tigapuluh lima
Demo mahasiswa itu berakhir ricuh. Keadaan menjadi semakin tak terkendali. Kaia ikut berlari dan panik ketika terpisah dengan teman yang tadi bersamanya.
Sementara desakkan datang dari kanan dan kiri. Lemparan batu juga gas air mata yang menghias langit. Bercampur asap dari sesuatu yang dibakar. Entah itu ban atau fasilitas umum.
Banyak korban berjatuhan dan Kaia hampir menangis melihat teman-teman mahasiswa yang lain, juga di antaranya ada petugas kepolisian yang berbaring kesakitan di aspal. Terlebih ada yang terluka parah sampai darah melingkupi sebagian wajah.
Tiba-tiba, lengan seseorang memeluk leher Kaia. Kemudian berjalan membawanya keluar dari situasi mengerikan itu. Setelah cukup lengang, keduanya berlari dan Kaia dengan patuh mengikuti instruksi pria di sampingnya.
"A... ayah?" kata Kaia setelah sampai di tempat yang cukup aman. Tepatnya, di bawah tangga gedung di seberang lokasi demo.
"Kamu tak apa? Ada yang luka?" Bagas memeriksa tangan putri semata wayangnya. Mencengkram bahu Kaia dan memindai apakah putrinya itu terluka.
Kaia tertegun menatap sang ayah yang tersengal sepertinya. Keringat mereka bercucuran.
"Aku nggak apa-apa, Ayah. Ayah juga nggak apa-apa?" tanya Kaia memastikan.
Bagas mengangguk dan berdeham. "Kenapa kamu tidak bilang kalau ikut demo?"
"Maaf, Ayah.... Aku ... karena ... aku ..." ujar Kaia terbata-bata.
"Kamu juga tidak izin sama mama kamu?" potong Bagas lagi.
Kaia menggeleng takut-takut.
"Astaga, Kaia.... Kalau terjadi hal seperti ini bagaimana? Kamu ini benar-benar.... Setidaknya kamu minta izin sama ayah dan mama."
"Maaf, Ayah.... Kaia nggak akan mengulanginya lagi."
"Hm, ayo kita pulang."
"Ayah," panggil Kaia.
"Ada apa lagi?"
"Sejak kapan ayah jadi wartawan?" tanya Kaia menunjuk kartu pers yang dikenakan Bagas.
***
Citra kini sedang sibuk menjahit, ia meletakkan kain di bawah jarum dan mulai menekan pedal kaki. Keningnya berkerut mendengar suara Kaia dan Bagas yang memasuki rumah. Citra menghentikan pekerjaannya kemudian bergegas keluar.
"Ayah bilang akan jelaskan di rumah. Kenapa kamu malah memasang ekspresi seperti itu sepanjang jalan?" kata Bagas saat mereka sudah di ruang tamu.
"Emang ekspresiku gimana? Biasa aja. Aku itu cuma bingung. Aku juga penasaran. Tapi ayah malah suruh aku diam."
Bagas menghela napas kemudian meletakkan tas kamera ke atas meja.
"Ada apa ini?" tanya Citra menghampiri Bagas.
Bagas mengecup kening Citra singkat dan menunjuk Kaia yang masih memandangnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Anak kamu ikut demo."
"Oh ya? Kamu nggak kenapa-napa, Kay? Kenapa nggak bilang sama mama?" tanya Citra.
"Hm ... maafin Kaia, Ma. Kaia ... Kaia...."
"Tapi kamu beneran nggak kenapa-napa, kan? Coba kamu bilang. Mama nggak masalah juga turun ke jalan."
Bagas dan Kaia terbelalak mendengar ucapan Citra. "Mama!"
"Tadi itu rusuh sekali. Banyak korban berjatuhan," ujar Bagas.
"Kapan demo di negara ini bebas dari provokator dan pihak tak bertanggung jawab yang hanya membuat kerusakan," tutur Citra.
"Entahlah. Tapi situasi tadi benar-benar berbahaya."
