tigapuluh tiga
Kiev menempati kamar tamu kediaman keluarga Nararya. Ruangan ini luas dan dipenuhi oleh desain interior yang menawan. Kamar itu nyaman, tidak bermaksud berlebihan, tapi kamar ini memang layaknya hotel berbintang.
Cowok itu merebahkan tubuhnya di kasur besar pada ruangan tersebut. Ia telentang menatap lurus ke langit-langit kamar. Ingatan Kiev lantas tertuju pada pembicaraannya dengan Ayah Kivia sebelum gadis itu bergabung bersama mereka untuk makan malam.
"Bagaimana PTSD yang kamu miliki? Sudah jauh lebih membaik?" tanya Kumara.
"Kadang masih diserang mimpi buruk, kalau terlalu lelah. Jika ada trigger yang merujuk ke peristiwa penculikan itu, biasanya sesak. Namun, sejauh ini tidak pernah lagi. Saya menikmati hidup dengan baik," jawab Kiev lugas. Ia berusaha jujur untuk kondisinya.
"Kamu masih mengunjungi psikatermu?" tanya Kumara lagi.
"Masih konsultasi kadang-kadang. Tapi dua tahun ini sudah boleh berhenti minum obat anti depresan."
Kumara mengangguk, menyatukan tangannya kemudian meletakkan dagu di sana. "Aku ingin menceritakan hal ini padamu, kamu tau penyebab Mama Kivia tiada?"
Kiev menggeleng. Kivia tidak pernah bercerita lebih mengenai kedua orang tuanya, termasuk ibunya. Kiev hanya mengetahui fakta bahwa Mama Kivia adalah seorang mantan ballerina.
"Ia menjadi korban penembakkan orang tak dikenal."
Darah Kiev berdesir seketika.
"Di depan mata kepalaku sendiri. Kivia ... juga menyaksikan peristiwa naas itu."
"Oh My...." lirih Kiev yang saat ini merasa syok mendengar fakta tersebut.
"Kivia masih berusia 6 tahun saat itu. Ia harus hipnoterapi berulang kali. Peristiwa itu sebisa mungkin dihapus dalam memorinya," jelas Kumara. "Aku tidak tau memori itu suatu saat akan kembali atau tidak. Tapi setidaknya kamu harus berjaga-jaga."
"Om sudah menaruh kepercayaan bagi saya untuk menjaga Kivia?" tanya Kiev.
Bagaimana pun Kiev tau pria di depannya itu beberapa kali terlihat meragukannya, termasuk saat mereka pertama kali bertemu di rumah sakit.
"Karena kamu orang yang putriku pilih, aku berusaha bersikap bijak. Aku juga tidak akan lepas tangan padanya. Sosok di balik penembakkan yang dialami oleh mama Kivia belum diketahui sampai saat ini. Terdakwa yang mendekam di penjara tutup mulut dan mati di hari berikutnya," jelas Kumara. Matanya sedikit berkaca-kaca, terkenang akan peristiwa itu.
"Aku ... tak peduli latar belakang keluargamu, pekerjaan yang kau lakukan atau jumlah pendapatanmu. Selama Kivia bersedia tetap bersamamu dan aku bisa melihat kamu bersikap baik padanya, aku sama sekali tidak akan ikut campur dalam hubungan kalian. Sekarang yang jadi fokusku hanya kebahagiaan Kivia," ujar Kumara dengan luar biasa serius.
Kiev yang juga serius lantas menyampaikan niat baiknya. Namun, sampai saat ini Kiev masih menunggu waktu yang tepat untuk meminta Kivia melangkah bersamanya ke jenjang yang lebih serius.
"Aku memang menantikan kalian menikah. Tapi kalau Kivia belum merasa siap, ya sudah apa mau dikata. Aku harap kamu bisa meyakinkannya suatu saat nanti."
Kiev mengangguk. "Semoga. Terimakasih, Om."
***
Kiev dan Kivia kembali ke lokasi syuting keesokan harinya. Pagi-pagi sekali supercar jenis berbeda dari yang kemarin menjemput mereka, terparkir tepat di depan kediaman Kivia.
"Kita pergi dulu, Om," ujar Kiev.
