tujuhbelas

“Terus?”

“Terus ... kalau jadi istri aku, gimana?

Kivia langsung terbatuk. Seperti ada serangan dadakan di tenggorokannya.

“Eh, kaget banget, Mbak Bulan.” Lagi dan lagi, Kiev menatap ekspresi Kivia dari spion motor.

“Kamu juga sih, nggak lucu tau nggak?”

“Siapa yang mau ngelucu sih, Ya? Orang aku serius.”

“Apa?”

Hingga kedatangan mereka di mess, Kivia masih terlihat syok dengan pengakuan mendadak dari Kiev. Kiev sendiri terlihat begitu canggung karena respon Kivia yang hanya diam seribu bahasa. Kiev terus menggerutu mengenai sikap spontannya yang menyatakan perasaan saat berada di atas motor. Apa tidak ada yang lebih romantis lagi yang bisa ia lakukan?

Kini mereka duduk berdampingan di atas tumpukan ban bekas berukuran raksasa.

Kiev menoleh menatap Kivia yang masih tercenung. “Kivia,” panggilnya.

Kivia pun menoleh. Mereka saling tatap tepat di manik mata.

“Aku nunggu moment ini bertahun-tahun lamanya. Aku nunggu perjumpaan kita. Setelah ketemu kamu, aku mulai menyadari apa yang aku rasakan bertahun-tahun lamanya ini bukan cuma penasaran. Tapi ... ada sesuatu yang lain, Kivia.”

Tatapan Kiev berubah semakin intens. “Aku sayang sama kamu.”

Jantung Kivia berdetak lebih cepat dari biasanya. Kalimat demi kalimat yang Kiev utarakan membuat perasaannya menjadi tak karuan.

“Aku ... aku nggak bisa, Kiev. Maaf.” Kivia akan melangkah turun dari tempat ia duduk.

Namun, Kiev menahan dengan menggenggam pergelangan tangannya.

“Kenapa, Ya?” tanya Kiev dengan perasaan tak karuan.

Kivia mengalihkan pandangan. “Aku nggak berpikir akan menikah.”

“Kita nggak perlu menikah kalau kamu mau."

"Kamu nggak usah ngomong begitu, Kiev. Kamu jangan mengorbankan kebahagiaan kamu demi bersama aku. Masih banyak perempuan lain yang bisa jadi pendamping hidup kamu."

"Aku cuma mau satu perempuan .... dan itu kamu."

"Aku nggak ngerti sama kamu."

"Ya, please. Listen to me. Ok, aku minta maaf. Aku nggak mau membebani kamu. Aku ngerti kalau kamu nggak bisa membalas perasaan aku. Tapi please jangan menghilang lagi. Aku akan mencoba menjaga perasaan kamu dan nggak akan membuat kamu nggak nyaman. Tapi kalau kamu butuh aku, kamu tau, aku ada untuk kamu."

“Tanpa atau adanya cowok, aku bisa mengurus diri aku sendiri.”

Kiev sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan Kivia. “Aku tau betul tentang itu, Ya. Kamu mandiri. Kamu bisa survive. Tapi gimana tentang perasaan kamu ke aku? Kamu sama sekali nggak punya rasa yang sama? Bahkan sedikit aja?”

Kivia terdiam. Ia nyaman bersama Kiev. Juga hati dan pikirannya selalu dihiasi oleh laki-laki itu. Namun, Kivia terlalu takut untuk mencoba. Kivia tak mau terluka lagi.

"Maaf, Kiev. Aku nggak bisa," ujar gadis itu kemudian. Kiev tercenung menatap punggung Kivia yang semakin menjauh, meski ia berharap gadis itu bisa menoleh sebentar saja. Atau langkahnya terhenti, hingga Kiev punya alasan untuk bisa menahannya lagi.

Namun, gadis itu semakin jauh tanpa menoleh sedikit pun.

Kiev menghela napas berat. Tak apa. Ia bisa menunggu hampir sembilan tahun untuk gadis itu. Menunggu lagi seharusnya bukan masalah baginya.

Di sisi lain, Kivia yakin ia sudah melukai perasaan Kiev. Matanya memanas. Kedua tungkainya terus melangkah untuk menuju kamarnya sesegera mungkin. Tak sekalipun menengok ke belakang karena walau ia sudah mati-matian menahan air matanya, tetes-tetes air mata itu luruh begitu saja.

Kivia memasuki kamarnya dan langsung mengunci pintu. Lalu duduk di atas kasur sambil memeluk lututnya sendiri. Bahunya bergetar, isakan demi isakan menyayat hati terdengar. Kivia menggigit bibir mencoba meredam isakannya. Tetapi tidak berhasil. Kivia terus memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak.