"Aku paham, Ayah. Aku minta maaf," kata Kaia.
"Good," ujar Bagas singkat.
"Tapi Ayah benar-benar wartawan? Mana tadi kartu persnya? Aku mau liat."
"Punya teman," kata Bagas menjawab mau tak mau.
"Ayah, boleh aku lihat?" Kaia kembali mengulurkan tangannya di depan Bagas.
"Tuhkan! Ada foto ayah. Terus kenapa pakai kacamata gini? Ayah kan nggak pakai kacamata. Rambut Ayah juga kok jadi kayak aktor Goblin gini sih? Kapan ayah ganti gaya rambut? Kok aku nggak tauuu," cecar Kaia tanpa henti. "Mama tau?"
Citra melirik ke arah Bagas dan tak menjawab. Jujur saja Citra lupa saking banyaknya penyamaran yang suaminya lakukan.
"Tapi ... namanya kok bukan nama ayah?" Kaia menyipitkan mata. "Ayah mencurigakan."
"Mama juga mencurigakan." Kaia melirik bergantian pada Bagas dan Citra.
"Begini...."
Alarm darurat pada jam pintar yang dikenakan Bagas dan Citra berbunyi. Kaia terperangah melihat kedua orang tuanya yang lantas bergerak dengan cepat ke sana kemari. Bagas bergegas mengambil tiga tas dari sofa yang ternyata bisa dibuka secara otomatis.
Kaia menangkap tas yang Bagas lempar ke arahnya. Kemudian mereka berjalan cepat mendatangi Citra yang mengambil senjata lengkap di dalam meja mesin jahitnya.
Citra menggenggam tangan Kaia dan mengikuti Bagas masuk ke dalam lemari yang terhubung ke ruangan bawah tanah.
Kaia kehilangan kata-kata atas apa yang ia alami saat ini.
"Kaia tenang, percaya sama kami. Okay?"
Kaia mengangguk. Mereka menambah kecepatan berlari ketika mendengar suara tapak kaki dari atas. Kaia merasa begitu tegang saat tiba-tiba sang mama melompat.
"Hati-hati," pesan Bagas pada Kaia yang juga akan melompat.
Kaia mengangguk dan ikut melompat ke arah Citra. Kemudian Bagas menempelkan telapak tangannya di pintu besi yang membaca sensor tangannya dan kembali terkunci dengan rapat. Bagas melompat dan memasuki mobil.
Citra sudah mengatur segala sesuatunya dan Bagas pun duduk di kursi kemudi. Mobil itu pun melaju dengan cepat. Menyusuri terowongan bawah tanah dan tak seorang pun yang bisa mengikuti jejak mereka.
"Kita aman?" tanya Kaia.
"Ya, kita aman," ujar Citra sambil menggenggam tangan anaknya.
Bagas tersenyum kecil. "Jangan khawatir, mungkin kita hanya harus pindah rumah lagi."
Kaia memijat pelipisnya. "Ya ampun, kalian benar-benar...."
"Amazing," kata Citra dan Bagas bersamaan.
***
"IT'S A WRAP!" seru Dio menggunakan pengeras suara. Menandai berakhirnya syuting mereka hari ini. Mengisyaratkan bahwa seluruh adegan film telah berhasil direkam.
Hal itu disambut dengan sorakan dan tepuk tangan yang meriah. Kiev dan Kivia menarik napas lega dan benar-benar senang bisa merampungkan project ini.
Kiev dan Kivia lalu mengketuk clapperboard ke arah kamera secara bersamaan. Usai itu mereka memeluk satu sama lain dengan erat. Membisikkan rasa terimakasih yang dalam karena telah bekerja keras.
Kiev mengusap lembut rambut Kivia dan menghapus air mata haru yang jatuh di pipi gadis itu. Kemudian keduanya dihadiahi dua buket bunga berukuran besar dan kue tart bertingkat dengan figur karakter Bagas dan Citra. Bahkan ada replika truck haul dan pistol di sana yang terbuat dari coklat putih.