Kumara berdeham. "Hm, hati-hati."
"Doakan ya, Yah," kata Kivia sembari mencium tangan ayahnya.
"Hm." Kumara memeluk Kivia singkat, menepuk pundak putrinya itu. "Kabari kalau sudah sampai."
"Okay, ayah."
Supir membukakan pintu mobil untuk Kiev dan Kivia. Keduanya masuk dan Kivia menurunkan jendela untuk memandang ayahnya yang masih berdiri di depan rumah. Di samping Kivia, Kiev mengangguk sopan ke arah Kumara.
Kumara mengangkat satu tangannya dan dibalas Kivia dengan lambaian tangan. Saat mobil Kivia dan Kiev berlalu, Kivia menengok ke belakang. Menyaksikan ayahnya yang berdiri menatap ke arah mereka yang kian menjauh. Sosok Kumara tak terlihat lagi ketika Kivia menyadari bahwa mereka sudah melewati pagar tinggi yang memisahkan mansion keluarga Nararya dengan dunia luar.
Kivia menghela napas panjang. Ia menyadari, mungkin tidak hanya dirinya yang kesepian. Entah kenapa, Kivia merasa ayahnya juga pasti merasa kesepian di rumah besar itu.
Kiev yang merasakan kegelisahan Kivia sontak menggenggam tangan gadis itu. Kiev tidak berkomentar ketika Kivia menghadap jendela dan menyembunyikan tangisnya.
Tak lama kemudian Kivia tertidur, Kiev mengatur kursi mobil yang Kivia duduki agar gadis itu bisa tidur dalam posisi lebih nyaman. Tangan Kiev bergerak merapikan rambut Kivia.
Kivia terbangun dan tau-tau mereka sudah tiba di lokasi syuting. Selang satu jam, mereka kemudian bersiap untuk pengambilan adegan hari ini. Awalnya kru atau pemain bersikap canggung dampak dari kehadiran Sean yang membongkar identitas Kivia. Namun, lama kelamaan rasa canggung itu tergerus perlahan karena Kivia yang bersikap seperti biasanya dan sulit rasanya bekerja sama dalam situasi serba awkward seperti itu.
Hanya saja, yang masih menjadi pertanyaan umum adalah penyebab Kiev juga ikut Kivia ke kediamannya. Mereka tau bahwa Kiev dan Kivia sudah lama berteman dan saat istirahat syuting pun kerap menghabiskan waktu berdua.
Sebagian dari mereka tentu tidak dapat menampik getaran-getaran ketika Kiev dan Kivia bersama. Namun, mereka tidak mengetahui sejauh apa hubungan Kiev dan Kivia. Apakah mereka benar-benar terlibat cinta lokasi?
Sampai saat ini belum ada yang berinisiatif untuk mengonfirmasi ke pihak yang bersangkutan. Sejak dari awal syuting ketika ada yang menunjukkan pujian tentang chemistry Kiev dan Kivia yang tak main-main, keduanya hanya tersenyum-senyum dan tidak membahas lebih lanjut.
Pekan ini merupakan pekan terakhir pengambilan adegan di Kota Baru. Hal yang selalu membuat Kivia merasa cemas berlebih adalah ketika Kiev melakukan adegan yang membuatnya ngilu. Penggunaan properti seperti kapak, palu dan benda-benda berbahaya lainnya tentu sedikit banyaknya membuat Kivia meringis.
Sebisa mungkin Kivia tidak ingin melihat secara langsung. Namun, kali ini adalah bagian klimaks. Kekerasan yang digambarkan begitu nyata dan membuat yang melihatnya merasa begitu emosional.
Adegan adu tembak kali ini lebih brutal dari biasanya dan Bagas serta Citra terjebak dalam sebuah gedung. Bukan outdoor yang luas seperti sebelumnya. Kali ini set dibuat lebih mencekam dan menyesakkan.
Kivia ingat adegan ini dalam versi novel yang dibacanya. Kivia menangis hebat dan merasa merinding saat membaca scene itu untuk pertama kalinya. Namun, saat kedua dan ketiga kali, Kivia memilih untuk membaca cepat bagian itu karena dirinya secara sadar tak sadar menghindari konflik besar yang ada dalam cerita itu.
