tigapuluh enam
Hari itu, Early sedang berada di sebuah stasiun TV untuk menghadiri sebuah talk show. Gadis itu melangkah percaya diri memasuki ruang make up. Setelah meminta manajernya untuk membelikan es kopi, Early duduk sambil menyilangkan kakinya.
Kemudian jemari lentiknya yang dihiasi nail art penuh bling-bling memegang ponsel yang juga dibalut case bling-bling. Early melihat cermin dan memperbaiki bulu mata palsunya. Setelah itu baru mengarahkan wajahnya ke ponsel untuk selfie-selfie manja. Early memonyongkan bibir atau mengedipkan matanya bergantian kanan dan kiri.
Delisa masuk bersama satu pengisi acara lainnya yang bernama Givanya. Delisa memandang sinis Early yang masih asik selfie. Kemudian, ia lantas mengubah ekspresinya menjadi senyum ramah saat Early menyadari keberadaannya.
"Eh, Ly..."
Early melambaikan tangan singkat. "Ooooy...."
"Tumben lo datang lebih cepet dari gue," ujar Delisa sambil duduk di kursi depan cermin tak jauh dari Early. Sedangkan Givanya duduk di kursi sebelah Delisa.
"Manajer gue sekarang warbiyasa banget taktiknya bangunin gue pagi-pagi." Early kemudian menggerutu sendiri.
"Eh, make up gue udah on juga ya kan, Nek," kata Early ke arah pria yang bertugas sebagai make up sekaligus hair stylish di sana. Maklum, tadi Early make up di mobil soalnya takut macet dan takut telat.
"Gilingaaan, embrun, Nek. Cucoook. Tapi sinindang eyke atur rambut yey biar lebih huwaw yahhh." Walau penampilannya laki banget, mulut lelaki itu penuh dengan pembendaharaan kata-kata ajaib.
(Gila, emang, Nek. Cocok. Sini aku atur rambut kamu biar lebih waw yah)
Dengan lancar dan asyik Early mengobrol dengan cowok itu.
"Udin himalayang tauk jerawat akika bo. Kayak akika kerjong tinta karuan begindang, makarena emang kudu teratuuur," cerocosnya.
(Udah hilang tau jerawat aku. Kayak aku kerja ga karuan begini, makan emang kudu teratur)
"Eh, akika ke sandro dulu, Saaay," ujar cowok dengan rambut spike warna merah terang itu.
(aku ke sana dulu, say)
Early mengangguk. "Makasih ya, Neeek."
"Eh, ngomong-ngomong makin heboh aja pemberitaan tentang lawan main Kiev itu," kata Delisa sambil menoleh ke arah Early di tengah-tengah sesi make upnya sendiri.
"Siapa namanya? Rembulan Kivi? Kivia? Mirip nama Kiev yahh. Yakin nama asli tuh bukan nama panggung doang?" tanya Givanya.
"Nama asli...." jawab Early mengonfirmasi.
Delisa berpandangan ke arah Givanya kemudian mencebik.
"Well, fashion sense-nya bagus juga," puji Givanya sembari menggulir tab yang menampilkan foto-foto Kivia.
"Bagus apanya? Lebih sering kaosan gitu, rambutnya juga nggak sebadai kita," cibir Delisa.
"Hm, dia pake oversized atau tee biasa cocok-cocok aja menurut gue. Apalagi kalau pakai jins, kakinya bagus banget. Kalau gue punya kaki sebagus ini bakal gue asuransiin deh," kata Givanya yang masih terfokus pada foto-foto Kivia.
Delisa menarik napas panjang, tapi jelas ia menampakkan raut tak senang ketika mendengar pujian yang diarahkan ke Kivia.
"Yah ... lumayan. Tapi mukanya harus dipermak lah, banyak banget bintik-bintik hitamnya."
Givanya menatap Delisa polos. "Why? Her freckless looks cute. Kalo digaris pasti jadi kayak rasi bintang. Mesmerizing."
Delisa mendengus kesal melihat Givanya yang terlihat malah menyukai Kivia. Givanya bahkan mengaku ingin ikut membeli flat shoes, tas dan beberapa item yang Kivia kenakan. Sementara itu, Early hanya tertawa kecil melihat ekspresi Delisa yang muram.
Manajer Early lalu datang membawakan Strabucks pesanan Early yang langsung tersenyum girang. "Thank you, Beb."
"Btw, gue rasa siapa pun yang jadi lawan main Kiev pasti bakal ikut melejit dong," kata Givanya, dibandingkan julid, nada bicara Givanya biasa aja.
'Ya Delisa contohnya,' batin Early. 'Eh gue juga deng walau peran gue dulu jadi adeknya Kiev doang.'