"Ya ampun lucu banget," ujar Kivia tak berhenti menghapus air mata yang membasahi sudut matanya.
"Thank you ya, sayang-sayangkuuu," ujar Tari sambil memeluk Kivia dan Kiev bergantian.
"Beruntung banget bisa kerja sama kalian di project ini. Makasih sudah menjadi Citra dan Bagas seutuhnya," ujar Tari yang hidungnya bahkan memerah karena terlalu banyak menangis.
"Makasih juga telah menuliskan karya yang luar biasa ini, Mbak Tari," kata Kivia sembari merapikan rambut Tari ke telinga dan menepuk-nepuk pundaknya. "Mbak udah bekerja keras."
Mereka juga saling berterimakasih dan berpelukan dengan Dio sang sutradara, Renald sebagai casting director, pemain pendukung seperti Early, Bu Maysha, Liora, Shea dan lain-lain serta seluruh kru yang bertugas.
Para kru dan pemeran Senja di Pelupuk Borneo kemudian mengabadikan momen syuting terakhir mereka dengan mengambil foto bersama-sama. Kiev dan Kivia juga berfoto berdua. Juga bersama kru dan pemain lainnya.
"Senja di Pelupuk Borneo, it's a wrap!" seru mereka ke arah kamera kemudian bertepuk tangan dengan heboh.
*wrap: bungkus (istilah perfilman saat udah rangkum)
Kegembiraan wrap up party film Senja di Pelupuk Borneo yang diselenggarakan pada malam harinya, semakin meluap ketika hadirnya kiriman prasmanan restoran bintang lima yang tak diketahui siapa pengirimnya.
Semua yang setiap hari terbiasa dengan nasi kotak lantas ternganga melihat jejeran beragam makanan mewah yang menggugah selera itu. Terlebih ketika chef-nya sendiri memasak secara langsung di sana.
"Ya ampun ini kita jadi bintang tamu Master Chef apa gimana? Ada ada aja rejekinya," ujar Tari bertepuk tangan.
Para kru khususnya, apalagi anak kos yang rata-rata dari perantauan itu sangatlah bersyukur atas nikmat yang tak diduga-duga ini.
Ponsel Kivia berbunyi dan ia lantas menepi dari keramaian untuk menerima panggilan tersebut. Kivia tersenyum, dari ayahnya ternyata.
"Kamu sudah makan?" tanya Kumara.
Kivia yakin senyumnya mungkin jadi lebih lebar. "Ini mau makan, Yah."
"Ok."
"Ayah sudah makan?"
"Ini akan makan."
Kivia mengangguk-angguk. "Hm, ... terimakasih Ayah."
"Ya."
Kivia tertawa kecil mendengar jawaban singkat sang ayah. Ayahnya tidak bicara lagi untuk beberapa waktu. Kivia menatap layar memastikan telepon mereka masih terhubung, kemudian menempelkan lagi ke telinga.
"Halo, Ayah?"
"Kivia," ujar Kumara akhirnya.
"Hm? Iya, Yah?"
"Kamu ... baik-baik saja?"
Kivia tercenung untuk sementara waktu mendengar pertanyaan yang dilontarkan ayahnya. "Hm, iya, Yah. I am good."
"Oke."
"Ayah kapan ke sini?"
"Sepertinya lusa."
"Ah, oke."
"Nak."
Kivia memiringkan kepala. "Iya, Yah?"
"Jangan sendirian di apartemen. Nanti ayah akan minta Bu Mia ke sana untuk menemani kamu. Ayah harap kamu tidak keberatan," jelas Kumara.
Kivia melihat ujung sepatunya yang berwarna putih. Ia tersenyum tipis. "Sama sekali tidak, Ayah. Terimakasih banyak."
"Hm, kalau ada apa-apa telepon Ayah."
"Iya, Ayah."
"Ayah tutup dulu."