Ia tau, perasaannya pada Kiev telah menumbuh dan menumbuh begitu besar.

---

Pi'i heran dan Pakde Bambang heran melihat beberapa hari ini ada yang berbeda dari Kiev dan Kivia. Selama ini, meski juga membaur dengan yang lainnya. Dua sejoli itu biasanya selalu menempel satu sama lain.

Tidak seperti biasanya, makan malam pada hari ini dilaksanakan bersama di kantin mess karena kedatangan beberapa petinggi perusahaan yang meninjau lokasi proyek. Sambil menyiapkan makan malam, Kiev memicingkan matanya melihat keberadaan manajer yang disebut pernah menyatakan cinta pada Kivia saat ini berada di sekitar gadis itu. Kivia menanggapi pria itu secara biasa dan lebih banyak mengangguk sopan.

Kiev membawa nampan untuk menyajikan makanan di meja dekat Kivia beserta para petinggi itu. Kiev juga sempat mendengar dari beberapa karyawan wanita di meja lain bahwa Kivia sudah ditandai untuk duduk di sana. Maksudnya, tentang manajer itu yang memang mengejar-ngejar Kivia dari dulu.

"Coba kamu nerima saya, Kivia. Saya jamin kamu nggak perlu banting tulang begini, udah panas-panasan, kena debu," ujar Manajer berumur 35 tahun itu. "Atau apa kamu mau saya naikin di posisi administrasi aja? Nanti saya bantu, kamu nggak usah khawatir. Asal kamu mau jadi istri saya, ya?"

Kivia meletakkan sendoknya malas dan menatap pria di depannya dengan tatapan tegas. "Saya nggak bermasalah sama sekali dengan pekerjaan saya saat ini."

Pria itu tetap kekeuh. Bahkan menyinggung-nyinggung umur Kivia. "Kivia, ingat umur kamu. Sudah saatnya kamu menikah. Kalau saya laki-laki sih, nggak masalah mau menikah umur berapa saja. Tapi kamu itu wanita ada batasannya. Nanti kadaluwarsa lho. Jangan terlalu pemilih."

Jujur saja, baru kali ini Kivia mendapati pria semenyebalkan bapak ini. Selama bekerja di sini walaupun ada beberapa pria yang mendekatinya, semuanya bersikap sopan dan Kivia menunjukkan sikap tegas bahwa ia tidak ingin memberi harapan.
Pria-pria itu mundur teratur dan masih menjalin hubungan baik dengannya sebagai rekan kerja.

Namun, bapak ini terlihat memaksa dan bersikap menyebalkan. Bahkan Bapak ini tidak menghiraukan teguran dari Pak Zidan, seseorang yang lebih tua dan memiliki jabatan lebih darinya. Pak Zidan tentu bisa membaca ekspresi Kivia yang jelas menunjukkan ketidaknyamanan.

"Maaf, perempuan bukan barang yang ada batas kadaluarsanya, Pak. Dan menurut saya, jelas harus memilih. Dengan siapa saya menikah nantinya itu menentukan kehidupan saya selanjutnya. Apakah bahagia atau malah menderita," ujar Kivia lugas.

"Tapi---"

Kalimat pembantahan dari bapak 'menyebalkan' itu dipotong oleh Pak Zidan.

"Saya setuju dengan pendapat kamu, Kivia. Andai saja saya tidak memilih orang yang tepat, saya mungkin nggak bisa sebahagia ini. Walau istri saya telah tiada, saya sangat bersyukur bisa bersamanya. Dan saya menanti kami akan bertemu lagi di syurga kelak."

Kivia tersenyum tulus mendengar cerita Pak Zidan. Sedikit terbesit dalam benaknya bahwa pernikahan tidak seburuk yang ia pikirkan. Betapa indahnya pernikahan itu dengan orang yang tepat. Namun, bagaimana ia tau bahwa orang itu tepat atau bukan?

***

Kivia merasa lega bahwa Pak Zidan kali ini menguasai jalannya pembicaraan. Bukan lagi komentar-komentar menyebalkan yang terlontar dari mulut orang di sebelah beliau. Beliau bercerita mengenai bagaimana awal pertemuan beliau dengan almarhumah istrinya. Masa-masa bahagianya dan Kivia dapat merasakan pria paruh baya itu sangat mencintai sang istri.

Usai makan malam, Kivia mendekati Pak Zidan yang sedang merokok seorang diri di depan kantin. Memandangi bintang yang berserakkan pada langit malam. Untungnya, bapak-bapak menyebalkan yang itu sudah pergi dari sana. Sehingga Kivia dapat berbicara dengan leluasa dengan Pak Zidan yang mungkin kurang lebih seumuran dengan ayahnya ini.

