tigapuluh sembilan

Kiev menggamit lengan Kivia. "Ayo."

“Ke mana?” tanya Kivia.

“Ke tempat di mana kita bisa nari dengan leluasa," jawab Kiev sambil menaik-naikkan alis.

Tanpa menunggu respon Kivia, Kiev menarik tangan gadis itu untuk mengikutinya ke suatu tempat. Udara di ruangan itu berkali lipat lebih dingin dan memiliki cermin besar yang memenuhi tembok ruangan.

“Selamat datang di studio dance K-Entertainment. Biasanya aku latihan kalau mau perform lagu ngebeat yang akunya nggak pakai alat musik, latihannya rame-rame sama backdancer. Ke depannya juga buat para trainee latihan di sini. Tapi masih wacana sih. Sekarang studio ini special buat kamu.”

“Wow.” Kivia mengedarkan pandangan dan berdecak kagum. Studio ini mengingatkan Kivia pada ruangan tari miliknya di rumah.
Namun, tentu ini jauh lebih besar.

Kiev dan Kivia melepas sepatu mereka dan mengitari ruangan dengan bertelanjang kaki. Kiev memutar musik di music player. Kivia membuka cape blazernya menyisakan dress selutut dengan bahan yang jatuh di tubuhnya.

Begitu pun dengan Kiev yang juga melepaskan jasnya. Kiev mengenakan kemeja fit body kemudian menggelung lengan kemejanya hingga siku.

Sementara Kiev sibuk berkutat dengan music player, tangan Kivia bergerak untuk mengikat rambutnya asal. Ia memandang sosok dirinya di cermin besar itu.

Kivia menghirup napas dalam-dalam. Akankah ia bisa menari dengan baik tanpa merasakan serangan sakit kepala secara tiba-tiba seperti sebelumnya.

Kivia tersenyum memandang Kiev berjalan mendekat ke arahnya. Lay Me Down dari Sam Smith teralun dengan lembut.
Kiev meraih tangan Kivia dan mengangkat satu tangannya.

Kivia pun berputar.

Satu kali.

Dua kali.

Kemudian kedua tangan mereka saling menggenggam. Bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagu yang lamban namun begitu indah. Saling menatap dengan senyum yang tak pudar atau sesekali tertawa kecil, entah menertawakan apa.

"Aku rasa kita perlu pakai baju yang lebih proper untuk latihan lain kali," ujar Kivia.

Kiev merangkul pinggang Kivia. "You look so gorgeous now, tapi aku setuju kita perlu pakai pakaian lebih nyaman buat latihan."

Kivia tertawa. Keduanya berdiri berhadapan dan tangan mereka kembali bertaut dan menari seirama. Tungkai mereka menjejak lantai dan bergerak seringan bulu.

Kiev meletakkan kedua tangannya di pinggang Kivia dan mengangkatnya, membawa tubuh itu berputar. Satu dua kali hingga kaki Kivia kembali menapak lantai dan diakhiri dengan tangan Kivia yang melingkari leher Kiev.

Keduanya berpandangan dengan bahu yang naik turun mengatur pernapasan.

***

Kiev menyerahkan botol minuman dingin pada Kivia dan mengikuti gadis itu untuk duduk berselonjor. Kivia mengucapkan terimakasih. Mereka bersulang dengan dua botol air mineral dingin itu sebelum minum.

Tangan Kiev bergerak meraih ponselnya dan matanya membulat melihat notifikasi dari Maya. Maya mengirimkan foto berisikan tangkapan layar dari direct message official account Kivia.

Kiev melihat foto-foto yang dikirimkan Maya dan amarahnya membuncah saat itu juga.

Kiev dengan cepat mengangkat panggilan dari Maya.

"Awalnya cuma sejumlah hate comments yang benar-benar nggak jelas. Tapi yang ini beda. Ini jelas ancaman. Aku rasa Bos Kiev harus tau tentang ini."

"Iya, terimakasih banyak, May."

"Bos lagi sama Mbak Kivia? Aku khawatir banget."

"Kamu tenang aja. Kivia aman sama saya," ujar Kiev yang membuat Kivia melirik ke arah Kiev mendengar namanya disebut.

"Maya? Kenapa?" tanya Kivia setelah Kiev mengakhiri panggilan.

"Seseorang mengirimkan ancaman ke sosial media kamu."

"Menurut kamu seberapa berbahaya?"

"Aku nggak tau, yang jelas ini bukan hate speech seperti biasanya yang lebih menyerang kamu dengan kalimat non sense nggak jelas. Ini serius," kata Kiev jujur.

Kivia menghela napas dalam-dalam kemudian merebahkan tubuh di lantai dan memandang langit-langit.