"Ya kesempatan dia lah buat dompleng popularitas Kiev," tutur Delisa dengan senyum sinis yang tak bisa disembunyikan.
'Yeee kayak situ kagak,' gerutu Early masih dalam hati. Ia lalu menyedot es kopinya dengan nikmat.
Delisa tertawa dengan nada meremehkan. "Apalagi tu cewek kan cewek kampung ya. Pasti bakalan panjat sosial ke Kiev. Apaan tuh dia sebelumnya? Supir truk woy. Apa banget kan ya? Nggak level lah sama kit---"
Omongan Delisa lantas terpotong ketika Early tiba-tiba menyemburnya dengan kopi. Untung saja hanya kena di bagian depan bajunya. Walau juga terpercik ke muka tapi tidak membuatnya basah kuyup. Tapi, noda kopi itu kontras sekali dengan baju yang ia kenakan.
Delisa pun melotot maksimal ke arah Early.
Sementara Givanya dan yang lainnya ternganga, Manajer Early langsung menepuk jidat. Early memang tipikal orang yang spontan, frontal, 'semau gue', juga susah diatur.
Early memasang tampang kaget. "Astoge, sory dory, Del."
"Lo kenapa sih, Ly?!" seru Delisa super kesal. Ia meraih tisu banyak-banyak, menyapu wajahnya yang basah.
Early meringis. "Soalnya gue tuh nggak bisa banget mendengar kata-kata mutiara dari kaum julaidaaah. Apalagi kalau sampai memandang rendah manusia lainnyaaah."
Delisa makin meradang. "Astaga, jadi mentang-mentang lo satu produksi sama tu cewek, lo belain dia gitu? Sampai nyembur gue segala?!"
"Gue bukannya sengaja nyembur. Lo juga ngapain ngomong penuh iri dengki waktu gue belum nelen tu kopi?" kata Early santai.
Delisa mendesis, rasanya ingin sekali ia menjambak Early. Tapi Delisa menahan diri, ia tau Early lebih barbar dan bagaimana pun sebentar lagi mereka akan on air. "Gue nggak ngerti. Posisi lo kan juga direbut sama tu cewek!"
Mata Early berotasi. "Peran Citra juga belum deal sama siapa pun kaleee. Termasuk gue sama lo. Terus ya ... waktu gue dijelasin alasan kenapa gue belum bisa untuk memerankan Citra, gue terima dengan lapang dada. Bukannya malah nyinyir tiada tara. Inget bund, sirik tanda tak mampu."
Delisa berdecak. Mana bisa dia terima omongan Early yang menurutnya sok bijak itu.
"Belum lagi omongan lo yang toxic mandraguna. Emang kenapa kalau orang dari kampung? Dari pelosok? Ya mereka baik-baik aja. Apa bedanya sama orang kota? Apa salahnya juga jadi supir truk? Lo ngeremehin mereka gitu? Jangan sia-siain imej malaikat lo deh, Del. Watch ur mouth," rentet Early memperingatkan yang membuat Delisa pias seketika.
"Lagian, Kivia jauh lebih segala-galanya dari yang lo kira. Nggak usah remehin orang lain. Jangan sampai lo malu sendiri nantinya. Berkaca aja sama diri sendiri. Noh, kaca gede noh." Early menunjuk kaca dengan dagunya. "See u on studio, Honey!"
"Arght!!!" Delisa menggentakkan kakinya kesal. Malas sekali dia bertemu Early di studio yang sama sebentar lagi!
Ya, industri ini memang panggung sandiwara, maka Early nggak kaget bertemu Delisa di studio yang sama. Cewek itu sudah mengganti pakaian.
Kemudian duduk di sebelahnya sambil menuai senyum ramah. Ah, seperti imej Delisa biasanya lah. Padahal Early tau Delisa gondok setengah mati padanya.
Hm, profesional sekali ya....
***
Setelah materi produksi rangkum, tahap post production film pun dilakukan. Editor film berperan besar di sini. Termasuk penambahan suara dan background musik, color grading serta pemberian CGI atau visual efek.
Kivia dan Kiev sudah selesai mengisi suara. Kiev juga berperan sebagai salah satu penyanyi untuk soundtrack film ini. Kivia tak kuasa menahan rasa kagum saat melihat Kiev begitu profesional memproduksi musiknya.
Kivia tersentak ketika seseorang datang. Pria dengan wajah timur tengah yang jelas itu melambaikan tangan pada Kiev yang sedang ada di dalam ruangan rekaman. Kiev melonggarkan headphone sejenak dan mengacungkan jempolnya.
"Kivia, ya?"