Pada lorong bangunan tak terpakai ini, Bagas memuntahkan tembakan ke arah lawan. Tak jarang, pria itu juga berkelahi secara fisik saat pria-pria kekar di depannya satu persatu menyerang dalam jarak dekat. Sementara Citra sembunyi di balik pilar besar yang tak jauh dari Bagas.
Kenyataannya situasi berbahaya itu tidak selesai sampai di sana. Citra membekap mulutnya ketika melihat sinar merah yang mengarah pada kepala Bagas. Suaminya telah menjadi target dari penembak jarak jauh.
"CUT!"
"Kivia...."
"Kivia...."
Semua panik melihat Kivia menutup telinga dan berjalan terhuyung. Hal ini tidak ada dalam naskah.
Sementara itu, sekelebat bayangan masa lalu hadir menghantui Kivia. Dirinya ketika masih kecil. Ayah. Gedung. Jeritan. Tangis. Semua potongan-potongan acak yang sempat Kivia rasakan ketika dilanda mimpi buruk. Yang Kivia kira itu hanya mimpi buruk biasa.
Sampai detik ini, ia hanya menganggap itu mimpi buruk biasa.
Suara tembakan dalam film diganti dengan petasan. Maka dari itu, Kivia tidak bereaksi cukup parah. Namun, melihat sinar merah itu. Bayangan dan suara-suara tembakan yang pernah ia dengar di masa lalu menghantam pikirannya.
Kaca besar yang runtuh berkeping-keping. Orang-orang yang jatuh bergelimpangan. Juga suara anak kecil yang memanggil-manggil seseorang. Seorang wanita yang tergeletak dengan bersimbah darah. Bayangan itu begitu kabur. Tapi Kivia dapat dengan jelas menangkap jeritan anak kecil itu.
"Mama...."
"Mama...."
"Mama...."
Kivia tersentak saat Kiev menangkup pipinya. Membuat Kivia berhenti memejamkan mata kemudian menatap lurus Kiev. Kivia tak sadar matanya sudah berair sejak tadi.
"S...sorry.... I am sorry. I dont know... I am...."
"No, it's okay, Ya. It's okay. Tenang ... breath, please....."
Kivia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan.
***
Meski sulit, Kivia akhirnya bisa menyelesaikan konflik pada dirinya dan meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Syuting pun kembali berjalan dan syukurnya adegan penuh ketegangan itu telah usai.
Kivia tidak secara gamblang menjelaskan situasi dirinya beberapa waktu yang lalu akan tetapi Kiev sadar dengan apa yang terjadi walau sedikit terlambat.
Saat break syuting, Kiev menghampiri Kivia yang sedang berada di depan pantry. Tangannya bergerak membuka-buka kabinet atas. Gadis itu terlihat kesulitan karena mug yang diincarnya berada di nakas tertinggi. Kivia mundur dan memicingkan mata sambil melongok. Gadis itu tersentak saat punggungnya menubruk tubuh Kiev yang berdiri tepat di belakangnya.
"Hei," ujar Kiev setelah terkekeh singkat.
Kivia memukul pelan lengan Kiev. "Aku kaget tau...."
"Sorry, Ya. Habis serius banget kamunya. Mau ngambil yang mana?" tanya Kiev membuka kabinet atas lebih lebar.
"Yang itu," tunjuk Kivia.
Kiev yang memang 10 senti lebih tinggi darinya dengan mudah menjulurkan tangan meraih mug itu. Jantung Kivia jadi berdegup cepat karena Kiev melingkupinya, mereka nyaris tak berjarak. Apalagi wangi Kiev yang memanjakan indera penciumannya.
"Kamu juga mau minum? Kopi atau teh? Aku bikinin." Kivia secara tak sadar sedikit mendongak saat mengatakan itu. Membuat wajahnya sangat dekat dengan wajah Kiev yang kini juga sedang menunduk ke arahnya.
Detik selanjutnya, Kiev dan Kivia berdeham. Kiev segera mengambil mug untuk dirinya sendiri dan melangkah mundur.
