tigapuluh

***

“Ayah tidak bisa menjawab, kan?” cecar Kivia lagi.

Kumara terdiam sebentar sebelum menjawab. “Kamu tidak perlu tau.”

Kiev memperhatikan Kivia yang menghela napas berat. Kemudian ganti memperhatikan ayah gadis itu yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Kiev rasa, pasti ada suatu hal yang membuat Kumara bertindak overprotektif pada Kivia.

“Jangan menghindar ketika aku menghubungimu. Sudah cukup kamu berpetualang seperti layang-layang putus,” ujar Kumara lagi.

Kivia hanya berdeham singkat sebagai respon.

“Posisimu di perusahaan masih tersedia. Segera kembali, kamu tidak kasian Sean mengurus dua bidang sekaligus?”

“Aku tidak tertarik.” Kivia menyesap secangkir teh hangat yang berada di depannya. Kemudian menggenggam tangkai cangkir dengan gerak anggun. Seperti sikapnya di rumah saat berhadapan dengan sang ayah.

“Kamu dulu jelas tertarik,” tukas Kumara dengan kening berkerut.

Kivia menatap ayahnya dengan tenang sembari meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. “Ayah, semua telah berubah. Sembilan tahun itu waktu yang lama.”

“Baiklah, kita bicarakan nanti.” Kumara mengibaskan tangannya santai. “Sekarang, tinggalkan aku bersama pria ini.”

Kivia langsung siap siaga. “Maksud ayah?”

“Kamu serius ingin bersamanya?” tanya Kumara dengan nada santai tapi terdengar begitu tegas.

Kivia mengangguk yakin. Bagaimana pun perasaannya pada Kiev tidak perlu ditutup-tutupi karena mereka memang serius menjalaninya. Ini pertama kalinya Kivia memperkenalkan seorang laki-laki pada ayahnya karena biasanya ayahnya yang selalu berinisiasi melakukan perjodohan dan mencari laki-laki yang dianggap cocok untuk mendampinginya kelak.

“Ini pembicaraan antar pria. Cepat sana, temui Sean dan Kinar,” usir Kumara.

Kivia menggigit bibirnya memikirkan alasan. Ia tidak tau apa yang akan ayahnya bahas dengan Kiev. Apa ayahnya akan mengintimidasi Kiev? Atau melakukan tindakan mengerikan lebih daripada mengintimidasi? “Ayah, Kiev perlu istirahat.”

“Lima belas menit tidak akan membuatnya mati.”

“Ayah....”

It’s okay, Ya. Kami memang perlu bicara," ujar Kiev menenangkan.

Kivia akhirnya mengangguk, ia memang harus mempercayakan hal ini pada Kiev. Dua laki-laki penting dalam hidupnya itu sepertinya memang harus duduk bersama. Maka dari itu dengan langkah berat, Kivia beranjak dari sana menuju ke arah Sean dan Kinar.

***

“Ya? Kamu nggak apa-apa?” tanya Kiev sembari mengusap punggung tangan Kivia.

Kivia yang tadi menatap ke luar jendela ruang rawat Kiev menoleh ke arah cowok itu.
“Pembicaraan kalian lebih lama dari yang aku kira.”

“Hanya lebih lima menit.”

“Aku khawatir ayah mengancam kamu atau bagaimana.”

“Kamu jangan khawatir, Ya. Aku baik-baik aja kok. Harusnya aku yang nanya, gimana perasaan kamu sekarang?”

Kivia terdiam, mereka lalu duduk berdampingan di tempat tidur rumah sakit itu.

“Maafin aku, Kiev.” Air mata Kivia mulai berderai secara tiba-tiba.

“Hey ... kenapa?” tanya Kiev lembut seraya menggenggam tangan Kivia erat.

“Aku menciptakan sekat dan selama ini nggak pernah membiarkan kamu untuk lewat.”

Kiev tersenyum hangat. “Sayang ... itu semua hak kamu. Nggak ada yang berhak memaksa kamu. Termasuk aku.”