Kivia tergeragap. "Oh? Iya."
Cowok itu tersenyum ramah. "Gue sepupu Kiev, Esmu."
Kivia lantas mengangguk. "Salam kenal."
"Dulu Kiev banyak cerita tentang lo ke gue."
Mata Kivia sedikit melebar. "Oh ya?"
"Lo itu muse-nya Kiev. Rahasia nih, tapi lo harus tau sih lagu-lagu Kiev banyaknya terinspirasi dari lo."
"Hah? Really?"
Esmu mengangguk-angguk. "Seriuuus. By the way.... Menurut perspektif gue, kalian udah official nih kayaknya."
"Well...." kata Kivia menggantung dan menampilkan senyum penuh makna.
"I see ... I am happy for the both of you," kata Esmu tertawa kecil.
Kivia ikut tertawa ringan. "Thanks."
"Actually, Kiev benar-benar noob lho dalam masalah percintaan," ujar Esmu melirik Kiev yang masih sibuk di ruang rekaman.
"Masa sih?" tanya Kivia heran.
"Iya, orang-orang kira cowok kayak Kiev mudah buat jalin hubungan sebelumnya. Ada yang ngira Kiev playboy. Ada juga yang curiga dia punya disorientasi seksual. Yah ... rumor dan spekulasi netizen emang macam-macam sih."
Esmu terkekeh lagi melihat ekspresi Kivia. "Terlebih Kiev emang nggak terlalu menanggapi kabar yang berseliweran. Dia mau publik cuman fokus sama karyanya."
"Kalau sama lo, Kiev beda. Dia santai aja menanggapi rumor di antara kalian. Malah keliatannya happy banget tu anak."
Kivia tersenyum. "Kiev emang auranya begitu kan? Kalau dia senyum atau ketawa, wajahnya memancarkan kebahagiaan sampai yang liat juga jadi otomatis ikut seneng."
Esmu menghela napas lega. "Syukurnya ternyata bukan cuman gue yang mikir begitu."
"Tapi kalau lagi akting ekspresinya bisa berubah-ubah secara tajam. Apalagi sorot matanya," timpal Kivia.
Esmu tak kuasa untuk tidak mengangguck cepat. "Gue berasa kita kayak klub penggemar Kiev yang lagi meet up."
"Nggak bisa dipungkiri saya emang fans Kiev," aku Kivia tertawa kikuk.
"You look great together. Gue kasih tau ya, Kiev emang nggak jago sepik kayak gue. By the way, walau kadang pecicilan, anaknya sih luruuus begitu. Nggak belok-belok. Udah umur segini juga nakal aja nggak pernah Kiev mah. Anak baik-baik banget."
"Ini sekarang kamu lagi kayak tim suksesnya Kiev," gurau Kivia.
"Iya, nanti gue minta ceban ke Kiev udah ngomong yang baik-baik tentang dia."
Esmu tergelak. "Haha becanda, tapi yang jelas, gue tau Kiev serius sama lo.
Kivia mengangguk-angguk sambil merenungkan perkataan Esmu lalu tersenyum tipis. "I know...."
"Eh gue cabut dulu ya," kata Esmu setelah menerima sebuah pesan singkat. "Mau nyamperin tunangan gue di lobby."
"Iya, silakan," ujar Kivia masih setengah formal.
Saat itu Kiev juga keluar dari ruang rekamannya. "Mau ke mana, Es? Buru-buru amat."
"Mau nyamper Gita. Bye, lovebirds!" seru Esmu sambil melambaikan tangan ke arah Kiev dan Kivia.
Kiev dan Kivia saling tersenyum lebar mendengar hal yang Esmu utarakan.
Selesai dengan urusan rekaman, Kiev mengajak Kivia ke salah satu tempat favoritnya. Yang terletak pada rooftop gedung ini. Pemandangannya terlihat begitu indah dan langit pun terlihat sangat jernih.
Apalagi menjelang sore ini, suasana langit teduh dan angin pun berdesau nyaman. Kiev dan Kivia berdiri bersebelahan memandangi sekeliling mereka dari atas sini. Hanya mereka berdua.
"Tadi ngomongin apa sama Esmu? Seru banget kayaknya," tanya Kiev yang memang penasaran sejak tadi. "Pasti dia beberen aib aku deh."
"Haha nggak ... kok. Dia cuman ... hm ... itu loh...."
"Kenapaaa hayoo?"
"Emang ... kamu beneran nggak pernah pacaran?" tanya Kivia akhirnya.
Kiev lantas terkekeh. "Iya, nggak pernah."
Kivia mendelik jail. "Ih kok bisa? Keliatannya nggak gitu. Kamu kayak pro tau."