"Malam, Pak."

"Kivia?"

Pak Zidan mematikan rokoknya. Suatu hal yang menjadi kebiasaannya. Ia tidak ingin seseorang di dekatnya terpapar asap rokok karena dirinya.

"Maaf mengganggu, Pak. Bapak nggak perlu mematikan rokok Bapak. Saya nggak masalah," ujar Kivia merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa. Sudah jadi kebiasaan saya untuk tidak merokok di depan orang lain."

"Terimakasih, Pak," jawab Kivia.

"Ada yang ingin kamu bicarakan, Nak?" tanya Pak Zidan lembut.

Kivia membeku. Sudah sangat lama ia tidak dipanggil seperti itu. Panggilan 'Nak' begitu hangat terdengar di telinganya.

"Hm, iya, Pak." Kivia berdeham gugup. "Saya mengerti dan bisa membayangkan betapa bahagianya pernikahan Bapak dan Istri. Tapi ... pernikahan tidak selalu indah kan, Pak?" tanya Kivia serius. Ada suatu kejadian masa lalu dan banyaknya kasus pernikahan tak mengenakkan yang membuat Kivia memilih untuk sendiri selamanya.

Pak Zidan mengangguk. "Tentu. Akan ada badai-badai yang datang menghampiri. Tidak selalu bahagia. Maka dari itu komunikasi adalah kunci utama."

Kivia menatap Kiev yang berada di kejauhan, sibuk membersihkan meja dan sesekali tersenyum dan berbincang ramah pada orang-orang yang ditemuinya. "Saya ... memiliki perasaan pada seseorang. Saya merasa bahagia saat bersamanya. Tapi saya takut terluka lagi. Saya nggak mau terluka lagi."

"Kivia, kamu benar. Kebahagiaan kamu adalah yang terpenting. Saya tau kamu adalah wanita cerdas dan independent. Pasangan itu bukan untuk menyempurnakan. Kamu nggak membutuhkan laki-laki. Menurut kamu, semua bisa kamu kerjakan sendiri. Betul begitu, kan?"

Kivia mengangguk. Bagaimana Pak Zidan bisa sangat mengerti dirinya? "Saya bahkan nggak berpikir untuk menikah, Pak."

"Tak apa. Saya juga yakin, kamu berpikir tanpa ada sosok pasangan pun kamu masih bisa hidup. Sederhananya seperti itu. Itu pilihan kamu dan saya menghargainya. Ya, benar. Walaupun istri saya sudah tiada, saya juga masih harus melanjutkan hidup saya." Pak Zidan tersenyum perih menatap ke arah lain sejenak. Lalu pandangannya kembali pada Kivia. Menunjukkan senyum penuh harap dan kebijaksanaan.

"Namun, jikalau suatu saat ada seseorang yang membuat kamu berubah pikiran. Kamu bisa menerima perasaan itu dan tidak perlu denial. Saya yakin ketika kamu menemukan orang yang tepat. Kamu akan ingin melakukan banyak hal bersamanya, termasuk pernikahan. Saya dulu juga tidak berpikir akan menikah. Tanpa perempuan saya juga bisa berdiri sendiri. Tapi ketika saya bertemu dengan istri saya, pandangan saya berubah. Hubungan itu bukan karena semata-mata kamu membutuhkan dia. Tapi karena kamu ingin dia ada dalam hidup kamu. Sekarang, saya tanya. Kamu bersedia nggak laki-laki itu hadir dalam hidup kamu?"

Kivia membeku mendengar pertanyaan itu. Ia tidak keberatan Kiev hadir dalam hidupnya. Kivia ... ingin Kiev menemani hari-harinya. Karena terlalu banyak berpikir, Kivia tidak menyadari Kiev berada tak jauh di belakangnya. Mendengar perbincangannya dengan Pak Zidan.

"Ini bukan tentang dia, tapi tentang kebahagiaan kamu sendiri. You deserve to be happy, Nak. Kamu layak untuk dicintai dan mencintai."

Hati Kiev dan Kivia berdesir mendengar wejangan dari orang tua itu.

"Kalau masalah pernikahan, saya nggak bisa juga menyebut bahwa tidak menikah adalah suatu yang abnormal. It's your choice. Tapi kalau kamu masih bisa saling mencintai dan pasanganmu nggak masalah tentang itu. Kenapa tidak? Kamu bisa diskusikan itu dengan pasangan kamu nantinya."

"Thank you so much for your advice, Pak. I respect you a lot."