Kivia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kemudian menangis kencang. Rongga dada gadi itu terasa amat sesak. Hingga bahunya terguncang hebat. Kiev merasa iba melihat tambatan hatinya yang menangis tersedu-sedu. Tangan Kiev yang bebas pun mengusap bahu Kivia menenangkan.

“Ayah ... dia adalah yang terburuk dari yang terburuk,” ujar Kivia di tengah-tengah tangisnya.

Kivia mulai bercerita tentang ayahnya yang sangat memegang teguh budaya patriarki. Selalu menganggap laki-laki lebih segala-segalanya dibanding kaum perempuan. Tentang penantian ayahnya memiliki seorang putra tetapi Kivia yang hadir di dunia.

Tak lama kemudian, Bunda Kivia meninggal dunia. Tentang perjodohannya yang sudah dimulai sejak ia masih belia. Ayahnya bilang, itu sudah tradisi. Bahkan salah satu sepupu Kivia, ada yang bertunangan di usia 15 tahun. Sementara Kivia yang memiliki jiwa pemberontak, tidak pernah menerima perjodohan yang diatur oleh sang ayah.

Hingga ia beberapa kali kabur. Terakhir kali, yaitu ketika Kivia bertemu dengan Kiev untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, perjodohan konyol itu sempat berhenti. Ya, saat ayahnya mengenalkan dirinya dengan Dave.

Tidak seperti pria-pria yang dijodohkan dengan Kivia sebelumnya, Dave tampak berbeda. Dia memiliki cara tersendiri untuk meluluhkan hati batu Kivia. Dave membuat Kivia merasa nyaman. Bersama Dave, Kivia merasakan kebebasan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan di bawah pengawasan ketat sang ayah.

Kivia menikmati hidupnya sebagai sosialita kalangan atas. Memiliki banyak teman. Membincangkan fashion terkini, perhiasan limited edition atau liburan dengan pesawat pribadinya. Dave yang membukakan jalan itu. Walaupun kemewahan sudah Kivia rasakan sejak dulu, akan tetapi jika mengenai interaksi sosial, poinnya nol besar.

Kivia akhirnya setuju bertunangan dengan Dave atas dasar rasa nyaman. Namun, Kivia harus menghadapi kenyataan tentang pribadi Dave yang sebenarnya.

Dibalik topeng.

Dibalik kemunafikannya.

Siapa yang sangka Dave yang tampan, menyenangkan dan bermulut manis itu serupa jelmaan monster? Dave yang tak segan memukuli Kivia karena stres kalah saat berjudi di luar negeri. Tidak sedikit, pria itu bahkan bertaruh dengan jumlah yang fantastis hingga mencapai milyaran rupiah. Ayah Dave sendiri bahkan jatuh sakit dengan tingkah polah anaknya saat itu.

Dave yang berlaku semena-mena. Tidak menghargai dan menganggap Kivia lebih rendah hanya karena ayah Kivia membutuhkan perusahaan ayah Dave untuk bisnis mereka. Hubungan yang abusive seperti ini sama sekali tidak sehat.

Kivia seperti terbunuh secara perlahan.

Bukan hanya kekerasan secara fisik, namun dengan sikap posesif Dave yang bahkan tak suka melihat interaksinya dengan Sean yang notabenenya adalah tutor Kivia. Juga kata-kata kasar Dave dan cowok itu yang tak tau malu menunjukkan kemesraannya dengan wanita lain.

Kivia sudah benar-benar muak. Cukup sekali Dave memukulnya, bahkan ayahnya sendiri yang selalu Kivia sebut arogan itu tak pernah menyakitinya.

Dirinya terlalu berharga. Kivia merasa ia hanya akan hidup sengsara jika harus hidup bersama Dave ke depannya.

Mengumpulkan keberanian, Kivia melaporkan Dave ke pihak berwajib. Namun, apa yang Kivia dapati? Ia dinilai bertindak gegabah dan akan menghancurkan bisnis sang ayah? Omong kosong macam apa itu?

Apa dirinya hanyalah objek? Suatu hadiah yang dapat dipertukarkan demi hubungan dua perusahaan?