"Pro gimana sih, Yaaa." Kiev tersenyum lagi.
Kivia sekejap mengalihkan pandangan. Bagaimana bisa sih senyum Kiev berefek begitu besar padanya. "The way you treat me, your sweet words juga."
"Sama kamu sih ya ngalir begitu aja, Ya. Nggak direncanain atau apa. Mungkin karena kalau liat kamu, bawaannya emang selalu pengin menyayangi?" goda Kiev mencubit lembut ujung hidung Kivia.
Kivia mengulum senyum. "Bisa gitu...."
"Emang sesayang itu aku tuh...."
Tolong, pipi Kivia rasanya makin merah. Kivia menepuk-nepuk pipinya sendiri membuat Kiev mengeluarkan tawa kecil.
"Tapi ... penasaran deh. Emang kenapa sebelumnya nggak berhasil? Aku rasa nggak sulit buat kamu jalin hubungan sama cewek."
"Ini tricky nih, yakin nggak apa-apa bahas kayak gini?" tanya Kiev meringis.
Kivia tertawa. "Lho? Kenapa? Aku nggak apa-apa lho, Kiev. Santai aja. Toh, itu sebelum kamu sama aku. Kamu juga tau aku pernah tunangan sebelumnya. Hm, kalau boleh tauuuu sii...."
Kiev terlihat berpikir. "Boleh dong udah lewat juga.... Hmm, gimana ya? Yang serius kayak ... katakanlah ya aku tertarik saat itu... mungkin cuma dua orang."
"Ah aku inget, salah satunya kamu cerita soal cewek yang nolak ajakan kamu ke prom," jawab Kivia setelah mengingat-ingat.
Tawa Kiev terdengar. "Namanya Gina. Kamu ketemu sama dia di prom. Masih inget nggak?"
"Oh ... yang punya gingsul itu ya? Inget kok aku, dia juga friendly banget sama aku waktu itu. Jadi ... kamu ditolak sama Gina?"
"Iya, ditolak pergi bareng ke prom. Dia anggota Kiev Fans Club waktu SMA, nggak tau sih sekarang masih atau nggak." Kiev menyengir.
"Sekarang orangnya di mana?"
"Terakhir kali kayaknya di Jepang. Ikut suaminya yang lanjut S3 di sana. Si Dion, temen aku juga."
"Ohhh udah istri orang..."
"Iyalah.... mereka udah nikah sekitar ... empat tahun yang lalu."
"Terus ... satunya lagi?"
"Namanya Lintang, aku nggak tau ternyata Lintang sepuluh tahun lebih tua. Soalnya dia menyamar jadi anak SMA di sekolahku."
Kivia kaget. "Hah seriusss???"
"Iya, dia ternyata polisi yang lagi nyamar. Tepatnya dia itu dokpol. Nggak lama setelah misinya kelar, Mbak Lintang nikah sama Bang Galang, rekan penyamarannya. Aku juga nyanyi di pernikahan mereka."
"Hidup kamu emang dikelilingi hal nggak terduga ya, Kiev," ujar Kivia.
Kiev mengangguk penuh arti. Kiev mengubah posisinya berhadapan dengan Kivia. Kivia lantas bersandar di pembatas gedung. Jantung Kivia berdebar gugup ketika Kiev meletakkan kedua tangan di besi pembatas gedung tempat ia bersandar. Tangan cowok itu melingkupinya saat ini.
"Hal nggak terduga lainnya aku ketemu sama cewek stranger yang manis banget pakai midi dress bunga-bunga warna lembut yang tiba-tiba masuk ke mobilku. Terus kita ke prom bareng dan dia nggak bisa aku lupain gitu aja."
Kivia sedikit mendongak, saling melemparkan senyum pada Kiev meski tau pipinya mungkin bersemu merah saat ini.
"Saat itu aku tau, kamu bukan sekadar bayang yang singgah. Di hati aku, kamu menetap. Aku cari kamu ke mana-mana. Tapi nggak berhasil.
"That's why, ketika aku ketemu sama kamu setelah sekian lama. Aku mulai 'gerak', berharap nggak kehilangan kamu lagi," ujar Kiev lagi.
Kivia menatap mata Kiev dalam. Lalu membuat Kiev sedikit kaget ketika Kivia melingkarkan tangan ke pinggangnya. "Aku nggak ke mana-mana, terimakasih udah datang di hidupku ya."
Kiev menuai senyum manis. "Terimakasih kembali...."
Kivia berjinjit mengecup pipi Kiev singkat lalu tersenyum lebar. "Aku sayang kamu."
Satu tangan Kiev mengacak rambut Kivia gemas. "Aku juga."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top