Kivia mengantongi ponselnya setelah ayahnya mengakhiri sambungan telepon. Kivia menoleh dan menganggukkan kepala dengan tersenyum cerah saat Kiev menepuk kursi kosong di sebelahnya. Kivia kemudian berjalan menuju Kiev.
Kiev bangkit dari tempat duduknya kemudian menghampiri Kivia.
"Ayo bareng," kata Kiev lalu ia bersama Kivia berjalan beriringan untuk mengambil makanan.
Keduanya duduk kembali dan menyantap makanan dengan khidmat. Tidak hanya Kiev dan Kivia, di meja bundar itu ada Bu Maysha, Tari juga Dio. Sedangkan meja di dekat mereka ada Early, Shea, juga si kecil Liora bersama orang tuanya.
"Nggak nyangka udah masuk post production," kata Tari.
"Jadwal besok ngisi suara, kan?" tanya Kiev melirik Mbak Vanya, manajernya itu kemudian mengangguk.
"Oh iya besok photoshoot buat poster film juga," ujar Tari menambahkan.
Dio manggut-manggut. "Backdrops sama properti udah beres."
"Make up sama wardrobe juga rebes," sahut Agri yang lantas diacungi jempol oleh Dio.
"Nggak kuat gue besok liat yang uwu-uwu," tutur Early yang langsung disambut heboh semua orang.
Sementara Kiev dan Kivia senyum-senyum dan menanggapi respon antusias di sekeliling mereka dengan canda.
***
Esok harinya Kiev dan Kivia sibuk briefing dengan photografer yang bertugas. Namanya Fero. Sementara kru yang lain lalu lalang mempersiapkan set foto. Ada tripod, softbox juga reflektor yang tak ketinggalan.
Kiev, Kivia dan juga pemeran inti lainnya menjalani foto secara individu terlebih dahulu.
Semua orang terpukau saat melihat Kiev mengenakan setelan andalan Bagas yang berwarna hitam-hitam ditambah dengan rompi anti peluru. Cowok itu tampak begitu gagah dengan pistol yang ada di tangannya. Terlebih kala sesi foto itu dimulai. Kiev yang awalnya cengengesan, saat Fero mengarahkan kamera ke arahnya, cowok itu berubah 360 derajat menjelma sebagai karakter Bagas yang dingin. Matanya berkilat tajam.
"Emang nggak main-main, pancaran mata Kiev langsung berubah," kata Dio.
Tari mengangkat alisnya sambil tersenyum. "As expected, Kiev Bhagaskara."
Kivia mengulum senyum dan rasanya senang mendengar pujian yang ditujukan pada Kiev. Sementara itu, Kivia mengenakan seragamnya saat mengemudikan haul truck juga topi dan rompi keselamatan. Saat ini ia hanya dirias dengan make up tipis dengan rambut dikucir asal.
Kivia lalu berdiri sopan di depan kamera. Ada beberapa pose candid dan ia yang tersenyum tipis beradaptasi dengan blitz kamera. Dulu di tengah-tengah syuting, sudah diambil beberapa foto yang proper saat Kivia mengemudikan haul truck.
Kemudian Kiev berganti dengan pakaian yang lebih santai. Rambutnya ditata lebih rapi dibanding sebelumnya tapi tidak terlalu klimis juga. Kiev mengenakan celana panjang dan kaos lengan panjang yang longgar berwarna khaki.
Sementara Kivia sedang retouch riasannya. Kivia bergabung dengan tim make up dan stylist.
Kali ini tidak setipis riasan tadi, tapi wajah Kivia dirias jadi lebih segar dan memiliki nuansa peach. Terlihat dari blush dan warna lipstik yang terpulas di bibirnya.
Kivia melepaskan outer kimononya menyisakan gaun piyama berwarna broken white lengan pendek sepanjang lutut. Kainnya terasa sangat halus dan adem. Rambut Kivia kali ini sedikit curly pada bagian ujung.