Puncaknya, ketika Kivia membela harga dirinya habis-habisan. Yang paling menyakitkan adalah ayahnya sama sekali tak berpihak kepadanya. Tak memikirkan rasa sakitnya dan mendampratnya dengan membahas fasilitas mewah yang telah ia nikmati sejak dulu.

Kivia berkata ia bisa hidup tanpa fasilitas yang ayahnya berikan. Ia bisa bertahan di atas kakinya sendiri. Dan ujungnya ya begitulah ... Kivia diusir dari rumah.

“Maka dari itu, aku ... aku sebenarnya takut, Kiev.” Kivia menghapus air matanya dengan sapu tangan Kiev. “Aku juga masih menyimpan rasa kecewa yang besar pada ayah. Nggak mudah buat aku untuk kembali berhadapan dengannya. Aku ... aku nggak mau dibuang lagi.”

“Kivia....” Kiev merengkuh gadis itu dengan tangannya yang bebas. Kivia tersedu-sedu, mendaratkan dagunya di atas bahu Kiev, menumpahkan perasaannya yang campur aduk. Sepertinya, kaos yang Kiev kenakan menjadi basah karena air matanya yang tak terkontrol.

It’s okay, Ya. Kamu boleh meluapkan semuanya....” Kiev membelai rambut Kivia lembut.

Andai kamu tau apa yang tadi kami bicarakan, Ya.... batin Kiev dalam hati.

***

Kivia menangis hingga jatuh tertidur. Mungkin gadis itu merasa sangat lelah baik secara fisik maupun emosional. Karena tidak mungkin terus-terusan dalam posisi seperti ini, Kiev segera mengatur bantal untuk merebahkan kepala Kivia. Kiev kemudian turun dan mengangkat kedua kaki Kivia untuk berbaring secara benar dan nyaman di atas kasur rumah sakit.

Kiev beranjak menuju sofa yang ada di ruangan itu dan membuka kaleng soda yang tersedia. Kiev termenung, ingatannya kembali pada momen di mana ia bicara secara langsung dengan Kumara Nararya, ayah Kivia.
Sepeninggal Kivia, Kiev lantas diserang aura ketegangan yang lebih pekat dibanding bersama Kivia tadi.

“Jika tidak secara kebetulan bertemu di sini, sampai kapan pun anak itu pasti tidak akan mau menemuiku.” Kumara melirik Kivia yang sedang cipika-cipiki dengan Kinar.

Kiev juga kemudian berdeham gugup. Mengubah posisi duduknya dengan baik. Memastikan penampilannya saat ini terlihat sopan untuk berhadapan dengan ayah Kivia.

“Jadi namamu Kiev?” tanya Kumara memulai pembicaraan di antara keduanya.

Kiev mengangguk. “Betul, Om.”

“Berapa umurmu?”

“28 tahun, Om.”

“Pekerjaanmu?”

“Saya seorang musisi.”

Kumara mengangguk-angguk. “Kau juga seorang aktor yang bekerja sama dengan putriku?”

Kiev tercekat. Matanya sedikit membesar, terkejut akan hal itu. “Om mengetahui itu?”

Lagi, Kumara mengangguk ringan. “Aku mengawasinya.”

“Ah, oh iya betul, Om,” jawab Kiev mencoba untuk tidak gelagapan.

Hening menyerang keduanya beberapa saat. Namun, Kumara akhirnya kembali bicara. “Dia melakukannya dengan baik?”

Hati Kiev tiba-tiba menjadi hangat mendengar pertanyaan yang sarat kepedulian itu walau ekspresi pria di hadapannya ini cenderung datar dan dingin. Ia lantas menjawab pertanyaan itu dengan senyum lebar. “Sangat baik, Kivia bekerja keras dan kemampuannya semakin baik setiap harinya.”

Dengkusan kecil terdengar oleh pria tua itu. “Dari sekian banyak pilihan, ia malah memilih hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bertemu kolegaku saja ia sering menolak. Kini anak itu malah memilih jalan sebagai seorang aktris.”