"Sama-sama." Pak Zidan tersenyum. "Tapi ... apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Kivia? Saya rasa ... kamu mirip sekali dengan putri seseorang yang saya kenal."

Kivia hanya tersenyum. Tidak menjawab. Karena ingatannya berkata, Pak Zidan dulu sekali pernah bekerja di perusahaan ayahnya. Kira-kira saat Pak Zidan masih muda. Tentu beliau pernah melihatnya beberapa kali. Kivia tak bisa membeberkan identitasnya sebagai bagian dari Keluarga Nararya. Karena nama belakangnya mungkin tak lagi menyandang nama tersebut.

----

Hari ini Kiev akan pergi. Sesi belajarnya dengan Pi'i sudah berakhir. Kiev harus kembali pada rutinitasnya. Kiev sangat menikmati dua bulan keberadaannya di sini. Kiev berpamitan dengan Julak Ibung, atasannya itu bahkan menangis ketika Kiev pamit untuk terakhir kalinya. Bagaimana tidak, kapan lagi ia memiliki juru masak yang tidak hanya sangat rupawan tapi juga pintar memasak dan selalu bisa diandalkan. Kiev juga mengajarkannya berbagai resep dengan nama makanan yang super panjang dan sulit disebutkan. Kiev bilang, jika Julak Ibung sudah tidak bisa bekerja di tempat terpencil ini, kelak Julak bisa membuka restoran masakan Banjar dan internasional jika beliau ingin.

Kiev juga berterimakasih sekali dengan Pi'i karena menjadi tutor utama ia belajar musik panting. Kiev masih belum membicarakan hal ini dengan Pi'i tapi ia sudah berencana bahwa di masa depan ia akan mengajak Pi'i serta Kahada Taduh untuk berkolaborasi di konsernya mendatang.

Bang Juned dan Pakde Bambang juga melepas kepergian Kiev. Namun, tidak ada sosok Kivia di mana pun. Hati Kiev menjadi tidak karuan. Ia tidak mungkin pergi tanpa berpamitan dengan Kivia.

Kiev membawa kopernya dan menuju strada biru yang dipersiapkan untuk mengantarnya ke bandara di Kota Baru. Betapa terkejutnya Kiev ketika mendapati Kivia yang duduk di dalam mobil sambil merebahkan kepala di setir kemudi.

Menyadari keberadaan Kiev, Kivia mengangkat kepala dan tersenyum canggung. "Aku antar ya," ujar gadis itu lembut.

Kiev mengangguk dan duduk di samping Kivia. Setelah memastikan Kiev sudah memasang seatbelt, strada itu mulai melaju. Kiev dan Kivia hanya diam. Berkutat pada pikira mereka masing-masing. Sesampainya di bandara kecil itu, Kivia berhenti dan memarkirkan mobil. Kiev membuka seatbelt dan suara Kivia menahan gerak tangan Kiev yang sudah akan membuka pintu mobil.

"Maaf, Kiev. Nggak seharusnya aku menghindar dari kamu," tutur Kivia pelan.

Bahkan ia hanya menoleh Kiev sesingkat mungkin dan kembali lurus menatap ke depan. Mencoba meredam degup jantungnya sendiri.

"Nggak apa-apa. Aku ngerti. Maaf juga aku begitu tiba-tiba bilang begitu ke kamu." Kiev tersenyum ringan dan berusaha membuat suasana di antara mereka menjadi seperti sedia kala sebelum pernyataan cinta itu terucap.

"Pertanyaan kamu ... aku mau jawab." Genggaman Kivia menguat pada setir kemudi. Jantungnya sudah benar-benar menggila.

"Hm?" Kiev memandang Kivia penuh tanya. Lalu ia sedikit mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah gadis itu.

“Kamu tanya, gimana tentang perasaan aku sama kamu? Apa aku sama sekali nggak punya rasa yang sama? Bahkan sedikit aja?”

Kivia membasahi bibirnya yang terasa kering. Lalu perlahan memiringkan tubuhnya, memberanikan diri untuk menatap mata Kiev.

“Aku ... aku juga sayang sama kamu. Aku ... ingin kamu ada dalam hidup aku. Aku nggak mau kamu takut aku menghilang lagi. Aku nggak akan menghilang dan aku bersedia untuk selalu bisa kamu temukan.”

Kiev tak bisa menahan senyumannya mendengar pernyataan Kivia. Tangannya bergerak untuk mengelus rambut gadis itu. "I am not prepared for your sweet words, Ya. But, thank you so much for giving me a chance."

bersambung

yeayyy akhirnya bersatu :"))))
jangan lupa komen yang banyaaaak dan vote juga yaaa.  bantu promosi juga biar banyak yang bacaaaa hehehehhehe**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top