Kiev dan Kivia bergabung untuk melakukan pemotretan bersama. Keduanya terus tertawa-tawa mengusir kegugupan. Apalagi saat Fero mulai memberikan arahan untuk pose romantis mereka.
Hair blower fan alias kipas angin khusus yang disiapkan dalam photoshoot ini mulai difungsikan untuk menambah efek dramatis dan rambut Kivia khususnya bisa berkibar dengan ciamik.
Sesuai arahan, Kivia melingkarkan lengannya di leher Kiev. Sementara tangan Kiev memeluk pinggang Kivia. Mereka bersandar di depan jendela yang memancarkan cahaya jingga.
Untuk komposisi foto yang lebih pas, Kivia harus naik ke atas box yang kokoh untuk dipijak. Walau postur Kivia sudah cukup tinggi tetapi hal itu dilakukan agar Kiev tidak perlu sakit leher karena menunduk tajam terlalu lama.
"Ya, lebih maju lagi," seru Fero.
Hidung Kiev dan Kivia pun bersentuhan sementara photografer terus mengambil foto. Dilanjutkan dengan dahi Kiev dan Kivia yang saling menempel. Juga Kiev yang mengecup kening Kivia.
"Next! Kiev peluk dari samping. Kepala Kivia sandarin ke bahu Kiev. Oke! Good!" Photografer itu mengacungkan jempol tinggi-tinggi.
"Yak yak yak, sekaligus prewed lah," komentar Early usil.
"Selain undangan gala premiere, nyebar undangan yang lain juga bisa kali," sahut Tari.
Seperti biasa, perbincangan mengenai golden couple itu selalu menuai respons heboh dari semua orang yang ada di sana. Bahkan jika hasil behind the scene keduanya ini dirilis, dijamin akan menggemparkan jagat dunia maya.
Kivia dan Kiev hanya tertawa menanggapi. Mereka sibuk dengan berbagai pose lainnya.
Suasana lebih intimate ketika Kiev membenamkan wajah di leher jenjang Kivia. Atau mereka yang saling berpandangan intens dengan Kivia yang meletakkan tangan di rahang tajam Kiev.
Untungnya adegan itu diambil dengan cepat dan tidak berlarut-larut karena saling berdekatan dengan jarak minim seperti itu, benar-benar mengundang potensi kecepatan detak jantung maksimal.
Kini Kiev merebahkan kepala di paha Kivia sementara Kivia menunduk tersenyum padanya. Selanjutnya, Kiev duduk bersandar pada head board. Di sekitar mereka, terdapat bantal-bantal serta guling juga bedcover yang semuanya berwarna putih di sekitar mereka. Sedangkan Kivia setengah berbaring, bersandar di dada Kiev dan lengan kiri Kiev yang melingkupi pundaknya.
Kiev otomatis menunduk menghidu rambut Kivia kendati tindakan itu tak ada dalam instruksi Fero.
"Cool!" seru sang photografer yang tampak begitu puas dengan hasil foto mereka.
Kiev dan Kivia memeriksa hasil foto mereka di layar komputer dan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Fero terkait teknis.
"Tapi ... kalian kayak beneran udah pacaran," goda Fero sambil menyipitkan mata. Tangannya menenteng seolah kamera dengan lensa besar dan panjang itu tidak berat.
"Hm, kita kan emang udah suami istri," kata Kiev telak sambil menepuk-nepuk ringan puncak kepala Kivia.
Kivia lantas memukul pelan bahu Kiev. "Bagas dan Citra maksudnya."
"Eh, makin merah aja pipinya," goda Early.
Kivia menangkup pipinya yang memang merona.
"Gue suka banget foto ini. Yang ini juga. Yang ini juga. Dahlah semuanya. Chemistry kalian bukan maeeeen."
Fero lalu berseru ke arah Dio yang sibuk menggigit apel. "Yooo! Bakal pusing lo nentuin poster film!"
bersambung
waktu baca ulang kok malah inget hermes couple wkwkwk padahal aku nulis dri 2021 jajaja
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top