“Saya akui Kivia berbakat dalam banyak hal,” jawab Kiev lugas.

Kumara sedikit mengangkat alisnya. “Aku kira ... sebenarnya dia ingin menjadi ballerina seperti ibunya. Mereka sering menari bersama ketika Kivia masih kecil. Ia juga memiliki studio tari sendiri di rumah. Aku tidak pernah melihat Kivia menari lagi. Mungkin karena aku yang melewatkan kesempatan itu atau ia memang tidak pernah menari lagi.”

Kiev hanya diam, tidak tau harus menjawab apa karena Kumara sepertinya lebih seperti bicara pada dirinya sendiri. Kiev mengerjap tatkala Kumara tiba-tiba kembali menatap kedua matanya serius.

“Sebenarnya, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih,” ujar Kumara. Raut wajahnya tidak sedingin sebelumnya.

Kiev tentu terkejut atas pernyataan itu. “Terimakasih?”

“Saat kalian remaja, kau dan ibumu telah menampung Kivia yang kabur dari kejaran pengawalku di rumah kalian. Maka dari itu, aku ingin menyampaikan rasa terimakasih. Walau terlambat sepuluh tahun lamanya.”

Kiev mengerjap menyadari bahwa pria di depannya ini begitu menyayangi putrinya. Hanya saja, komunikasi yang kurang baik dan sikap yang tidak bisa ditoleransi oleh pandangan masing-masing membuat hubungan keduanya kian jauh. Namun, di hati mereka yang paling dalam, Kiev yakin mereka saling memedulikan dan mendoakan dari kejauhan. Bagaimanapun, ayah dan anak itu hanya memiliki satu sama lain.

“Sama-sama, Om. Saya hanya melakukan yang bisa saya lakukan pada situasi itu. Saya juga mohon maaf jika membuat om khawatir.”

“Ya, aku memang marah besar dan hampir menuntut kalian saat itu,” ujar Kumara sembari mengedikkan bahunya singkat. Mengingat betapa murkanya ia ketika Kivia kabur begitu saja dalam jumlah yang tidak bisa terhitung. “Aku memang arogan dan tidak ingin dibantah. Semua yang kulakukan adalah benar menurutku. Kivia adalah anakku satu-satunya. Hanya dia yang aku miliki. Aku ingin ia bersama orang yang tepat. Namun, ternyata hanya tepat di mataku. Walau tidak bisa aku pungkiri perjodohannya juga memiliki andil pada kelancaran hubungan perusahaan. Bagiku, itu bukan hal yang tak wajar. Itu adalah hal yang biasa. Toh, mereka nantinya juga akan jatuh cinta karena terbiasa.”

Kiev menyimak dengan saksama. Meski dalam hatinya ingin membantah, karena pada kenyataannya itu hal dikembalikan pada pilihan masing-masing individu sendiri. Jika Kivia merasa keberatan bukankah seharusnya tidak perlu dipaksakan?

“Namun, ternyata aku salah. Aku tidak mempercayai yang ia katakan dan meremehkan luka yang ia terima. Aku bahkan melihat sendiri jejak kekerasan itu. Keegoisanku menutupi segalanya dan malah mengucapkan kalimat menyakitkan yang membuat ia pergi meninggalkan rumah. Aku malah membela orang lain dan tidak dapat dipungkiri hal itu karena aku tidak ingin menghancurkan kerjasama yang sudah kubangun dengan keluarga mantan tunangannya. Aku tidak mengira hal itu akan berdampak semakin besar. Akhirnya, aku kehilangan putriku sendiri. Aku terlambat menyadarinya dan terlalu malu untuk memintanya kembali. Aku amat menyesali itu semua. Namun, di sisi lain aku selalu merasa, harusnya ia yang pulang. Bagaimana bisa ia meninggalkanku sendirian?” jelas Kumara panjang lebar.

“Hm, saya bisa mengerti jika dalam persepsi Om seperti itu. Seperti kutipan dalam film klasik, marahnya orang tua juga adalah sebuah bentuk rasa kasih sayang,” ujar Kiev penuh pengertian.

