan menjelma kembali menjadi pria tampan, namun tidak pernah diceritakan apakah pernah terjadi pertemuan antara anak dan ayah itu dalam wujud manusia. Sang ibu kandung saja tidak bercerita. Bagaimana cara Samsara meyakinkan pemuda itu?
Ah, dia berpikir terlalu jauh. Bahkan saat ini hanya terlihat Tumang yang tengah menolak untuk berburu.
"Tumang! Tangkap itu!" Seruan Sangkuriang kembali terdengar. Bahkan begitu keras hingga hewan-hewan kecil pun berlari mendengarnya. "Hei, Tumang! Jangan melawanku! Ada apa denganmu?"
Sementara itu, Samsara melihat seekor babi berlari begitu kencang. Jelas sedang menghindari maut. Sementara Tumang sedang ditarik Sangkuriang untuk menerkamnya. Tentu dewa yang menjelma tadi tidak bisa bicara apalagi memberitahu pemuda itu sesuatu, bahwa babi tadi merupakan jelmaan dari seorang dewi yang juga merupakan nenek Sangkuriang.
"Kamu kenapa hari ini?!" bentak Sangkuriang yang mulai kesal. "Padahal Ibu cuma minta jantung babi!"
Di tangan Sangkuriang terdapat tombak yang dia gunakan sebagai senjata andalan. Dia pegang dengan erat dan mencoba mengarahkannya ke babi yang berlari semakin jauh.
Namun, Tumang terus menarik celananya hingga membuat pemuda itu kesulitan memasang kuda-kuda.
Akhirnya, babi itu lolos.
"Cukup sudah! Tumang, dasar kau!" Dikuasai amarah, Sangkuriang pegang tombaknya dan mengarahkannya pada Tumang.
Samsara tidak ingin melewatkan kesempatan itu, terlebih jika posisi Sangkuriang dan Tumang berada di depannya. Dengan bermodal nekat serta membendung rasa malu nanti, dia memegang beberapa buah batu.
Duk! Duk! Duk!
"Akh!"
Batu-batu itu dilempar secara acak dan tidak sengaja mengenai kaki Sangkuriang.
Tumang yang tersentak pun mundur, untungnya tidak kena.
Sangkuriang yang kesakitan pun berlutut dan melepas tombak dari pegangannya. Dia fokus memijit kakinya yang sakit.
Tumang menghampiri Sangkuriang dan mencoba menghibur dengan mengeluskan badannya pada pemuda itu.
"Aduh!" erang Sangkuriang. "Siapa itu?!"
Samsara merasa bersalah, namun di sisi lain lega karena anjing itu selamat untuk sementara waktu. Sekarang, tugasnya adalah memastikan Tumang masih hidup.
Dengan langkah setengah berani, Samsara dekati Sangkuriang. Sama halnya dengan Darmi, dia berusaha merangkai kalimat yang cukup untuk menggerakkan hati seseorang.
"Kamu pelakunya?" sembur Sangkuriang.
Bahkan dalam sekali tatap saja Sangkuriang langsung menebak. Memang jika dilihat tanpa sudut pandang Samsara, kelihatannya Samsara melakukan hal keji kepada Sangkuriang tanpa alasan.
Samsara tidak menjawab dulu sebelum melihat keadaan Tumang. Anjing itu menatapnya. Tapi, dia tidak terlihat marah maupun waspada seakan tahu niat Samsara.
"Hei! Balas, dong!" seru Sangkuriang.
Samsara tahu bahwa berceramah di hadapan lelaki ini tidak akan manjur langsung. Maka, dia coba metode ini.
"Jangan bunuh anjing itu, dia jauh lebih istimewa dari yang kaubayangkan."
"Ya, iyalah. Dia anjing keluarga ini, setiap hari menemaniku berburu dan bermain," balas Sangkuriang. "Tapi hari ini dia telah memberontak dan pantas dihukum!"
"Jangan dihukum mati juga!" balas Samsara. "Coba kamu cari hewan lain untuk diburu, atau bicarakan nanti pada ibumu soal tadi. Siapa tahu dia menyimpan sesuatu."