"Dia maunya apa sih? Aku ... salah apa sama dia?" kata Kivia.

Kiev yang duduk bersila di sisi Kivia menjawab, "Bukan kamu yang salah, Ya.... Dia yang punya masalah."

"Aku sebenarnya nggak peduli hujatan apa pun yang aku terima karena aku nggak baca. Tapi aku tau kamu peduli dan hal-hal kayak gini bikin kamu cemas...."

"Tentu aku cemas. Apalagi kalau sudah mencondong ke arah berbahaya. Aku pasti pasang badan dan menjamin kamu nggak kenapa-napa," tutur Kiev sambil merapikan helai rambut Kivia. "Selain ancaman itu, apa kamu ngerasa ada sesuatu yang mengusik pikiran kamu akhir-akhir ini?"

"Hm ... aku nggak tau, aku nggak mau asal menuduh. Tapi ... beberapa hari yang lalu saat aku ketemu kamu di sini, aku ngerasa ada yang mengawasi dan ngikutin aku, tapi aku nggak bisa buktikan dan menepis pemikiran itu," kata Kivia akhirnya.

"Kita bisa cari tau hal itu dan jadinya kamu nggak asal menuduh, jika kamu memang merasa nggak nyaman, Ya. Lain kali langsung cerita ke aku ya? Jangan disimpan sendiri," pinta Kiev.

Kivia mengubah posisinya untuk duduk kembali berhadapan dengan Kiev kemudian mengangguk. "Maaf Kiev, kadang aku merasa itu bukan hal yang besar dan nggak perlu dikhawatirkan...."

"Kamu nggak perlu minta maaf, Ya ... Tapi penguntitan seperti itu tentu bukan hal kecil dan punya dampak besar nantinya, aku nggak mau kamu kenapa-napa."

Kiev bukannya terganggu dengan sikap tertutup Kivia, ia menghargai Kivia bagaimanapun juga.

Kiev selalu pengertian ketika Kivia belum bisa atau bahkan tidak berminat membagi masalahnya pada Kiev. Itu adalah hak Kivia dan Kiev tidak bisa memaksakan Kivia harus selalu bercerita padanya atau seperti apa.

Hubungan mereka aman-aman saja dan tidak pernah bertengkar yang bagaimana. Namun, hal-hal yang bertendensi bahaya seperti ini tentu merupakan hal lain.

"Kiev...." Kivia meraih tangan Kiev untuk digenggam. "Maaf kalau aku sering bilang nggak apa-apa. Aku ... aku cuman bingung sama apa yang terjadi. Mungkin juga karena selama ini, aku sendirian bertahun-tahun, jadi aku terbiasa mengatasi masalahku juga sendiri."

"Iya, aku paham, Ya. It's okay. Aku akan selalu ada buat kamu. Kamu nggak sendirian lagi. Banyak orang yang sayang dan peduli sama kamu," tutur Kiev kemudian mengecup ringan pelipis Kivia.

Setelah mengantarkan Kivia pulang dan memastikan gadis itu aman di apartemennya karena hadirnya Bu Mia dan Kiev yang meminta Maya menginap, Kiev juga telah memberitahukan hal ini kepada Ayah Kivia.

Awalnya Kivia sempat ingin menolak karena takut ayahnya akan khawatir. Namun, Kiev meyakinkan sebagai wali sah, ayah Kivia adalah orang yang paling berhak tau tentang hal ini. Beliau tentu akan memberikan perlindungan terbaik.

Kiev juga mempertimbangkan respon ayah Kivia, sehingga Kiev tetap bicara untuk menenangkan ayah Kivia agar tidak panik dan malah menjadi overprotektif.

Setelah itu, Kiev kembali lagi ke perusahaan dan beranjak menuju ruangan khusus untuk memantau kamera pengawas.

"Periksa CCTV keamanan di dekat toilet bagian timur lantai empat dua hari yang lalu," ujar Kiev memberi perintah pada petugas.

Kiev melipat tangannya di depan dada. Kemudian kedua tangannya beralih untuk mencengkram meja, tanda ia sangat memperhatikan tayangan di depannya.

Sial. Kamera CCTV terdekat dengan toilet mati secara tiba-tiba. Kiev kemudian menunjuk kamera CCTV bagian lain yang mengarah pada koridor yang Kivia lewati.

Ketemu. Meski agak jauh, Kiev dapat melihat Kivia karena warna outfit yang gadis itu  kenakan hari ini cukup cerah dihiasi corak abstrak.

Terlihat Kivia yang berjalan menuju toilet. Dan ... ada seseorang yang mengikutinya. Pria asing itu bahkan bersembunyi di belakang pilar. Ia muncul lagi saat Kivia melewatinya dan berjalan di belakang Kivia.

