tigapuluh satu
"Ya, lo kenapa?” tanya Dio melihat Kivia yang hari ini terlihat tidak fokus. Saat Kiev dirawat di rumah sakit, Kivia juga awalnya seringkali tidak semaksimal biasanya, akan tetapi gadis itu segera memperbaikinya dan syuting kembali berjalan lancar. Namun, sepertinya hari ini berbeda.
“Sorry, Yo.”
“Kita break dulu deh. Istirahatin pikiran lo, Ya.”
“Lo sakit, Ya?” tanya Early khawatir. Meski hubungan mereka tidak sedekat Aziza dan Citra, Early cukup dekat kok dengan Kivia. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dan membicarakan banyak hal.
“Ha? Nggak kok, Ly.”
“Apa jangan-jangan ... lo galau karena Kiev belum juga balik?” goda Early sambil menusuk-nusuk pipi Kivia.
Kivia mengembangkan senyum tipis. “Kiev udah jauh lebih membaik kok....”
“Terus ... elo kenapa?”
“Hm?” Alis Kivia berkerut.
“Tuh, kan. Nggak fokus ya ampun.”
“Maaf, Ly. Nggak tau nih gue lagi ngerasa overthinking aja.”
“Apa yang lo pikirin sih, Ya?”
Belum sempat Kivia merespon pertanyaan Early, mereka dikejutkan dengan kehadiran Kiev.
“Hei,” sapa Kiev yang kini santai mengenakan topi bisbol berwarna hitam polos kesayangannya.
“Udah keluar dari rumah sakit?” tanya Early dengan wajah melongo.
Kiev menganggukkan kepala. “Udah dong, tapi tetap dalam pemantauan tim medis.”
Early berdecak. “Hadeh, jadinya natural banget ya, Pak. Bukannya properti, eh pakai penyangga lengan beneran.”
Kiev terkekeh. “Yoi nih.”
“Jangan bawa barang-barang berat dulu. Pokoknya harus hati-hati,” ujar Kivia sarat akan perhatian.
Kiev dan Kivia berpandangan cukup lama sebelum teralih karena sahutan Early.
“Yah, padahal Kiev seneng banget ngebabu bantuin para kru angkat-angkat barang,” ujar Early yang langsung disetujui oleh para kru di sekitar mereka. Tawa mereka pecah bersamaan.
Dio, Tari dan para kru lain pun bergabung untuk memastikan keadaan Kiev juga mengobrol ringan tentang kelanjutan syuting ke depannya.
Tidak lama kemudian, Kivia juga kembali melakukan pengambilan adegannya. Kali ini ia jauh lebih fokus dan Dio, sutradara itu mengacungkan dua jempol untuk aktingnya.
“Good job, Ya. Gue tau lo kayaknya lagi ada masalah. Tapi keluar banget sih ini ekspresinya. Emang pas banget lo lagi gloomy ya?”
Kivia cuma bisa mengangguk dan minta maaf karena sempat tidak fokus. Walau Dio sudah bilang bahwa itu hal yang wajar. Karena nggak selalu aktor dan aktris bisa memerankan adegan dengan sepurna dalam satu waktu. Maka dari itu sudah tugas bersama untuk saling membantu dan menyokong satu sama lain.
Trigger yang membuat Kivia menjadi begini tak lain dan tak bukan adalah pertemuannya dengan sang ayah. Sudah lima hari sejak ia bertemu ayahnya untuk pertama kali setelah sembilan tahun putus hubungan. Kivia entah kenapa menjadi cemas berlebih. Sekelebat kenangan di masa lalu yang menyakiti hatinya seolah muncul kembali terus menerus.
“Kita jalan, yuk,” ajak Kiev secara tiba-tiba.
Kedua alis Kivia terangkat secara otomatis. “Hm? Ke mana?”
Kiev cuman tersenyum dan mengarah ke mobil yang terparkir di sana.
“Aku yang nyetir ya?” ujar Kivia, tidak mungkin kan Kiev yang menyetir.
Namun, Kiev menggeleng. Ternyata sudah ada supir yang akan mengantarkan mereka.
“Kamu juga pasti capek, Ya.”
Kiev membuka pintu mobil bagian belakang dengan tangannya yang bebas, mempersilakan Kivia untuk masuk. Mobil yang membawa mereka pun segera menuju tempat rahasia yang sudah Kiev sepakati dengan seseorang.
Kivia mengernyit melihat restoran mewah di depannya. Kiev lantas menggenggam tangan Kivia, membawa gadis itu masuk. Lalu menuju sebuah ruangan yang sudah direservasi, walau sebenarnya restoran ini sudah direservasi secara keseluruhan.
Sehingga ketika Kiev dan Kivia masuk, pelayan restoran segera membalik papan pengumuman di depan pintu kayu jati itu menjadi closed.