"Kopi aja," kata Kiev tersenyum canggung dan meletakkan di samping mug Kivia. "Makasih, ya."
"Sama-sama." Kivia mengangguk dan sibuk berkutat dengan kopi, creamer dan gula. Menyembunyikan pipinya yang merona.
Setelah kecanggungan itu menguap. Kiev dan Kivia menikmati kopi mereka di halaman belakang. Tak lupa membawa naskah di tangan mereka. Mereka mendiskusikan adegan yang akan mereka lakukan sore ini.
"Ya ... kamu gemetar," ujar Kiev sambil memegangi tangan Kivia.
Kivia tercenung melihat tangannya. "Akhir-akhir ini sering trembling kayak gini."
"Maya bilang kamu juga sering susah tidur."
"Aku ... sering mimpi buruk."
Kivia mulai bercerita setelah syuting waktu itu, ia memang sering diserang bayangan-bayangan mencekam. Intensitasnya semakin tinggi akhir-akhir ini sehingga Kivia kerap terjaga. Kivia menyembunyikan fakta dari Kiev bahwa ia mengonsumsi obat tidur untuk memaksa dirinya tidur.
Kivia mengutarakan bahwa ia tak tau maksud bayang-bayang itu. Gadis itu sungguh clueless dan memikirkannya berlarut-larut membuat kepala Kivia mau pecah. Namun, di satu sisi sekelebat bayang dalam benak juga suara-suara yang seolah terdengar tepat di telinganya itu terasa sangat nyata.
Maka Kivia memutus pembicaraan mereka sambil mengurut kening. Ia tersenyum tipis dan meminta Kiev untuk memberi masukan tentang adegan yang akan mereka lakukan. Terlihat jelas gadis itu sedang mengalihkan pembahasan.
Kiev yang tau penyebab bayang-bayang itu bermuara, tentang kenang-kenangan buruk yang Kivia lalui saat masa kecil. Peristiwa traumatis yang melibatkan kematian sang mama. Hal itu seperti bom waktu dan Kiev harus benar-benar siap ketika bom itu meledak suatu waktu.
***
Kisah Bagas dan Citra berlanjut dengan Citra yang memandang lurus sebuah makam bertuliskan Danishwara. Prosesi pemakaman dihadiri oleh rekan-rekan kerja mereka yang tentu tidak mengetahui penyebab sebenarnya mengapa Danish dinyatakan meninggal dunia.
Kaia yang berada dalam gendongan Citra memeluk leher sang ibu erat-erat. Menatap sendu gundukan tanah yang masih basah itu.
Usai prosesi pemakaman, Citra membuka kaca mata hitamnya dan menggendong Kaia yang tertidur menuju mobil mereka.
Seseorang dengan masker hitam, kacamata dan topi duduk menunggu di bangku kemudi.
"Kita pergi sekarang?" tanyanya ketika Citra masuk.
Citra mengangguk. "Kita pergi sekarang."
Mobil itu kemudian melaju ke arah pelabuhan terdekat. Ada sebuah yatch yang siap membawa mereka menuju pulau tak berpenghuni.
Sesampainya di pelabuhan, pria itu mengambil alih Kaia dan memasuki kapal mewah itu. Citra dengan cekatan melangkah mengiringi. Hingga kemudian kapal itu mulai menjauh dari dermaga dan mengarungi lautan luas.
Setelah meletakkan Kaia ke atas tempat tidur yang ada dalam kapal tersebut, laki-laki itu membuka topi dan maskernya. Kemudian terlihat jelas rambut cepak serta wajah yang masih dihiasi bekas luka.
Pria itu mendekat pada Citra yang berdiri ke arah balkon kapal. Memandangi lautan luas yang terbentang. Sejauh mata memandang, hanya ada mereka bertiga di samudera biru ini. Langit mulai redup dan cahaya senja menghias langit. Juga terpantul bercahaya pada derak-derak air yang bergelombang.
Laki-laki bertubuh tegap itu melepaskan seuntai kalung militer yang terpasang di lehernya.
"Ini namaku," ujarnya menghempas keheningan bersama desau angin dan riak ombak.