Tangan Kiev tak sadar mengepal kuat.

***
Kivia dan Kiev pun lega bahwa pelaku yang memberikan ancaman pada Kivia telah tertangkap. Penangkapan pelaku ancaman terhadap Kivia itu tidak memakan waktu lama. Seorang pria perawakan kurus dan matanya pun tampak begitu sayu. Usut punya usut pria itu sebelumnya juga punya beberapa riwayat kriminal saat menggunakan sosial media.

Ia menggunakan banyak akun palsu, terkadang pria itu juga menggunakan foto orang lain, melakukan penipuan juga memberikan komentar tak pantas. Lebih lanjut, polisi juga mendapati 15 gram narkoba jenis sabu-sabu di rumahnya.

Saat ditanya motifnya, pria itu tidak bisa menjawab dengan jelas dan bicaranya pun meracau ke sana-sini.

Kivia memenuhi panggilan ke kantor polisi sebagai korban. Ia didampingi Maya dan Mbak Vanya juga pengacara. Sebenarnya, ada rasa tidak nyaman bagi Kivia untuk menjebloskan orang lain ke penjara. Terlebih ketika melihat keluarga tersangka memohon maaf padanya sambil menangis-nangis.

Akan tetapi, Mbak Vanya dengan tegas berkata bahwa hukum harus terus berlanjut.
Kivia merasa sedikit takut ketika melihat pelaku itu tersenyum aneh padanya. Namun, Kivia berusaha kuat dan menaikkan dagunya. Ia tidak boleh terlihat gentar.

Untungnya, Kivia tidak harus berhadapan dengan awak media yang sudah menunggu di luar kantor polisi, karena Maya dan Mbak Vanya yang akan berkoordinasi merilis pernyataan Kivia mengenai kasus ini.

Kivia yang duduk di koridor kantor polisi terkesiap saat seseorang duduk di sampingnya sambil menyerahkan segelas es kopi.

"Kiev?" ujar Kivia spontan setelah Kiev melepas masker. Cowok itu tampak santai dengan celana pendek dan kaos serta baseball cap yang menutupi rambutnya.

"Gimana tadi?" tanya Kiev.

Kivia menghela napas. "Dia nggak menjelaskan motifnya dengan jelas. Bicaranya ngawur."

"Nggak tau beneran apa cuma pura-pura," sahut Mbak Vanya sembari menyambut es kopi yang juga Kiev ulurkan.

Mata Maya membulat melihat kehadiran Kiev. "Bos Kiev tadi sempat diserbu wartawan nggak?"

"Nggak, tadi nyelinap di pintu masuk lain," kata Kiev menyengir. "Nih, minum dulu."

Mata Maya jadi berbinar-binar saat menerima es kopi dari Kiev. "Makasih, Bos!"

"Sama-sama...."

"Kerjaan kamu udah selesai?" tanya Kivia.

"Udah, Esmu yang handle sisanya."

Saat itu tiba-tiba pelaku yang memberikan ancaman melalui media sosial pada Kivia berjalan melewati mereka bersama petugas untuk kembali ke selnya.

Kiev berusaha menahan diri ketika pria itu memperlambat langkahnya dan memandangi Kivia dengan tatapan tidak menyenangkan. Kivia lantas memalingkan wajahnya.  Pria itu bahkan sempat digertak petugas untuk lanjut berjalan.

Setelah melewati mereka, pria itu sempat saja menoleh ke belakang. Tatapannya bertemu dengan mata tajam Kiev. Senyum pria itu memudar.

Sesuatu menjanggal di hati Kiev. Kiev mengamati orang itu lamat-lamat dan kembali mengingat sosok pria yang tertangkap CCTV mengikuti Kivia waktu itu. Dari perawakannya, Kiev yakin mereka adalah orang yang berbeda.

***

"Kiev!"

Kiev yang saat itu sedang duduk termenung pun akhirnya mendongak. Ia mengurai tangannya yang tadi terlipat di depan dada sambil menatap Bunda yang sedang memandangnya dengan alis mengerut.

"Bunda panggil kok nggak nyaut?" tanya Dewi.

Kiev meringis, merasa bersalah. "Maaf, Bun."

"Ada apa sih, Kiev? Mikirin apa? Kivia, ya?" tebak Dewi.

Kiev mengangguk.

"Pelaku pengancaman itu udah ketangkep, kan?" tanya Dewi sembari mengatur bunga freesia ke dalam vas.

"Udah, Bun. Tapi Kiev belum ngerasa tenang."

Dewi mengernyitkan keningnya. "Kenapa begitu?"

"Aku terus ngerasa khawatir, Bun. Walau aku tau ayah Kivia juga kasih perlindungan ketat untuk Kivia."