Genggaman Kivia pada Kiev mengerat, melihat siapa yang sedang ada di hadapannya. Itu ayahnya, seorang diri. Berhenti mengiris steak yang tersaji di depannya.
Pria tua itu meletakkan pisau dan garpunya di atas piring. Menyeka sekitar mulutnya dengan sapu tangan.
“Maksud kamu apa, Kiev?” Kivia melepaskan genggamannya pada Kiev dan sudah akan beranjak pergi.
Kiev segera menahan. “Kivia, aku mohon. Kalian harus bicara, kamu harus menghadapinya.”
“Aku ... aku nggak bisa. Kamu ngerti nggak?!” seru Kivia, suara sedikit bergetar.
“Ya....” lirih Kiev.
Kivia menggelengkan kepala. “Kiev, aku mohon. Aku mohon. Aku nggak bisa.”
Sebetulnya, Kiev merasa bersalah harus bertindak seperti ini. Namun, ia tidak punya pilihan. Kivia dan ayahnya harus memperbaiki hubungan mereka secepatnya. Atau luka Kivia semakin menganga dan gadis itu menghindar lebih jauh lagi.
“Bukan salah Kiev, ayah yang memohon padanya untuk mempertemukan kita," jelas Kumara.
Kivia bergeming. Entahlah, perasaannya campur aduk saat ini.
“Kamu tidak membalas pesanku, tidak juga dengan Sean."
“Itu ... tidak bisa secepat itu, ayah tau aku tertekan? Kenapa ayah harus peduli? Ayah udah menyuruh aku pergi...."
“Kivia. Ayah minta maaf. Ayah sangat menyesal telah mengeluarkan kata-kata mengerikan itu.... Ayah minta maaf tidak berada di sisi kamu padahal kamu sangat kesulitan waktu itu. Tidak, kamu tidak perlu memaafkan Ayah. Ayah tidak pantas dimaafkan...."
Pria tua itu kemudian berjalan mendekat. Kivia ingin kabur saja, tetapi langkah kakinya seolah tertanam pada lantai yang ia pijak. Kivia yang sudah menangis sejak tadi semakin terisak ketika melihat sang ayah berlutut di depannya.
Ayahnya yang selalu ia anggap arogan itu kini menangis hebat dalam keadaan berlutut. Memohon untuk ia tidak pergi lagi. Memintanya dengan amat sangat, agar Kivia memberi kesempatan untuk menemuinya. Bukan karena hanya Kivia yang ia miliki. Namun, sebagai seorang ayah, Kumara ingin memastikan putrinya hidup bahagia.
Kumara ingin merasakan kebahagiaan Kivia secara langsung. Menjaga putri kecilnya dari hal-hal buruk yang masih menghantui keluarganya dengan ancaman-ancaman tak biasa.
Kiev memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat Kumara berlutut seperti itu.
Kivia perlahan bersimpuh menyejajarkan posisinya dengan sang ayah. Ia segera mencegah tubuh ayahnya yang bergerak ingin bersujud di kakinya. Kivia menggenggam tangan ayahnya yang masih terus memohon.
"Ayah, hentikan.... Kenapa harus berlutut di depanku? Apa yang Ayah pikirkan?" Kivia menggigit bibirnya. Air matanya kian tumpah ruah. Membasahi pipi, mengalir hingga gugur ke lantai. Dadanya terasa sesak hingga kesulitan mengatur napas.
Kumara juga tidak pernah seemosional ini sebelumnya. Ia sudah tidak bisa menahan perasaan bersalahnya yang teramat besar pada Kivia. "Tak apa jika kamu tidak memaafkanku, Nak. Aku pantas menerimanya."
Kumara menangkup pipi Kivia, menghapus air mata putri kecilnya itu. Tuan Putri yang selalu ia bacakan dongeng sebelum tidur. Yang selalu ia gendong dalam pelukan hangat. Yang semangat menari balet bersama sang ibu. Yang cantik dan pintar. Putri kebanggaannya.
"Kesayangan ayah...." ujarnya sambil membelai lembut kepala Kivia. "Ayah salah, Nak. Ayah salah...."
"Ayah memang salah," ujar Kivia sebelum memeluk ayahnya erat.
Keduanya terus menangis dalam posisi seperti itu. Sedangkan Kiev hanya berdiri memperhatikan hubungan ayah dan anak itu mulai menemukan awal yang baru. Tangannya bergerak untuk menghapus air matanya sendiri.
***
Setelah gencatan senjata itu, hubungan Kivia dan ayahnya sudah lebih membaik dibandingkan sebelumnya. Kivia bersedia untuk membalas pesan ayahnya yang mungkin saja sangat standar, seperti saling menanyakan kabar, makan apa hari ini atau kegiatan apa yang dilakukan seharian. Kivia juga akan mengunjungi rumahnya untuk pertama kali. Rencana akhir pekan ini saat istirahat syuting.