Citra menerima kalung itu dan membaca barisan huruf yang terukir di sana. Ada kombinasi angka yang tidak Citra mengerti. Namun, mengetahui nama pria itu yang sebenarnya membuat air matanya jatuh.
"Erlangga Bagasatya," kata Citra pelan. Citra tersenyum menatap Bagas. Nama Bagas yang Citra ketahui memang berbeda dengan nama lengkap Bagas yang tertera pada kalung militer ini.
"Citra Prameswari." Citra mengulurkan tangannya pada Bagas.
Bagas menyambut dengan menjabat tangan Citra. "Erlangga Bagasatya."
Keduanya melontarkan senyum pada satu sama lain sebelum saling memeluk erat.
Keluarga kecil itu menjalani kehidupan di pulau pribadi mereka. Menikmati hari demi hari dengan bermain di pantai, bercocok tanam dan banyak hal lainnya. Liora hanya tau saat ini ia sedang berlibur dengan kedua orang tuanya.
Suatu malam, Citra mengusap bahu Bagas yang sedang berkutat dengan perangkat komputer super canggih yang hanya bisa diakses dengan sidik jari dirinya dan Citra. Ruangan bawah tanah yang diproteksi dengan sistem keamanan berlapis.
Kini hanya dalam satu klik, semua bukti kejahatan yang telah Bagas kumpulkan akan ia ungkap pada dunia. Bagas menatap Citra, saat sang istri mengangguk ia juga ikut mengangguk perlahan. Bagas menghela napas dan tanpa pikir panjang lagi mengklik tombol itu.
Citra tersenyum bangga ke arah suaminya dan menunduk untuk memberi kecupan di kening Bagas.
Bagas tersenyum teduh lalu meraih tubuh Citra untuk duduk di pangkuannya. Citra mengalungkan tangannya ke sekeliling leher Bagas. Wajah mereka kian dekat hingga pandangan mereka berkabut.
Dunia luar ramai karena bukti kejahatan yang Bagas lemparkan. Semua media nasional baik cetak, elektronik maupun digital mengangkat hal yang sama. Kasus korupsi bernilai fantastis, penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang, aktivitas tambang ilegal, money laundry, pembakaran hutan hingga dinasti politik yang hanya meraup keuntungan sendiri dan menyengsarakan masyarakat sekitar.
Pihak kepolisian dan kejaksaan didesak untuk mengusut kasus itu hingga ke akar. Masyarakat luas berikrar untuk terus mengawal jalannya kasus tersebut dan sebagian juga turun ke jalan untuk bersuara.
Lain hal dengan kekacauan di luar sana, Bagas memasangkan flower crown yang ia rangkai di atas kepala Citra dan Kaia. Mereka mengambil foto di depan rumah. Bagas sangat bersemangat mengatur timer kamera kemudan tersenyum ketika Citra dan Kaia mengecup pipinya di kanan-kiri.
Foto selanjutnya, Citra yang memeluk lengan Bagas yang sedang menggendong Kaia dengan satu tangan. Bagas menoleh pada Citra dan menggesekkan hidungnya dengan hidung istrinya itu.
***
Adegan terakhir yang berlokasi di Kota Baru itu berjalan lancar. Kiev dan Kivia juga Liora berpelukan ketika adegan dinyatakan selesai oleh Dio. Kiev mengecup kening Kivia dan Liora sekilas. Kiev dan Kivia tertawa bersama ketika mengobrol dengan Liora.
"Ya ampun, liat skinship kecil mereka aja rasanya lutut gue lemes," ujar Early heboh.
Tari mengangguk penuh semangat. "Jadi ikut jatuh cinta gue. Syukur banget deh, akhirnya satu kerjaan beres. Bentar lagi pulang kampung. Kayaknya bakalan kangen banget sama kota ini. Sama masakan khas Banjar."
"Terus pantainya jugaaa," sahut Early.
"Hooh."
Mereka lalu berbaur menuju Kiev dan Kivia juga Liora. Kemudian para kru dan pemain lainnya berfoto bersama di tepi pantai tersebut.
bersambung
Yeeeee tinggal satu part lagi untuk Citra dan Bagas. Jangan lupa komen dan vote yaaaa <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top