"Bunda tau kamu khawatir. Tapi manusia nggak punya kuasa apa-apa, Kiev. Selain usaha untuk menjaga dia, kamu juga jaga dia lewat doa, ya? Bunda juga akan selalu doain kalian berdua," tutur Dewi lembut sembari menggenggam tangan Kiev.

Kiev mengangguk dan mengusap tangan sang Bunda. "Makasih banyak, Bun."

Dewi kemudiam membelai rambut putra semata wayangnya itu. "Bunda harap kalian selalu dilindungi."

Sementara itu, di apartemen Kivia, Kumara menghela napas setelah mendapat laporan lengkap dari Sean mengenai perkembangan kasus Kivia.

"Saya permisi," ujar Sean meninggalkan kayah dan anak itu untuk bicara berdua.

Kivia membasahi bibirnya yang terasa kering. Duduk berhadapan dengan ayahnya sendiri adalah hal yang menegangkan baginya. Terlebih dengan kasus yang menyerangnya.

"Rembulan Kivianisya," ujar Kumara memecah keheningan.

Kivia menyahut takut-takut. "Iya, Ayah?"

"Kamu yakin tidak apa-apa? Ini yang ayah takutkan. Apa lebih baik kamu mundur saja dari industri itu? Kamu tidak perlu bekerja apa pun. Ayah janji akan mengurus kamu dengan baik. Biar ayah yang mengurus masalah finalti jika kamu melanggar kontrak," ucap Kumara dengan raut luar biasa serius sekaligus khawatir.

"Ayah...." Kivia mencoba mendekat dan duduk di sisi ayahnya. Ia lalu meraih tangan sang ayah. "Ayah ... mau dengar pendapat aku, kan?"

Kumara terdiam dan pria itu diam menatap mimik penuh harap putrinya. Kumara pun mengangguk pelan.

"Awalnya, aku memang nggak terlalu tertarik. Aku lebih suka waktu mengendarai haul truck atau kesendirian aku. Tapi, Yah...." Kivia memberi jeda sejenak. "Setelah menjalaninya, aku jadi belajar banyak hal baru. Aku ketemu sama orang-orang baru. Ketika berhasil menyelesaikan satu project aku merasa bangga sama diriku sendiri, Yah."

Kumara tidak kuasa melihat mata Kivia lebih lama. "Baiklah, ayah mengerti."

Spontan, Kivia memeluk ayahnya dari samping. "Terimakasih, Ayah!"

Meski sedikit kaku, Kumara kemudian mendekap bahu Kivia. "Kamu begitu menyukai pekerjaan itu atau karena kamu bisa banyak menghabiskan waktu bersama Kiev?"

Kivia tertawa kecil. "Nggak menutup kemungkinan, Kiev juga salah satu alasannya. Tapi aku benar-benar menyukai project-project yang datang padaku, Yah. Perasaan yang sama ketika aku berhasil dapat sertifikat penerbang, juga waktu aku mengoperasikan haul truck, atau ... ketika aku tampil di pentas pertama untuk menari balet."

Kumara terpekur saat mendengar kalimat terakhir Kivia. Kivia melakukan pentas pertamanya menarikan balet dan berapa kali pun gadis kecil itu memintanya untuk darang pada saat itu. Kumara memilih tidak menghiraukan. Menjaga perasaannya sendiri dan mengabaikan Kivia yang membutuhkan dukungan penuh dari dirinya saat itu.

Perlahan, tangan Kumara bergerak mengusap lembut rambut putrinya. "Maaf, Ayah tidak hadir dalam pentas pertama kamu."

Kivia terdiam beberapa detik. Tidak menduga, ayahnya akan membahas itu. Ia kemudian tersenyum. "Aku ingat, aku agak sedih waktu itu karena teman-teman didampingi orang tuanya. Sementara aku bersama Bu Mia juga Bu Kinar."

"Kamu masih menyukai balet?"

Kivia mengangguk. "Balet salah satu upaya aku mengingat mama."

"Kamu cuma perlu mengingat hal-hal yang indah," gumam Kumara lirih.

Kivia sedikit mendongakkan kepala. "Yah, aku merasa nggak punya banyak kenangan dengan mama sekuat apa pun aku berusaha. Aku cuma bisa melihat potret yang ada pada album foto dan aku rasa itu terlalu sedikit."

Kumara sedikit membeku mendengar pernyataan Kivia. "Kamu memang masih kecil saat itu, wajar kamu tidak terlalu ingat."

"Tapi aku masih ingat jelas beberapa memoriku dengan mama ketika aku kecil."

Kivia menggigit bibirnya. "Ayah, mama ... benar-benar meninggal karena sakit?"

bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top