“Kamu ... mau nggak nemenin aku pulang?” tanya Kivia hati-hati.
Sebenarnya ia menimbang-nimbang hal ini berulang kali. Apakah ia harus pulang seorang diri, toh itu adalah rumahnya. Akan tetapi Kivia masih merasa tidak bisa menghadapi hal itu sendirian.
“Hm?” Kiev berdeham, kemudian menoleh pada Kivia sambil meletakkan naskahnya di pangkuan.
Kivia menggigit bibirnya. “Aku ... gugup kalau sendirian ke sana.”
“Oh, tentu aja boleh....” Kiev mengangguk sambil menerbitkan senyum teduhnya.
Kivia menghela napas lega dan balas tersenyum. “Oke, makasih ya....”
“Sama-sama....”
Gadis itu lalu teringat sesuatu. Lantas ia menoleh lagi pada Kiev. “Kalau nginep? Satu hari. Hm, habis itu kan kita bakalan balik lagi ke sini.”
“Menginap?” ulang Kiev.
Kivia gelagapan. “Hm, maksud aku, kamu bisa tidur di ruang tamu, kalau kamu nggak keberatan.”
Kiev tertawa kecil. “Iya, okay, Ya. Siap.”
“Okay,” ujar Kivia terdengar senang.
“Ayah kamu pasti seneng,” kata Kiev.
Kivia otomatis mengangguk. “Aku juga kangen rumah, tapi nggak tau harus gimana. Aku sampai lupa kenangan indah di sana karena ingatanku cuma tertuju sama yang buruk-buruk.”
“Nggak apa-apa, Ya. Itu wajar. Bukan salah kamu,” ujar Kiev seraya mengelus rambut Kivia.
“Makasih udah ngertiin aku ya....”
“Iya, sama-sama....”
Rencananya, Kivia dan Kiev akan menyetir sendiri menuju rumah. Namun, mendapat kabar gembira Kivia setuju untuk mengunjungi rumah bersama Kiev, Kumara Nararya langsung mengirimkan seseorang untuk menjemput keduanya.
Maka, saat syuting dinyatakan selesai. Mereka termasuk semua orang yang berada di lokasi syuting, dikejutkan dengan adanya supercar yang tiba-tiba datang ke tempat terpencil itu.
Semuanya terperangah dengan keberadaan seorang pria yang turun dari sana. Pakaiannya santai, tetapi siapa yang tidak akan menganga melihat penampakkan supercar yang tidak perlu tau harganya pun, bisa membuat mata terkesima.
“Sean?” Kivia lantas melirik ke arah Kiev yang lantas mendekat ke arahnya.
Sean membuka kaca mata hitamnya, kemudian membuka bagasi mobil. Di sana ada tumpukkan kotak pizza yang memenuhi bagasi dengan tumpukkan yang menjulang, ada juga snack juga berapa dus berisikan puluhan botol soft drink.
“Eh, itu siapa sih? Pejabat di sini atau gimana? Kayaknya masih muda banget. Tapi ya nggak apa-apa sih banyak juga yang muda tapi udah jadi pejabat,” bisik Early heboh pada Tari yang cekikikan. Mereka berdua bergosip betapa tampan dan kerennya cowok itu.
Dio sebagai ketua suku, lantas menghampiri pria tidak dikenal itu. Menanyakan identitas dan maksud kedatangannya. Tidak semua orang bisa menjangkau tempat ini dengan bebas.
“Sean Danuatmaja.” Sean menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak Dio bersalaman.
Dio menjabat tangan Sean. “Davidio Gautama.”
“Sutradara di film ini, kan?” tebak Sean dengan ramah.
“Kok tau?”
“Gue Sean, perwakilan dari K-Corporation, gue di sini akan memberikan dukungan penuh pada project film kalian dan gue mengucapkan banyak terimakasih karena kalian semua telah membantu dan membimbing Nona Muda kami bergabung dalam project ini.”
Dio dan beberapa orang yang mendengar penjelasan Sean lantas melongo.
Rahang mereka semakin terbuka lebar dengan kiriman papan rangkaian bunga yang baru saja datang. Papan bunga berukuran besar itu bertuliskan
'Selamat dan Sukses Film Senja di Pelupuk Borneo'
juga tertera nama perusahaan K-Corporation di bawahnya.
“Ah, itu Nona Muda kami,” tunjuk Sean sambil menyengir lebar kepada Kivia. Ia lalu melambaikan tangan ke arah Kivia dengan begitu riang.