"Namun, Om sendiri tahu Kivia menerima tindakan yang abusive dan mengetahui bahwa orang tuanya tidak berada di pihaknya tentu membuat lukanya semakin parah. Saya harap Om dan Kivia dapat duduk bersama dan bicara dari hati ke hati.

"Saya dengan tulus meminta Om dapat menyampaikan permintaan maaf pada Kivia. Ia memang tidak menceritakan masalahnya dengan gamblang dan begitu tertutup. Lebih senang memendam perasaannya. Namun, lukanya tentu harus disembuhkan. Kivia tidak mungkin pulang jika bukan Om yang meminta secara langsung dengan bujukan bukan perintah. Saya harap hubungan kalian akan jauh lebih baik ke depannya.”

Kumara mengembuskan napas berat. “Sangat sulit untukku meminta maaf.”

Kiev tersenyum tipis. “Om berhasil mengucapkan terimakasih untukku tadi.”

“Itu juga butuh waktu hampir sepuluh tahun," sahut Kumara.

Kiev sudah merasa jauh lebih rileks dibanding sebelumnya. Mengenai hubungan kedua ayah dan anak ini, jika ia memang harus menjadi penengah, tentu ia akan melakukannya.

“Seharusnya, meminta maaf pada Kivia tidak harus selama itu. Kivia sudah hampir menyerah dan sebelumnya menutup akses secara penuh pada dunia luar. Ia beranggapan bahwa ia sendirian di dunia ini. Kivia bahkan menganggap ia tidak lagi menyandang nama belakang keluarga Nararya.

“Saya tidak peduli siapa pun latar belakang Kivia. Saya juga tidak bisa ikut campur terlalu dalam tanpa persetujuan Kivia. Namun, yang saya tau, Kivia adalah Kivia. Ia hanyalah dirinya. Bukan karena apa yang keluarga Nararya miliki, akan tetapi saya hanya menyayangkan hubungan kekeluargaan yang seharusnya terjalin di dalamnya yang tidak lagi membersamainya. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berbagi dan saling melindungi.”

Kumara terhenyak, mencerna penjelasan anak muda di depannya. “Aku ... aku akan bicara padanya.”

Pria itu kemudian melihat arlojinya. “Sudah lebih lima belas menit. Pergilah, anak nakal itu pasti akan marah padaku jika menahanmu terlalu lama.”

Kiev mengangguk sopan. “Terimakasih, Om.”

“Ini kartu namaku. Aku harap kamu bisa datang ke rumah untuk mengobrol lebih banyak. Aku ingin kalian membahas pernikahan sesegera mungkin. Datanglah bersama keluargamu menemuiku.”

Tentu saja Kiev langsung gelagapan mendengar hal itu. “Ta-tapi, Om. Saya harus mendiskusikan ini dengan Kivia terlebih dahulu.”

“Terserah, tapi aku tidak peduli jika kau tidak lebih kaya dari keluarga kami dan apa pun latar belakang keluargamu. Aku rasa kau bisa menjaga Kivia dengan baik dan membahagiakannya. Itu lebih dari cukup.”

“Baik, Om. Terimakasih.”

“Diskusikan secepat mungkin. Aku ini sudah tua. Kau tau itu, kan?” Kumara menghela napas pendek. “Kivia mungkin tidak serta merta kembali ke rumah. Jadi, aku hanya bisa memintamu untuk menjaganya. Jika hubungan kalian tidak berjalan baik, aku harap kalian bisa membicarakannya dengan benar. Putriku sudah banyak melewati situasi berat. Jika kau tidak serius, aku akan kembali mencarikan calon potensial untuknya.”

“Saya serius dengan Kivia dan hubungan kami sangat baik sejauh ini. Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk ke depannya. Namun, saya punya rencana masa depan dan menua bersamanya. Saya minta Om selalu mendoakan kami berdua.”

“Ya,” ujar Kumara singkat tetapi membuat Kiev benar-benar merasa lega.

bersambung



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top