"Apa maksudmu?" balas Sangkuriang. "Kamu bertingkah aneh. Main lempar batu, lalu mencoba mengaturku. Siapa kamu?"
Samsara bingung harus balas apa. Tapi, dia coba menjawab sebisanya. "Aku tahu sesuatu tentangmu. Kuharap kamu akan paham, suatu saat nanti."
"Kamu maunya apa?" balas Sangkuriang dengan nada mengejek. "Atau kamu mencoba mengambil sesuatu dariku?"
"Jangan asal tuduh!" Samsara jadi waspada melihat sifat Sangkuriang yang temperamental itu. "Yang pasti, jangan bunuh Tumang bagaimanapun juga."
Tidak disangka, Sangkuriang justru menunjuk Tumang. "Apa yang terjadi jika aku membunuhnya?"
Nah, sekarang Samsara menyadari bahwa ucapan dia tadi dapat menjadi malapetaka bagi Tumang. Anak seperti Sangkuriang pasti akan membunuh Tumang demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Kalau seperti ini, tidak ada bedanya dengan cerita aslinya.
"Maka, kamu akan menerima murka dari ibumu." Samsara berucap lirih seakan takut jika itu bisa berakibat buruk pada akhir cerita.
Sangkuriang menatap kembali Tumang. Anjing itu dengan pelan mendekatkan kepalanya pada telapak tangan Sangkuriang.
Pemuda itu berucap, tapi seakan tidak tertuju pada siapa pun melainkan dirinya sendiri.
"Tumang memang sudah ada jauh sebelum aku dilahirkan. Membuat dia menjadi bagian dari keluargaku sejak lama."
Sangkuriang mengelus pucuk kepala Tumang dan memeluk anjing itu. Tentu Samsara tahu bahwa itu pelukan sebagai pemilik kepada peliharaannya alih-alih hal lain. Tidak perlu diberitahu kenyataan, yang penting sekarang Tumang selamat.
Muncul notifikasi baru.
Takdir yang Diubah :
Tangkuban Perahu
><
Sangkuriang memutuskan untuk merawat Tumang hingga usia tua
Samsara pun menjauh. Membiarkan takdir baru menuntun.
“Tunggu!”
Samsara berhenti, tetapi tak menoleh. Ayolah, dongengnya sudah berubah. Jadi, apalagi yang menahannya untuk pergi sekarang?
“Ke mana kau akan pergi? Kau harus bertanggung jawab. Bagaimana kalau tadi hanya omong kosong? Aku tidak mau dimarahi sendirian karena tak membawa hewan buruan.”
Sembari melirik, gadis dari dunia nyata itu menanggapi. “Kenapa aku harus ikut bertanggung jawab? Itu, kan, urusan keluargamu.”
Alis Sangkuriang bertaut dalam gumulan perasaan kesal.
“Kau yang melarangku membunuh anjing ini. Aku jadi tidak dapat hewan buruan karenanya.”
“Lalu, kenapa kau percaya padaku?”
Samsara merasa salah ketika mengatakan itu. Begitu mendengar balasannya, Anak Dayang Sumbi itu menyeringai tipis.
“Oh, lalu kau mau aku membunuhnya?”
Notifikasi baru berdering.
Peringatan!
Dongeng Melangkahi Probabilitas! Kembali ke Titik Awal!
Samsara yakin, wajahnya menampakkan tampang goyah yang bodoh saat ini. Seringaian Sangkuriang makin lebar.
“Atau … Apa kau mau memberikan jantungmu sebagai pengganti?”
“Tentu tidak!”
“Kalau begitu, ikut aku ke rumah.”
Gadis itu mengepalkan tangan. Oh, ini tidak akan menjadi baik. Bagaimana kalau Dayang Sumbi mengira Samsara adalah calon menantu? Bagaimana kalau itu menghalangi langkahnya untuk menuju dongeng baru? Hadiahnya akan batal didapat kalau begitu.
Tanpa diduga, Sangkuriang menarik tangan Samsara. “Ikuti saja!”
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top