Kivia mengusap wajahnya gusar dan ogah-ogahan berjalan ke arah Sean. Kiev mengikuti dari belakang sembari geleng-geleng kepala. Kiev tidak menyangka keluarga Nararya mulai menunjukkan taringnya sebagai Crazy Rich Kalimantan.
Sementara kru, juga termasuk jejeran pemain lainnya terlihat bingung dengan Sean yang memanggil Kivia sebagai Nona Muda.
“Oh iya, ini silakan. Kalau kurang bilang aja ya. Atau nanti mau yang lain, boleh langsung hubungi gue.” Sean mengangsurkan puluhan kotak pizza itu dan memanggil orangnya untuk membantu membagikan ke staf yang ada di sana.
“Nggak usah repot-repot,” ujar Dio kikuk.
“Iya, Mas. Tapi terimakasih banyak ya,” celetuk Tari.
“Oh, ya. Jadwal kalian udah selesai?” tanya Sean memastikan.
“Sudah selesai,” jawab Dio jujur.
“Oh, oke. Kivia boleh ikut gue?” Sean lalu beralih ke arah Kiev. “Oh, ya sama Kiev juga.”
Dio menggaruk tengkuknya. “Terserah mereka aja sih.”
Kiev dan Kivia pamit seadanya lalu mengikuti Sean menuju mobil yang telah disediakan.
“Sean, maksud lo apa sih? Bukannya tadi itu berlebihan ya?” gerutu Kivia setelah masuk mobil.
“Berlebihan apanya?” tanya Sean santai. Ia duduk di kursi depan bersama supir. Sedangkan Kiev dan Kivia di belakang.
“Bukannya bagus ya, Tuan Besar udah berubah, Ya. Sekarang beliau mendukung karier lo sebagai seorang aktris secara penuh.”
“Lo juga ngapain manggil gue nona nona segala.”
“Memang begitu aturannya, kan? Dulu juga begitu, gue aja yang sering nggak hormat sama lo jadi jarang manggil Nona Muda.”
Kivia mendengus kesal. “Ini kita mau ke rumah?”
“Iya, Tuan Besar sedang menunggu kalian.”
Kivia memandangi Kiev, Kiev hanya tersenyum simpul dan mengajak gadis itu mengobrol. Bagaimana pun ini adalah momen pertama kali Kivia mengunjungi rumahnya setelah beberapa tahun meninggalkan rumah.
Supercar itu berkendara dengan kecepatan tinggi, sehingga jarak yang seharusnya bisa menghabiskan waktu berjam-jam perjalanan bisa ditempuh dalam waktu lebih singkat. Kemudian terlihatlah pagar tinggi yang telah sangat lama tidak Kivia lihat. Pagar besi berwarna keemasan itu terbuka lebar.
Menyusuri aspal yang di sisi kanan kirinya terdapat berbagai ornamen mewah. Ada air mancur berwarna di tengah-tengah halaman besar rumah tersebut. Juga hadirnya patung-patung besar dengan nilai seni tinggi.
Mobil berhenti di depan pintu utama. Kivia mengembuskan napasnya perlahan. Mengatur detak jantungnya. Kiev menggenggam tangan Kivia. Meyakinkan Kivia bahwa semua akan baik-baik saja.
Sean membimbing mereka masuk. Kivia menggenggam tangan Kiev erat. Ketika pintu terbuka, betapa terkejutnya Kiev dan Kivia dengan banyaknya pelayan yang berdiri di sisi kanan dan kiri mereka yang menundukkan kepala memberi penghormatan. Kiev khususnya, ia tak menyangka akan mendapat sambutan seperti ini.
“Nona Kivia....” Salah satu dari orang itu mendekat.
“Bu Mia....” Kivia segera memeluk Bu Mia, kepala pelayan sekaligus pengasuh Kivia sejal ia masih kecil. Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan tangis melihat sang nona yang telah lama menghilang.
“Nona ke mana saja? Kami selalu membersihkan kamar nona, lemari pakaian, koleksi tas dan sepatu nona. Kami merawatnya setiap hari dan berharap nona akan kembali.” Personal assistant Kivia yang berjumlah lima belas orang mengangguk dan merasa terharu melihat tuan puteri rumah ini kembali.
“Seharusnya kalian tak perlu melakukan hal itu....”
“Nona ....”
“Ah iya, ini Kiev. Bu Mia masih ingat?" tanya Kivia.
Bu Mia dan Kiev pernah bertemu sebelumnya saat mereka di Jakarta.
Bu Mia mengangguk, tersenyum melihat Kiev bersama sang nona. Ia dapat melihat chemistry yag kuat antara nona mudanya dengan laki-laki berparas rupawan itu. Syukurlah, Kiev dan Kivia dipertemukan kembali setelah sekian lama.
bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top